Wednesday, June 18, 2008

Russell : Pandangan Visioner tentang Agama Emansipatoris

Oleh Indro Suprobo

Buku Bertuhan Tanpa Agama yang diterjemahkan dari kumpulan tulisan Russell tentang agama, memang berisi banyak kritik sangat pedas terhadap agama-agama, terutama terhadap kekristenan yang menjadi konteks jamannya. Secara lebih tegas, sebenarnya substansi dari tulisan-tulisan dia tentang agama lebih cocok diterjemahkan dengan Beragama tanpa Tuhan karena seluruh pandangan hidupnya bercorak agnostik (menunda keyakinan akan keberadaan Tuhan). Namun judul tersebut tampaknya kurang cocok dengan konteks masyarakat Indonesia yang cenderung memiliki kelekatan sangat dalam terhadap Tuhan dan agama-agama.

Meskipun kritiknya terhadap agama-agama tersebut sangat pedas, tidaklah dapat ditarik kesimpulan dari sana bahwa Russell adalah orang yang anti agama secara keseluruhan. Justru sebaliknya, ia merupakan orang yang sebenarnya sangat memperhatikan agama, memiliki keprihatinan terhadapnya, dan memiliki harapan serta dorongan yang kuat terhadap berfungsinya agama-agama bagi kehidupan manusia dan kemanusiaan. Kalau dibandingkan dengan kisah-kisah dalam kitab suci agama kristen, terutama kisah-kisah dalam kitab Perjanjian Lama, Russell dapat ditempatkan dalam fungsi para nabi yang banyak melakukan kritik terhadap praktek-praktek keagamaan pada masa itu (Yesaya, Yeremia, Yehezkiel dsb) namun dalam konteks yang sudah sangat berbeda. Seluruh kritik Russell atas agama-agama musti ditempatkan dalam kerangka dirinya sebagai orang yang memiliki keprihatinan besar terhadap kehidupan manusia, dalam kerangka visi kemanusiaannya. Dalam autobiography-nya ia menulis demikian:”Tiga keprihatinan mendasar, yang sederhana namun teramat kuat mempengaruhi hidup saya adalah kerinduan mendalam akan cinta, pencarian pengetahuan, dan kesedihan mendalam atas penderitaan umat manusia. Tiga keprihatinan ini, seumpama angin, yang menerbangkan saya ke-sana ke-mari, dalam arah yang tak terduga, melintasi lautan penderitaan yang dalam, dan mencapai puncak-puncak keputusasaan”. Oleh karena itu, banyak kalangan menempatkan Russell sebagai manusia yang sangat humanis. Bahkan salah satu edisi Jurnal Bertrand Russell Society (Nov 2005-Feb 2006) membahas secara khusus tentang humanisme Russell ini, yakni apakah Russell ini dapat disebut sebagai tokoh humanisme sekular ataukah cukup disebut tokoh humanisme saja tanpa perlu embel-embel sekular. Bahkan beberapa kalangan juga menjuluki dia sebagai manusia religius meskipun tanpa keterikatan terhadap agama formal dan kepercayaan kepada Tuhan. Religiositasnya didasarkan semata-mata pada nilai-nilai kemanusiaan universal seperti cinta, keutuhan, persaudaraan, perdamaian, solidaritas terhadap mereka yang menderita dsb.

Landasan Kritik
Kritik Russell terhadap agama-agama ini didasarkan pada dua hal utama yakni pertama, kecenderungan besar agama-agama untuk lebih mengedepankan dogma yang seringkali menjadi penghalang bagi pertumbuhan akal budi, dan kedua, kecenderungan praksis sosial agama yang lebih banyak menimbulkan pertentangan, perpecahan, perang dan penderitaan manusia sebagai akibat dari upaya mempertahankan dogma beserta klaim-klaim akan satu-satunya kebenaran yang mengungguli serta meniadakan kebenaran yang lain. Dasar kedua ini oleh Russell sering disebut sebagai intoleransi agama. Ekspresi sosial yang buram dari agama-agama inilah yang melahirkan kritik dan keprihatinannya terhadap agama. Dalam artikel Apakah Agama memberikan sumbangan berharga bagi Peradaban, Russell mengatakan bahwa agama merupakan penyakit yang dilahirkan oleh rasa takut dan merupakan sumber penderitaan bagi manusia. Hanya ada dua sumbangan kecil yang diberikan oleh agama bagi peradaban, yakni membantu membuat kalender dan membantu para pendeta mesir untuk meramalkan waktu terjadinya gerhana. “Dan saya tidak tahu manfaat lainnya”, begitu kata Russell. Rumusan-rumusan ini kiranya berasal dari kekecewaan yang besar terhadap ekspresi agama-agama dalam kehidupan manusia.

Sangat bisa dipahami bahwa sebagai seorang filsuf yang sangat rasional, Russell tidak dapat menerima klaim-klaim dogmatik agama yang menurutnya tidak dapat diterima oleh akal, apalagi ditambah dengan ekspresi-ekspresi yang intoleran dan menimbulkan banyak penderitaan bagi umat manusia.

Penghargaan terhadap agama etis dan emansipatoris
Harapan dan visi Russell tentang agama-agama di dunia dilandasi oleh penghargaannya terhadap agama-agama lokal yang bersifat etis dan emansipatoris, yang mampu memberikan pedoman bagi tingkah laku sehari-hari manusia yang penuh damai, toleran, bekerjasama, anti perang, dan mengedepankan pertumbuhan pribadi. Yang paling jelas, penghargaan terhadap agama-agama lokal ini ditujukan kepada konfusianisme, taoisme dan buddhisme dalam yang berkembang dalam masyarakat China. Ia sangat menghargai bagaimana agama-agama ini mampu membuat masyarakat China dapat secara santai memeluk ketiga agama itu secara bersama-sama sekaligus dan hidup dalam harmoni, tanpa harus terjadi pertentangan dan pertikaian di antara mereka. Konfusianisme, taoisme dan buddhisme ini cenderung menekankan etika daripada dogma. Sikap yang toleran ini sangat berbeda dengan agama yang berkembangt di barat, di mana dalam menekankan dogma dan keyakinan yang benar, telah menyebabkan banyak penderitaan yang tidak perlu. Tidak mengherankan apabila tanah China disebut sebagai “Tanah bagi Tiga Jalan” yakni Jalan Konfusianisme yang menekankan keteraturan dan hormat, Jalan Taoisme yang menyediakan pemahaman mistik atas dunia, dan Buddhisme yang menawarkan keselamatan melalui belas kasih dan penghormatan. Dalam perkembangannya, ketiganya telah bercampur satu sama lain, dan bercampur dengan agama-agama rakyat yang jauh lebih tua, yang berpusat pada rumah dan keluarga. Fenomena agama-agama masyarakat China ini sangat menarik bagi Russell dan masuk akal baginya. Dalam konteks ini, agama-agama yang telah melahirkan penderitaan manusia : perang, pertikaian, pertentangan, saling jegal, apalagi kematian akibat saling bunuh, adalah agama-agama yang kehilangan akal.

Bagi Russell, agama yang bersifat etis dan emansipatoris adalah agama yang mampu membuat seseorang merasakan secara mendalam problem nasib manusia, keinginan untuk menghapuskan penderitaan umat manusia, dan harapan bahwa masa depan akan mewujudkan kemungkinan terbaik bagi spesies kita. Dan orang-orang berada dalam sifat-sifat demikian ini oleh Russell disebut sebagai orang-orang religius.

Memanusiawikan wajah agama
Dalam konteks Indonesia, kritik dan saran Russell terhadap agama-agama ini tampaknya dapat dijadikan salah satu referensi untuk belajar merefleksikan dan membangun wajah agama-agama yang lebih manusiawi, lebih santun, lebih menghargai hak hidup manusia-manusia yang lain walaupun memiliki banyak perbedaan, tanpa harus menyingkir-nyingkirkannya dengan alasan bahwa yang lain itu tidak lebih benar daripada yang dianutnya, serta lebih memusatkan perhatian kepada upaya-upaya untuk menjalin kerjasama menghadapi problem-problem sosial yang konkret.

Memang dunia akan menjadi lebih menarik ketika kita menyaksikan banyak anak muda dari beragam latar belakang bahu membahu merumuskan cara atau upaya bagaimana dapat membantu saudara-saudari yang menjadi korban lumpur lapindo dan membela hak-hak mereka di hadapan kekuatan besar korporasi, menyaksikan bagaimana begitu banyak orang mencari upaya alternatif untuk menyediakan model pendidikan bermutu yang edukatif, eksploratif dan berbiaya murah di tengah-tengah maraknya kapitalisasi pendidikan, atau menyaksikan berbagai kelompok masyarakat yang berjuang keras untuk membangun pola hidup pertanian alternatif dan organik yang ramah terhadap lingkungan hidup, yang mengurangi ongkos produksi pertanian karena petani tak perlu membeli pupuk namun bisa membuatnya sendiri, tak perlu membeli traktor karena sudah memiliki sapi yang berfungsi juga sebagai tabungan dsb. Orang-orang semacam ini justru merupakan orang-orang yang beragama secara manusiawi dan santun. Dengan demikian mereka tergolong sebagai manusia religius sebagaimana dimaksudkan oleh Russell.

Dalam konteks lebih sempit lagi, Jogjakarta misalnya, di mana semakin banyak tempat telah ditanami dengan mall dan ruang-ruang belanja modern, akan menjadi menarik ketika melihat orang-orang beragama menjalankan ritual religius dalam bentuk-bentuk alternatif seperti mengendalikan keinginan untuk berbelanja terus-menerus (belanja sampai mati), apalagi belanja segala sesuatu yang secara fungsional sebenarnya dapat diabaikan. Dalam etika buddhisme, mengendalikan keinginan disebut sebagai detachment atau dalam latihan rohani St. Ignatius de loyola (pendiri serikat jesus) diterjemahkan dengan melepaskan diri dari rasa lekat tak teratur. Praktik seperti ini disebut sebagai bentuk dari religiositas atau sikap religius karena dengan demikian orang dapat belajar dalam praktis tentang bagaimana menjadi solider terhadap mereka yang berkekurangan, yang terpinggirkan dalam sistem sosial-ekonomi yang berlaku sehingga untuk membeli kebutuhan dasar yang menopang kelayakan hidup saja sudah sangat susah. Apalagi jika sebagian dari kesanggupan kita untuk membeli itu diorientasikan kepada praksis berbagi dengan mereka yang berjuang untuk mencapai standar kelayakan hidup. Konkretnya, misalnya kalau mau membeli sayur mayur dan brambang bawang, buah-buahan, beras, lombok, daging dan sebagainya, pilihannya profetisnya adalah membeli di pasar tradisional di mana keuntungan langsung dapat dinikmati oleh mereka yang berada dalam posisi “cenderung tidak diuntungkan”. Dengan demikian, praksis religiositas yang dijalankan lalu bersifat emansipatoris (memiliki keprihatinan dan upaya saling menolong bersama sesama yang cenderung berkesusahan).***

Disampaikan dalam bedah buku "Bertuhan Tanpa Agama" di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Jogjakarta

Konsistensi Berharga Mahal, Belajar dari Fidel Castro

Oleh Indro Suprobo

Film Sicko garapan Michael Moore yang dilaunching pada tahun 2007, secara garis besar menunjukkan perbedaan mencolok antara sistem kesehatan Amerika yang dikelola oleh sektor swasta yang berorientasi profit dan sistem kesehatan di Kanada, Inggris, Perancis dan Kuba yang dikelola secara sosialis. Sektor swasta yang mendapatkan keuntungan dalam pengelolaan sistem kesehatan di Amerika terutama adalah industri farmasi dan perusahaan jasa asuransi kesehatan.

Melalui wawancara langsung dengan para korban perusahaan asuransi yang klaim biaya kesehatannya ditolak dan dengan para mantan karyawan perusahaan asuransi yang menceritakan bagaimana para dokter perusahaan menerima bonus setelah memberikan rekomendasi tentang penolakan klaim asuransi berdasarkan pertimbangan medis, film ini menunjukkan secara jelas bahwa perusahaan-perusahaan asuransi kesehatan yang berjaringan dengan para dokter sama sekali tidak memiliki komitmen terhadap layanan kesehatan masyarakat dan cenderung berorientasi keuntungan. Bagaimanapun, akumulasi keuntungan tetap lebih utama daripada komitmen terhadap kesehatan warga masyarakat.

Situasinya sangat berbeda dengan di Inggris di mana warga masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan dengan biaya murah bahkan di setiap Rumah Sakit terdapat loket kasir yang fungsinya bukan untuk menerima pembayaran biaya kesehatan melainkan untuk melayani penggantian biaya transport bagi para pasien berpenghasilan rendah. Sistem Layanan Kesehatan Nasional di Inggris memungkinkan hal itu. Para pasien di bawah usia 16 tahun dan di atas usia 60 tahun mendapatkan pelayanan gratis, serta ada banyak kasus di mana subsidi diberikan kepada banyak orang. Terlepas dari seluruh biaya kesehatan yang ditanggung oleh Layanan Kesehatan Nasional, masyarakat hanya membayar ganti ongkos resep sebesar kurang lebih 6 poundsterling (kurang lebih Rp. 130.000). Situasi yang kurang lebih sama ditemukan juga di Perancis di mana kaum ibu yang baru saja melahirkan mendapatkan pelayanan pendukung berupa jasa cuci pakaian, kebersihan dan masakan gratis. Lebih hebat lagi, situasi layanan kesehatan yang ditemukan di Kuba, seluruhnya gratis dan didukung oleh sistem kesehatan masyarakat yang unggul.

Mengapa Kuba?
Fokus pembelajaran dalam diskusi film ini diarahkan ke Kuba karena tiga alasan utama. Alasan pertama, sistem pelayanan kesehatan Kuba merupakan teladan bagi dunia sebagaimana diakui oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1989. Sistem ini menjadi teladan karena memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan semua negara yang lain. Alasan kedua, Kuba dalam pemerintahan Fidel Castro memiliki kaitan erat dengan Indonesia terutama Soekarno, di mana Castro mengakui bahwa ia mengadopsi ajaran Soekarno untuk diterapkan secara konsisten di Kuba. Alasan ketiga, komitmen alternatif Kuba ini bukanlah pilihan yang mudah, melainkan berharga mahal, namun tetap dipertahankan secara konsisten.



Pelayanan Kesehatan di Kuba
Layanan kesehatan merupakan salah satu perwujudan janji dari revolusi Kuba di mana seluruh warga masyarakat memiliki kesempatan untuk mendapatkan layanan kesehatan gratis sebagai hak mereka. Sistem kesehatan Kuba dijalankan dalam beberapa tingkat, dari tingkat consultorios (klinik kesehatan kecil untuk keluarga-keluarga), poliklinik, rumah sakit, sampai pada tingkat lembaga-lembaga penelitian kesehatan. Dokter-dokter keluarga dan layanan medis lainnya senantiasa tersedia di seluruh negeri. Para perawat yang bertugas di consultorio itu berkeliling ke desa-desa setiap 15 hari sekali (sebulan 2 kali) untuk mengunjungi keluarga-keluarga petani di daerah terpencil, untuk mengajari mereka tentang kebersihan dan kesehatan, memeriksa kesehatan anak-anak balita dan mencegah penyakit-penyakit yang mungkin timbul bagi anak-anak. Tidaklah mengherankan apabila UNICEF melaporkan bahwa tingkat kematian bayi di Kuba mengalami penurunan drastis dari 60 kematian per 1000 pada tahun 1958, menjadi 7,9 per 1000 pada tahun 1996. Tingkat harapan hidup di Kuba mencapai usia 75 tahun (hampir setingkat dengan prediksi usia hidup manusia dalam kitab suci Kristen “80 tahun jika kuat”), jauh dari tingkat harapan hidup di dunia ketiga yang lain, yakni 57 tahun.[1] (Coba bandingkan, tingkat harapan hidup di negara sosialis-komunis jauh lebih tinggi daripada harapan hidup di negara-negara yang mengaku beragama namun melahirkan pengungsi)

Dalam sistem kesehatan yang demikian ini dan didukung oleh sistem pendidikan yang gratis dan bermutu, pada tahun 2001 Kuba telah menghasilkan 67.000 orang dokter dan di antaranya bekerja sebagai tenaga ahli di negara-negara kawasan Amerika Latin, Asia dan Afrika. Kuba juga merupakan negara penghasil obat-obatan yang diakui oleh PBB, salah satunya, Kuba adalah produsen vaksin hepatitis B terbesar di dunia. Kuba sudah mengembangkan vaksin pertama penyakit Meningitis B (radang selaput) yang tersedia di negara-negara dunia ketiga. Para pakar kesehatan menyatakan bahwa Kuba telah memusatkan diri pada pencegahan penyakit, selain pada sistem perawatan kesehatan gratis yang memungkinkan warga segera menemui dokter dan menangani penyakitnya sebelum berkembang dan membutuhkan banyak biaya. Tak mengherankan apabila Dr. David Hickey, seorang ahli bedah cangkok di Beaumont Hospital di Dublin, menyatakan bahwa dari sisi obat pencegah penyakit, Kuba merupakan negara paling maju di dunia dalam bidang perawatan kesehatan primer. Bahkan sebagai profesor kehormatan bedah di Havana University, ia tidak perlu lagi mengajari para dokter Kuba tentang pencangkokan jantung, ginjal, pankreas dan hati.[2]

Layanan kesehatan Kuba dapat mencapai keunggulan semacam ini karena anggaran belanja negara untuk peringkat pertama dialokasikan kepada tunjangan sosial (termasuk kesehatan), peringkat kedua untuk alokasi belanja pendidikan. Alokasi anggaran belanja negara ini merupakan cerminan dari komitmen pemerintah Kuba terhadap rakyatnya. Mengenai gaji dokter di Kuba, saya belum mendapatkan data yang meyakinkan. Memang ada salah satu sumber yang menyatakan bahwa gaji dokter di Kuba cukup kecil sehingga banyak dari antara mereka yang ditugaskan ke luar negeri, terpaksa desersi tak mau pulang ke Kuba. Menurut sumber yang lain lagi, tenaga kerja Kuba yang dikirimkan ke luar negeri, gajinya dipotong 50% untuk diserahkan kepada pemerintah Kuba dan dimanfaatkan untuk alokasi belanja negara dengan prioritas seperti disebut sebelumnya.

Seluruh lembaga kesehatan di Kuba ditangani oleh pemerintah. Tak satupun lembaga kesehatan di Kuba yang diserahkan kepada pihak swasta.

Adopsi Ajaran Soekarno
Pemerintahan Fidel Castro dapat memberikan layanan kesehatan dan pendidikan gratis kepada rakyatnya karena sejak semula ia memiliki pendirian yang kukuh tentang kemandirian bangsa. Tentang hal ini, sebenarnya Castro belajar dari Soekarno dan menyatakan dirinya merupakan murid dari Soekarno ketika mereka bertemu sebagai tokoh-tokoh gerakan Non Blok pada masa Adam Malik menjadi Menteri Luar Negeri[3]. Ajaran Soekarno yang diadopsi oleh Castro dalam konteks Kuba adalah ajaran Trisakti dan Resopim. Trisakti meliputi kedaulan dalam politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Sementara Resopim itu merupakan singkatan akronim dari Revolusi, Sosialisme dan Pimpinan Nasional.

Yang menarik adalah bahwa Fidel Castro mengadopsi dan menerapkan prinsip Soekarno itu secara konsisten dan tegar dalam seluruh sistem pemerintahannya. Konsistensi yang paling kentara adalah menolak segala bentuk imperialisme dan kapitalisme yang merupakan pendiktean oleh Barat tentang ekonomi, politik dan budaya. Castro sangat jelas menolak kehadiran dan campur tangan IMF dalam negaranya, bahkan menyerukan agar lembaga pendanaan kapitalis internasional yang menindas negara-negara berkembang itu semestinya dibubarkan dan dihentikan perannya. Ini merupakan wujud pelaksanaan Trisakti yang konsisten oleh Castro dalam konteks Kuba, yakni kemandirian dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Kekuatan ekonomi sendiri merupakan landasan bagi pemerintah Kuba untuk membangun negara dan rakyatnya. Tidak ada hutang luar negeri yang diterima sebagai landasan, sehingga tak ada kewajiban cicilan bunga hutang yang tinggi yang harus dibayar oleh pemerintah Kuba. Seluruh pendapatan negara dialokasikan pertama-tama untuk belanja tunjangan sosial, dan kedua untuk belanja pendidikan. Kepentingan lain berada dalam urutan prioritas berikutnya. Karena berdikari dalam bidang ekonomi, Kuba telah mampu mempertahankan kedaulatan dalam bidang politik dan kedaulatan dalam kebudayaan nasionalnya.

Kemandirian Kuba juga tampak dalam prakarsa pemerintah mengatasi kelangkaan bahan pangan pasca pecahnya Uni Soviet dan akibat tekanan dari embargo ekonomi oleh Amerika Serikat. Kemandirian ini diwujudkan dalam pengembangan sistem pertanian organik, dengan membentuk serikat pertanian organik yang dikenal sebagai Grupo de Agricultura Organica (GAO). Serikat ini beranggotakan para petani, para manajer pertanian, para ahli lapangan, para peneliti, dan petugas pemerintah. Serikat ini menjalankan banyak program berupa lobi-lobi dengan pengambil kebijakan, kursus-kursus dan pelatihan pertanian organik, workshop, mengembangkan pusat studi dan dokumentasi, membuka lahan-lahan pertanian untuk praktek dan belajar (demplot), serta melakukan program pertukaran kunjungan antar petani di berbagai wilayah untuk saling belajar. Program-program yang dijalankan oleh Serikat Tani Organik ini telah memampukan masyarakat Kuba mengatasi krisis bahan pangan. Oleh karena itu, Serikat Tani Organik Kuba ini telah berhasil mendapatkan penghargaan Right Livelihood Award atau dikenal juga sebagai Alternative Nobel Prize, pada tahun 1999.[4] Prakarsa pertanian organik ini membuat Kuba mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap perusahaan-perusahaan pertanian dan mampu menjamin kelestarian hayati sebagai model alternatif kepribadian kebudayaan lokal dalam bidang pertanian.

Menghadapi Embargo
Sejak tahun 1960, Kuba telah menghadapi berbagai macam dan tahap embargo dari Amerika Serikat. Keseluruhan embargo yang diterapkan oleh amerika terhadap Kuba ini sebenarnya hanya memiliki satu tujuan, yakni menggulingkan pemerintah Castro agar diganti oleh figur lain yang lebih dapat diatur oleh Amerika, dengan berbagai alasan yang dibuat seperti demi tegaknya demokrasi di Kuba. Orientasi embargo ini adalah kepentingan amerika atas Kuba. Dampak embargo ini sangat terasa baru pada masa setelah runtuhnya Uni Sovyet dan diberlakukannya Torricelli Act (1992) serta Helms Burton Act (1996) yang keduanya secara garis besar memperketat embargo dengan memberikan sangsi kepada negara-negara dunia ketiga dan perusahaan-perusahaan yang bekerja sama dengan Kuba, serta melarang pengiriman bahan makanan dan obat-obatan ke Kuba.[5] Kuba mengalami krisis pangan dan obat-obatan yang hebat pada masa ini. Masyarakat mengalami kesulitan untuk mendapatkan kebutuhan pangan sehari-hari, pasokan dari desa ke kota semakin menipis karena minimnya bahan bakar untuk transportasi akibat berhentinya pasokan bahan bakar dari Uni Sovyet. Krisis ini tidak membuat Kuba bertekuk lutut dan menerima dominasi asing atas kehidupan negerinya. Sebaliknya, Kuba mengubah kebijakan internalnya dalam hal pangan, melakukan distribusi tanah negara kepada koperasi-koperasi petani, mengubah alokasi lahan untuk kebutuhan pangan, mendistribusikan lahan negara kepada mereka yang ingin menjadi petani, perubahan sistem penggajian bagi karyawan perusahaan pertanian negara dari time based menjadi result based, dan beragam kebijakan lain yang tetap mengutamakan kedaulatan.

Dalam menghadapi situasi krisis dan kesulitan yang besar itu, pemerintah Kuba tidak kehilangan komitmen terhadap rakyat dan cita-cita revolusinya. Kedaulatan politik, ekonomi dan kebudayaan tetap menjadi prinsip yang tak dapat ditawar. Yang dapat ditawar adalah kebijakan-kebijakan internal yang berada di bawah prinsip-prinsip fundamental itu tadi. Akibatnya, terdapat berbagai macam kreativitas, inovasi dan terobosan produktif yang tetap menghormati prinsip dasar mereka.

Kurangnya pasokan obat-obatan justru membuat Kuba mampu mengembangkan industri biologi molekulernya sendiri, kurangnya pasokan bahan pangan justru mendorong Kuba untuk mengembangkan produksi bahan pangan yang berdaulat. Kesulitan dan himpitan situasi justru dimanfaatkan untuk mempertegas komitmen.

Mengapa Kuba dapat melakukan hal itu ?
Kuba dapat melakukan semua hal itu karena beberapa sebab yang pantas dipertimbangkan. Penyebab yang pertama dan utama dapat kita temukan dalam pernyataan Fidel Castro sendiri ketika ia menyampaikan pidato pada Pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi Para Pemimpin Negara Selatan yang tergabung dalam kelompok 77 di Havana, 12 April 200. Castro menyatakan demikian,”Alasan mengapa Kuba berhasil menjalankan program-program pendidikannya, pelayanan kesehatannya, kebudayaannya, ilmu pengetahuannya, olah raganya, dan program-program lainnya, - yang tak seorangpun di dunia ini menyangsikannya, walaupun diblokade secara ekonomi dalam empat dekade, - dan dalam lima tahun terakhir ini, kami berhasil meningkatkan nilai mata uang kami terhadap dolar sebanyak tujuh kali, itu karena posisi terhormat kami sebagai bukan anggota IMF – terima kasih atas perlakuan tersebut”.[6]

Kedua, karena adanya solidaritas nyata dari pemerintah, kekompakan birokrasi dan keberanian untuk menolak dominasi asing. Jabatan yang tinggi dalam pemerintahan tidak membuat mereka lebih kaya daripada rakyat biasa. Kesamaan dengan mayoritas adalah nilai yang dijunjung tinggi sebagai ideologi negara. Ketiga, adanya warga negara yang berkualitas. Ini dijamin dan didukung oleh sistem pendidikan yang gratis dan merambah semua elemen masyarakat, termasuk pendidikan bagi para petani di desa terpencil. Keempat, adanya pusat-pusat riset yang berorientasi kepada prioritas kedaulatan rakyat dalam pendidikan, pangan maupun kesehatan.

Keempat alasan ini dilandasi oleh komitmen pemerintah sendiri untuk menjaga konsistensi mereka atas pilihan terhadap cita-cita revolusi. Komitmen untuk menjaga konsistensi ini berharga mahal karena menuntut banyak pengorbanan terutama dari pihak pemerintah sendiri dan menuai banyak kesulitan yang tak terbayangkan terutama akibat dari embargo bahan pangan dan obat-obatan. Namun pilihan pemerintah yang konsisten ini justru menuai penghargaan, penghormatan, loyalitas dan legitimasi dari rakyat yang bukannya membenci pemerintah akibat kesulitan itu, melainkan mengelu-elukannya sebagai pemimpin mereka. Inilah yang membuat seluruh aparatus pemerintah dan rakyat tertulari oleh komitmen yang semakin besar untuk mempertahankan kedaulatan mereka dan berproses maju dalam banyak kreativitas mengatasi kesulitan konkret mereka.

Mungkinkah Indonesia?
Apabila mau konsisten dengan prinsip-prinsip dasarnya sendiri, sebagaimana dicita-citakan oleh para pemimpin awal seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, dan banyak nama aktivis gerakan kemerdekaan awal, yakni memutus hubungan dengan imperialisme dan kapitalisme, terutama penghambaan kepada IMF dan bank dunia, barangkali Indonesia dapat berdiri sejajar dengan Kuba dalam bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, karena sumber alamnya jauh lebih kaya. Kondisi terakhir Indonesia berada dalam jeratan hutang eksternal yang sebenarnya sudah tak dapat dibayar dan dipungut kembali. Hutang yang diterima sudah terus-menerus digunakan untuk membayar hutang (to feed on itself), dalam lingkaran setan gali lubang tutup lubang, hutang digunakan untuk membayar cicilan bunga hutang. Satu-satunya pilihan yang dapat diambil oleh Indonesia adalah tidak perlu membayar hutang. Pendapatan negara dialokasikan untuk prioritas kebutuhan rakyat sebagaimana dilakukan oleh Fidel Castro. Penanaman modal asing dibatasi terutama untuk tiga sektor utama yakni pendidikan, kesehatan, dan pangan sebagaimana dilakukan oleh Kuba. Tanah-tanah negara yang menganggur, daripada dijual kepada pemodal besar yang pasti keuntungan paling besar hanya dinikmati oleh segelintir pemilik, lebih baik diserahkelolakan kepada rakyat sebagai sumber penghidupan (pertanian, pedagang kecil, pasar tradisional dsb).

Itulah kira-kira beberapa gagasan yang dapat dibagikan berkaitan dengan penyelenggaraan kesehatan di Kuba secara khusus, dan penyelenggaraan pendidikan serta kedaulatan pangan dalam konteks yang lebih luas.

Kutu Dukuh, 9 Mei 2008
Disampaikan dalam diskusi Film "Sicko" di Lembaga Studi Realino Jogjakarta bersama komunitas Resista Jogja

[1] Lih. Jewels in the Crown, Protecting the gain of the Revolution in healthcare and education, dalam New Internationalist, Issue 301/May 1998, http://www.newint.org/
[2] Lih. Kuba Unggul dalam Perawatan Kesehatan Masyarakat, dalam Antara News, 26 Juni 2007, http://www.antara.co.id/
[3] Dr. Haridadi Sudjono (Mantan Dubes RI untuk Kuba), Kuba, Castro dan Bung Karno, dalam http://www.seputarindonesia.com/
[4] Lih. Cuba Organic Farming Group Wins Alternative Nobel Prize, dalam http://www.purefood.org/
[5] Lih. Economic Embargo Timeline, dalam http://www.historyofcuba.com/, by JA. Sierra, dan Membangun Kedaulatan Pangan Berkelanjutan: Pengalaman Kuba, dalam http://www.lsppat.or.od/, oleh Any Sulistyowati
[6] Lih. Eko Prasetyo, Inilah Presiden Radikal, Resistbook 2006, hlm.88