Sunday, June 11, 2023

Infrastruktur sebagai Aliran Keuntungan yang Dijamin Kontrak Jangka Panjang




Oleh Indro Suprobo

Buku aseli karya Nicholas Hildyard dalam versi bahasa Inggris diberi judul Licensed Larceny, Infrastructure, Financial Extraction and Global South. Atribut Licensed dalam judul ini, setelah ditelusur maknanya melalui seluruh isi pembahasan buku, dapat ditemukan dalam ungkapan yang sering ditegaskan oleh penulis sebagai aliran pendapatan atau keuntungan yang pasti dan dijamin oleh kontrak jangka panjang. Pemaknaan ini pula yang oleh penulis diungkapkan sebagai kacamata yang dipakai oleh dunia keuangan, yang tak pernah dipakai atau dipahami oleh siapapun yang berada di luar dunia keuangan. Oleh karena itu, secara tegas buku ini hendak menyatakan bahwa dalam kaca mata dunia keuangan, infrastruktur adalah aliran-aliran pendapatan dan keuntungan yang pasti dan dijamin oleh sebuah kontrak dalam jangka panjang. Dengan demikian infrastruktur bukanlah sekedar penampakan-penampakan berupa jalan tol, jalur kereta api, bangunan pelabuhan, bandara, bendungan, rumah sakit dan sebagainya. Lebih dari penampakan-penampakan luar itu, dalam kacamata keuangan, infrastruktur adalah seluruh proses aliran laba yang diperoleh di balik semua penampakan luaran itu. Dengan demikian, atribut Licensed dalam judul aseli buku ini dapat dimaknai sebagai "dijamin oleh sebuah kontrak legal dalam jangka panjang". Maka, Licensed Larceny dapat dimaknai sebagai proses perampokan atau penjarahan yang dijamin oleh sebuah kontrak legal dalam jangka panjang. Sebuah judul buku yang sangat lantang!

Buku ini dilandasi oleh keprihatinan terhadap begitu banyak-nya orang di seluruh dunia yang terkena dampak buruk oleh proyek-proyek infrastruktur skala besar. Dalam keprihatinan itu, buku ini berupaya memahami seperti apakah kompleksitas keuangan modern itu dan kaitannya dengan akumulasi. Maka buku ini awalnya menelisik tentang keuangan sebagai industri ekstraktif, sebuah pendekatan yang sebenarnya telah dirintis oleh Karel Williams, Profesor Akuntansi dan Ekonomi Politik di Manchester Business School, melalui lembaganya yang bernama Centre for Researh on Socio-Cultural Change (CRESC). Naskah aseli buku ini berangkat dari sebuah paper yang disiapkan oleh Nicholas Hilyard kepada para mahasiswa asuhan Karel Williams dalam suatu kuliah, tentang hubungan antara model kerjasama kemitraan Publik-Swasta (Public-Private Partnership), Ekstraksi Keuangan, dan Ketidakadilan. 

Pertanyaan inti yang ditelusuri dan hendak diuraikan oleh buku ini adalah bagaimanakah sebenarnya mesin ketidakadilan, yang disebut sebagai ekstraksi keuangan yang terlembagakan itu bekerja sehingga sekelompok elit orang kaya tetap mengeruk kekayaan dan sebagian besar orang di seluruh dunia harus menanggung dampak buruknya. Skema kemitraan Public-Private Partnership adalah salah satu wujud pelembagaan mesin ekstraksi keuangan yang melahirkan ketidakadilan dan ketimpangan itu. 

Skema Buku

Buku ini terdiri dari 6 bab. Bab 1 merupakan gambaran besar tentang ketimpangan yang terjadi di seluruh dunia dan penekanan tentang perlunya menganalisis mesin ekstraksi keuangan yang mengakibatkan ketimpangan itu secara lebih detail agar dapat memberikan respon yang tepat dan strategis. 

Bab 2 memberikan contoh konkrit bagaimana infrastruktur sebagai ekstraksi keuangan dalam kasus proyek pembangunan rumah sakit Queen Mamohato Memorial Hospital di Lesotho, melalui skema kemitraan Public-Private Partnership. Dalam bab ini penulis menelusur dari manakah uang yang digunakan untuk proyek itu berasal, siapakah yang paling diuntungkan dan siapakah yang menanggung kerugian, serta seperti apakah indikator atau petunjuk konkrit dari penjarahan keuntungan itu. Di dalamnya ditunjukkan bahwa ekstraksi keuangan yang merupakan perampokan atau penjarahan itu sah adanya. 

Bab 3 menegaskan bagaimana cara keuangan memandang insfrastruktur. Bagian ini memanfaatkan kasus rumah sakit Mamohato pada bab 2 untuk menunjukkan secara lebih detail bahwa di hadapan keuangan, infrastruktur adalah suatu aliran keuntungan yang stabil dan terjamin dalam suatu kontrak resmi, salah satunya melalui skema kemitraan Public-Private Partnership. Ruang sempit yang dibuka untuk sektor swasta dalam layanan publik ternyata telah memungkinkan keuangan untuk mengembangkan mesin ekstraksi milyaran dollar yang berisiko menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan.

Bab 4 memaparkan sarana-sarana investasi lain di luar skema kemitraan Public-Private Partnership yang digunakan dan dikembangkan untuk mengeruk kekayaan yang juga melahirkan ketimpangan. Sarana-sarana itu meliputi pendanaan, konsruksi dan operasi infrastruktur.

Bab 5 mencoba memaparkan kekuatan struktural di balik kemunculan infrastruktur sebagai kelas aset dan kerentanan modal yang menyertainya. Bagian ini memberikan contoh nyata bagaimana proyek infrastruktur besar-besaran di seluruh dunia sedang direncanakan dan dikembangkan, yang disebut sebagai koridor infrastruktur. Salah satu analisis yang juga memberikan wanti-wanti (warning) adalah bahwa koridor-koridor infrastruktur seluruh dunia itu membutuhkan dana yang luar biasa besar yang bahkan tak dapat disediakan oleh gabungan lembaga keuangan manapun, dan mulai mengancam lembaga-lembaga asuransi dana pensiun. Ini artinya ada ancaman yang serius bagi para pekerja di seluruh dunia karena tabungan-tabungan pensiun yang diangsurnya dengan kerja keras dan kesulitan itu terancam untuk diekstraksi dan sekali lagi hanya menguntungkan segelintir orang kaya, yang semakin kaya. 

Bab 6 secara khusus menguraikan tantangan konkrit yang dihadapi oleh gerakan sosial untuk memberikan respon strategis terhadap rekonfigurasi infrastruktur semacam ini. Upaya menghadapi lintasan pendanaan infrastruktur kontemporer beserta ketimpangan dan ketidakadilan yang ditimbulkannya, akan lebih membuahkan hasil apabila merupakan bagian dari upaya yang lebih luas untuk membangun dan memperkuat perlawanan yang berfokus kepada kepentingan bersama dalam menghadapi proses akumulasi. Telah terjadi pelemahan terhadap gerakan sosial tradisional yang berupaya mendorong perubahan sosial secara lintas sektoral, sehingga terpecah-pecah dalam isu sektoral tunggal yang dikerjakan oleh organisasi-organisasi non pemerintah, yang banyak di antaranya telah menjadi waralaba semi-korporat karena hubungannya dengan basis politiknya, terutama didorong oleh penggalangan dana. Bagian ini tampaknya perlu menjadi bahan refleksi lebih lanjut bagi lembaga-lembaga non pemerintah agar respon yang diambil merupakan respon yang jauh lebih tepat dan strategis, yakni sungguh-sungguh membidik kepada akar perlawanan dan akar perubahan jangka panjang. 

Konstruksi Pengetahuan yang Menyembunyikan Kepentingan

Terkait dengan kekerasan aliran keuntungan yang terikat kontrak, penulis buku ini memberikan kutipan yang menarik (hlm.32-33). Salah satu bagian kutipan yang pantas diperhatikan adalah ini:

"Ketika keuangan bergeser untuk mengambil untung dari bidang perawatan sosial yang sebelumnya sebagian besar merupakan kewenangan keluarga dan masyarakat, cara orang memandang satu sama lain dan diri mereka sendiri juga ikut berubah. Hasil kajian oleh para ekademisi seperti Paula Hyde dari Durham University telah mendokumentasikan bagaimana, untuk mengubah orang lanjut usia menjadi sarana aliran pendapatan jangka panjang, sikap masyarakat terhadap orang lanjut usia harus dibentuk dan para lansia harus mulai mendefinisikan diri mereka sendiri bukan berdasarkan kehidupan mereka melainkan berdasarkan kesehatan mereka yang buruk. Jika mereka harus tinggal di panti jompo, mereka harus dicerabut dari kehidupann mereka sebelumnya dan rasa kebebasan mereka terus-menerus dihancurkan mellalui praktik-praktik yang dilembagakan."

Kutipan ini memberikan insight kepada kita bahwa konstruksi pengetahuan tentang lanjut usia itu juga mengandung kepen-tingan yang oleh penulis buku ini bahkan disebut sebagai sebuah kekerasan. Barangkali ini boleh disebut sebagai kekerasan kognitif. Pernyataan paling krusial dalam kutipan itu adalah ba-gaimana mengarahkan agar orang-orang yang lanjut usia itu mendefinisikan diri mereka sendiri bukan berdasarkan kehidupan mereka, melainkan berdasarkan kesehatan mereka yang buruk. Dengan demikian, mereka akan merasa membutuhkan layanan kesehatan dan layanan sosial yang termasuk dalam layanan publik, yang seluruh infrastrukturnya itu dikerjakan dalam skema public-private partnership, yang secara gamblang oleh penulis disebut sebagai mesin ekstraksi keuangan, yakni mesin yang secara stabil menghasilkan aliran keuntungan melalui jaminan kontrak jangka panjang. 

Oleh karena itu, model-model pendidikan kritis dan pengenalan terhadap wacana-wacana sosial kritis, melalui pengenalan metode critical discourse analysis (analisis wacana kritis) dan perangkat keilmuan lainnya yang mendukung sikap kritis terhadap proses konstruksi bahasa dan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari, menjadi sesuatu yang penting dan sangat dibutuhkan. Ini merupakan tantangan baik bagi kaum pergerakan sosial maupun kaum akademisi di berbagai perguruan tinggi. Peringatan para analis critical discourse analysis bahwa bahasa (dan pengetahuan) itu tidak netral karena di dalamnya selalu tersembunyi ideologi atau kepentingan, sangat pentas untuk diperhatikan. 

Konteks Indonesia

Khusus tentang koridor infrastruktur dalam konteks Indonesia, paparannya secara sangat singkat dapat ditemukan di dalam halaman 96-97. Kutipan tentang itu adalah sebagai berikut:

Di Indonesia, secara ambisius enam koridor direncanakan akan selesai dalam 15 tahun, yakni Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia senilai $1 triliun, yang dikenal sebagai MP3EI, tetapi kemungkinan akan diganti namanya (meskipun tidak berubah secara substansial) yang merupakan bagian yang ditinjau ulang menyusul adanya protes besar oleh gerakan sosial (AwasMIFEE 2015; Republik Indonesia 2011; Departemen Luar Negeri AS 2013; Assegaf dan Wiriasmoko 2013). Lebih dari 1.000 proyek infrastruktur dan logistik direncanakan, termasuk jalan raya, rel kereta api (khususnya untuk meng-angkut batu bara), bandara dan pelabuhan, dengan tujuan 'meningkatkan arus barang, jasa dan informasi, mengurangi biaya logistik dan mengurangi inefisiensi biaya' (Bappenas 2011 ). Masing-masing dari enam koridor interkoneksi dipusatkan pada pengembangan industri utama atau sumber daya alam (terutama batubara dan minyak sawit) melalui pusat-pusat manufaktur terkelompok dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) (lihat Bagan 5.3). Koridor Jawa, misalnya, telah diberi tugas sebagai ‘Penggerak Penyediaan Industri dan Jasa Nasional’; koridor Kalimantan yang menjadi ‘Pusat Produksi dan Pengolahan Pertambangan dan Cadangan Energi Nasional’; dan koridor Sumatera telah ditetapkan sebagai ‘Pusat Produksi dan Pengolahan Sumber Daya Alam dan Cadangan Energi Bangsa’ (Bappenas 2011). Mengomentari dampak di lapangan, yang mencakup perampasan tanah besar-besaran karena perusahaan berusaha memperluas produksi minyak sawit, pertambangan batu bara, dan industri ekstraktif lainnya, aktivis Indonesia Hendro Sangkoyo secara terus terang mengatakan: ‘Ini adalah perang kelas yang brutal di luar sana’ (Sangkoyo 2015a). Sedang dilakukan juga pe-rencanaan tentang koridor laut untuk menghubungkan pulau-pulau di kepulauan Indonesia, sebuah program yang sedang dipromosikan oleh Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) sebagai bagian dari 'sistem jalan raya laut' yang lebih luas di seluruh Asia Tenggara yang direncanakan di bawah 'Rencana Utama Konektivitas ASEAN' (ASEAN 2010; Shekhar dan Liow 2014). Militerisa-si jalur laut yang diusulkan ini dan pengucilan nelayan lokal sudah diantisipasi.

Menghadapi tantangan itu, dibutuhkan kajian lebih serius dan mendalam dari kaum pergerakan sosial dan akademisi agar dapat menemukan wajah aseli dari seluruh proyek itu, dan mengidentifikasi siapa yang benar-benar diuntungkan dan siapa yang benar-benar menanggung dampak buruknya. Sikap kritis terhadap konstruksi wacana atau pengetahuan yang menyertai-nya perlu mendapatkan perhatian dan dijalankan.

Semoga buku kecil ini membantu semua elemen gerakan sosial di Indonesia untuk lebih detail membaca fenomena pem-bangunan infrastruktur yang sedang digalakkan. Seluruhnya memang dikonstruksikan dengan wacana tentang "demi mening-katkan layanan publik", namun sangat dibutuhkan analisis lebih detail dan kritis tentang siapakah yang benar-benar diuntungkan karena penulis buku ini, berdasarkan kajian panjang di berbagai belahan dunia, sudah secara lantang memberikan peringatan bahwa infrastruktur adalah kendaraan yang super tangguh bagi proses akumulasi (hlm.34), yang dalam judul buku ini dirumuskan sebagai perampokan atau penjarahan yang stabil dan dijamin oleh kontrak legal dalam jangka panjang. Itulah sebabnya ia disebut sebagai penjarahan terselubung. ***


Indro Suprobo, Penerjemah Buku