Tuesday, July 31, 2007

17 Agustus, Hari Kemenangan Kaum Kiri Indonesia !!!

oleh Indro Suprobo Siapakah di antara generasi muda sekarang yang masih sangat berantusias untuk mengikuti upacara bendera 17 Agustus sebagai ritual tahunan perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia? Sebagian kecil barangkali masih merasa sangat bangga bila boleh menjadi petugas pengibar bendera berbaju putih, berpeci hitam dengan kain merah menutup leher. Beberapa mungkin juga masih sangat berantusias untuk bergegap gempita menabuh drum band dengan baju serba seragam dan serba berbaris rapi siap grak maju jalan belok kanan belok kiri, jalan di tempat sesuai aba-aba warisan tentara kolonial. Atau barangkali, masih terlalu banyak pula para puteri muda remaja berseri yang bangga penuh damba untuk menari-nari beratraksi saling gendong, lenggak lenggok lincah gemulai berpakaian serba mini menarik hati lelaki lintas generasi. Di kampung-kampung barangkali akan ada banyak keramaian penuh sorak gembira melupakan untuk sementara segala beban hutang, pungutan dan biaya sekolah, tagihan pembelian benih, tunggakan bon pupuk yang telah menumpuk, iuran arisan, biaya kontrakan dan seabrek kesulitan yang sehari-hari sering membuat kepala terasa nyeri. Jathilan atau kuda lumping, tarian kubro, pentas dangdut dengan lagu favorit yang hampir sama di mana-mana seperti es-em-es atau kucing garong, wayang kulit, sampai pengajian penuh humor barangkali akan menjadi acara-acara terpilih. Eit, jangan sampai dilupakan! Beragam perlombaan seperti makan kerupuk, gebug bantal, panjat pinang, memasukkan paku ke dalam botol, kelereng, sepeda indah, gerak jalan, kebersihan, bikin roti terbesar atau gapura paling unik pantaslah disebutkan dalam deretan ritual tahunan mahahebat ini! Seluruh keriangan yang meletus bagaikan balon udara itu pastilah terjamin direkam, dipotret, ditulis dan diberitakan ulang serta disiarkan oleh hampir semua media yang tersedia di sekujur deretan pulau-pulau Republik Indonesia Raya. “Peringatan Hari Merdeka dalam Aneka Rupa”, begitulah kira-kira tema utama. Tetapi tunggu dulu para pembaca setia….. Masih ada satu hal lagi yang tak boleh dilupa. Yang satu ini adalah persoalan mahapenting tetapi selalu saja memiliki kepastian teramat tepat untuk dilupakan. Di mana-mana, di seluruh pelosok negeri ini, gegap gempita dan meriah megah peringatan kemerdekaan Republik Indonesia Raya Jaya Sentausa, selalu saja dan terjamin pasti melupakan sunyi sepi studi dan pergulatan budi pekerti para tokoh pendahulu penggagas ide merdeka dan pendiri negeri yang secara hormat dan terpuji haruslah digolongkan sebagai kaum kiri!! Idealisme merdeka Indonesia Raya tidaklah mungkin begitu saja turun sebagai wahyu dari surga atau dari Tuhan agama-agama. Ide merdeka Indonesia Raya dipungut, ditenun, dianyam dan diolah dari sunyi sepi studi dan pergulatan budi kaum intelektual kiri yang cerdas bernas maju kreatif progresif penuh empati dan harga diri. Mereka ini menggagas dan menyusun ide merdeka dalam pergulatan sunyi sepi studi atas wacana-wacana kiri yang secara jelas tegas disebut sebagai sosialisme. Beberapa dari antara mereka yang berangkat dari sunyi sepi studi wacana kiri bolehlah diingat di sini. Yang paling awal, Soewardi Soerjaningrat, Douwes Dekker dan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo yang mendirikan “Indische Partij”, sejak tahun 1912 telah secara gamblang menyatakan cita-cita “Hindia Merdeka, Sekarang!”. Mohammad Hatta yang muslim dan saleh, yang menyerukan cita-cita Indonesia Merdeka di depan Meja Hijau di Nederland tahun 1928, telah menulis analisis kritis dan kiri dalam majalah Hindia Poetra untuk mendukung kaum petani miskin melawan penguasa perkebunan dan pabrik gula di Jawa dengan judul “De economische positie van den Indonesischen grondverhuurder” (Kedudukan ekonomi orang Indonesia yang menyewakan tanah) dan “ Eenige aantekeningen betreffende de grondhuur-ordonnantie in Indonesie” (Beberapa catatan tentang ordonansi penyewaan tanah di Indonesia)[i]. Ir. Soekarno, yang pada tahun 1930 secara berapi-api memaparkan “Indonesia Menggugat” di hadapan pengadilan Hindia Belanda, sangatlah jelas dengan bacaan sosialisme yang dilahapnya. Sjafruddin Prawiranegara yang pernah ditunjuk oleh perdana menteri Hatta untuk menjalankan Pemerintahan Darurat, adalah seorang Muslimin juga yang bahkan dengan tegas berujar bahwa manusia yang beragama dan beriman, tidak bisa lain, ia pasti kiri.[ii] Yang lain lagi adalah seorang negarawan yang juga pernah menjadi Perdana Menteri, yakni Soetan Sjahrir. Bersama Hatta, ia berjuang agar prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, keadilan sosial bagi seluruh rakyat dan penghormatan kepada harkat martabat manusia menjadi kehidupan nyata negara dan masyarakat Indonesia. Pergulatan budi dan empati dalam menggumuli wacana berhaluan kiri itu tak pernah lagi dibuka, disinggung, diangkat, dijunjung apalagi disanjung dalam pidato-pidato resmi ritual peringatan hari merdeka Indonesia Raya sekarang ini. Padahal, itulah faktor utama dan penentu munculnya pemikiran dan gereget gerakan merdeka para pendiri negara. Wacana kiri atau sosialisme pada umumnya, sejak Orde Baru, dan oleh Orde-orde yang terbaru lagi (tak tahulah apakah itu sungguh sebuah transformasi atau hanyalah mutasi) telah ditempatkan dalam sudut sepi, dilarang keras untuk dipelajari, diberi stigma “berbahaya”, tak boleh lagi dicerna secara dewasa, dan kalau ada yang berkumpul serta menjadikannya sebagai tema diskusi, akan segera saja berhadapan dengan gerudugan segerombolan polisi. Oleh karena itu, sudah sepantasnya dan sehormatnya, sosialisme atau wacana kiri itu ditempatkan penuh martabat dan harga diri sebagai bahan studi untuk dipelajari. Soetan Sjahrir, sebagaimana dikutip oleh amarhum YB. Mangunwijaya mengatakan: “Sosialisme adalah ajaran dan gerakan mencari keadilan di dalam kehidupan kemanusiaan. Sosialisme adalah ajaran politik yang memihak golongan miskin dan tidak berpunya yaitu kaum proletar. Ia menentang golongan yang menggunakan kekayaannya untuk kepentingan dirinya dengan memperoleh untung dari kemiskinan orang yang dipekerjakannya pada perusahaan-perusahaannya. Mereka yang mampu dan berpunya itu biasanya adalah golongan yang berkuasa dalam negara. Sehingga negara pun selalu berpihak pada mereka, sedikitnya selalu membela kepentingan mereka dengan perundangan yang menjamin kedudukan dan kekayaan mereka. Sosialisme selalu mengikhtiarkan supaya lebih banyak kaum miskin di dunia menolak nasibnya sebagai kaum miskin, hina, dan tertindas dan menuntut perubahan sehingga tidak ada lagi kaum tertindas dan kaum yang menindas, dan tidak ada lagi kaum yang menghisap dan kaum yang dihisap” [iii] Jurang yang lebar antara kemelaratan penuh sengsara mayoritas orang miskin dan kesejahteraan penuh nikmat segelintir orang kaya dan kuasa, sejak semula menjadi kegelisahan, penolakan dan geliat perlawanan kaum kiri. Bahkan sejak semula embrio agama-agama berangkat dari penolakan atas hal ini. Jangan salah sangka bahwa Isa binti Miryam dari Nazareth yang hidup dan ajarannya menjadi pondasi kekristenan dari beragam sekte dan aliran, adalah termasuk dalam golongan kaum kiri-sosialis purba. Ia membela kaum tani dan buruh kota yang melarat-sengsara dalam tirani penjajahan kaum kuasa baik negara manca maupun para komprador sebangsa. Memang sudah semestinya orang yang benar-benar beragama pastilah menjadi golongan kiri pula karena paradigma kiri adalah haribaan agama-agama. Apabila praksis dan paradigma agama-agama masa kini tidak bertaut dengan haribaannya, maka pantaslah diserukan kembali pertobatan ideologis kepada agama-agama, yakni sebuah pertobatan Copernican dari kapitalisme dan neoliberalisme menuju kemanusiaan dan sosialisme, dari perang dan ketidakadilan menuju keadilan dan perdamaian. Heibatnya, seorang professor agama-agama bernama Kang Nam Oh, berujar dalam kritik yang mendalam,”Sebuah bangunan gereja yang kosong adalah lebih baik daripada bangunan gereja yang berisi penuh dengan orang-orang kristiani yang belero dan tanpa otak”.[iv] Yang dimaksudkannya dengan kritik ini adalah ritualisme dalam agama apapun tak ada artinya jika tidak memiliki pertautan dengan komitmen dan praksis yang berpihak kepada yang tertindas, yang terkalahkan, yang dipinggirkan. Agama musti kembali kepada haribaannya, yakni kemanusiaan dan sosialisme. Jurang yang menganga antara mayoritas melarat miskin susah dan segelintir kaya sejahtera selalu menjadi dasar perlawanan orang yang berpikir. Situasi itulah yang melahirkan pikiran dan gerakan merdeka di Indonesia. Situasi serupa dalam lingkup wilayah yang lebih terbatas memunculkan gerakan perlawanan sosial di tiga daerah (Tegal, Brebes, dan Pemalang).[v] Meskipun pembangunan telah berjalan puluhan tahun dan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia Raya telah digegap-gempitakan 62 kali, jurang antara kaum kaya raya dan kaum miskin serba kekurangan semakin menganga pula. Fenomena yang aneh tapi nyata ini tak pernah bisa dipahami kalau generasi Indonesia Raya sekarang ini tetap dilarang mempelajari sosialisme dan wacana kiri. Oleh karenanya, daripada bergegap-gempita dengan banyak biaya yang seringkali harus dengan berhutang juga, barangkali lebih arif bijaksana dan hemat tiada tara kalau 17 Agustus, sebagai hari merdeka Indonesia Raya diperingati dalam sunyi sepi studi wacana kiri alias sosialisme, sambil menyadari bahwa UUD 1945 dan terutama Pancasila adalah sebenar-benarnya kiri jiwanya, serta meresapi dalam kecerlangan budi bahwa pada hakekatnya Republik Indonesia Raya dirancang dan direncana seturut mazhab sosialisme pula. Nah kalau begitu, selanjutnya, ketika sosialisme menjadi bahan diskusi, tak perlulah repot-repot digerudug gerombolan pak polisi, karena mereka juga sangat butuh belajar apa sesungguhnya kiri. Supaya kiri yang ini pun boleh punya nasib yang sama dengan yang biasa terpampang dalam rambu-rambu “Kiri jalan terus”. ----------------- [i] Parakitri T Simbolon, Turun Gunung! Mohammad Hatta 11 Tahun di Belanda, dalam Seratus Tahun Bung Hatta, Penerbit Buku Kompas 2002, hlm.46 [ii] YB. Mangunwijaya, Kiri dan Kanan Dalam Sprachspiele, dalam Menuju Republik Indonesia Serikat, Gramedia 1999, hlm.209 [iii] ______ , Mengapa Sosialisme Indonesia Perlu Kita Pelajari?, dalam Menuju Republik Indonesia Serikat, Gramedia 1999, hlm.218 [iv] Keun Soo Hong, Reconciliation For Peaceful Common Living – Disarmament and Security, dalam Asia, The Reconciler, Report of The Sixth Assembly of The Asian Conference on Religion and Peace, Asian Conference on Religion and Peace (ACRP) and Interfidei 2005, hlm 111-124 [v] Anton E. Lucas, One Soul One Struggle, Perlawanan Tiga Daerah, Resistbook 2004

Enam Jam di Caracas

Oleh Indro Suprobo 

Bagi orang yang biasa-biasa saja seperti saya, mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi Venezuela secara gratis, merupakan pengalaman luar biasa. Ini terjadi karena undangan seorang teman lama, Alejandro Pino d”Araujo, yang kebetulan mengajar filsafat di College of Social and Humanistic Sciences, Simon Bolivar University. Pada saat itu, Universitas Simon Bolivar menyelenggarakan Workshop National berjudul “Simon Bolivar : The Liberation Movement in Philosophycal and Political Perspective”Yang menarik dalam seminar itu adalah hadirnya Hugo Chaves, sang presiden, sebagai salah satu narasumber karena dia adalah salah satu mantan mahasiswa yang pernah kuliah di universitas tersebut. Narasumber yang lain adalah Ambrosio Wegemento Segundo, salah seorang murid dari teolog besar penggagas A Theology of Liberation, Gustavo Gutierrez. 

 Dalam paper setebal 15 halaman yang berjudul Contra l’Estigma (Melawan Stigmatisasi), Hugo Chaves menyatakan bahwa selama sekian lama rakyat Venezuela telah berada dalam berbagai macam bentuk penindasan dan penjarahan namun selalu saja mengalami halangan besar untuk melakukan pemberontakan karena sejak kecil, dalam keluarga-keluarga, telah ditanamkan alat sensor yang sangat ampuh yakni kesadaran stigmatis. Kesadaran stigmatis ini telah menumpulkan kesadaran kritis warga masyarakat dan pada gilirannya memupus segala kemungkinan untuk melakukan kritik, perubahan, apalagi pembebasan. Salah satu contoh stigmatisasi itu dialaminya sendiri ketika masih kecil. Keluarga besarnya secara turun temurun menuturkan bahwa kakeknya adalah seorang pembunuh. Setelah dewasa, dengan wawasan dan bacaan sejarah tentang gerakan-gerakan revolusioner di banyak tempat, Chaves menyadari bahwa sebenarnya kakeknya bukanlah seorang pembunuh, melaikan seorang pejuang yang emoh terhadap segala bentuk ketidakadilan di hadapan matanya. Kesadaran yang ditanamkan sejak kecil itu merupakan kesadaran stigmatis yang bertujuan agar orang-orang biasa yang setiap hari hidup dalam kesusahan, tidak menirukan tindakan protes maupun perlawanan seperti para pejuang pendahulu itu. Lebih dari itu, sosialisme sebagai sebuah model pemikiran dan gerakan telah diberi stigma sebagai satu-satunya keburukan pemikiran yang arogan dan terbukti telah bertekuk lutut di hadapan kegagalan besar. Sosialisme lalu dengan mudah telah dilipat-lipat dalam kesadaran hanya sebagai sebentuk komunisme, ateisme, kediktatoran dan represi yang justru menyengsarakan. Itulah stigma terhadap sosialisme. 

 Karena sebagian besar rakyat Venezuela adalah pemeluk agama katolik Roma, Chaves menggunakan teologi pembebasan Amerika Latin sebagai bahasa komunikasi yang ampuh. Prinsip-prinsip dasar sosialisme memang menjiwai pendekatan teologi pembebasan ini. Ia menyatakan bahwa Yesus dari Nazareth adalah orang yang dalam iman yang besar, melakukan pemberontakan secara individual, social, politis, cultural dan religius pada jamannya. Yesus adalah inspirasi bagi gerakan pembebasan dan revolusi. Yesus adalah tokoh revolusioner dan progresif yang melawan segala bentuk manipulasi, stigmatisasi, akumulasi keuntungan oleh segelintir orang yang menyengsarakan ribuan bahkan jutaan orang yang lainnya. Sebagaimana Yesus telah melakukan revolusi pada jamannya, maka pada saat ini, adalah tugas semua orang yang mengaku sebagai pengikut Yesus, untuk secara radikal melakukan gerakan revolusioner. Setan paling nyata dalam kehidupan dunia sekarang adalah kebijakan politik-ekonomi dan dominasi Amerika yang merampas hak dan menghancurkan kehidupan sebagaian besar warga dunia. Kemiskinan dalam semua dimensinya telah merenggut kehidupan rakyat Venezuela dan rakyat di sebagian besar belahan dunia ini. Kemiskinan adalah sebuah penghancuran terhadap kehidupan manusia dalam banyak sendi. Kemiskinan yang mematikan ini tidaklah sesuai dengan apa dipesankan oleh Yesus yakni hadirnya kerajaan kehidupan. Oleh karena itu, dalam semangat yang sama seperti Yesus, “Kita harus melawan segelintir orang yang terus menerus menghancurkan sebagian besar dunia ini. Sekarang juga harus kita lakukan!”, tegasnya dengan nada tinggi, sorot mata yang menatap tajam karena kesedihan dan komitmen, sambil mengepalkan tangan ke atas. Semua yang hadir tanpa dikomando serentak berdiri dan bertepuk tangan. Saya ikut berdiri di antara mereka yang hadir dengan hati yang luar biasa tergetar. Beberapa yang hadir bahkan meneteskan air mata entah karena kobaran semangat, kemarahan maupun keharuan. Kampus Universitas Simon Bolivar yang terletak di lembah Sartenejas, dan termasuk daerah kotamadya Baruta, wilayah ibu kota Caracas bagian selatan itu terasa bergetar dalam kemegahan semangat, sesuai dengan nama yang dikenakan padanya, Simon Bolivar, El Libertador, sang pembebas bagi beberapa Negara Amerika Latin. 

Sesi seminar itu dilanjutkan dengan diskusi kelompok di luar ruangan aula. Dalam diskusi kelompok, saya mendapatkan tempat diskusi yang cukup menarik, yakni di sebuah gazebo kecil di pinggiran Laguna de los patos, sebuah danau kecil buatan yang indah di dekat pintu gerbang masuk universitas. Danau buatan itu menjadi semakin menarik karena dipenuhi bebek putih yang berenang dan berlompatan di atas air. Laguna de los patos memang berarti “danau bebek”. Hugo Chaves memang presiden yang tegas dalam prinsip namun sangat low profile. Dengan santainya dia meminta para pengawalnya untuk menikmati danau, sementara dia sendiri menyelonong nimbrung dalam diskusi kecil kami. 

Salah seorang anggota kelompok diskusi kami adalah seorang Marxis tulen bernama Milan Machovec. Ia adalah seorang profesor senior yang jauh-jauh datang dari Charles University, Praha. Salah satu buku terkenal yang pernah ditulisnya adalah Jesus Fur Atheisten yang diterbitkan oleh Kreuz Verlag Stuttgart, dan diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh Darton, Longman & Todd, London dengan judul A Marxist Looks At Jesus. “Saya sangat sepakat dengan apa yang tadi telah dinyatakan oleh mister Presiden, Hugo Chaves dalam forum. Yesus adalah manusia radikal dan progresif yang dapat menjadi inspirasi bagi gerakan perlawanan saat ini, bukan hanya bagi rakyat Venezuela, melainkan bagi sebagian besar warga dunia yang cenderung mengalami ketidakadilan. Kita semua musti terlibat penuh komitmen di dalamnya”, kata Machovec memulai pikirannya. 

 “Benar, dan terima kasih tuan Machovec. Anda adalah teman bagi kami, rakyat Venezuela, dan Anda pantas mendapatkan lebih banyak teman dari berbagai belahan dunia kita”, potong Hugo Chaves meneguhkan pernyataannya. “Tetapi saya memiliki kritik terhadap kekristenan secara khusus berkaitan dengan bagaimana mereka memahami pesan Yesus”, kata Machovec lagi. Teman saya yang sangat katolik, Alejandro Pino d’Araujo tampak serius menantikan tuturan Machovec selanjutnya. “Pesan Yesus yang asli sebenarnya terdiri dari dua elemen penting”, sambung Machovec. “Yang pertama, Yesus menyatakan bahwa suatu jaman baru sedang datang. Kedatangan jaman baru itu menjadi efektif karena usaha dan kerja keras manusia sendiri. Kedua, jaman baru itu bukan hanya merupakan jaman yang akan datang kelak, melainkan terwujud dalam situasi konkret kekinian hidup kita ini, pada saat sekarang ini dan di sini, serta bersifat imperatif bagi hidup manusia sehari-hari. Oleh karena itu, semua orang yang mengaku sebagai pengikut Yesus sang manusia revolusioner itu, musti mewujudkan daya pembaharuan dan progresivitas itu saat sekarang ini juga dalam konteks yang sangat real ini. Namun sayangnya, daripada mewujudkan daya kekuatan radikal dan progresif bagi penegakan keadilan jaman ini, melawan secara tegas semua yang melakukan perampasan, manipulasi dan peminggiran serta pemiskinan terhadap kemanusiaan, kristianitas telah cenderung membelokkan pesan itu kepada pencapaian kedamaian dan kebahagiaan pada akhir jaman. Dengan cara itu, kekristenan pada saat sekarang ini justru cenderung menawarkan opium atau candu bagi manusia yang lebih asyik dengan kebahagiaan batiniah pribadi tanpa memberi dampak nyata bagi situasi kemiskinan yang akut”. 

 Semua anggota kelompok tampak serius mencermati jalan pikiran sang profesor yang Marxis dan gandrung kepada Yesus itu. Semuanya masih menunggu-nunggu akhir dari paparan pikiran Machovec. Saya juga demikian. “Saya percaya bahwa kekristenan tidak mati, melainkan pincang saja. Namun, pesan Yesus itu justru masih sangat hidup sampai sekarang ini. Saya melihat bahwa pesan itu sangat hidup dalam sebagian besar rakyat Venezuela yang menginginkan kehidupan dunia yang lebih adil. Pilihan politik mister Presiden dan rakyat Venezuela adalah bukti nyata”, kata Machovec melambat, mengakhiri paparannya dalam diskusi kecil itu. 

 Diskusi kecil menjadi semakin hangat oleh beberapa tanggapan kemudian. Contoh-contoh konkret kebijakan politik radikal populis di Venezuela yang lebih dikenal dengan bolivarianisme itu, meneguhkan para peserta diskusi bahwa alternatif itu sangat mungkin dan sangat terbuka. Namun alternatif itu membutuhkan komitmen yang besar dan kerja keras serta kerjasama yang lebih luas. Sebagaian kecil warga tentu masih saja ada yang tak sepakat dengan ini karena mereka telah lama menikmati untung tanpa peduli kepada sebagian besar lain yang buntung. 

 Jam makan bersama menjadi penentu berakhirnya diskusi kelompok kecil ini. Semuanya menuju ke tempat perjamuan lalu pulang ke tempat masing-masing. Saya masih punya waktu dua hari dan menginap di rumah teman yang mengundang saya itu. Rumah si Alejandro Pino d’Araujo itu kecil dan sederhana namun sangat nyaman. Kasurnya yang empuk dan pepohonan sejuk di sekitar kamar membuat saya cepat tertidur. Namun ternyata, ketika bangun tidur, saya sudah berada di rumah sendiri, di pinggiran desa Ngaglik, Sleman. 

 “Kamu tidur pulas sekali siang ini”, kata isteri saya sambil mengenakan pakaian sehabis mandi sore. Saya merapikan buku-buku yang tersebar di tempat tidur lalu berangkat mandi. Ah….hari minggu yang segar… dan mimpi yang indah.***

Belajar dari Kasus RCTV di Venezuela

Oleh Indro Suprobo Berita menarik yang pantas dicermati dari negeri Venezuela akhir-akhir ini adalah tidak diperpanjangnya ijin siaran Radio Caracas Television (RCTV) yang menuai gelombang protes. Yang lebih menarik lagi dari berita itu adalah bagaimana banyak media memberitakannya. Tidak diperpanjangnya ijin siaran RCTV diberitakan dengan judul-judul yang menarik pikiran, antara lain “Stasiun Televisi Oposisi Ditutup”, “Berakhirnya Pluralisme Media” dan sebagainya. Judul-judul dan isi pemberitaan yang beredar itu telah menciptakan suatu imaji tertentu tentang kebijakan pemerintahan Venezuela di bawah kepemimpinan Hugo Chaves. Beberapa imaji yang muncul berkaitan dengan berita ini antara lain adalah terjadinya pelanggaran hak asasi oleh pemerintah Venezuela, kebijakan Chaves adalah anti demokrasi, dan terjadinya pemberangusan kebebasan bersuara. Pertanyaan yang bisa diajukan di sini adalah apa yang sebenarnya terjadi? Kebijakan Politik Radikal Naiknya kepemimpinan Hugo Chaves di Venezuela didukung oleh 63% suara dalam pemilu. Kepemimpinan baru ini telah diikuti oleh lahirnya Konstitusi Bolivarian pada tahun 1999 yang menjadi dasar utama bagi seluruh kebijakan pemerintahan dalam banyak bidang. Pembaharuan-pembaharuan yang dijalankan di atas dasar konstitusi ini oleh karenanya lebih akrab disebut sebagai perubahan revolusioner bolivarian. Perubahan revolusioner bolivarian ini ditandai oleh visi kerakyatan yang diamanatkan oleh konstitusi 1999 yakni tegaknya kedaulatan politik dan ekonomi rakyat Venezuela yang anti imperialisme, demokrasi partisipatif yang membuka ruang luas bagi keterlibatan politis akar rumput, swadaya ekonomi, distribusi yang adil dari pendapatan pertambangan minyak Venezuela dan penghapusan tindakan korupsi. Visi kerakyatan itu oleh pemerintahan Chaves diwujudkan dalam beragam program kesejahteraan sosial yang meliputi pengadaan transportasi gratis untuk rakyat yang sangat membutuhkan namun tak mampu membayar, penyediaan pelayanan kesehatan masyarakat yang berkualitas dan gratis, perlindungan hak-hak komunitas lokal yang selama ini terpinggirkan oleh kebudayaan dominan, pelayanan perumahan gratis bagi mereka yang miskin, upaya pengadaan kedaulatan pangan yang murah, berkualitas, organik dan bersifat lokal untuk membuka akses nutrisi bagi masyarakat yang tak mampu dan seabrek program lain yang memprioritaskan mayoritas rakyat miskin Venezuela yang selama ini selalu berada di pinggiran kebijakan. Sangat jelas di sini bagaimana kedaulatan dan kesejahteraan rakyat menjadi visi dasar seluruh kebijakan. Tentu saja kebijakan semacam ini sangat menggoncang kemapanan segelintir orang yang telah menuai banyak keuntungan sebelumnya. Kebijakan tentang Media Tak dapat disangkal bahwa kebijakan pemerintahan Chaves tentang media selalu harus mendasarkan diri pada Konstitusi Bolivarian tahun 1999. Konstitusi ini mendorong persyaratan yang sangat tegas berkaitan dengan penyelenggaraan lembaga media, terutama oleh lembaga-lembaga swasta. Undang-undang tentang Pertanggungjawaban Media yang berlaku di Venezuela, biasa disebut Ley Resorte, sangat tegas dalam menuntut tanggung jawab sosial dari para penyelenggara media radio dan televisi, dan berorientasi kepada komitmen yang sangat kuat terhadap dua hal mendasar yakni “hak-hak anak” dan “meningkatnya jumlah program siaran yang diproduksi sendiri secara nasional maupun lokal”. Kebijakan dalam hal media ini sangat jelas terkait dengan apa yang disebut sebagai kedaulatan rakyat dalam pelayanan dan produksi media siaran. Dalam konteks kebijakan inilah ijin siaran RCTV tidak diperpanjang oleh pemerintah. RCTV merupakan stasiun televisi milik swasta yang pada bulan April 2002 terlibat aktif dalam kampanye kudeta terhadap pemerintahan Chaves dan turut memblokir siaran Venezolana de Television, siaran televisi milik pemerintah yang merepresentasikan mayoritas penduduk miskin di Venezuela dengan program siaran unggulan berupa tanya jawab langsung dengan presiden tentang semua persoalan yang dihadapi secara real oleh masyarakat. Alasan yang diajukan oleh pihak pemerintah berkaitan dengan tidak diperpanjangnya ijin siaran RCTV ini adalah untuk mendemokratisasikan gelombang siaran, agar gelombang siaran itu menjadi milik lebih banyak orang yang merepresentasikan kepentingan mayoritas warga Venezuela daripada hanya menjadi milik segelintir juragan media yang melakukan oligopoly dengan dukungan internasional. Lebih jauh, pemerintah memberikan penjelasan bahwa Channel 2 yang selama ini menjadi milik RCTV tidak ditutup, siaran di gelombang ini tetap akan diteruskan. Hanya ijin siaran yang dimiliki oleh sebuah perusahaan swasta inilah yang tidak diperpanjang, dan sebagai gantinya, ijin siaran itu akan diberikan kepada swasta lain yang lebih dapat mengemban visi konstitusi, atau kepada perusahaan gabungan swasta dan publik, atau kepada perkumpulan kaum pekerja itu sendiri. Pemerintah justru memberikan prioritas dan mendorong para pekerja RCTV untuk mengorganisir diri dalam suatu perkumpulan dan mendapatkan ijin untuk mengelola siaran secara mandiri. Persyaratan dasarnya, program-program siaran yang akan dijalankan mengacu secara tegas kepada komitmen mendasar terhadap dua hal yaitu “perlindungan terhadap hak-hak anak” (program siaran yang edukatif) dan “mendorong peningkatan produksi program siaran mandiri baik lokal maupun nasional”, bukan produk impor yang menyedot biaya mahal, menguntungkan segelintir orang, dan tidak memberi kontribusi ekonomis bagi rakyat Venezuela. Kebebasan Bersuara Langkah demokratisasi media yang dijalankan dalam tindakan tidak memperpanjang ijin siaran ini diarahkan untuk membuka ruang lebih luas bagi sebagian besar rakyat yang mengorganisir diri dalam banyak perkumpulan untuk mengekspresikan kepentingannya melalui media siaran. Salah satu hal penting yang dibangun oleh pemerintahan baru dalam kepemimpinan Hugo Chaves adalah dibukanya ruang-ruang pendidikan populer hak-hak rakyat berdasarkan Konstitusi Bolivarian agar mereka lebih mandiri dalam partisipasi aktif berpolitik, dalam memperjuangkan hak-haknya berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang abai terhadap kepentingan mereka, dalam mengajukan alterhatif-alternatif solutif real dan kontekstual berkaitan dengan problem sosial di wilayah masing-masing. Kekuatan politik rakyat semacam inilah yang pada saat terjadi kudeta di bulan April 2002, menjadi kekuatan populis utama yang mampu mengembalikan kepemimpinan dan pemerintahan Chaves. Mayoritas kaum miskin Venezuela yang selama ini tak pernah mendapatkan bagian dari kue keuntungan kekayaan negara ini menjadi subjek pertama yang dipertimbangkan oleh kebijakan sosialisme demokratis Venezuela. Merekalah harta utama bagi gerakan-gerakan pembaharuan populis negeri Venezuela. Apabila gelombang siaran yang selama ini dikuasai oleh sekelompok kecil pemilik saham perusahaan swasta itu ditawarkan kepada 63% rakyat pendukung Chaves yang senyatanya berasal dari beragam latar belakang, bukankah itu berarti membuka keran bagi mereka yang selama ini tak pernah mendapatkan saluran untuk bersuara, mengemukakan cara berpikir sesuai dengan konteksnya, memandang permasalahan sosial real yang dihadapi dari kacamata mereka sendiri, dan tidak didekte oleh sekelompok kecil juragan media pemegang hak gelombang siaran? Dengan demikian, tidak diperpanjangnya ijin siaran RCTV barangkali dapat dibaca sebagai demokratisasi media, dibukanya lebih banyak kemungkinan bagi mereka yang selama ini kalah untuk bersuara, dan lebih dari itu, kedaulatan rakyat dalam pengelolaan media yang berkomitmen kepada siaran edukatif demi perlindungan hak-hak anak dan peningkatan jumlah program siaran yang mampu diproduksi sendiri secara lokal maupun nasional, mendapatkan lebih banyak jaminan. Bagi mayoritas rakyat miskin Venezuela, barangkali kebijakan ini dipahami sebagai sebuah kebijakan populis. Seandainya kita bertanya kepada Chaves sendiri tentang kebijakan ini, barangkali ia akan menjawab dengan mengutip sebuah ungkapan lama,”Di mana hartamu berada, di situlah hatimu”.***