Tuesday, December 27, 2016

Damai Sejak dalam Pikiran:

Merayakan Natal dalam Kemajemukan

oleh Indro Suprobo


Sebuah perikop singkat dan padat yang memberikan landasan inspiratif dan produktif bagi upaya membangun perdamaian dalam keragaman dan perbedaan adalah kisah tentang seorang yang bukan pengikut Yesus mengusir setan (Luk 9:49-50 atau paralelnya Mrk 9:38-40). Perikop singkat itu berbunyi demikian:

Yohanes berkata:”Guru, kami lihat seorang mengusir setan demi namaMu, lalu kami cegah orang itu, karena ia bukan pengikut kita.” Yesus berkata kepadanya:”Jangan kamu cegah, sebab barangsiapa tidak melawan kamu, ia ada di pihak kamu.”

Pernyataan Yesus ini sangat mendasar dan dasyat. Di dalamnya terkandung sebuah cara berpikir positip tentang orang atau kelompok lain. Semua orang yang mendaku sebagai murid-Nya, semestinya berpikir secara positip dan meninggalkan segala bentuk prasangka maupun stigma terhadap orang lain yang berbeda. Secara sangat gamblang, Yesus menegaskan sebuah prinsip dasar dalam membangun relasi dengan kelompok yang berbeda, yakni damailah sejak dalam pikiran!

Damai yang bersemayam sejak dalam pikiran, akan mengalir ke dalam sikap dan tindakan relasional dengan siapapun, juga dengan mereka yang “bukan pengikut kita”. Damai sejak dalam pikiran, menandakan tersedianya ruang luas dan ramah di dalam batin seseorang, ruang yang siap untuk menerima kehadiran orang lain secara terhormat. Ini merupakan kesanggupan untuk menemukan sesuatu yang bernilai, yang terhormat, yang baik, yang suci dan yang membangkitkan syukur di dalam diri orang lain. Inilah prinsip dasar yang dasyat dan inspiratif yang dapat dipelajari dari pernyataan Yesus.

Dalam perjalanan sejarah Gereja, melalui Konsili Vatikan II, prinsip ini secara sangat bagus dirumuskan di dalam pernyataan Nostra Aetate, yakni pernyataan tentang hubungan Gereja dengan Agama-agama bukan Kristen.

....Gereja Katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang....” (Nostra Aetate, Artikel 2).

Dalam prinsip dasar yang dasyat itu, pernyataan “mengusir setan demi nama-Mu” pantas dimaknai secara lebih luas dan esensial sebagai pernyataan tentang “beragam tindakan nyata mengupayakan kebaikan, keluhuran, kebenaran dan kesucian yang selaras dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Yesus”, meskipun dilakukan oleh mereka yang secara formal-institusional tergolong “bukan pengikut kita”. Pemaknaan ini akan lebih sanggup membantu dan mendorong setiap orang untuk masuk ke dalam inti spiritualitas “memperjuangkan kesucian dan keluhuran manusia serta seluruh ciptaan” yang dilakukan melalui beragam tradisi keagamaan dan kepercayaan.

Dengan demikian, semoga perayaan Natal dapat dimaknai sebagai ungkapan syukur atas anugerah kehadiran Yesus, sang Guru, Junjungan, Teladan, dan Jalan Kehidupan yang telah memberikan landasan inspiratif, tegas dan dasyat tentang prinsip berdamai sejak dalam pikiran. Semoga murid-murid Yesus semakin sanggup menghadirkan damai sejak dari dalam dirinya, dan meluber ke dalam sikap dan tindakan nyata dalam kehidupan yang serba majemuk. ***

Artikel dimuat dalam Majalah Cor Unum Edisi Desember 2016