Friday, September 23, 2022

Ketika Agama Kehilangan Puisi

 


Kata Pengantar untuk buku Pluralisme, Dialog, dan Keadilan
Tantangan Berdemokrasi dalam Negara Republik Indonesia


Sesungguhnya agama-agama adalah puisi yang lahir dari manusia-manusia unggul, yang telah mengarungi ziarah hidup di dalam keheningan, kedalaman dan keindahan. Akibatnya agama-agama bukanlah sekumpulan kata dan ajaran yang senantiasa bermakna denotatif, bukan pula sekedar praktikpraktik normatif yang kaku-beku seumpama kematian, melainkan ungkapan makna-makna yang luas membentang dan dipraktikkan sebagai kekayaan seni yang memperindah kehidupan.

Sebagai puisi, agama-agama dilahirkan dari rahim keheningan, kedalaman dan keindahan. Para pembawa agama adalah manusia-manusia yang senantiasa akrab dengan keheningan, kedalaman dan keindahan itu. Keheningan adalah kekosongan yang ramah, yang menyediakan ruang penuh persahabatan bagi kehadiran yang lain (termasuk Yang Mahalain), dengan seluruh kesediaan untuk mendengarkan. Di dalam keheningan tak terdapat satupun kepentingan, kecuali kepentingan untuk mendengarkan. Maka keheningan adalah prasyarat bagi suatu perjumpaan.

Kedalaman adalah keterbukaan yang teramat luas, yang mampu menembus ruang dan batas, yang menyebabkan seluruh perspektif dan spektrum menjadi lebih berpendar dan bercahaya, sehingga mampu mengalami kehadiran yang kaya dari yang lain (termasuk Yang Mahalain). Sementara keindahan adalah pengungkapan dan pancaran dari rahasia-rahasia yang tersembunyi di dalam keheningan dan kedalaman, yang menggerakkan kekaguman, rasa hormat, pengertian, kesadaran, kedamaian, pencerahan, dan kerinduan untuk semakin menyelami.

Apabila diterima dan dihayati sebagai puisi, agama-agama akan membantu manusia-manusia beragama itu untuk senantiasa melatih diri menikmati keheningan, kedalaman dan keindahan yang tak pernah habis. Dengan demikian, manusia beragama akan menjadi lebih terlatih untuk mendengarkan, merasakan kehadiran, dan menemukan pancaran-pancaran rahasia dari yang lain (termasuk Yang Mahalain), yang menumbuhkan kekaguman, rasa hormat, pengertian, kesadaran, kedamaian, pencerahan, dan kerinduan untuk semakin menyelaminya.

Pendek kata, agama yang dihayati sebagai puisi, akan membantu manusia-manusia untuk mendengarkan dan berdialog, menerima dan mencecapi kehadiran keragaman yang luas (pluralitas, kemajemukan, perbedaan), dan terdorong untuk mampu saling berbagi nilai, saling mendukung dan melindungi (koeksistensi dan proeksistensi) sebagai seni yang memperindah kehidupan. Itulah yang barangkali dapat disebut sebagai pluralisme, dialog dan demokrasi, untuk keadilan.

Buku kumpulan tulisan yang hadir di hadapan pembaca ini merupakan refleksi atas dinamika agama-agama di Indonesia yang menghadapi tantangan hilangnya puisi di dalam dirinya, sehingga cenderung rentan untuk menjadi lekat kepada beragam kepentingan, dan menjadikannya mudah dikooptasi serta dijadikan sebagai semata-mata alat yang mengabdi kepada kepentingan-kepentingan yang tak teratur, termasuk kepentingan kekuasaan.

Hilangnya puisi dalam agama-agama ini mengakibatkan orang-orang beragama lebih rentan terhadap masuknya beragam kepentingan yang menggeser kemampuan untuk mendengarkan dan menyediakan ruang penuh persahabatan bagi yang lain. Ini juga berimplikasi kepada hilangnya kemampuan berdialog dan merasakan kehadiran yang lain (pluralisme, penghargaan terhadap kemajemukan). Pada gilirannya, hilang pula kesanggupan untuk menemukan pancaran rahasia keindahan dari yang lain, yang terwujud secara nyata dalam tiadanya rasa hormat, penghargaan, perlindungan, apalagi pembelaan terhadap yang lain yang berbeda.

Hilangnya puisi dalam beragama merupakan tantangan nyata bagi seni hidup bersama, yang disebut sebagai demokrasi, yang mengandaikan setiap manusia dihormati dan dilindungi seluruh hak asasinya, sehingga seluruh kesanggupannya untuk menjadi lebih bermartabat mendapatkan dukungan dan ruang kehadiran, yang tercermin dalam keadilan. Hilangnya ruang bagi kebebasan beragama dan berkeyakinan, saling mempersulit kehadiran rumah ibadah, pemaksaan kehendak dan kekerasan, diskriminasi dan kriminalisasi terhadap mereka yang berbeda, tiadanya pengakuan terhadap hak dan keberadaan agama-agama lokal, ketidakhadiran jaminan dan perlindungan yang semestinya diberikan oleh mereka yang diberi kewenangan, pembiaran-pembiaran atas tindakan yang merusak bahkan mencederai kemanusiaan, serta produksi kebijakan yang tidak produktif dan cenderung melanggengkan prasangka, merupakan contoh-contoh nyata dari akibat yang dilahirkan oleh hilangnya puisi dalam agama-agama.

Meskipun menyuguhkan beberapa pengalaman dan landasan yang memberikan harapan, tulisan-tulisan yang terangkum dalam buku ini lebih banyak menyuguhkan sisi buram dari realitas dinamis kehidupan agama-agama di Indonesia dalam memajukan pluralisme, dialog dan demokrasi untuk mencapai keadilan. Tentu itu dimaksudkan untuk menyuguhkan tantangan nyata yang masih harus dihadapi. Secara garis besar, tulisan-tulisan dalam buku ini seperti menyatakan bahwa ketika agama-agama kehilangan puisi dalam dirinya, ia akan kehilangan kesadaran kritis dalam berhadapan dengan kekuasaan, kehilangan sikap hormat terhadap perbedaan, dan kehilangan orientasi kepada keadilan dan kemanusiaan yang bermartabat.

Jogjakarta, 9 Oktober 2011

Indro Suprobo


Sunday, September 18, 2022

Kesetiaan yang Kemilau


 

Sederhana, murah senyum, baik hati, rileks, dan menikmati hidup secara ringan serta apa adanya. Itulah yang dirasakan ketika orang bertemu dengannya. Dalam semua sifat itu, ia menjalani kerja keras, ketekunan, disiplin, dan loyalitas dalam bekerja. Tanggung jawab hidup dijalaninya secara sungguh-sungguh namun tetap rileks. Saya memanggilnya Lik Tomo.

Sejak saya masih kanak-kanak, Lik Tomo memiliki kebiasaan mengisi waktu senggang dengan mendengarkan musik-musik lokal berupa langgam yang sekarang ini lebih dikenal dengan campursarinan. Salah satu penggalan lirik lagu lama tahun 80an yang dulu sering diputarnya berbunyi demikian,".....dithuthuk nganggo pipa ledheng...." (dipukul dengan pipa air ledeng). Lalu biasanya diteruskan dengan lirik yang sifatnya seperti pantun Melayu lama. Itulah beberapa ciri yang masih saya ingat, yang mencerminkan semangat dan gaya Lik Tomo dalam menghayati kehidupan. Bergembira dalam kesederhanaan.

Yang paling mengesankan, yang dijalaninya sampai akhir hidupnya adalah pilihan untuk tetap tidak menikah lagi setelah istri tercinta, Ermina Sutini, meninggal dunia pada sekitar tahun 90-an. Tampaknya ia memilih untuk tetap menjagai hatinya dengan api cinta dan kasih sayang kepada kekasih yang telah menemaninya dalam perjuangan hidup. Barangkali, setiap saat  ia menghidupkan kehadiran kekasih jiwanya di kedalaman batin, memenuhinya dengan kebahagiaan yang lembut dan mendalam, serta menghangatkan detik-detik nafasnya meski tanpa kehadiran fisik. Ia telah memilih untuk setia secara radikal.

Saya menduga dan hampir-hampir meyakini bahwa pilihannya untuk tetap setia ini merupakan luapan dari rasa hormatnya yang dalam terhadap istri dan kekasih hati yang telah secara ikhlas menemaninya untuk berjuang pada masa-masa paling sulit dalam hidupnya. Sungguh, ini sebuah sikap hormat yang hening, mendalam, menggetarkan, mengesankan, dan memancarkan cahaya kehangatan lembut bagi setiap orang yang sanggup membacanya. Sikap hormat terhadap kekasih hati ini memancar bagaikan fajar pagi. 

Sikap hormat inilah yang tampaknya melandasi kesetiaan yang dijalaninya dalam kesederhanaan dan kebahagiaan. Mau tidak mau, dalam spiritualitas agama apapun, sikap hormat selalu dan senantiasa merupakan luberan dari rasa syukur kepada Tuhan atas anugerah besar yang diterima di dalam hidup. Saya membaca bahwa Lik Tomo telah memandang dan menempatkan istri dan kekasih hatinya, Ermina Sutini, sebagai anugerah besar dalam hidupnya, yang ia terima dari Tuhan. Kehadiran istri dan kekasih jiwanya ini, yang telah mengisi perjalanan hidup dengan makna yang luar biasa itu, tak tergantikan dan melahirkan rasa syukur yang mendalam. Oleh sebab itu ia sangat menghormatinya, dan menghormatinya selama-lamanya, sampai hidupnya sendiri menjemput titik akhirnya. Barangkali itulah jaring-jaring batin yang ada dalam dirinya. Rasa syukur meluberkan sikap hormat, sikap hormat melahirkan kesetiaan. 

Bagi saya, kesetiaan yang dipilih dan dijalaninya ini adalah kesetiaan yang kemilau. Ia memancarkan cahaya yang berpendar mendalam namun lembut, tak menyilaukan namun menghangatkan. Barangkali, pilihan Lik Tomo untuk tetap menjagai kemilau kesetiaannya kepada kekasih jiwanya ini sangat cocok dengan apa yang dikatakan oleh Yesus kepada Marta, tentang Maria,".....tetapi hanya satu saja yang perlu, Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya." (Luk 10:42).

Saya membaca bahwa Lik Tomo adalah cerminan dari figur Maria yang telah memahami apa yang perlu dalam hidupya sehigga ia telah memilih bagian yang terbaik yang tidak akan diambil daripadanya, yakni setia kepada kekasih jiwanya sampai Tuhan memanggilnya. 

Selamat jalan Lik Tomo. Terima kasih atas teladan dan kesaksian tentang kesetiaan yang kemilau. Bahagialah di surga, memeluk kekasih jiwa yang menghangatkan batinmu sepanjang masa. 


Jogjakarta, 17 September 2022


Indro Suprobo

Friday, September 16, 2022

Subyek yang Senantiasa Bertanya



Orang-orang yang menyukai proses belajar terus-menerus (on going learning), pada umumnya memiliki kebiasaan untuk senantiasa bertanya, berpikir dan menemukan alternatif jawaban. Pada umumnya pula, orang-orang yang tergolong dalam kategori ini, memiliki kebiasaan untuk mengambil jarak, menunda persetujuan, membuka kemungkinan terhadap  cara-cara baru dalam membangun pemahaman, serta dengan gembira hati memberikan ruang bagi perbedaan pandangan. Semuanya itu sudah menjadi "laku", jalan hidup (the way of life), atau gaya hidup (life style). Yang paling menarik, orang-orang seperti ini, tak pernah merasa malu untuk mengakui bahwa ia belum memahami sesuatu. Maka ia tak pernah ragu ketika suatu saat harus mengatakan "maaf, saya tidak tahu tentang hal itu".  

Gunawan Sudarsono, adalah salah satu contoh konkretnya. Sejak masih aktif sebagai guru sastra, ia selalu suka bertanya kepada para muridnya, mengajaknya untuk berpikir dan mencoba merumuskan alternatif jawaban. Sebaliknya, ia juga selalu dengan gembira membuka ruang bagi siapapun untuk bertanya, atau menyampaikan pandangan yang berbeda. Berdialog, bertukar pikiran, berbagi gagasan, saling mempertanyakan, saling melengkapi pandangan, saling membuka kemungkinan-kemungkinan, adalah ruang yang ditawarkan dan disediakannya sejak semula. Semangat untuk saling belajar tiada henti, itulah karakter yang sejak dini ia inisiasi.

Karena telah menjadi "laku", masa pensiun tidak membuatnya berhenti untuk berpikir dan bertanya, serta menemukan beragam jawaban yang mungkin beraneka rupa. Ia tetap menjadi pribadi yang produktif, terus bertumbuh, menciptakan makna dan berkarya. Bulan Terbelah, novel kecil yang ditulisnya, adalah salah satu bukti dan hasil nyata, sekaligus kesaksian utama tanpa dusta. 

Sub judul yang dirumuskannya, Dia Anakku Walau Bukan dari Benihku, merupakan tema utama yang menjadi sarana baginya untuk mengajak semua pembaca untuk bertanya, berpikir dan berupaya merumuskan alternatif jawaban. Melalui novel ini, ia mengajak para pembacanya untuk mencoba memasuki peran dalam diri tokoh-tokoh utamanya, Herman dan Kadarwati, memasuki pengalaman, kenyataan, persoalan serta dilema yang dihadapinya. 

Saat memasuki atau menghadapi pengalaman, peristiwa, kenyataan yang tak sesuai impian, dambaan mendalam, relasi kuasa, kegelisahan, rasa bersalah, dan pandangan-pandangan masyarakat sekitar maupun pandangan keluarga yang disuguhkan dalam novel ini, setiap pembaca diajak untuk menentukan pilihan dan mengambil keputusan. Meskipun melalui para tokohnya, Gunawan Sudarsono telah menyodorkan pilihan-pilihan, keputusan, serta cara berpikir dalam menghadapi kenyataan, ini tidak berarti bahwa ia telah secara final merumuskan satu jawaban pasti. Itu semua merupakan tawaran terbuka, sebagai salah satu pandangan yang menghantar pembaca untuk berpikir dan bertanya ulang, lalu merumuskan alternatif keputusan dan pilihan. Melalui novel ini, ia seperti sedang mengajukan sebuah pertanyaan,"Jika pilihan-pilihannya semacam ini, bagaimana menurutmu?" Selanjutnya, pembaca diajak untuk menimbang dan mengambil keputusan sendiri.

Membaca novel yang ditulisnya ini, saya merasa seperti dibawa kembali ke masa lalu, ke ruang kelas sastra, di mana ia mengajukan tanya agar sebanyak mungkin murid-muridnya mengajukan jawaban yang berbeda-beda, dan dengan gembira hati, ia mewadahi dan menanggapi semuanya. Sekali lagi, ia sedang mengajak untuk berpikir, bertanya dan merumuskan alternatif jawaban. 


Bahasa-bahasa Simbolik

Hal lain yang menarik, novel ini menyuguhkan bahasa-bahasa simbolik yang mengesankan dan mendalam. Ia merupakan bahasa yang tak terucap dalam kata, melainkan dalam perilaku, sikap, permainan musik biola maupun piano yang menghubungkan gerak dan dinamika jiwa. Ada kesalahpahaman, ada dugaan-dugaan yang memberi harapan, ada feeling yang membangun keterhubungan dan komunikasi meskipun tak dipahami dalam keyakinan yang pasti. Kemarahan bapak Kepala Sekolah terhadap perilaku tokoh Bulan yang dinilainya tak menunjukkan sopan santun di dalam ruang kelas, merupakan kesalahpahaman yang disebabkan oleh tiadanya pengenalan terhadap konteks psikologis sang murid. Kepala Sekolah tak berhasil mengenali bahwa perilaku Bulan itu sebenarnya merupakan cerminan dari bahasa kerinduannya terhadap sosok ayah yang telah hilang, yang sebagian sifatnya tampaknya ditemukan dalam diri Kepala Sekolah itu. 

Permainan biola oleh tokoh Pak Suryo, nama tua tokoh Herman, adalah upaya seorang ayah untuk menggapai hati seorang anak perempuan yang secara kuat ia duga sebagai anaknya, namun telah tak mengenalnya lagi. Ini adalah komunikasi-komunikasi non verbal yang menggetarkan dan kuat, serta mengesankan. Pembaca diajak untuk melampaui kata-kata dan memasuki komunikasi simbolik yang mendalam dan penuh makna. Saya kutipkan penggalan narasinya yang mengesankan:

Bulan terus disibukkan oleh pikiran-pikiran tentang ayah. Saat matanya terus tidak bisa dipejamkan, saat kerinduan terus menjalari pikiran dan hatinya, sayup-sayup ia dengar Nocturne Op 9, No 2 Chopin. Suara biola mengalun lembut dengan nada rendah berpindah ke nada tinggi, kembali ke rendah lagi mengalir dengan lembut. Nada-nada keluar dari jari-jari yang digerakkan dengan penuh perasaan. Pada akhir lagu nada bergerak dari lambat mengalun menjadi cepat dan melengking. 

Ada perasaan mendalam yang diekspresikan oleh pemain biola yang tak lain Pak Suryo. Bulan merasakan setiap tarikan nada ada getar dan desah kerinduan akan sesuatu yang jauh dan tak terjangkau. Ada pertanyaan, ada gugatan, tetapi sekaligus juga ada penerimaan yang diungkapkan dari nada-nada yang terucap di tengah malam.

Bulan jadi ingat cerita mama bahwa ayah suka sekali memainkan lagu Nocturne Op 9, No 2 Chopin itu. Pak Suryo seperti tidak sedang bermain biola biasa. Ia menyatakan jiwanya. Ia menyatakan jeritan hatinya. Jeritan hati yang rindu kepada orang yang dicintainya. 

Tak terasa, saat lagu itu berakhir, air mata Bulan menitik. Dari mulutnya tergumam,”Kaukah itu, Papa?”


Ruang Terbuka untuk Menunda

Meskipun kisah dalam novel ini diakhiri dengan happy ending, terasa sekali bahwa setelah kalimat terakhir tuntas terbaca, masih tersedia ruang yang terbuka untuk menunda persetujuan, menunda pemaknaan, dan menghantar lagi kepada upaya untuk kembali berpikir dan bertanya, mengurai kembali jaringan peristiwa, menelusur pilihan dan keputusan yang disodorkan melalui para tokohnya dengan pertanyaan mengapa, bagaimana bisa, apa penyebabnya, faktor apa saja yang membentuknya, dan sebagainya. Banyak hal yang memengaruhi para tokoh dalam mengambil pilihan dan keputusan, memang tetap tersembunyi, tak diungkap secara detail dan rinci. Namun justru di situlah ruang dialog dan diskusi itu disediakan oleh novel ini. Ada ruang untuk mencoba menggali, menimbang, menelusuri, menduga, menemukan kemungkinan, mengidentifikasi relasi, dan memahami faktor-faktor yang memungkinkan peristiwa-peristiwa itu terjadi. 

Oleh karena itu, sejauh saya pahami, Bulan Terbelah, adalah novel yang juga mencerminkan konsistensi antara penulis dan karyanya, yakni keduanya adalah subyek yang senantiasa membuka ruang untuk berpikir dan bertanya. Boleh dikata, setelah mencerna sampai pada kalimat pari-purna, pembaca tetap dibuat merasa gelisah, berpikir ulang, menunda untuk percaya, dan tetap bertanya-tanya mengapa bisa demikian itu kisahnya. 

Singkat cerita, Bulan Terbelah adalah novel yang juga berperan sebagai subyek yang senantiasa bertanya kepada pembaca dalam perspektif yang  beraneka rupa. Pada gilirannya, pembaca yang menemukannya, dapat mengajukan kemungkinan dan alternatif jawaban dalam segudang sudut pandang: tentang relasi jender, tentang patriarki, kognisi sosial dan wacana kritis, relasi kuasa, tentang lack dan jouissance dalam psikoanalisis Lacanian, tentang otonomi pribadi, pandangan keagamaan, dan lain-lainnya.

Sudah pasti, novel kecil ini akan berlari mencari jalannya sendiri. Para pembaca akan menemukannya dengan perspektif yang beraneka rupa. Gunawan Sudarsono sebagai penulisnya, akan kembali diajak ke ruang-ruang kelas sastra seperti sedia kala, dengan cara-cara baru dan berbeda, namun dengan esensi yang sama, mengajukan atau mendengarkan tanya, sekaligus menuai temuan-temuan baru yang beragam dan kaya. Lalu sekali lagi prosesnya akan bergulir kembali, saling belajar dan berbagi  pandangan tiada henti. Bahkan, sebagai penulis, ia akan dibawa ke dalam ruang bersama yang terbuka untuk belajar lagi dari karyanya sendiri.

Gunawan Sudarsono yang telah menulis novel kecil ini dan siapapun juga yang mengambil pilihan untuk membacanya, barangkali dengan gembira hati boleh mengingat-ingat dan merasakan kuatnya makna kata-kata Yesus kepada Marta, tentang pilihan Maria,".....tetapi hanya satu saja yang perlu, Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya." (Luk 10:42). Dalam konteks mencintai proses belajar, keputusan untuk menulis maupun membaca novel kecil ini merupakan salah satu tindakan memilih bagian terbaik yang tak akan diambil dari padanya. Semoga demikian adanya......***


Vihara Ngaglik, 16 September 2022

Indro Suprobo