Friday, October 07, 2011

Menghadapi Teror Melalui Pendekatan Kultural

Oleh Indro Suprobo

Berita terakhir yang mengusik rasa kemanusiaan kita adalah berita tentang bom bunuh diri di Gereja Bethel Indonesia Sepenuh, Solo, Jawa Tengah. Berita ini secara cepat langsung mendorong berbagai media massa untuk menyuguhkan beragam analisis dan informasi tentang jaringan terorisme di Indonesia, yang secara cepat pula menggeser hiruk pikuk media selama berbulan-bulan tentang jaringan terror jenis lain, yakni korupsi dengan tersangka utama sementara yang bernama Nazarudin.

Secara cepat pula, media menempatkan peristiwa tersebut sebagai terror terhadap kerukunan umat beragama di Indonesia, karena kebetulan [atau sengaja?] yang menjadi tempat kejadian peristiwa itu adalah sebuah bangunan Gereja di mana sebagian jemaatnya menjadi korban luka. Tak mengherankan apabila figure-figur pemimpin [atau pemuka] agama segera dimintai pendapat dan pandangannya tentang hal ini.

Meskipun barangkali memiliki kaitan dengan agama atau keyakinan, peristiwa bom bunuh diri ini sebenarnya bukan merupakan terror terhadap kerukunan antarumat beragama, melainkan lebih merupakan terror terhadap kehidupan masyarakat secara umum dan kemanusiaan secara lebih luas. Peristiwa bom bunuh diri adalah sebuah peristiwa yang mengekspresikan sebuah cara pandang tertentu tentang arti kemanusiaan dan sekaligus tentang arti keilahian, karena kemanusiaan dan keilahian seumpama dua sisi dari satu mata uang, sebagaimana pernah diungkapkan oleh Soekarno bahwa “Orang tidak dapat mengabdi kepada Toehan djika tidak mengabdi kepada sesama manoesia. Toehan bersemajam di goeboeknja si miskin”. Oleh karena itu, terror-teror semacam ini sebaiknya tidak secara sempit-sederhana ditempatkan sebagai tantangan agama-agama, melainkan lebih merupakan sebuah tantangan besar bagi kebudayaan manusia, di mana agama-agama adalah salah satu bagiannya.

Teror lahir dari kandungan Teror

Terror tak pernah terlahir dari rahim perdamaian. Ia senantiasa dilahirkan dari kandungan terror. Oleh karena itu terror merupakan sebuah mata rantai atau “circle”, yang untuk mengatasinya sangat dibutuhkan upaya memutus mata rantai atau “circle” tersebut. Dalam kerangka berpikir demikian, dapat dipahami bahwa para pelaku terror adalah manusia-manusia konkret yang pada mulanya mengalami dan menghadapi “terror” yang sama namun dengan bentuk dan tingkat atau kualitas yang beragam.

Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai macam terror. Beberapa pengalaman terror yang dapat diungkap sebagai contoh adalah pembunuhan para jenderal pada 30 September/1 Oktober 1965, pembantaian masyarakat yang mengikuti peristiwa tahun 1965 itu [dengan beragam analisis mainstream maupun alternative], peristiwa Tanjung Priok, Haur Koneng, Kerusuhan Situbondo, tragedi Ambon-Poso, tragedi Semanggi, penghilangan orang, penjarahan dan perkosaan masal, tragedi Sampit, kematian Munir dan lain-lain. Semua pelaku terror tersebut adalah manusia-manusia konkret yang di dalam dirinya mengalami terror dan harus mengambil pilihan tindakan demi mencapai kepentingan yang paling mungkin secara maksimal. Kesanggupan individu, kelompok kepentingan dan masyarakat untuk menghadapi terror tersebut secara damai baik secara individual maupun komunal-sosial merupakan penentu utama bagi upaya memutus mata rantai terror dan menciptakan perdamaian dalam keadilan. Hanya dari lubuk rahim perdamaianlah [inner peace] akan mengalir dan meluber upaya-upaya penciptaan perdamaian dalam keadilan. Pada gilirannya, menciptakan inner peace secara individual maupun komunal merupakan tantangan nyata yang membutuhkan kerja-kerja cerdas, tulus-ikhlas, dan tanpa mengenal lelah.

Dalam konteks terror yang lebih spesifik yang telah terjadi di tengah masyarakat akhir-akhir ini, terutama bentuk-bentuk terror yang menggunakan peledakan bom dalam berbagai modelnya, para pelakunya adalah mereka yang mengalami terror, baik terror minimal dalam pikiran maupun terror dalam aspek-aspek lain yang lebih luas seperti politik, ekonomi, social maupun kebudayaan. Terror tersebut dialami dalam wujud keterpinggiran,keterancaman, maupun kekalahan dalam aspek-aspek sebagaimana disebutkan sebelumnya.

Gerakan Perdamaian dan Keadilan

Dari beragam pengalaman yang ditemukan di dalam masyarakat, ada begitu banyak model gerakan untuk menciptakan perdamaian dan keadilan, yang memberikan sumbangan besar bagi pengurangan dan penghapusan terror, terutama terror yang dilakukan oleh unsure masyarakat sendiri [dibedakan dari terror yang dilakukan oleh unsure Negara].

·         Membongkar prasangka
Prasangka, baik yang bersifat individual maupun kolektif, merupakan salah satu bentuk terror dalam level pikiran. Ia merupakan mekanisme membangun gambaran tentang yang lain, yang berada di luar dirinya, sebagai subjek yang buruk dan mengancam eksistensi dirinya. Pada tingkat paling rendah, prasangka ini hanya akan membangun halangan-halangan bagi hubungan antar individu atau antar kelompok. Namun pada tingkat yang lebih tinggi, ia akan mendorong tindakan-tindakan diskriminatif bahkan sampai pada tingkat mencederai kemanusiaan seperti pembunuhan dalam beragam bentuknya.

Prasangka, salah satunya dipicu oleh pengalaman buruk dalam sebuah hubungan social. Salah satu hubungan social yang paling buruk adalah hubungan yang tidak adil dan diskriminatif. Sejak munculnya Orde Baru, relasi prasangka antar-masyarakat, terutama relasi antar kelompok keagamaan, mengalami peningkatan yang cukup besar. Daniel Dhakidae menyatakan bahwa Orde Baru adalah orde yang paling banyak membangun tempat ibadah namun merupakan orde yang paling banyak menghancurkan tempat ibadah.[1]

Upaya-upaya cerdas, kreatif dan inovatif untuk membongkar prasangka merupakan gerakan nyata mengurangi dan mencegah terror dalam level pikiran, menyusun gambaran yang baik dan konstruktif tentang yang lain, menumbuhkan perdamaian sejak dalam pikiran dan mendorongnya untuk diwujudkan dalam tindakan praktis liberatif.

·         Menganalisis kebijakan
Kebijakan-kebijakan yang diproduksi oleh Pemerintah atau Negara, baik dalam bentuk Undang-undang, Peraturan, Surat Keputusan dan sebagainya, selain dapat memicu prasangka juga memiliki kerentanan terhadap intervensi prasangka dalam proses perumusannya. Dalam buku yang sama, Daniel Dhakidae menilai bahwa terutama berkaitan dengan agama-agama, Orde Baru telah melahirkan kebijakan yang orientasinya bukan untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak kehidupan, melainkan cenderung bertujuan untuk melakukan control terhadapnya atas dasar kekawatiran terhadap daya otoritas agama-agama yang mampu menjadi agen gerakan social politik yang besar, yang dapat mengancam otoritas penguasa. Hal ini tampak dalam produksi lembaga-lembaga control dari tingkat pusat sampai pada tingkat desa, bahkan dengan pendekatan yang sangat militeristik.

Dalam kenyataan relasi social masyarakat, dapat dilihat fenomena bahwa Surat-surat Keputusan tertentu [SKB tentang rumah ibadah] dan Undang-undang tertentu [UU Sisdiknas] cenderung tidak menyelesaikan persoalan relasi antar kelompok, melainkan terus-menerus menuai persoalan baru. Kedua produk kebijakan tersebut merupakan contoh produk yang diintervensi oleh prasangka sekaligus melahirkan prasangka lanjutan di tengah masyarakat. Dapat dikatakan bahwa kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang tidak produktif bagi pengembangan kerukunan dan perlu dievaluasi, dirumuskan ulang melalui mekanisme dialog yang lebih jujur dan terbuka sehingga menghasilkan rumusan yang lebih adil dan memberikan perlindungan kepada setiap warga, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi yang melandasinya.

Analisis bersama terhadap produk-produk kebijakan semacam ini, setelah didahului dan dilandasi oleh proses membongkar prasangka, akan merupakan upaya nyata untuk merumuskan tata hidup bersama yang lebih damai dan adil bagi segenap masyarakat.

·         Memahami dan menerima perbedaan
Masyarakat Indonesia sudah sejak awal merupakan masyarakat yang sangat majemuk. Ia memiliki banyak sekali perbedaan dan keragaman. Perbedaan dan keragaman ini dalam dirinya sendiri merupakan sunatullah, anugerah dari Allah, yang pantas diterima penuh rasa syukur dan dikelola secara bijaksana demi pertumbuhan kemanusiaan dalam suasana damai dan adil dalam kekayaan aspeknya [ekonomi, politik, social, budaya].

Perbedaan yang ada dan bersifat sunatullah ini tidak dapat disamakan hanya demi satu kepentingan tertentu. Satu-satunya sikap paling realistis adalah menerimanya dan memahaminya semaksimal mungkin agar dapat mengelolanya dalam sebesar-besarnya kebaikan. Oleh karena itu, upaya memahami dan menerima perbedaan merupakan hal yang sangat penting dan mendesak untuk dilakukan.

Berbagai macam gerakan, forum, komunitas, dan kelompok-kelompok telah lahir baik berdasarkan inisiatif masyarakat akar rumput maupun atas inisiatif pemerintah. Kehadiran beragam gerakan dan forum ini sangat membantu dan apabila dikelola sesuai azas, tentu akan melahirkan hasil-hasil yang produktif bagi penciptaan perdamaian dan keadilan, serta mengurangi terror. Kritik penting yang musti diajukan kepada beragam gerakan dan forum ini, terutama yang bekaitan dengan relasi antar kelompok keagamaan, adalah perlunya menghilangkan ketakutan dan perasaan tabu untuk memasuki pemahaman tentang perbedaan yang paling krusial sekalipun. Telah sering didengar dalam beragam kesempatan, adanya semacam anjuran agar forum-forum yang demikian itu tidak membicarakan perbedaan-perbedaan yang ada melainkan lebih banyak menemukan titik temu dan persamaan dalam upaya menghadirkan gagasan dan tindakan bersama yang baik dan berguna di tengah masyarakat. Perbincangan tentang perbedaan dicurigai akan cenderung melahirkan pertentangan dan konflik. Anjuran dan anggapan semacam ini, dalam konteks membangun perdamaian yang jujur dan ikhlas serta dewasa, merupakan anjuran dan anggapan yang tidak tepat dan kurang memberi landasan yang kuat, serta tidak menyentuh akar persoalan yang sudah akut.

Pemahaman dan penerimaan terhadap perbedaan tidak dapat dicapai selain dengan cara membincangkannya secara semaksimal mungkin dalam kedewasaan berpikir, berasa, dan berdialog. Sangatlah dibutuhkan pendekatan interdisipliner dalam usaha ini. Telah terbukti dari pengalaman bahwa pendekatan interdisipliner dalam pemahaman terhadap perbedaan-perbedaan sangat membantu dalam membangun landasan yang kuat bagi penciptaan relasi antar masyarakat yang damai dan adil. Diperlukan upaya “melintas nalar”, “melintas rasa”, “melintas suasana”, dan melintas “latar belakang” dalam gerakan ini. Tentu saja, proses ini membutuhkan waktu yang panjang dan intensitas relasi yang konsisten. Pengalaman kami menunjukkan bahwa pertemuan mingguan yang intensif dengan beragam cara, membutuhkan waktu sekitar 4 tahun untuk sampai pada capaian hasil yang mencengangkan meskipun tidak direncanakan sejak awal. Ini merupakan pengalaman yang bersifat eksploratif. Berbagai macam unsure perbedaan yang digunakan sebagai media belajar untuk memahami dan menyelami perbedaan, terbukti menyumbang perubahan yang cukup berarti. Penggunaan media sastra dan seni [puisi, narasi, kidung, music,tari dsb] merupakan hal yang sangat memperkaya cara memahami perbedaan. Penggunaan media kuliner, juga memberikan hasil yang sama. Penelusuran studi sejarah, arkeologi, psikologi, antropologi, sastra, seni, politik, ekonomi atas suatu unsure perbedaan ternyata membuat perbedaan itu dapat dipahami dan diterima secara lebih santai, dewasa, wajar dan penuh hormat, sambil menemukan titik-titik temu, kemiripan dan sebagainya.[2]

Melalui beragam cara dengan pendekatan interdisipliner itu, pada akhirnya perbincangan tentang perbedaan tidak menghasilkan pertentangan melainkan justru menghasilkan pengayaan [enrichment] perspektif dan spectrum dalam memahami perbedaan yang ada. Dengan landasan yang demikian ini, segala bentuk kerjasama justru menjadi hal yang sangat mudah untuk dilakukan.




·         Memperkuat substansi nilai-nilai local secara kontekstual
Masyarakat Indonesia di berbagai wilayah telah memiliki landasan-landasan kultural dalam mengelola kemajemukan dan mengupayakan keadilan bagi setiap warganya. Landasan kultural ini berisi nilai-nilai, prinsip-prinsip, mekanisme dan kesepakatan yang mendukung terciptanya relasi antar warga yang harmonis dan adil. Apabila dikaji lebih mendalam, nilai-nilai tersebut sebenarnya merupakan nilai-nilai kewargaan yang memperkuat bangunan masyarakat sipil di masing-masing wilayah.

Nilai-nilai kultural itu menjadi pengikat warga yang seringkali memiliki banyak latar belakang yang berbeda. Ikatan terhadap nilai local bersama itu menjadi benteng terhadap intervensi nilai-nilai baru yang mengganggu praksis kebiasaan hidup bersama. Penguatan substansi nilai-nilai local secara kontekstual merupakan upaya menghalangi proses pencerabutan masyarakat dari akar budayanya yang sudah terbukti memberikan sumbangan berarti bagi pengelolaan kemajemukan. Dalam hal ini upaya yang dilakukan oleh Paguyuban Takmir Masjid di wilayah kecamatan Ngaglik, dalam koordinasi dengan Pondok Pesantren Pandanaran untuk memperkuat daya tahan warga dalam menghadapi pemikiran dan sikap keagamaan yang baru yang menimbulkankeresahan warga masyarakat, merupakan contoh menarik yang pantas dikaji lebih lanjut.

·         Koeksistensi dan proeksistensi
Pada akhirnya, seluruh upaya membongkar prasangka, analisis kebijakan, pembelajaran tentang perbedaan secara interdisipliner, dan penguatan substansi nilai local masyarakat akan menumbuhkan cara pikir, sikap dan tindakan baik yang disebut koeksistensi (kemampuan membangun hidup bersama dengan individu/kelompok yang berbeda) maupun yang disebut pro-eksistensi (kemampuan untuk memberikan pembelaan, perlindungan dan penjaminan hak-hak individu/kelompok yang berbeda dalam hidup bersama). Dalam kondisi yang demikian ini, masyarakat yang memiliki banyak perbedaan akan mampu saling memahami, menerima, melindungi, dan menjamin hak-hak hidupnya dalam suasana damai dan adil.




Tulisan ini merupakan pengantar diskusi yang diselenggarakan oleh Magister Administrasi Publik (MAP) Universitas Gadjah Mada pada tanggal 4 Oktober 2011
[1] Lih. Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm. 515
[2] Ini merupakan pengalaman nyata Komunitas Tikar Pandan Jogjakarta, sebuah komunitas anak muda dari beragam latar belakang yang mengupayakan pembongkaran prasangka demi penghayatan keagamaan yang lebih dewasa. Komunitas ini dimulai secara embrional pada tahun 1995 dan menjadi semakin eksploratif sejak tahun 1999. Komunitas ini telah menyebar ke berbagai daerah dengan berbagai bentuk, salah satunya menjadi Komunitas Tikar Pandan Aceh yang masih aktif sampai saat ini.