Monday, August 30, 2010

Ramadan dan Pluralisme Agama

Oleh Indro Suprobo (Kedaulatan Rakyat, 29 Agustus 2010) Pada hari Minggu yang lalu, memasuki bulan ramadhan tahun ini, tersiarlah berita dari corong mushala desa bahwa seluruh warga dimohon keikhlasannya untuk membersihkan lingkungan mushala dan lingkungan desa secara bersama-sama. Satu demi satu warga keluar rumah membawa peralatan yang dimilikinya, sapu, arit, cangkul, parang, bendho dan sebagainya. Kaum lelaki dan perempuan tiada bedanya. Sebagian warga membersihkan rerumputan liar di pekarangan kosong dan pinggir jalanan desa, sebagian lainnya membersihkan dan mengecat mushala. Semuanya mengerjakannya dalam rasa riang dan gembira. Bagi warga desa Tegalmindi, yang terletak di padukuhan Dayakan, kelurahan Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, Jogjakarta ini, bulan Ramadhan bukanlah milik kaum muslim saja, melainkan menjadi bulan suci dan berharga bagi seluruh warga, apapun agamanya. Ramadhan menjadi bulan yang dinanti-nantikan bersama, meskipun tidak semuanya menjalankan ibadah puasa. Oleh karena itu, dengan penuh ikhlas dan penuh rela, seluruh warga membersihkan mushala dan lingkungan desa sebagai aktivitas bersama memasuki bulan Ramadhan yang penuh berkah dan ampunan. Nilai bersama Meskipun berbeda agama, warga desa Tegalmindi enggan untuk berburuk sangka dan menyebar prasangka. Mereka lebih mengutamakan perasaan bersama sebagai warga dan saudara. Beraneka rupa hal yang berbeda, tidak menjadi kendala untuk berbagi dan bekerja sama. Semuanya ini bisa berjalan dan terjaga karena landasan nilai-nilai yang dihormati bersama. Persaudaraan, kerelaan bergaul, kesediaan menyediakan jimpitan dan melakukan giliran ronda malam, keikutsertaan dalam gotong-royong, kesediaan untuk hadir dalam pertemuan-pertemuan warga, dan kemauan untuk terlibat dalam mengupayakan kemajuan warga, merupakan nilai-nilai utama yang dihormati bersama. Nilai-nilai ini sebenarnya sederhana saja, namun merupakan kriteria utama dalam hidup bersama. Agama dan aneka rupa hal lain yang berbeda-beda, justru tidak termasuk sebagai kriteria utama dalam hidup bersama. Dalam tata nilai inilah, Ramadhan dihayati oleh seluruh warga sebagai bulan suci dan berharga yang dinanti-nantikan bersama, bukan sekedar sebagai peristiwa agama, namun sudah menjadi peristiwa budaya. Ramadhan sudah diterima sebagai kesempatan berharga bagi setiap warga untuk belajar berbagi dan berbelarasa. Jaburan dan takjilan, digilir bersama-sama di antara semua warga untuk menyediakannya. Semuanya dilakukan dalam rasa ikhlas dan penuh rela. Jaburan dan takjilan tentulah merupakan latihan yang sangat bersahaja namun diyakini memberikan nilai guna yang tiada terkira. Sekali lagi, ini semua dijalankan secara ikhlas hati penuh gembira oleh semua warga, meskipun berbeda-beda agama. Mushala, pusat hidup warga Mushala desa bagi warga Tegalmindi bukanlah sebuah bangunan keagamaan semata. Mushala adalah pusat hidup warga desa. Dari sanalah diberitakan berbagai informasi yang berkaitan dengan kepentingan warga. Penimbangan balita, pembayaran pajak bumi dan bangunan, lelayu atau berita duka, undangan kenduri, undangan pengajian, informasi pemilukada, pertemuan kelompok tani dan peternak, pertemuan arisan, perkumpulan pemuda dan sebagainya, semuanya diberitakan dari corong mushala. Tidak jarang pula, pertemuan-pertemuan penting warga dijalankan di mushala desa. Sebagai pusat hidup seluruh warga, mushala desa memiliki fungsi sosial yang sangat berdaya. Tak mengherankan apabila mushala bukan hanya menjadi milik sekelompok warga berdasarkan agama, melainkan menjadi milik seluruh warga, apapun agamanya. Tidak mengherankan pula apabila dalam salah satu pertemuan warga beberapa waktu lalu, telah diputuskan bersama bahwa masing-masing warga akan berkontribusi sesuai dengan kemampuannya, dalam membeli tanah bersama-sama sebagai perluasan lahan mushala, yang statusnya adalah wakaf dari seluruh warga desa. Teladan pluralisme agama Apa yang dijalankan oleh warga desa Tegalmindi di wilayah padukuhan Dayakan, kelurahan Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, Jogjakarta ini kiranya sangat pantas disebut sebagai teladan pluralisme agama. Semuanya dijalankan secara sangat bersahaja namun serba gembira. Mungkin begitulah sebenarnya wajah aseli masyarakat-masyarakat desa di banyak belahan negeri Indonesia tercinta. Mereka menyimpan banyak kabar gembira tentang praksis hidup bersama, yang dijalankan secara wajar dan bersahaja, namun tidak terlalu dicover oleh media massa. Pluralisme agama yang diteladankan oleh warga desa ini, bukanlah sebuah sikap dan pandangan yang menyamakan semua agama yang memang berbeda-beda itu. Pluralisme agama yang diteladankan ini adalah sikap dan pandangan yang menyatakan bahwa perbedaan-perbedaan agama merupakan hal yang wajar dan biasa saja, serta dapat dikelola secara arif bijaksana tanpa harus melahirkan syak dan prasangka. Pluralisme agama adalah sikap hormat terhadap sunatullah, perbedaan yang memang dianugerahkan oleh Allah. Dalam kesadaran semacam itulah, warga desa berupaya dan berlomba-lomba untuk belajar melakukan kebaikan, melalui praktik berbagi dan berbelarasa. Jaburan dan takjilan adalah wujud nyata yang paling bersahaja. Pembelian tanah bersama-sama untuk wakaf mushala, merupakan tindak lanjutnya. Tentu saja, masih dapat ditemukan lagi praktik berbagi dan berbelarasa yang lainnya. Mushala yang menjadi pusat hidup warga desa, telah menjadi salah satu tanda nyata adanya kabar gembira bagi masa depan hidup bersama yang penuh rasa hormat dan rasa bersaudara. Mushala desa Tegalmindi yang telah dibersihkan dan dicat kembali pada awal bulan Ramadhan tahun ini, telah menjadi salah satu bukti bahwa ia telah berhasil merangkul beraneka ragam hati. Semoga di bulan Ramadhan yang suci dan penuh berkah ini, semakin banyak mushala yang mampu merangkul seribu satu hati.

Thursday, August 05, 2010

Mukjizat Ahmadiyah

Oleh Indro Suprobo Dalam hidup kita sehari-hari sebenarnya tersedia begitu banyak mukjizat. Namun mukjizat ini biasanya hanya dapat dilihat, dirasakan dan diamini oleh mereka yang berhati bening, wening dan eling. Maklumlah, keseharian kita seringkali sudah terlalu kental oleh berbagai polutan yang menghalangi diri kita untuk dapat melihat hal-hal sederhana dalam kebeningan, keweningan dan ke-elingan. Polutan itu bermacam-macam sifatnya, termasuk polutan yang seolah-olah bersifat religius. Salah satu mukjizat yang mungkin baik untuk dicermati adalah mukjizat kaum Ahmadi. Mukjizat ini tersembunyi dalam hidup keseharian yang sederhana karena ia memang tidak gegap gempita, tidak memamerkan dirinya, tidak mendamba liputan media, dan sangat menikmati segala yang bernilai sahaja. Begitulah sejatinya mukjizat. Ia bersahaja dan tidak gegap gempita namun agung mempesona dan mengharukan jiwa. Marilah kita lihat mukjizat yang pertama. Dunia kita sekarang cenderung dilandaskan pada keinginan besar untuk mengakumulasi keuntungan. Ia menjiwai banyak sekali peristiwa sehari-hari. Bantuan-bantuan luar negeri atau lebih tepatnya hutang luar negeri, sangat mencolok berlandaskan pada keinginan semacam ini. Senyatanya, hutang luar negeri ini adalah upaya untuk mengakumulasi keuntungan sang pemberi hutang. Sementara para pemuka negeri penghutang itu, berlomba-lomba mengkorupsi hutang itu juga untuk akumulasi keuntungan sendiri. Sistem ekonomi dunia juga dilandaskan pada keinginan ini. Washington Consensus adalah contoh paling nyata. Keinginannya dirumuskan dalam prasyarat-prasyarat seperti deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi, yang justru menjerumuskan masyarakat dunia ke dalam jurang kemiskinan dan ketergantungan abadi. Akibatnya, negeri-negeri penghutang seperti Indonesia, harus mengalokasikan sepertiga dari anggaran belanjanya hanya untuk membayar cicilan bunga hutang. Dengan begitu, kesanggupannya untuk memberikan jaminan kesejahteraan kepada penduduk negerinya menjadi sangat kecil. Di tengah dunia yang seperti ini, sistem candah yang dijalankan oleh kaum ahmadi di seluruh dunia, merupakan mukjizat yang tiada terkira. Ia menjadi sistem yang berorientasi kepada kesanggupan untuk menjamin kesejahteraan bersama. Mukjizat ini semakin terasa karena kaum ahmadi yang mengelolanya tidak pernah tega hati untuk melakukan korupsi. Diberkatilah kaum ahmadi yang menjalankan hidup seperti ini! Bagaimanakah mukjizat yang kedua? Hidup sehat sehari-hari di dunia ini semakin terasa mahal sekali. Di berbagai negeri menjamurlah beribu ragam perusahaan asuransi. Namun sayang seribu sayang, seribu ragam perusahaan asuransi itu hanya mungkin dijangkau oleh kaum berduit tinggi. Belum lagi, jika perusahaan asuransi itu sangat dilandasi lagi-lagi oleh keinginan untuk mengakumulasi keuntungan sendiri. Sehingga Michael Moore, sutradara ternama itu harus membuat film dokumenter “Sicko” yang berkisah tentang tragedi perusahaan-perusahaan asuransi kesehatan di beberapa negeri. Ia membongkar kelicikan, keculasan dan taktik kotor bisnis asuransi kesehatan, dengan korban-korban yang nyata. Di tengah keriuhan bisnis kesehatan sehari-hari, kehadiran homeopathi dan sistem kesehatan yang dikelola oleh kaum ahmadi merupakan mukjizat yang tak terperi. Homeopathi adalah produk kesehatan modern yang hormat kepada tradisi. Harganya sama sekali tidak dilandaskan kepada keinginan untuk mengakumulasi keuntungan diri, karena sungguh-sungguh diberikan sebagai layanan kesehatan yang penuh ikhlas hati. Ia diberikan secara cuma-cuma tiada terkira, alias gratis seikhlas hati. Pantas dicatat bahwa kata “gratis” berasal dari kata Latin “gratia” (baca: gratsia) yang berarti rahmat atau ungkapan terima kasih. Sehingga pengelolaan kesehatan gratis itu merupakan luberan kesadaran kaum ahmadi akan rahmatullah atau ungkapan syukur-terima kasih kaum ahmadi kepada Allah, Sang penyelenggara kesehatan seluruh ciptaan. Kalau toh ada yang ingin membayarnya, ia akan disebut memberikan infaq, lagi-lagi seikhlas-ikhlasnya hati. Tentu saja, ada pula homeopathi yang bukan produksi kaum ahmadi. Namun jangan tanya harganya. Wow, bisa-bisa tidak terkira. Sebungkus plastik kecil homeopathi kaum ahmadi yang diberikan seikhlas hati, bisa berharga berjuta-juta di toko-toko kesehatan swasta. Inilah mukjizat kaum ahmadi yang dapat dicermati dalam hidup sehari-hari. Mukjizat ketiga dapat ditemukan dalam praksis hidup kaum ahmadi yang tak pernah dipublikasi. Praksis mulia ini dijalankan secara tersembunyi, persis seperti nasihat nabi Isa, manusia sahaja dari desa Nasareth,”Apa yang diperbuat oleh tangan kananmu, janganlah diketahui oleh tangan kirimu”. Di tengah hidup yang serba berbayar, baik pra-bayar maupun pasca-bayar, kaum ahmadi telah sudi dengan setulus hati untuk menyumbangkan bagian penting hidupnya bagi sesama. Setiap tiga bulan sekali, kaum ahmadi akan mendonorkan darahnya untuk kehidupan orang lain yang harus disubsidi. Mendonorkan darah adalah memberikan kehidupan. Selain itu, setiap kaum ahmadi akan mendonorkan matanya ketika ia telah meninggal dunia. Perhatikanlah, betapa indah laku hidup semacam ini, ketika sampai pada saatnya ia harus menutup mata, ia memberikan matanya agar orang-orang lain dapat melihat dunia. Subhanallah! Karena itulah saya bersaksi atas kebaikan dan mukjizat kaum ahmadi di negeri ini. Jangan lagi ada segel dan kunci di rumah ibadah kaum ahmadi yang penuh ikhlas hati dan tulus murni berbagi tanpa keinginan mengakumulasi keuntungan diri.