Saturday, July 01, 2017

Hidup adalah Perjalanan, Jika berhenti, kita akan menghadapi persoalan besar – Paus Fransiskus

Di hadapan para Kardinal di dalam kapel Sistina, Roma, dalam homilinya yang pertama kali setelah terpilih sebagai Paus, Bapa Fransiskus menegaskan bahwa hidup adalah perjalanan. Oleh karena itu, sebagai Umat Allah yang berada dalam perjalanan, Gereja perlu terus-menerus berubah dan memperbaharui diri. Homili Bapa Suci ini dilandasi oleh bacaan kitab suci dari Kisah Para Rasul 2:1-11 yang dibacakan pada Hari Raya Pentakosta.

Kisah Para Rasul 2;1-11 itu menceritakan bagaimana para murid dipenuhi oleh Roh Kudus dan sanggup berkata-kata dalam beragama bahasa namun semuanya dapat memahaminya dalam bahasa masing-masing. Penulis Kisah mengajak para pembaca untuk kembali ke Yerusalem di mana para murid sedang berkumpul. Hal pertama yang pantas diperhatikan adalah adanya suara yang tiba-tiba datang dari langit seperti tiupan angin keras yang memenuhi seluruh ruangan di mana para murid sedang berkumpul. Hal kedua adalah lidah-lidah seperti nyala api yang hinggap pada diri para murid. Suara dan lidah seperti nyala api adalah tanda yang nyata dan jelas yang menyentuh diri para Rasul bukan hanya dari luar melainkan juga dari dalam hati dan pikiran mereka, sehingga mereka mengalami situasi penuh dengan Roh Kudus dan menimbulkan daya luar biasa dalam diri para murid serta menimbulkan konsekuensi yang tak bisa disangkal, yakni mereka semua dapat berbicara dalam banyak bahasa. Akibat lanjutnya, orang banyak yang berasal dari beragam daerah itu berkumpul di sekitar mereka dan dapat saling memahami bahasa yang mereka gunakan. Ini menunjukkan bahwa semua orang itu mengalami sesuatu yang baru dalam diri mereka, yang belum pernah mereka alami sebelumnya.

Dari kisah Para Rasul ini, Bapa Fransiskus merefleksikan tiga hal penting berkaitan dengan karya Roh Kudus, yaitu kebaharuan, harmoni, dan perutusan.

Sesuatu yang baru pada umumnya menimbulkan rasa takut dan khawatir dalam diri kita. Kebaharuan itu seolah memaksa kita untuk keluar dari zona nyaman yang telah terbangun dan berada dalam kontrol kita. Dalam hidup beriman, di mana kita mengikuti panggilan Tuhan, seringkali kita juga membatasi diri pada hal-hal yang sudah aman dan pasti. Kita takut untuk bersikap terbuka dan sungguh-sungguh percaya kepada tuntunan Tuhan, akibatnya seringkali kita tidak terbuka kepada kebaharuan yang ditunjukkan oleh Tuhan melalui Roh Kudus yang menuntun dan membimbing kita untuk mengambil pilihan dan keputusan baru dalam pejalanan hidup. Kita seringkali merasa takut ketika Tuhan mengajak kita untuk mengambil lintasan jalan baru yang berbeda dan meninggalkan jalan lama dengan segala perspektif kita yang sempit, tertutup dan mementingkan diri sendiri. Kita sering mengalami kesulitan dan ketakutan untuk senantiasa terbuka dan sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan, serta mengandalkan pertolongan-Nya. Kita musti berani belajar dari sejarah iman kita bahwa pada saat Tuhan hadir dan menyatakan diri-Nya, Ia selalu membawa kebaharuan dan menuntut kepercayaan kita yang penuh kepada-Nya. Nabi Nuh telah berani meninggalkan semuanya, membangun bahtera dan percaya kepada Tuhan sehingga ia diselamatkan. Abraham berani meninggalkan tanah asalnya dan mengandalkan janji Tuhan. Musa berani meninggalkan Mesir dan bersama Tuhan menuju kepada pengalaman pembebasan. Dan para rasul sendiri yang berani meninggalkan ketakutan mereka untuk keluar dan memberikan kesaksian tentang kabar gembira kepada banyak orang. Kita tak perlu merasa takut karena kebaharuan yang dianugerahkan oleh Tuhan itu akan membawa kepenuhan dan kebahagiaan sejati bagi kita, sebab Tuhan sungguh-sungguh mengasihi kita.

Hal kedua, beragam karunia dan karisma yang berbeda dalam kehidupan Gereja, tak perlu menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan karena itu merupakan karya Roh Kudus, dan oleh Roh Kudus pula, segala macam karunia dan perbedaan itu disatukan dalam harmoni, karena Roh Kudus sendiri pada hakekatnya adalah harmoni, yang menyatukan. Harmoni dan kesatuan itu bukanlah penyeragaman. Karya Roh Kudus menghasilkan beragam karunia dan kharisma yang berbeda dalam Gereja, namun Roh Kudus pula yang menyatukan semuanya itu, namun tidak menyeragamkan dan tidak menciptakan standarisasi. Apabila kita sungguh-sungguh dipimpin dan dipenuhi oleh Roh Kudus, segala keanekaragaman, perbedaan, pluralitas, dan perbedaan, tak akan pernah menjadi sumber pertentangan. Jika kita dapat berjalan bersama sebagai komunio dalam seluruh perbedaan karunia dan kharisma yang sangat kaya itu, itu merupakan tanda nyata bahwa kita berjalan di dalam tuntunan Roh Kudus. Maka sangatlah penting bagi kita untuk senantiasa terbuka kepada Roh Kudus yang sanggup menyatukan kita dalam perbedaan.

Yang ketiga, Roh Kudus adalah jiwa dari perutusan kita. Pengalaman Pentakosta yang terjadi di Yerusalem adalah pengalaman awal yang terus-menerus terjadi sampai dengan hari ini di dalam pengalaman hidup kita. Pengalaman Pentakosta bukanlah pengalaman yang jauh di Yerusalem sana, melainkan pengalaman yang sangat dekat dan berada dalam hati dan budi kita. Yesus pernah berkata,Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya (Yoh 14:16). Ia, Penolong yang lain itu, yakni Roh Kebenaran, akan menganugerahkan keberanian kepada kita untuk terus berjalan di tengah dunia ini dan memberitakan kabar gembira.

Oleh karena itu, seluruh hidup kita adalah sebuah perjalanan, yang harus terus-menerus dilalui dalam keterbukaan dan keberanian, karena kita percaya bahwa Roh Kudus menyertai kita selamanya, menuntun kita, dan menyediakan kebaharuan. Di dalam dan bersama Roh Kudus, seluruh perjalanan kita akan menjadi perjalanan untuk memberikan kesaksian tentang kabar gembira, tentang perjumpaan kita dengan kristus, perjalanan yang selalu terbuka dan mengarah kepada kebaharuan, serta senantiasa ditandai oleh harmoni dan persatuan meskipun dipenuhi oleh begitu banyak perbedaan dan pluralitas.

Perjalanan adalah sebuah seni, maka janganlah terburu-buru supaya tidak mudah lelah. Perjalanan itu sendiri selalu mengandung resiko lelah dan sulit, maka hadapilah. Jangan takut jika suatu saat kita keliru atau terjatuh. Yang paling penting dalam seni perjalanan untuk bertemu Tuhan bukanlah tanpa bersalah atau tanpa jatuh, melainkan jangan pernah takut untuk senantiasa bangkit kembali dan melanjutkan perjalanan.***

(Indro Suprobo)