Monday, May 17, 2021

Arik Ascherman dan Rabbis for Human Right

 Oleh Indro Suprobo


Arik Ascherman adalah seorang Rabbi Yahudi, mantan direktur eksekutif sebuah lembaga kemanusiaan bernama Rabbis for Human Right. Ia dan lembaganya itu memiliki misi utama melakukan apapun semaksimal mungkin untuk mencegah atau menghentikan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia di Israel, tanpa pandang bulu, entah hak siapa yang dilanggar, orang Yahudi Israel, orang Arab warga negara Israel, orang Palestina di wilayah pendudukan, pekerja asing, maupun para pengungsi dari Afrika.

Melandaskan diri pada perintah Taurat dalam kitab Keluaran 22:21 yang menyatakan,"Janganlah kau tindas atau kau tekan orang asing, sebab kamupun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir", ia menegaskan prinsip untuk berpihak kepada yang tertindas, preferential option for the oppresses. Ia memahami perintah dan prinsip itu sebagai pesan dari Tuhan bahwa sejarah penindasan yang dialami oleh orang Yahudi di Mesir pada masa kuno itu hendaknya diterima dan dipahami sebagai landasan untuk peka, berempati dan memahami orang lain yang mengalami penindasan pada masa kini, bukan sebagai landasan untuk membalas dendam apalagi untuk melegitimasi kekerasan. Bagi Arik Ascherman, menindas dan melakukan kekerasan kepada orang lain adalah tindakan melukai sesama, yang berarti merusak citra Tuhan di dunia dan melawan Tuhan, karena sesama manusia itu diciptakan menurut gambar Tuhan.

Mengapa orang asing mendapat prioritas untuk dilindungi dari penindasan? Arik Ascherman mengutip kitab Ulangan 27:19 yang menyatakan "Terkutuklah orang yang memperkosa hak orang asing, anak yatim dan janda", karena mereka itu lemah, paling rentan, dan tak memiliki pembela atau penolong.

Dari sini tampak bahwa, Rabbi Arik Ascherman telah sanggup mengolah pengalaman luka, pengalaman negatif, pengalaman ketertindasan dalam dirinya sendiri menjadi landasan konstruktif bagi empati dan compassion sehingga ia mampu menjangkau pengalaman luka dan penderitaan orang lain. Inilah landasan sikap pro-eksistennya, yakni melindungi dan membela hak orang lain yang sedang menghadapi pelanggaran. 

Oleh karena itu, pilihan tindakannya tak didasarkan kepada ikatan emosional dan keyakinan kelompoknya sendiri melainkan didasarkan pada prinsip membela yang tertindas.

Dalam situasi konflik Arab-Israel yang berkepanjangan ini, ia seringkali memilih untuk membela orang-orang Palestina, para pemuda, kaum perempuan dan anak-anak, maupun para petani, yang tanpa alasan apapun harus menghadapi penindasan, kesewenang-wenangan, atau kekerasan tak rasional, hanya karena mereka adalah orang Palestina. Dalam rasionalitas dan kejernihan akal budinya, ia mewujudkan prinsip preferential option for the oppressed secara konsisten. Akibatnya ia seringkali harus menanggung risiko berhadapan dengan kelompok primordialnya sendiri, entah tentara Israel, entah orang Yahudi pada umumnya. 

Pada 8 Mei 2021 yang lalu, karena membela petani Palestina yang lahannya dirusak oleh kawanan ternak milik orang-orang Yahudi, ia dipukul dengan kayu oleh sesama saudaranya sendiri, pemuda Yahudi, sehingga terpaksa dibawa ke rumah sakit di Yerusalem.

Setiap komunitas yang bertikai, membutuhkan kehadiran orang-orang seperti rabbi Arik Ascherman ini di dalamnya. Dapat dipastikan bahwa di antara komunitas orang-orang Palestina, ada orang-orang yang memperjuangkan perdamaian seperti ini. Keprihatinan mereka mewakili kerinduan para perempuan dan anak-anak di kedua komunitas yang mendambakan perdamaian, dijauhkan dari hasrat dan kepentingan sempit sekelompok kecil elit yang tak peduli kepada orang lain dan cenderung kehilangan imajinasi tentang liyan.

Dalam situasi konflik yang menghancurkan kemanusiaan kedua pihak ini, tantangan kita adalah mengambil jarak dari produksi emosi yang menggeneralisir cara berpikir, agar senantiasa sanggup membedakan antara kerinduan nyata sebagian besar rakyat atas perdamaian, keamanan dan persaudaraan di satu pihak, dan kepentingan kekuasaan elit kedua kelompok di pihak lain. 

Sebagai catatan kecil, lahirnya zionisme dan pendudukan kembali tanah Palestina menimbulkan banyak pertentangan di kalangan Yahudi sendiri karena dianggap mencederai keyakinan Yahudi. 

Semoga solusi damai yang adil untuk kedua komunitas segera tercapai.

Friday, May 14, 2021

Integritas

Oleh Indro Suprobo


Sebagaimana atas nama Tuhan dan agama seseorang atau sekelompok orang dapat saja menghancurkan kemanusiaan yang semestinya dimuliakan dalam kemartabatan, atau atas nama pembangunan dan nasionalisme, seseorang atau sekelompok orang dapat saja menyingkirkan hak-hak warga negara yang semestinya justru harus dijamin dan dilindunginya, demikian juga atas nama wawasan kebangsaan, seseorang atau sekelompok orang dapat saja melecehkan integritas panjang penuh risiko keamanan dan keselamatan yang sesungguhnya merupakan praksis nyata loyalitas terhadap nilai-nilai dasar kebangsaan yang semestinya diperjuangkan. 

Praksis-praksis semacam ini barangkali merupakan tindakan yang sering disebut sebagai bersifat instrumentalis, yakni menjadi alat untuk mengabdi kepada suatu kepentingan, dan bukan tindakan yang bersifat emansipatoris, yakni yang menghargai dan mengakui kesetaraan keberadaan liyan dalam komunikasi dialogis demi mengarah kepada pembebasan tanpa dominasi dan represi. 

Dalam pemahaman saya yang terbatas, wawasan kebangsaan adalah cara berpikir, pilihan sikap dan pilihan tindakan yang didasarkan dan diorientasikan kepada nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh landasan ideologis-konstitusional dan dijamin oleh konstitusi. Integritas bertahun-tahun dalam kerja-kerja pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan menanggung segala risiko yang mengancam keselamatan dan keamanan jiwa adalah salah satu wujud dan praksis nyatanya. Ia merupakan konsistensi antara pikiran, sikap dan pilihan tindakan. Oleh karena itu, pelecehan terhadap integritas bertahun-tahun dan penuh risiko itu merupakan sebuah contradictio in actione. Tindakan semacam itu barangkali boleh disebut sebagai ilusi loyalitas kebangsaan karena ia lebih berorientasi kepada kepentingan dan kekuasaan, bukan kepada nilai-nilai dasar. 

Ilusi loyalitas kebangsaan semacam ini jika tidak disikapi secara kritis, berpotensi membahayakan seluruh cita-cita dan perjuangan untuk meraih keadilan dan martabat kemanusiaan. Ia menelikung kesadaran dan orientasi kepada nilai, mengaburkannya dan membelokkannya kepada kepentingan. Ia bisa jatuh sebagai bentuk kezaliman.

Jauh-jauh hari sebelum diangkat ke surga, Yesus secara tegas telah menyatakan sebuah peringatan soal integritas ini: "Bukan mereka yang berseru kepadaku...Tuhan....Tuhan..., yang akan masuk ke dalam kerajaan sorga, melainkan mereka yang melakukan kehendak Bapaku yang di sorga" (Mat 7:21).

Dalam pidato perpisahannya, yang dikenal sebagai pidato haji wada, Muhammad Rasulullah memberikan peringatan tentang betapa pentingnya melawan kezaliman karena penegakan keadilan merupakan wujud integral dari ketaqwaan. Pidato itu merupakan landasan hak asasi manusia di dalam Islam. 

Hari raya Idul Fitri dan Kenaikan Isa Al Masih, barangkali menjadi kesempatan yang sangat baik untuk mengingat penegasan dan peringatan penting dari dua guru kehidupan itu, Yesus dan Muhammad.

Thursday, May 13, 2021

Kebesaran Hati dan Kasih Sayang

 Oleh Indro Suprobo

Orang-orang yang memiliki spiritualitas mendalam dan kualitas kedekatan dengan Allah, pada umumnya lebih sanggup mengambil jarak terhadap dirinya sendiri dan sanggup menghadirkan kebesaran hati serta kasih sayang dalam pikiran, ucapan maupun tindakannya.

Dalam tradisi kristen dikisahkan bahwa pada puncak kesengsaraan di kayu salib, Yesus memohonkan ampunan bagi orang-orang yang menganiayanya dengan mengatakan,"Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat."

Dalam tradisi Islam dikisahkan bahwa pada masa hidupnya, Muhammad Rasulullah setiap hari dengan setia menyuapi seseorang yang tuna netra, yang pada saat disuapi itu selalu saja mencela dan mencaci maki sehabis-habisnya, orang yang namanya Muhammad. Sampai suatu saat, ketika Muhammad SAW telah wafat, seorang sahabat Nabi menggantikan perannya, menyuapi orang yang tuna netra itu setiap hari. Karena ada yang dirasakan berbeda, si tuna netra itu berkata,"Tampaknya engkau bukan orang yang biasanya menyuapiku". Sahabat nabi menjawabnya,"Iya, dia yang biasa menyuapimu telah wafat".

"Siapakah dia yg biasa menyuapiku itu? Apakah engkau mengenalnya", tanya si tuna netra.

"Ya, saya mengenalnya, dialah Muhammad, orang yang senantiasa engkau caci maki itu".

Mendengar jawaban itu, runtuhlah seluruh langit-langit batin si tuna netra itu. Lalu ia melihat rembulan utuh yang bersinar lembut di dalam hatinya.

Itulah sebabnya mengapa Yesus disebut Anak Allah dan Muhammad SAW disebut kekasih Allah. Keduanya adalah orang yang dekat dengan Allah. "Anak" dan "kekasih" adalah bahasa puitis untuk menggambarkan kedekatan relasional itu. 

Dalam sebuah forum internasional yang disebut The Act for Happines, Karen Armstrong menyatakan bahwa "compassion" hanya dapat muncul dalam diri orang-orang yang sanggup menerima diri sendiri dengan segala derita terdalamnya shg ia sanggup menyelami derita terdalam yang dialami oleh orang lain sebagaimana deritanya sendiri. Oleh karena itu, orang-orang yang tak sanggup menghadirkan compassion kepada orang lain, pada umumnya adalah orang-orang yang tak sanggup menerima dirinya. Ujaran kebencian, stereotyping dan stigma terhadap orang lain bisa jadi merupakan cerminan dari kegagalan seseorang menerima realitas dirinya.

Yesus dan Muhammad adalah teladan nyata tentang mengambil jarak terhadap diri, menerima ketakpantasan diri, dan mengakui Dia yang kebesaran hati, pengampunan dan kasih sayangNya teramat luas dan tak terbayangkan.

Barangkali, di balik ujaran kebencian yang berseliweran di dunia kita, sebenarnya tersembunyi luka dan penderitaan yang perlu disembuhkan.

Namo Buddhaya....