Sunday, March 14, 2021

Tentang Penutup Kepala

 Oleh Indro Suprobo


Berdasarkan Kitab Suci Perjanjian Baru, salah satunya Surat Paulus kepada jemaat di Korinthus, yakni 1 Kor 11:3-15, Kitab Hukum Kanonik (KHK) Gereja Katolik edisi tahun 1917, Kanon 1262 artikel 2 menegaskan bahwa kaum perempuan diharuskan mengenakan penutup kepala (kerudung atau jilbab) pada saat menjalankan ibadah di gereja. Dengan demikian, mengenakan kerudung atau jilbab dg beragam modelnya merupakan bagian dari kebiasaan kaum perempuan kristen/katolik masa itu. Pada tahun 1983, Kitab Hukum Kanonik edisi pembaharuan sudah tidak mencantumkan lagi ketentuan tentang penutup kepala bagi perempuan itu. Namun demikian, kebiasaan itu masih tetap dilestarikan oleh sebagian besar perempuan biarawati dari berbagai macam ordo dan konggregasi. Beberapa ordo biarawati bahkan mengenakan kerudung lengkap dengan cadar penutup wajah sebagai simbol tentang pengikatan diri kepada Sang Mempelai, Yesus Kristus.




(Gambar para biarawati Kristen dengan penutup kepala dan cadar dalam beragam aktivitas)


Dari kenyataan ini kita dapat belajar bahwa penutup kepala dengan beragam modelnya, sebenarnya merupakan kebiasaan banyak perempuan dari beragam tradisi budaya dan dilestarikan serta diinstitusionalisasikan oleh agama-agama.

Sayangnya, dinamika relasi antar komunitas dan politik identitas kadang-kadang melahirkan sikap saling berprasangka terkait penutup kepala itu. Sebagian orang merasa tidak suka, tidak hormat, curiga, bahkan mungkin membenci ketika melihat perempuan yang mengenakan penutup kepala entah itu penutup kepala para biarawati, perempuan kristen ortodok atau kristen lainnya, maupun perempuan muslim. Sikap tidak suka itu kadang-kadang tidak rasional.

Apabila memahami secara lebih baik sejarah kebudayaan, relasi kontinuitas dan diskontinuitas antar budaya, inovasi pemaknaan dan spiritualitas di balik tradisi penutup kepala itu, barangkali prasangka-prasangka dan kebencian antar komunitas itu bisa berkurang banyak dan bersikap lebih santai terhadapnya.

Membongkar prasangka antar komunitas agama, memang membutuhkan keluasan wawasan lintas disiplin, namun yang paling utama adalah pendidikan kritis.

Sebagai catatan, akhir-akhir ini semakin sering dijumpai kaum perempuan kristen/katolik yang mengenakan penutup kepala ketika beribadah dan bertugas khusus di gereja, ketika melayat, atau menengok orang sakit. Ini menarik. Yang penting tidak ada pemaksaan atau larangan sewenang-wenang.

Semoga relasi antar komunitas agama semakin maju dan produktif, lebih santai dengan beragam perbedaan, dan lebih berkomitmen kepada upaya memajukan keadilan dalam semangat pro-eksisten, sebab itulah wujud nyata dari ketakwaan.



No comments: