Wednesday, October 01, 2014

Foto untuk Mengundang Keterlibatan

Oleh Indro Suprobo



“Rohingya adalah persoalan tentang negara, kemanusiaan dan demokrasi. Greg Constantine telah memanfaatkan teknologi untuk menyampaikan pesan lebih mendalam tentang kemanusiaan. Karya fotografi Greg Constantine merupakan gerbang bagi masyarakat Indonesia untuk menyadari persoalan ketidakadilan di Indonesia melalui persoalan ketidakadilan di dunia, yakni Rohingya,” kata Alissa Wahid, ketika membuka pameran foto “Exiled to Nowhere: Burma’s Rohingya” di Jogja Gallery pada Sabtu petang, 23 Agustus 2014. 

Pameran fotografi yang berlangsung dari tanggal 23 sampai dengan 30 Agustus 2014 ini, diperkaya dengan kegiatan diskusi dan seminar yang diselenggarakan dalam kerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Pusat Studi ASEAN Universitas Gadjah Mada, dan Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Diskusi juga diselenggarakan melalui siaran langsung di Radio Republik Indonesia dan Radio Sonora Yogyakarta. Perbincangan khusus tentang seni fotografi diselenggarakan di Jogja Gallery dalam kerjasama dengan Kelas Pagi Yogyakarta. 

“Fotografi dan Pameran hanyalah merupakan jalan untuk dapat mendiskusikan persoalan orang Rohingya secara lebih detail dan luas karena persoalannya menyangkut hak asasi manusia, identitas, hukum internasional, pengungsian dan sebagainya. Apabila pameran ini dapat membawa perubahan bagi situasi Rohingya, ini merupakan hal yang luar biasa. Kisah tentang pelanggaran hak asasi manusia terjadi di mana-mana sehingga pameran fotografi menjadi salah satu cara untuk mengangkat situasi yang sangat memprihatinkan itu. Akibatnya, pameran ini bukanlah soal fotografi melainkan soal keterlibatan,” kata Greg Constantine. 

Situasi tanpa kewarganegaraan seperti dialami oleh orang Rohingya adalah kondisi bahwa orang tidak diakui sebagai warga negara oleh pemerintah negara manapun. Akibatnya, ia tidak memiliki kartu tanda penduduk, paspor, akta kelahiran, tidak punya akses pada pelayanan publik, dan kehilangan hak-hak dasarnya. Ada kurang lebih satu juta orang Rohingya yang tak memiliki kewarganegaraan dan mengalami keadaan yang paling buruk di seluruh dunia. Situasi orang Rohingya mewakili persoalan kemanusiaan di seluruh dunia, yakni diskriminasi dan pelanggaran berat hak asasi manusia terhadap warga negara sendiri. Persoalan tentang kewarganegaraan semestinya tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan diskriminasi terhadap hak-hak dasar yang melekat pada diri seorang manusia.  

Di Myanmar, orang Rohingya tidak termasuk dalam 135 etnis nasional yang diakui sebagai warga negara.  Mereka menghadapi kontrol yang sangat ketat oleh pemerintah. Kesulitan yang mereka alami misalnya berupa manipulasi dan pemerasan untuk mendapatkan izin menikah, ancaman hukuman dan pemenjaraan, perampasan tanah dan harta benda, kehilangan pekerjaan dan sumber penghidupan, serta ancaman kerja paksa. Kaum perempuan Rohingya seringkali mengalami penganiayaan dan pelecehan yang sangat tidak manusiawi. Situasi seperti ini memaksa mereka untuk mengungsi ke negeri-negeri tetangga, termasuk ke Indonesia.

Ketika mengungsi, mereka rentan mengalami pelecehan dan kekerasan. Mereka tidak  mendapatkan perlindungan dan seringkali akses mereka pada bantuan kemanusiaan dihambat. Mereka menghadapi penolakan dan hampir tak satu pun negara mau menerima mereka sebagai warga negara. 

Pada tahun 2014 ini, jumlah orang Rohingya di Indonesia mencapai 863 orang dengan status pengungsi dan 76 orang dengan status pencari suaka. Di Indonesia, mereka pun tidak dapat bekerja secara formal untuk menghidupi diri dan keluarga. Mereka juga belum memiliki solusi berdaya tahan untuk memutus pengungsian mereka, baik berupa integrasi ke dalam masyarakat Indonesia maupun penempatan ke negara ketiga. Ratusan orang di antara mereka ditahan di Rumah-rumah Detensi Imigrasi, termasuk perempuan dan anak-anak. Kondisi mereka tetap memprihatinkan.

“Meskipun tidak meratifikasi konvensi pengungsi, setiap negara termasuk Indonesia, memiliki kewajiban untuk melindungi pengungsi lintas batas. Ini merupakan prinsip standar dalam hukum internasional dan standar humanitarian. Pemerintah Indonesia juga wajib menghormati prinsip ‘non refoulement’, yakni tidak mengembalikan pengungsi ke negara asal yang masih tidak aman,” kata Gregorius Sri Nurhartanto, dekan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Situasi tanpa kewarganegaraan dan pelanggar-an hak asasi manusia membutuhkan perhatian besar dari komunitas internasional. Diperlukan perumusan mekanisme hukum agar negara-negara dapat membantu orang tanpa kewarganegaraan di berbagai tempat.

“Komunitas tanpa kewarganegaraan sudah tidak relevan di dunia yang mengagungkan kemanusiaan saat ini. Desak ASEAN untuk menciptakan kebijakan perlindungan bagi mereka,” tulis seorang pengunjung pameran bernama Zulkhan dalam buku kesan dan pesan.

Dalam konteks ASEAN, Dr. Sefriani, S.H., M.Hum., dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia mengusulkan dua jalan yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan kasus Rohingya, yakni melalui ASEAN Way yang fleksible dan konstruktif atau melalui  mekanisme Responsibility to Protect. Melalui ASEAN Way, negara-negara ASEAN dapat melakukan diplomasi kemanusiaan terhadap pemerintah Myanmar dan mendorong mereka untuk mengamandemen Undang-undang Kewarganegaraan mereka yang diskriminatif dan menimbulkan persoalan kemanusiaan. Melalui mekanisme Responsibility to Protect, negara  lain dapat memberikan perlindungan atas dasar kemanusiaan ketika sebuah negara tidak berkehendak untuk melindungi manusia yang berada di dalam wilayah kedaulatannya dan justru melanggar hak asasi mereka. 


Bagi masyarakat Indonesia, terlibat secara serius dalam mengatasi situasi tanpa kewarganegaraan merupakan hal yang mendesak dan penting. Indonesia perlu mencari upaya hukum, sosial, ekonomi, kultural dan kemanusiaan agar dapat membantu orang tanpa kewarganegaraan yang berada di dalam wilayahnya. ***

Artikel diterbitkan pertama kali di situs JRS Indonesia