Wednesday, November 14, 2012

Semoga Benih Itu Bertumbuh

Para pencari suaka yang ditahan di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) di Bangil punya kehendak dan cita-cita yang kuat untuk menuju Tanah Terjanji, untuk mengalami kemerdekaan dan membangun hidup yang baru. Untuk merekalah JRS ada di Pasuruan. Kami mengunjungi mereka, menemani mereka, mendengarkan cerita mereka. Kami belajar berharap dari mereka. Kami belajar untuk memiliki sikap hidup yang tangguh dari perjuangan dan tekad mereka, meskipun tidak ada kepastian, kapan mereka akan sampai ke Tanah Terjanji,” kata Maswan SJ dalam salah satu kotbah hari Minggu di hadapan umat Paroki St. Antonius Padua, Pasuruan.

Kotbah dalam misa itu merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Jesuit Refugee Service untuk membuka wawasan masyarakat tentang pencari suaka.
Dalam bulan Juli dan Agustus 2012, JRS melakukan upaya membangun kesadaran publik tentang keberadaan para pencari suaka di Indonesia dengan  memperkenalkan karya-karyanya kepada komunitas dan masyarakat. Pada tanggal 18 Juli 2012, kegiatan itu dilaksanakan bersama dengan para guru SMAK dan SMK Mgr. Soegijapranata, Pasuruan. Pada tanggal 19 Juli 2012, kegiatan dilakukan bersama dengan para siswa dan siswi SMAK dan SMK Mgr. Soegijapranata, dan pada tanggal 5 Agustus 2012, kegiatan dilakukan bersama dengan umat Paroki St. Antonius Padua, Pasuruan.

Bersama Para Guru

Tumpukan foto para pengungsi dan pencari suaka yang oleh teman-teman JRS Pasuruan ditata di atas meja, seolah menjadi magnet yang menarik perhatian para guru. Mereka memilih satu foto yang menyentuh hati mereka lalu membagikan apa yang dipikirkan atau dirasakan kepada yang lain.

Saya teringat anak saya di rumah,” tutur Arita Mulyastuti, seorang Wali Kelas, sambil menunjukan foto Sonia, seorang anak berusia 8 tahun asal Syria yang harus menghabiskan waktunya bersama orang-orang dewasa di Rudenim Surabaya. “Saya membayangkan kalau hal ini terjadi pada anak saya. Bagaimana ia harus berada dalam situasi semacam ini,” ucapnya haru. Arita dan para guru yang lain tidak menyangka bahwa di tengah mereka ada orang-orang yang menghadapi pengalaman sulit dan tercerai dari orang-orang yang dikasihinya, demi memperjuangkan hidup yang lebih aman dan damai.

Sharing para guru dan tanya jawab dengan teman-teman JRS menjadi sarana yang membuka gambaran tentang kehidupan para pencari suaka. “Laki-laki, kepala keluarga, atau anak lelaki tertua biasanya menjadi incaran kelompok garis keras di Afghanistan. Itulah sebabnya keluarga akan mendahulukan mereka untuk lari dan pergi dengan harapan bahwa setelah tiba di Australia, mereka dapat mengajukan penyatuan keluarga,” terang Taka Gani, National Program Officer JRS.
Kondisi mereka sebagai pencari suaka di negeri lain seringkali tidak mudah. Mereka ditangkap, dimasukkan dalam rumah detensi dengan kamar berjeruji besi, menanti-nantikan status mereka sebagai pengungsi dalam waktu yang lama dan tidak pasti, serta terpisah dari orang-orang yang tercinta. “Banyak di antara mereka yang menunggu bertahun-tahun di rumah-rumah detensi dengan kondisi seperti ini untuk mendapatkan status pengungsi,” terang Zainuddin, koordinator JRS Pasuruan sambil menunjukkan foto para deteni yang hanya bisa memandang penuh harap sambil menggenggam erat jeruji besi.
“Lalu kira-kira apa yang dapat kami lakukan?” tanya Untung, salah satu staf pengajar SMK Soegijapranata. “Banyak hal dapat kita lakukan untuk mereka. Salah satunya adalah dengan datang dan mengunjungi mereka. Mereka sangat senang kalau ada orang yang mau mengunjungi mereka,” jawab Taka Gani.

“Kalau saya bertemu dengan anak seperti ini, ingin rasanya mengangkat mereka menjadi anak saya,” kata Joana Irawati sambil menunjukkan wajah salah satu Unaccompanied Minor (UAM)  yang tercetak di kertas glossy.

Bersama Para Siswa
Suasana yang kurang lebih sama juga dialami oleh para siswa dan siswi SMAK dan SMK Soegijapranata ketika mereka berkenalan dengan kehidupan para pencari suaka bersama teman-teman JRS.

“Kami memilih foto ini karena kami tersentuh oleh peristiwa yang dihadapi oleh Sadra,” tutur Christian Dofiyanto, juru bicara kelompok XII IPS 2. Kelompok ini memilih foto coretan isi hati Sadra di atas tembok kamarnya. Ia adalah deteni asal Iran. Ungkapan hati Sadra adalah sebuah doa kerinduan terhadap sang ibu yang meregang nyawa dalam tragedi Trenggalek, 17 Desember 2011. “My beauty Mom, you’re always in my heart and I always think about u. I love u Mom.”

“Kami ingin mengetahui bagaimana keadaan Sadra sekarang. Dan jika kami bertemu dengan dia kami ingin memberi penghiburan dan kasih sayang serta perhatian supaya ia merasa lebih baik,”tambah Christian.  “Ibu adalah seseorang yang paling berharga dalam hidup kita. Perjuangan seorang ibu tidak pernah tergantikan di dunia ini,” tutupnya.

Paulus Sudarsono, wali kelas X-1 SMAK Soegijopranoto berpendapat bahwa kegiatan bersama JRS bermanfaat besar dalam menumbuhkan semangat kepedulian generasi muda zaman ini. “Menurut saya kegiatan ini bermanfaat untuk menumbuhkan kepedulian serta rasa kemanusiaan generasi muda yang saat ini cenderung egois dan acuh tak acuh karena virus playstation,” ujarnya.

Bersama Umat Paroki
Dalam kesempatan lain, ketika memperkenalkan karya-karyanya kepada umat Paroki St. Antonius Padua, Pasuruan, JRS dapat berbagi pengalaman bersama kelompok yang lebih beragam. Tujuhpuluhan orang duduk memenuhi 16 baris bangku gereja. Mereka datang dari berbagai latar belakang: guru, biarawati, ibu rumah tangga, PNS, pedagang, pelajar, pensiunan tentara, aktivis paroki, orang muda, pengurus lingkungan, WKRI (Wanita Katolik Republik Indonesia), Legio Maria, KTM (Komunitas Tri Tunggal Maha Kudus), dan PDKK  (Persekutuan Doa Karismatik Katolik). Keberagaman mereka diikat oleh semangat guyub untuk mengenal salah satu karya pelayanan Gereja Katolik di Indonesia. “Umat harus tahu bahwa Gereja Katolik memiliki pelayanan yang beragam, salah satunya JRS dengan pelayanan kepada para pengungsi,” tutur Romo Adam Suncoko Pr.

Pemutaran film A Well Founded Fear dan rangkaian foto-foto kehidupan para pencari suaka yang digelar di hadapan umat yang hadir, telah menjawab rasa ingin tahu mereka. Kisah kehidupan Muhammad Rizai dan rekan-rekannya yang dideportasi dari Australia, telah membuka mata tentang perjuangan orang-orang yang tersingkir dari tanah lahirnya.

“Suku Hazara adalah kaum minoritas di Afghanistan dan mereka menganut aliran Islam Syiah. Bagi kelompok garis keras, dua hal ini menjadi alasan untuk menghalalkan darah mereka,” tutur Zainuddin.  Kenyataan kehidupan yang dialami oleh para pencari suaka ini, dengan segala penganiayaan dan diskriminasi yang dihadapinya, menyentak kesadaran semua yang hadir.
Kenyataan hidup yang demikian ini menjadi tantangan yang tidak ringan bagi JRS dalam menemani, melayani dan membela hak-hak mereka yang terpaksa mengungsi. Di hadapan tantangan yang terlalu besar, setiap orang dipanggil untuk senantiasa mengandalkan kekuatan Allah.

Lika-liku pelayanan seperti yang dihadapi JRS tidak bisa digeluti dengan mengandalkan usaha manusiawi belaka. Ketika kami menemukan tantangan besar dalam pelayanan, kami diingatkan oleh pesan Romo Pedro Arupe SJ (pendiri JRS) untuk selalu berdoa dan berdoa,” kata Maswan SJ.

Semua yang hadir terdiam. Barangkali mereka lalu merenungkan kemungkinan-kemungkinan daya Ilahi yang terus berkarya di tengah dinamika hidup manusia, di tengah kerasnya derita maupun di dalam keheningan syukur tiada terkira. Melalui sharing pengalaman tentang bagaimana menemani, melayani dan membela para pencari suaka, JRS telah menaburkan benih-benih kesadaran tentang pentingnya berbagi hati dengan mereka yang terpaksa mengungsi demi menyelamatkan kehidupan. Semoga benih itu sungguh jatuh di tanah yang subur sehingga bertunas dan bertumbuh dalam beragam pelayanan yang mengalir dari lebih banyak hati.

Indro Suprobo

Publikasi awal di JRS Indonesia