Wednesday, October 01, 2014

Foto untuk Mengundang Keterlibatan

Oleh Indro Suprobo



“Rohingya adalah persoalan tentang negara, kemanusiaan dan demokrasi. Greg Constantine telah memanfaatkan teknologi untuk menyampaikan pesan lebih mendalam tentang kemanusiaan. Karya fotografi Greg Constantine merupakan gerbang bagi masyarakat Indonesia untuk menyadari persoalan ketidakadilan di Indonesia melalui persoalan ketidakadilan di dunia, yakni Rohingya,” kata Alissa Wahid, ketika membuka pameran foto “Exiled to Nowhere: Burma’s Rohingya” di Jogja Gallery pada Sabtu petang, 23 Agustus 2014. 

Pameran fotografi yang berlangsung dari tanggal 23 sampai dengan 30 Agustus 2014 ini, diperkaya dengan kegiatan diskusi dan seminar yang diselenggarakan dalam kerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Pusat Studi ASEAN Universitas Gadjah Mada, dan Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Diskusi juga diselenggarakan melalui siaran langsung di Radio Republik Indonesia dan Radio Sonora Yogyakarta. Perbincangan khusus tentang seni fotografi diselenggarakan di Jogja Gallery dalam kerjasama dengan Kelas Pagi Yogyakarta. 

“Fotografi dan Pameran hanyalah merupakan jalan untuk dapat mendiskusikan persoalan orang Rohingya secara lebih detail dan luas karena persoalannya menyangkut hak asasi manusia, identitas, hukum internasional, pengungsian dan sebagainya. Apabila pameran ini dapat membawa perubahan bagi situasi Rohingya, ini merupakan hal yang luar biasa. Kisah tentang pelanggaran hak asasi manusia terjadi di mana-mana sehingga pameran fotografi menjadi salah satu cara untuk mengangkat situasi yang sangat memprihatinkan itu. Akibatnya, pameran ini bukanlah soal fotografi melainkan soal keterlibatan,” kata Greg Constantine. 

Situasi tanpa kewarganegaraan seperti dialami oleh orang Rohingya adalah kondisi bahwa orang tidak diakui sebagai warga negara oleh pemerintah negara manapun. Akibatnya, ia tidak memiliki kartu tanda penduduk, paspor, akta kelahiran, tidak punya akses pada pelayanan publik, dan kehilangan hak-hak dasarnya. Ada kurang lebih satu juta orang Rohingya yang tak memiliki kewarganegaraan dan mengalami keadaan yang paling buruk di seluruh dunia. Situasi orang Rohingya mewakili persoalan kemanusiaan di seluruh dunia, yakni diskriminasi dan pelanggaran berat hak asasi manusia terhadap warga negara sendiri. Persoalan tentang kewarganegaraan semestinya tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan diskriminasi terhadap hak-hak dasar yang melekat pada diri seorang manusia.  

Di Myanmar, orang Rohingya tidak termasuk dalam 135 etnis nasional yang diakui sebagai warga negara.  Mereka menghadapi kontrol yang sangat ketat oleh pemerintah. Kesulitan yang mereka alami misalnya berupa manipulasi dan pemerasan untuk mendapatkan izin menikah, ancaman hukuman dan pemenjaraan, perampasan tanah dan harta benda, kehilangan pekerjaan dan sumber penghidupan, serta ancaman kerja paksa. Kaum perempuan Rohingya seringkali mengalami penganiayaan dan pelecehan yang sangat tidak manusiawi. Situasi seperti ini memaksa mereka untuk mengungsi ke negeri-negeri tetangga, termasuk ke Indonesia.

Ketika mengungsi, mereka rentan mengalami pelecehan dan kekerasan. Mereka tidak  mendapatkan perlindungan dan seringkali akses mereka pada bantuan kemanusiaan dihambat. Mereka menghadapi penolakan dan hampir tak satu pun negara mau menerima mereka sebagai warga negara. 

Pada tahun 2014 ini, jumlah orang Rohingya di Indonesia mencapai 863 orang dengan status pengungsi dan 76 orang dengan status pencari suaka. Di Indonesia, mereka pun tidak dapat bekerja secara formal untuk menghidupi diri dan keluarga. Mereka juga belum memiliki solusi berdaya tahan untuk memutus pengungsian mereka, baik berupa integrasi ke dalam masyarakat Indonesia maupun penempatan ke negara ketiga. Ratusan orang di antara mereka ditahan di Rumah-rumah Detensi Imigrasi, termasuk perempuan dan anak-anak. Kondisi mereka tetap memprihatinkan.

“Meskipun tidak meratifikasi konvensi pengungsi, setiap negara termasuk Indonesia, memiliki kewajiban untuk melindungi pengungsi lintas batas. Ini merupakan prinsip standar dalam hukum internasional dan standar humanitarian. Pemerintah Indonesia juga wajib menghormati prinsip ‘non refoulement’, yakni tidak mengembalikan pengungsi ke negara asal yang masih tidak aman,” kata Gregorius Sri Nurhartanto, dekan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Situasi tanpa kewarganegaraan dan pelanggar-an hak asasi manusia membutuhkan perhatian besar dari komunitas internasional. Diperlukan perumusan mekanisme hukum agar negara-negara dapat membantu orang tanpa kewarganegaraan di berbagai tempat.

“Komunitas tanpa kewarganegaraan sudah tidak relevan di dunia yang mengagungkan kemanusiaan saat ini. Desak ASEAN untuk menciptakan kebijakan perlindungan bagi mereka,” tulis seorang pengunjung pameran bernama Zulkhan dalam buku kesan dan pesan.

Dalam konteks ASEAN, Dr. Sefriani, S.H., M.Hum., dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia mengusulkan dua jalan yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan kasus Rohingya, yakni melalui ASEAN Way yang fleksible dan konstruktif atau melalui  mekanisme Responsibility to Protect. Melalui ASEAN Way, negara-negara ASEAN dapat melakukan diplomasi kemanusiaan terhadap pemerintah Myanmar dan mendorong mereka untuk mengamandemen Undang-undang Kewarganegaraan mereka yang diskriminatif dan menimbulkan persoalan kemanusiaan. Melalui mekanisme Responsibility to Protect, negara  lain dapat memberikan perlindungan atas dasar kemanusiaan ketika sebuah negara tidak berkehendak untuk melindungi manusia yang berada di dalam wilayah kedaulatannya dan justru melanggar hak asasi mereka. 


Bagi masyarakat Indonesia, terlibat secara serius dalam mengatasi situasi tanpa kewarganegaraan merupakan hal yang mendesak dan penting. Indonesia perlu mencari upaya hukum, sosial, ekonomi, kultural dan kemanusiaan agar dapat membantu orang tanpa kewarganegaraan yang berada di dalam wilayahnya. ***

Artikel diterbitkan pertama kali di situs JRS Indonesia

Monday, June 23, 2014

Pencari Suaka Anak di Indonesia Menghadapi Kerentanan

Oleh Indro Suprobo



Hamid baru berumur 16 tahun. Saat berumur 15 tahun, ia meninggalkan Afghanistan tanpa didampingi orang dewasa. Ia selalu dihantui rasa takut sejak ayahnya diculik oleh sekelompok orang bersenjata di rumahnya. Sampai saat ini ia tak tahu bagaimana nasib ayahnya. Ia masih sangat takut untuk bercerita tentang ayahnya.

Hanya dengan berbekal uang sejumlah tiga jutaan, agen mengatur perjalanannnya untuk meninggalkan Afghanistan melalui Pakistan menuju India dan tiba di Malaysia dengan pesawat. Dari Malaysia ia naik kapal menuju wilayah Indonesia. Dari suatu daerah yang tak diketahuinya, ia naik bus selama satu malam melalui daerah berhutan-hutan dan tiba di Jakarta. Setelah menginap semalam di Jakarta, ia diantar ke pinggiran Jakarta oleh seorang agen.

Tak seorang pun ia kenal. Untunglah, ada satu orang teman yang dikenalnya dalam perjalanan mau berbagi dengannya untuk menyewa sebuah kamar kos. Namun itu tidak berlangsung lama. Bulan berikutnya mereka harus berpisah karena Hamid tak mampu lagi ikut membayar iuran sewa kamar kos. Ia tak punya tempat tinggal.

“Selama empat hari saya tidur di teras rumah orang. Di teras rumah itu ada sofa tua yang sudah rusak. Lumayan, masih bisa buat tidur. Selama empat hari itu, saya hanya minum air dari keran karena sama sekali tak punya uang untuk membeli makanan sedikitpun. Saya terpaksa hanya minum air keran untuk bertahan hidup,” katanya.

Ternyata, karena hanya minum air keran selama empat hari demi bertahan hidup, Hamid menderita sakit diare tanpa henti. Tubuhnya menjadi semakin kurus dan kelihatan sangat lelah. 

Mengetahui hal itu, beberapa orang Afghanistan yang tinggal di daerah itu menampung Hamid di rumah kontrakan mereka. Karena tak memiliki uang untuk membayar iuran sewa rumah, Hamid terpaksa menggantinya dengan cara bekerja bagi orang-orang yang telah membantunya. Setiap hari ia bertugas mencuci baju, mengepel lantai, membuat makanan tiga kali sehari, dan menyiapkan teh jika ada tamu yang berkunjung. 

Bagi anak seumur dia, pekerjaan rutin seperti itu tentu sangat melelahkan dan terasa berat. Ia menjadi seperti pekerja rumah tangga, padahal usianya masih tergolong sebagai anak-anak. 

“Saya capek sekali. Karena itu kadang-kadang saya tidak bisa membantu mencuci baju. Akibatnya, saya akan dimarahi,” keluhnya. 

Setelah ditampung selama sebulan oleh orang-orang yang membantunya, ia terancam tak memiliki tempat tinggal lagi. Orang-orang yang membantunya terpaksa pindah dan mencari kamar kontrakan yang lebih kecil karena mereka juga mengalami kesulitan keuangan. 
“Sebenarnya kami tidak tega, tetapi kami juga tidak dapat berbuat banyak. Kami mengalami masalah keuangan yang sama. Kami akan pergi dan mencari tempat yang lebih murah,” kata mereka yang telah menampung Hamid selama ini. 

Sebagai anak yang hidup sendirian di negeri asing, ia sering merindukan ibu yang ditinggalkannya di sebuah desa di Afghanistan. Ketika ditanya tentang ibunya, ia hanya bisa menangis dan tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Ia sebenarnya sangat ingin bisa berkomunikasi dengan ibunya, namun tak memiliki uang sedikit pun untuk membayar biaya telepon. Ketika JRS meminjaminya telepon seluler untuk menghubungi ibunya, ia menangis gembira meskipun ibunya tak mengangkat teleponnya.

“Saya senang meskipun ibu belum mengangkat telepon saya. Paling tidak saya tahu bahwa nomor telepon ibu masih aktif. Terima kasih,” katanya sambil berlinang air mata. Nada tunggu telepon ibunya, sudah cukup untuk membangkitkan harapannya. 

Kekeliruan pencatatan data kelahirannya di UNHCR menambah kesulitannya. Semestinya ia baru berusia 16 tahun saat ini, tetapi di UNHCR ia tercatat berusia 26 tahun sehingga tidak termasuk dalam kategori Pencari Suaka Anak-anak Tanpa Pendamping (Unaccompanied Minor) yang termasuk dalam kelompok rentan. Itu terjadi karena sesama Pencari Suaka yang membantunya di kantor UNHCR keliru menyebutkan tahun kelahirannya. 

Hamid adalah satu dari antara ratusan anak tanpa pendamping yang mencari suaka di Indonesia. Mereka menjadi rentan karena sewaktu-waktu dapat ditangkap dan ditahan di Rumah Detensi Imigrasi. Seperti Hamid, mereka bisa telantar dan hidup di jalanan tanpa ada lembaga negara yang bertanggung jawab atas perwalian bagi mereka. Selain itu, tidak ada yang dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Seringkali, mereka juga harus kehilangan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tanpa pendidikan dan harapan bagi masa depan. 


Sementara ini, Hamid telah dibantu oleh JRS untuk mendapatkan tempat tinggal sementara bersama para Pencari Suaka rentan lainnya. Ia juga sudah mendapatkan perawatan kesehatan yang baik sehingga kondisinya sudah semakin sehat. Jaringan Suaka, yakni sebuah kelompok yang terdiri dari para individu maupun lembaga yang menyediakan bantuan hukum dan advokasi secara gratis kepada Pencari Suaka di Indonesia, sedang berusaha membantu Hamid agar segera mendapatkan perlindungan sesuai hukum internasional dalam proses bersama UNHCR di Indonesia. ***

Indro Suprobo
Publikasi awal di JRS Indonesia

Monday, May 05, 2014

Ratifikasi Konvensi Bom Curah: Upaya Mengubah Perilaku Negara

Sebelumnya, saya memiliki banyak mimpi. Namun setelah kecelakaan itu terjadi, saya kehilangan semua mimpi saya. Saat ini, saya memiliki mimpi yang lain, yakni tak ingin lagi menyaksikan orang lain menghadapi masalah yang sama seperti yang saya alami dalam hidup sehari-hari karena bom curah,” kata Berihu Mesele, Ethiopia.

Berihu Mesele adalah mantan tentara Ethiopia. Ketika menolong anak-anak di sebuah sekolah yang menjadi sasaran bom selama terjadi konflik perbatasan, sebuah bom curah meledak dan menghilangkan kedua belah kakinya. Kini ia terlibat aktif dalam kampanye anti bom curah.

Bom curah adalah bahan peledak yang bermuatan ratusan bom kecil. Bom ini dapat dijatuhkan dari pesawat atau ditembakkan dari darat, serta dirancang untuk terburai di udara, sehingga bom-bom kecil tersebut terjatuh di wilayah sasaran. Seperti ranjau darat, jutaan bom curah yang gagal meledak dan tersebar di berbagai wilayah konflik bersenjata, merupakan ancaman paling mematikan bagi warga sipil pascaperang karena dapat meledak sewaktu-waktu ketika tersentuh oleh orang yang sedang mengerjakan lahan atau anak-anak yang sedang bermain. Proses pembersihannya membutuhkan waktu yang lama, berbiaya mahal dan sangat berbahaya karena dapat membunuh petugas yang membersihkannya.

Konvensi Bom Curah (Convention on Cluster Munition) adalah sebuah perjanjian internasional yang melarang penggunaan, produksi, penimbunan, maupun transfer bom curah. Perjanjian tersebut mewajibkan penghancuran timbunan bom curah dalam waktu 8 tahun dan pembersihan wilayah yang terkontaminasi dalam waktu 10 tahun. Konvensi ini telah ditandatangani oleh 113 negara dan 84 negara di antaranya telah meratifikasinya. Pemerintah Indonesia telah ikut menandatangani Konvensi ini pada tanggal 3 Desember 2008, namun hingga kini belum meratifikasinya.

Dalam rangka memperingati “Hari Internasional tentang Kesadaran dan Aksi Bantuan atas Ranjau”, Institut International Studies (IIS) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menyelenggarakan rangkaian acara pemutaran film dan diskusi dengan tema Suara Indonesia untuk Ratifikasi Konvensi Bom Curah. Rangkaian kegiatan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi halangan pemerintah Indonesia dalam meratifikasi konvensi, mendorong Pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasinya, dan menggalang dukungan dari masyarakat luas untuk menandatangani petisi yang mendorong perlunya ratifikasi Konvensi Bom Curah oleh Pemerintah Indonesia.

Pemutaran film, diskusi, pameran foto dan penandatanganan petisi ini diselenggarakan di beberapa kampus di Yogyakarta. Pada tanggal 4 April 2014, kegiatan diselenggarakan di kampus Universitas Gadjah Mada (UGM). Pada tanggal 11 April 2014, kegiatan diselenggarakan di kampus Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Yogyakarta. Pada 16 April 2014, kegiatan diselenggarakan di Universitas Respati Yogyakarta (UNRIYO). Dalam rangkaian kegiatan ini, JRS Indonesia terlibat sebagai salah satu narasumber diskusi.

Rochdi Mohan Nazala, M.S.A., M. Litt., dosen dan peneliti Jurusan Hubungan Internasional FISIPOL UGM menilai bahwa pemerintah dan DPR tidak serius dalam membahas ratifikasi Konvensi Bom Curah meskipun hal itu sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas).

Sebagai negara yang memiliki peran penting dalam menjaga perdamaian di kawasan ASEAN, ratifikasi Konvensi Bom Curah oleh pemerintah Indonesia akan mendorong negara-negara lain untuk ikut meratifikasi konvensi. June Cahyaningtyas, S.I.P., dosen Jurusan Hubungan Internasional FISIPOL UPN Yogyakarta menyatakan bahwa dalam rangka diplomasi internasional, tindakan ratifikasi konvensi oleh sebuah negara merupakan upaya nyata membangun kepercayaan antarnegara.

Sementara itu, dosen Jurusan Hubungan Internasional dan Wakil Dekan Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UNRIYO, Hartanto, S.I.P., M.A. menyatakan bahwa upaya-upaya mendorong ratifikasi konvensi oleh negara-negara yang sudah menandatanganinya itu merupakan upaya mengubah perilaku negara-negara agar menjadi lebih sesuai dengan nilai-nilai yang disepakati secara internasional. Konvensi Bom Curah adalah sebuah kesepakatan internasional tentang nilai-nilai yang harus dijalankan secara bersama-sama.

Penandatanganan Konvensi oleh Pemerintah Indonesia menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia sudah memiliki itikad baik yang perlu terus didukung meskipun membutuhkan waktu. Jika masyarakat Indonesia telah menunjukkan dukungan terhadap larangan bom curah, salah satunya melalui penandatanganan petisi, diharapkan Pemerintah merasa didukung dan akan segera meratifikasinya,” kata Hartanto.

Untuk meyakinkan masyarakat dan pemerintah Indonesia bahwa ratifikasi konvensi tersebut penting dan perlu, sosialisasi tentang dampak penggunaan bom curah perlu terus dilakukan. Sosialisasi dampak bom curah yang diderita oleh masyarakat sipil membantu masyarakat untuk menyelami pengalaman derita dan kehilangan yang dialami oleh para korban dan penyintas bom curah, serta menumbuhkan empati terhadap mereka. Empati ini pada gilirannya akan mendorong proses ratifikasi Konvensi Bom Curah secara lebih efektif. Semoga impian Berihu Mesele yang tidak mau lagi menyaksikan korban bom curah berikutnya, semakin menjadi kenyataan. ***

Indro Suprobo
Publikasi awal di JRS Indonesia

Thursday, March 27, 2014

Berperan di Tengah Masyarakat adalah Bagian dari Hidup yang Bermartabat

oleh Indro Suprobo




“Nama saya Zain. Saya bekerja sebagai kontraktor. Saya terpaksa pergi meninggalkan negeri saya karena hampir setiap hari saya menerima ancaman. Sekelompok orang selalu menelepon saya dengan mengatakan bahwa hari ini saya masih hidup, tetapi besok nasib saya belum tentu. Karena itu saya memutuskan untuk lari,” kata Zain dengan nada murung karena tak percaya bahwa nasibnya berakhir di balik jeruji Rumah Detensi Imigrasi. 

Di balik semua informasi, tabel, data dan angka-angka yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga dan instansi tentang Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia, terdapat pribadi-pribadi konkret yang memiliki sejarah, pengalaman, penderitaan, kegembiraan, pikiran, cita-cita, harapan, dan impian-impian tentang kehidupan. Mereka adalah ayah, suami, istri, anak atau saudara dan saudari dalam sebuah keluarga. Mereka adalah jurnalis, pengusaha, tukang sepatu, ahli komputer, guru sekolah, seniman, teknisi pesawat, penerjemah, atau penulis yang berperan penting di tengah kehidupan masyarakat. 

Tabel, informasi dan data yang bermaksud menggambarkan kilasan perkembangan terkini tentang fenomena pengungsian tentu saja tidak sanggup menampilkan dimensi kemanusiaan para Pengungsi yang unik dan personal. Lebih parah lagi adalah berita yang dilansir oleh berbagai media di Indonesia. Berita-berita itu justru menempatkan para Pengungsi sebagai kriminal dan pelanggar hukum, dengan menyebut mereka sebagai “imigran gelap”. Istilah yang sangat tidak adil itu secara semena-mena menghapus seluruh latar belakang pengalaman, cita-cita, harapan, dan bahkan arti penting mereka sebagai pribadi-pribadi di tengah masyarakatnya.

Machasin punya kebiasaan mengundang makan siang. “Di negara saya, saya membuka restoran dan hotel. Saya biasa memasak. Besok siang datanglah kemari. Saya akan membuat masakan untuk makan bersama.” Chapati buatannya memang nikmat. Anak petani dan penggembala domba yang menjadi manajer restoran dan hotel ini pernah menghabiskan dua tahun hidupnya di dalam Rumah Detensi Imigrasi Tanjungpinang. Di sana ia mengisi hari-harinya dengan memasak. Itulah cara dia membuat setiap hari sebagai waktu yang berarti bagi dirinya maupun bagi orang lain. Pribadi yang baik hati seperti ini tentu saja tak pantas dipenjara di dalam Rumah Detensi hanya karena terpaksa meninggalkan negeri demi menyelamatkan hidup. Secara jelas dan pasti, ia bukanlah pelanggar hukum dan pelaku tindak kriminal. Ia adalah orang baik hati yang terpaksa pergi mencari keselamatan dan kedamaian.

“Saya tidak terlalu sering bergaul dengan teman-teman yang lain. Saya lebih banyak tinggal di kamar dan asyik menulis blog di internet. Saya adalah seorang blogger sehingga menulis merupakan keasyikan tersendiri buat saya. Aktivitas menulis membuat saya merasa tenang dan dapat menuangkan pengalaman hidup saya. Saya bisa bercerita tentang Borobudur, Kraton Yogyakarta, Malioboro, pantai di Yogyakarta, dan tentang gunung Merapi. Saya juga ingin menjadi produser film supaya saya bisa menunjukkan sejarah orang-orang Hazara yang sebenarnya kepada orang lain,” kata Abdul Malik sambil membetulkan letak kacamatanya. Lelaki muda dari Afghanistan ini berusaha memelihara kemampuan menulisnya untuk mempertahankan semangat hidup dan harapannya selama menunggu proses penempatan ke negara ketiga. 

Para Pengungsi adalah orang-orang yang memiliki banyak kemampuan. Memberikan kesempatan kepada Pengungsi untuk mengaktualkan kemampuan dan ketrampilan yang dimilikinya selama proses menunggu, akan membantu mereka untuk tetap memiliki daya tahan dan martabat. Namun bagi sebagian yang lain, masa pengungsian tak memberi mereka kesempatan untuk mengaktualisasikan diri, karena mereka tidak boleh bekerja atau menjadi sukarelawan, atau melakukan sesuatu yang bermanfaat baik bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat sekitar. Hal ini membuat mereka merasa bahwa hidupnya terpenjara. Hasyim adalah salah satu contohnya. Ia adalah seorang sarjana komputer. Ia lebih sering menyendiri dan jarang bergaul dengan teman-teman lainnya. Istri dan anak perempuan yang ditinggalkannya di Iran, membuatnya sering merasa khawatir. Selama mengungsi, ia tak pernah dapat mengakses komputer sehingga ia merasa takut kemampuannya dalam bidang program komputer tak terasah lagi dan lama-lama hilang. 

Untuk memperoleh gambaran tentang keterampilan dan kemampuan para Pengungsi dan Pencari Suaka, JRS terlibat di dalam konsultasi nasional organisasi masyarakat sipil dan Pengungsi pada tanggal 25-26 Februari 2014 untuk menemukan cara bagaimana Para Pengungsi yang tinggal di tengah masyarakat dapat mengaktualisasikan kemampuan mereka di dalam batas-batas peraturan pemerintah. Dalam pertemuan tersebut, ditemukan bahwa mengorganisasi komunitas Pengungsi dan memetakan kemampuan mereka merupakan langkah awal untuk menemukan cara bagaimana para Pengungsi dan Pencari Suaka dapat meningkatkan peran mereka untuk membantu diri mereka sendiri dan terlibat di tengah masyarakat setempat.


Rangkuman Ajaran Sosial Gereja mengenai partisipasi mengingatkan kita: ”Semua orang memiliki hak untuk berperan di dalam kehidupan ekonomi, politik dan kebudayaan masyarakat. Ini merupakan tuntutan keadilan yang mendasar dan merupakan prasyarat bagi martabat manusia bahwa semua orang memiliki jaminan keterlibatan minimal di dalam masyarakat. Adalah sebuah kesalahan apabila seseorang atau sekelompok orang secara tidak adil disingkirkan atau tidak dapat terlibat di tengah masyarakat.” 

Indro Suprobo

Publikasi awal di JRS Indonesia

Wednesday, February 26, 2014

Membagikan Ingatan sebagai Undangan Keterlibatan

Indro Suprobo



Penerbitan buku Berpijak di Dunia Retak memiliki dua tujuan utama. Pertama, penulisan buku ini dimaksudkan sebagai upaya internal bagi keluarga penyintas untuk menyembuhkan luka-luka batin akibat stigma dan ketidakadilan yang telah ditanggung selama bertahun-tahun. Kedua, penerbitan buku ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mengungkapkan ingatan-ingatan tentang kebenaran dan ketidakadilan dari perpektif penyintas yang diharapkan dapat menumbuhkan kepedulian generasi sekarang terhadap martabat kemanusiaan, sehingga tragedi besar sebagaimana terjadi pada tahun 1965 tidak terulang lagi.

Dialog Antar-Memoria sebagai Penyembuhan
Seluruh kisah dalam buku ini bergerak di antara dua memoria utama yakni memoria passionis (ingatan akan penderitaan) dan memoria dignitatis (ingatan akan martabat). Dialog antara dua memoria ini melahirkan apa yang disebut sebagai nilai-nilai resiliensi (daya tahan). Nilai-nilai resiliensi (daya tahan) inilah yang pada akhirnya mampu menumbuhkan rasa syukur bagi penulis dan keluarga penyintas karena telah mampu mengatasi seluruh kepahitan hidup tanpa harus kehilangan martabat dasar sebagai manusia. Secara gamblang buku ini mengisahkan bahwa meskipun telah terpuruk dalam penderitaan dan kemelaratan yang ekstrim, keluarga penyintas ini tak pernah jatuh dalam tindakan yang dapat merendahkan martabatnya (mencuri, mengambil hak orang lain, korupsi dsb). Almarhun YB. Mangunwijaya pernah menggambarkan kondisi masyarakat yang berjuang menjagai harkat semacam ini dalam sebuah kata "melarat tapi ningrat". Masyarakat semacam inilah yang menjadi teman, sahabat serta inspirasi hidup Alm. YB. Mangunwijaya. Yang muncul secara tegas dalam kisah penyintas tragedi 1965 ini adalah kisah resiliensi, keyakinan terhadap martabat diri, energi yang besar untuk mengatasi situasi batas daya, energi yang besar untuk setia kepada nilai-nilai kebaikan.

"Dalam ketidakberayaan yang menimpa keluarga kami, ibu selalu menekankan prinsip hidupnya kepada kami. Bagaimanapun kami harus nrima ing pandum (menerima keadaan ini apa adanya). Sikap menerima ini harus lurus dalam berpikir, jujur dalam bertindak, tak pernah melik duweking liyan (ingin memiliki hak orang lain), pantang menyakiti hati sesama, tetap berbuat baik kepada siapapun dan tidak mudah menyerah" (hlm.33)

Mengisahkan kembali ingatan akan daya hidup yang bertahan dalam dialektika memoria passionis dan memoria dignitatis ini merupakan aktivitas yang menyembuhkan. Terjadi sebuah campuran aktivitas psikologis antara katarsis (menggelontorkan seluruh beban yang mampat) dan savoring (menghidupkan pengalaman "kepenuhan" dalam keterjagaan martabat) yang memberikan titik keseimbangan jiwa.

Setelah menuliskan kisah, keluarga penyintas ini masih tetap perlu membaca ulang kisah yang ditulisnya agar proses penyembuhan terus semakin bertumbuh karena membaca kembali dinamika hidup pribadi merupakan proses "menemukan" yang terus-menerus.

Memoria Passionis (Ingatan akan Penderitaan) dan Compassion (Beladaya)
Sebuah pesan religius kuno yang diadopsi dan dirawat oleh dua agama besar Islam dan Kristen untuk menggambarkan inti dasar dari perwujudan relasi keberimanan manusia kepada Yang Ilahi tertulis demikian: "Sebab ketika Aku lapar, engkau memberi Aku makan, ketika Aku haus, engkau memberi Aku minum, ketika Aku telanjang, engkau memberi Aku pakaian, ketika Aku sakit, engkau merawat Aku, dan ketika Aku berada di dalam penjara, engkau mengunjungiKu".

Religiositas atau keberimanan tidak semata-mata diukur oleh kedisiplinan ritual melainkan juga (dan terutama) diukur oleh kedisiplinan tindakan kepedulian. Penderitaan dan pengalaman batas daya, terutama penderitaan dan pengalaman batas daya orang lain, menjadi undangan nyata bagi kedisiplinan tindakan kepedulian. Johann Baptis Metz, seorang teolog politik katolik Jerman menyatakan bahwa penderitaan orang lain merupakan undangan bagi orang beriman untuk membebaskan diri dari segala bentuk ketidakpedulian. Terbebas dari ketidakpedulian itulah yang disebut sebagai compassion atau bela daya.

Di sini secara sengaja tidak digunakan istilah "bela rasa", melainkan "bela daya", untuk menekankan keterlibatan, keberpihakan dan pembelaan terhadap daya juang yang masih tersimpan, yang sedang menghadapi halangan besar. Bela daya berarti memasuki, hadir, mengalami dan terlibat di dalam daya yang dihalangi itu untuk bersama-sama menjadikannya semakin bekerja dan melahirkan gerak.

Hal besar yang menghalangi daya-daya hidup para penyintas tragedi 1965 adalah kesewenang-wenangan, ketidakadilan, ketidakpedulian, keuntungan serta keamanan diri.

Ingatan yang Membahayakan1
Ingatan-ingatan yang dikisahkan dalam buku ini boleh disebut sebagai ingatan-ingatan yang membahayakan. Meskipun dikisahkan secara santun dan tanpa kemarahan sedikitpun, jika dibaca secara mendalam, ingatan-ingatan yang dikisahkan itu senyatanya berifat "menggugat" kesewenangan, ketidakadilan, ketidakpedulian dan rasa aman. Ingatan yang mendorong gugatan dan mengundang keterlibatan dalam compassion (bela daya) adalah ingatan yang membahayakan (bagi mereka yang kepentingannya terusik).

Ingatan-ingatan semacam ini sangat diperlukan untuk membongkar ketidakpedulian yang mapan, mengakhiri kecenderungan kesewenangan-wenangan yang terus beranjut, dan untuk meruntuhkan mitos dan mantra politik yang melumpuhkan sikap kritis serta melanggengkan kebohongan.

Perempuan-perempuan Berdaya
Meskipun ada banyak aktor yang dikisahkan dalam buku ini, pantas dicatat bahwa di dalamnya ditemukan banyak aktor perempuan yang berdaya. Ibu Nafisah adalah salah satunya dan cukup sentral. Bagi keluarga ini, ibu Nafisah dengan seluruh kekuatan yang dimilikinya memiliki peran yang luar biasa terutama untuk menjagai diri tetap berada dalam kemanusiaan yang bermartabat. Ibu bidan Rakitem adalah perempuan yang lain. Jika tak memiliki sikap dan keberanian yang luar biasa, tentu saja ia tak akan berani melayani ibu Nafisah dalam proses melahirkan bayinya karena dalam kondisi waktu itu, banyak orang cenderung tak mau berurusan dengan keluarga yang masuk dalam kategori "terlarang oleh negara". Ibu Siswadi (istri pak Siswadi) yang datang membawakan surat dari pak Sayid untuk ibu Nafisah adalah perempuan pemberani yang lain lagi. Nasibnya sama dengan bu Nafisah karena suaminya juga ditahan di dalam penjara Ambarawa. Mak Rawi yang setia menemani keluarga karena yakin bahwa pak Sayid adalah orang benar adalah perempuan lain lagi.

Perempuan-perempuan berdaya inilah yang seringkali justru harus menanggung akibat panjang dari tragedi kesewenangan dan ketidakadilan. Kaum perempuan ini bersama anak-anaknya, harus bergulat dalam banyak kesusahan dan berupaya menjagai "harapan" terus-menerus demi bertahan hidup semaksimal mungkin dalam kemartabatan yang masih tersisa.

Tampaknya, perspektif perempuan dan anak-anak ini tak pernah masuk dalam nalar dan dunia batin kaum kuasa yang cenderung menikmati gegap gempita dominasi dan kekuasaan. Akibatnya, upaya banyak kalangan untuk menjadi teman yang berpihak dan teribat membela para korban dan penyintas tragedi 1965 senantiasa disikapi dengan kekawatiran, ketakutan dan sikap terancam. Siapapun yang berada dalam kekuasaan saat ini, baik laki-laki maupun perempuan, barangkali perlu lebih banyak menyelami "pengalaman dan ingatan kaum perempuan dan anak-anak korban serta penyintas tragedi 1965" ini. Dibutuhkan lebih banyak kontemplasi tentang memoria passionis kaum perempuan dan anak-anak korban/penyintas tragedi 1965. Ini memang tidak mudah karena sungguh-sungguh membutuhkan "keheningan", sementara dunia semakin serba cepat dan hiruk pikuk. Dalam dunia yang serba cepat dan hiruk pikuk, keheningan merupakan hal yang "menyakitkan".

Semoga ingatan-ingatan para penyintas tragedi 1965 dan kekerasan masa lalu semakin menjadi milik banyak orang dan menjadi ingatan yang menggugat serta melahirkan keterlibatan untuk memperbesar daya-daya dan harapan yang ada di dalamnya. Terhadap ingatan-ingatan itu, tak ada netralitas. ***
___________
1Bagian ini mengambil inspirasi dari artikel Johann Baptis Metz, teolog Katolik Jerman, “Communicating a Dangerous Memory”, dalam Communicating a Dangerous Memory, Sounding in Political Theology, Supplementary Issue of the Lonergan Workshop Journal, Volume 6, Fred Lawrence, Editor, Scholars Press, Atlanta, Georgia, Boston Collage, 1987, hlm. 37-54

Friday, January 03, 2014

Di Mana Ada Perdamaian, Di Situlah Saya Ingin Hidup

Saat ini, Mebratu Selam tinggal sementara di Indonesia dan telah mendapatkan status “Refugee” dari UNHCR. Duapuluh enam tahun silam, ia lahir di sebuah kota kecil di Ethiopia dalam sebuah keluarga dari etnis minoritas. Setelah lulus SMA ia sempat belajar di sebuah Akademi Teknik namun tak menyelesaikannya. Beruntung sekali, setelah mengikuti pelatihan di bidang teknik konstruksi dengan hasil yang baik, ia direkrut oleh sebuah perusahaan dan bekerja sebagai petugas konstruksi. Namun sayang, hidupnya yang selalu menghadapi ancaman dan tidak aman, memaksanya untuk meninggalkan kampung halaman demi mencari keselamatan.

“Pemerintah yang berkuasa sering melakukan tindakan berupa ancaman, kekerasan, pemaksaan, dan bahkan tindakan yang mengakibatkan kematian,” katanya.

Keluarga Mebratu merupakan pendukung sebuah organisasi yang bersikap kritis terhadap Pemerintah. Ketidakadilan dan diskriminasi yang dialami oleh etnis minoritas, memotivasi mereka untuk melakukan pendidikan politik dan mengkritik penguasa. Pada bulan Januari 2011, aparat pemerintah yang berkuasa mendatangi rumahnya dan memaksa ayahnya untuk menyerahkan seluruh tanah yang dimilikinya. Menghadapi pemaksaan yang tidak adil ini, ayahnya tetap bertahan pada pendiriannya dan menolak permintaan penguasa.

“Mereka menyeret dan membawa ayah saya ke lahan luas milik ayah saya. Mereka memaksanya untuk menyerahkan lahan itu kepada pemerintah. Karena tetap menolak, mereka memukuli dan menganiaya ayah saya secara sangat kejam sampai ia tergeletak di atas tanah dalam kondisi tak sadarkan diri. Akibat penganiayaan itu, sebulan kemudian ayah saya meninggal,” kenangnya penuh kesedihan.

Pada saat pemakaman, pemerintah melarang orang-orang untuk menghadiri pemakaman ayahnya dengan alasan bahwa pemakaman seorang penentang pemerintah tidak perlu dihadiri. “Pada saat pemakaman itu, tentara datang untuk mencegah kehadiran orang yang melayat. Saya marah dan bertengkar dengan para tentara itu. Karena itu saya dipukuli dan ditangkap oleh mereka, lalu dimasukkan dalam penjara selama tiga bulan,” paparnya.

Sejak peristiwa itu, pemerintah selalu mengawasi seluruh kegiatan Mebratu. Meskipun demikian, secara sembunyi-sembunyi ia masih tetap melakukan pendidikan politik kritis kepada sesama kaum muda. Ketidakadilan dan penganiayaan terhadap minoritas yang disaksikan dan dialaminya, membuatnya tak bisa tinggal diam. “Kadang-kadang kami berkumpul untuk berdiskusi tentang apa yang telah dilakukan oleh pemerintah terhadap minoritas dan apa yang harus kami perjuangkan.”

Pada suatu malam di bulan Agustus, dua orang tentara menjemputnya paksa di rumah dan memasukkannya ke sebuah ruang sekap rahasia. “Mereka memasukkan saya ke sebuah ruang gelap. Kaki dan tangan saya diikat. Dalam posisi meringkuk, saya dipukuli dan ditendangi. Mereka menganiaya saya sepanjang malam,” kenang Mebratu penuh kesedihan dan kemarahan. “Jika kamu atau saudaramu tidak berhenti menentang Pemerintah, aku akan membunuhmu,” tambahnya menirukan ancaman para tentara. Mereka memaksa saya menandatangani sebuah surat pernyataan yang berisi kesanggupan untuk mendukung partai pemerintah. Saya terpaksa menandatanganinya karena tak tahan dengan aniaya mereka. Lalu mereka melepaskan saya.

Pada tengah malam di pertengahan bulan Agustus, tiga orang tentara kembali mendatangi rumah saya. Malam itu, saya berhasil melarikan diri, sementara kakak lelaki saya tertangkap dan dipenjara sampai sekarang.

Pemberlakuan Undang-undang Anti Terorisme semakin menyulitkan kelompok minoritas yang bersikap kritis terhadap Pemerintah. Undang-undang itu menjadi legitimasi untuk menuduh siapa pun yang tidak setuju dengan kebijakan Pemerintah sebagai teroris. Terhadap teroris, Pemerintah akan bertindak sewenang-wenang: menangkap, memukul, menganiaya, bahkan membunuhnya. “Itulah ketakutan-ketakutan dan ancaman yang saya hadapi sehingga saya terpaksa melarikan diri ke Kenya dan sampai ke Indonesia,” kata Mebratu.

Meskipun berada dalam pengungsian, ia merasa tetap menemukan saudara. “Bagi saya, JRS adalah keluarga yang sewaktu-waktu mau datang berkunjung, menanyakan kabar, mengajak ngobrol, dan mendengarkan cerita. JRS memberi bantuan finansial dan biaya kontrak kamar. Bahkan JRS mau datang dan menunggui kami ketika sakit di rumah sakit sampai-sampai mereka sendiri lupa makan siang. Saya sangat berterima kasih atas semua itu,” katanya.

Sambil menunggu proses penempatan ke negara ketiga, ia membangun harapan dengan mengikuti kursus gratis secara online. Ia mengambil kursus tentang Manajemen Proyek sebagai bekal untuk bekerja di masa depan. Ia mau ditempatkan di negara mana pun, yang penting aman dan damai. “Ditempatkan di mana pun saya mau, yang penting saya dapat hidup sebagaimana layaknya manusia.”


Mebratu Selam adalah satu dari jutaan orang yang terpaksa meninggalkan orang-orang tercinta demi merajut masa depan yang lebih aman dan manusiawi. Persahabatan dan solidaritas dari orang-orang yang peduli telah menjadi salah satu penyulut harapan baginya karena ia merasa tetap memiliki saudara dan merasa dibela di tengah segala kesulitan. ***

Indro Suprobo

Publikasi awal di JRS Indonesia