Oleh Indro Suprobo
Berdasarkan Kitab Suci Perjanjian Baru,
salah satunya Surat Paulus kepada jemaat di Korinthus, yakni 1 Kor 11:3-15,
Kitab Hukum Kanonik (KHK) Gereja Katolik edisi tahun 1917, Kanon 1262 artikel 2
menegaskan bahwa kaum perempuan diharuskan mengenakan penutup kepala (kerudung
atau jilbab) pada saat menjalankan ibadah di gereja. Dengan demikian,
mengenakan kerudung atau jilbab dg beragam modelnya merupakan bagian dari
kebiasaan kaum perempuan kristen/katolik masa itu. Pada tahun 1983, Kitab Hukum
Kanonik edisi pembaharuan sudah tidak mencantumkan lagi ketentuan tentang
penutup kepala bagi perempuan itu. Namun demikian, kebiasaan itu masih tetap
dilestarikan oleh sebagian besar perempuan biarawati dari berbagai macam ordo dan
konggregasi. Beberapa ordo biarawati bahkan mengenakan kerudung lengkap dengan
cadar penutup wajah sebagai simbol tentang pengikatan diri kepada Sang
Mempelai, Yesus Kristus.
Dari kenyataan ini kita dapat belajar
bahwa penutup kepala dengan beragam modelnya, sebenarnya merupakan kebiasaan
banyak perempuan dari beragam tradisi budaya dan dilestarikan serta
diinstitusionalisasikan oleh agama-agama.
Sayangnya, dinamika relasi antar
komunitas dan politik identitas kadang-kadang melahirkan sikap saling berprasangka
terkait penutup kepala itu. Sebagian orang merasa tidak suka, tidak hormat,
curiga, bahkan mungkin membenci ketika melihat perempuan yang mengenakan
penutup kepala entah itu penutup kepala para biarawati, perempuan kristen
ortodok atau kristen lainnya, maupun perempuan muslim. Sikap tidak suka itu
kadang-kadang tidak rasional.
Apabila memahami secara lebih baik
sejarah kebudayaan, relasi kontinuitas dan diskontinuitas antar budaya, inovasi
pemaknaan dan spiritualitas di balik tradisi penutup kepala itu, barangkali
prasangka-prasangka dan kebencian antar komunitas itu bisa berkurang banyak dan
bersikap lebih santai terhadapnya.
Membongkar prasangka antar komunitas
agama, memang membutuhkan keluasan wawasan lintas disiplin, namun yang paling
utama adalah pendidikan kritis.
Sebagai catatan, akhir-akhir ini semakin
sering dijumpai kaum perempuan kristen/katolik yang mengenakan penutup kepala
ketika beribadah dan bertugas khusus di gereja, ketika melayat, atau menengok
orang sakit. Ini menarik. Yang penting tidak ada pemaksaan atau larangan
sewenang-wenang.
Semoga relasi antar komunitas agama
semakin maju dan produktif, lebih santai dengan beragam perbedaan, dan lebih
berkomitmen kepada upaya memajukan keadilan dalam semangat pro-eksisten, sebab
itulah wujud nyata dari ketakwaan.
No comments:
Post a Comment