Tuesday, April 26, 2011

Membangun Desain Kerukunan Umat Beriman

Oleh Indro Suprobo Desain tentang kerukunan hidup umat beragama sebenarnya secara baik telah dirumuskan oleh Menteri Agama pada masa Republik Indonesia Serikat, yakni almarhum Wahid Hasyim. Pada masanya, sebagai menteri agama, Wahid Hasyim telah menunjukkan visi inklusifnya melalui program kementerian agama yang dirumuskan sebagai berikut: 1. Melaksanakan perubahan corak politik keagamaan dari dasar kolonial kepada dasar nasional 2. Mewujudkan kebulatan dan keseimbangan bangsa Indonesia dengan tidak membedakan kepercayaan dan agama, sesuai dengan tuntutan demokrasi yang sejati 3. Menghidupkan moral masyarakat terutama dalam pembangunan 4. Membimbing tumbuh dan berkembangnya paham keTuhanan Yang Mahaesa di segala lapangan penghidupan dan bagian masyarakat. Prinsip demokrasi dalam pandangan Wahid Hasyim memberikan orientasi bahwa keberadaan Departemen Agama harus melindungi seluruh hak hidup umat beragama tanpa pandang bulu. Secara tegas ia menyatakan bahwa ”Pemerintah bukanlah pemerintah Islam. Negara Republik Indonesia bukanlah negara Islam dan Kementerian Agama bukan kementerian Agama Islam”. Menurut Wahid Hasyim, negara tidak boleh melakukan propaganda atas nama agama tertentu terhadap agama lainnya, serta tidak boleh melakukan intervensi atas urusan peribadatan rakyat beragama sebagaimana dilakukan oleh pemerintah masa kolonial. Dalam urusan intern agama, pemerintah tidak diperbolehkan untuk campur tangan. Seandainya harus campur tangan, campur tangan itu bukan dalam urusan isi agama melainkan dalam urusan yang bertalian dengan umat atau rakyat beragama sepanjang batas yang dapat dicampurinya. Masih menurut pandangan Wahid Hasyim, umat Islam tidak boleh menggantungkan diri kepada pemerintah. Dalam urusan kegiatan keagamaan, termasuk dalam pembangunan masjid, umat Islam harus mampu membangun sendiri dan tidak boleh meminta bantuan kepada pemerintah. Sebab kalau ini dilayani, pemerintah juga harus melayani urusan pembangunan rumah ibadah umat yang lainnya.[1] Catatan Evaluatif Namun demikian, praktik kerukunan antar umat beragama pada masa-masa kemudian sungguh jauh panggang dari api. Sejak Orde Suharto muncul, bahkan setelah Penetapan Presiden Soekarno No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama diundangkan sebagai Undang-Undang No.5 Tahun 1969, praktik kerukunan hidup antar umat beragama tidak juga menunjukkan perkembangan menuju kepada kebaikan, kehormatan apalagi keadaban. Sebaliknya, hari demi hari daftar keprihatinan tentang kerukunan hidup antarumat beragama di Indonesia ini semakin banyak. Kasus mutakhir yang sungguh mencederai harkat dan martabat kemanusiaan adalah pembantaian penuh kekejaman yang dilakukan oleh sekelompok massa terhadap anggota Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik. Penulis melihat bahwa sekurang-kurangnya ada dua hal mendasar yang menjadi penyebab dari gagalnya upaya membangun kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia. Dua hal itu adalah cara pandang terhadap yang lain dan adanya kebijakan-kebijakan yang dilandasi oleh prasangka. Cara Pandang terhadap Yang Lain Desain tentang kerukunan hidup umat beragama adalah sebuah desain tentang pola relasi antarumat beragama. Desain yang dibangun sangatlah berhubungan dengan cara pandang yang dihidupi oleh masing-masing kelompok yang saling berhubungan. Cara pandang terhadap yang lain akan sangat mempengaruhi bagaimana satu kelompok membangun pola relasi dengan kelompok yang lain. Cara pandang yang negative akan membuat pilihan sikap dan pilihan tindakan dalam berelasi dengan yang lain juga mengandung warna negative tersebut. Sebaliknya, cara pandang positip akan membuat pilihan sikap dan pilihan tindakan terhadap yang lain juga bernuansa positip. Dalam kenyataan hidup sehari-hari, telah terjadi generalisasi cara pandang antar kelompok umat beragama di Indonesia. Sebagai contoh sederhana, sebagian umat Islam memandang kaum nasrani sebagai kaum yang sangat berambisi untuk mengkristenkan orang dengan segala macam cara. Demikian pula sebaliknya, sebagian umat nasrani memandang bahwa umat Islam adalah kelompok orang-orang yang memiliki keinginan terselubung untuk mendirikan Negara Islam Indonesia dengan segala macam cara. Cara pandang negative dan generalis ini membuat satu sama lain saling berelasi secara baik hanya di tingkat permukaan, sementara ketika menukik ke kedalaman batin, sebenarnya terdapat sikap dan pilihan tindakan yang negative terhadap yang lain yang berbeda. Ini berarti kerukunan permukaan yang dibangun adalah kerukunan tanpa ketulusan dan keikhlasan. Cara pandang yang demikian mengaburkan realitas bahwa masing-masing kelompok umat beragama itu memiliki beragam dinamika dan beragam keunikan. Umat Islam seringkali gagal melihat bahwa umat Kristen itu sebenarnya memiliki seribu satu macam ragam, berbagai-bagai denominasi, selain terdapat dua arus besar yakni Kristen Katholik dan Kristen Protestan. Seringkali tidak diketahui dengan baik bahwa masing-masing kelompok Kristen itu tidak dapat begitu saja bertukar gedung gereja atau menggunakan satu gedung gereja saja, karena masing-masing memiliki detail pandangan teologi yang berbeda. Seringkali tidak diketahui bahwa di kalangan jemaat Katholik dan Protestan telah terjadi perubahan-perubahan doktrin teologis yang penting yang berkaitan dengan pandangan dan sikap terhadap umat lain yang bukan Kristen. Demikian pula sebaliknya, seringkali tidak diketahui dengan baik bahwa di antara umat Islam terdapat beraneka macam model yang masing-masing memiliki keunikan detail pandangan teologis tentang sesuatu hal. Kegagalan cara pandang terhadap yang lain dan yang cenderung generalis inilah yang menyebabkan kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia tidak mudah terbangun. Akibatnya sangat sering kita jumpai komentar-komentar spontan yang sebenarnya mencerminkan cara pandang terhadap yang lain itu. Misalnya,”Dia itu orang yang santun dan dermawan lho meskipun dia orang Kristen”. Atau “Dia itu sangat baik, penuh kasih, suka menolong dan ramah kepada tetangga meskipun dia itu muslim”. Kebijakan yang diwarnai prasangka Produk kebijakan semestinya merupakan alat hukum yang bersifat netral yang berfungsi membantu pengaturan hidup bersama menyangkut hal-hal tertentu secara produktif. Namun sayangnya, tidak semua produk kebijakan, terutama yang berkaitan dengan kehidupan beragama, mencerminkan sifat yang demikian. Banyak produk kebijakan itu dirumuskan dalam semangat dasar yang penuh prasangka. Contoh konkret produk kebijakan yang demikian itu adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.8 dan 9 Tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadat berikut cara menyelesaikan perselisihan tentang hal itu. Produk ini lahir dengan latar belakang maraknya pendirian berbagai macam bangunan gereja di lingkungan masyarakat yang menimbulkan kecurigaan dan rasa tidak nyaman masyarakat sekitar akan adanya bahaya kristenisasi dan berada dalam pola pikir tentang mayoritas dan minoritas. Dalam kerangka pikir semacam ini, produk kebijakan ini justru menjadi alat bagi masyarakat untuk melakukan “politik balas dendam” tanpa melihat konteks dan kebutuhan mendasar secara empatik. Maksudnya, masyarakat dengan mayoritas agama tertentu di suatu daerah akan mempersulit ijin bagi kelompok minoritas. Demikian sebaliknya di daerah yang lain lagi. Akibatnya, kebijakan ini justru bersifat kontra-produktif bagi pertumbuhan kerukunan antar umat beragama yang aseli, jujur dan berdaya. Bahkan, kasus-kasus penutupan dan pembongkaran rumah ibadat yang sudah berdiri bertahun-tahun dan berfungsi baik, dapat terjadi dengan landasan kebijakan tersebut. Demikian juga Penetapan Presiden No1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang telah diundangkan, justru cenderung menjadi alat produktif bagi sebagian masyarakat untuk menolak segala jenis perbedaan dalam beragama dan berkeyakinan, sehingga dengan mudah menempatkan perbedaan tafsir dan keyakinan dalam posisi sebagai penodaan, penyimpangan atau kesesatan. Produk kebijakan ini juga sangat rentan melahirkan tindakan diskriminatif yang mencederai keadilan yang menjadi visi utama dari semua agama. Catatan Apresiatif Dengan segala ketulusan dan rasa hormat secara personal saya memuji pernyataan sikap Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X tentang komitmen untuk memberikan jaminan dan perlindungan bagi warga Ahmadiyah di Yogyakarta untuk menjalankan ibadahnya sesuai dengan keyakinan yang dianutnya. Pernyataan ini merupakan cerminan dari nilai dasar konstitusi Negara kita untuk memberikan ruang yang sejuk bagi pertumbuhan religiositas masyarakat. Pernyataan tersebut juga persis sama dengan isi Covenan tentang Hak Asasi Manusia baik dalam bidang Sipil dan Politik maupun dalam bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya, yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, namun belum diwujudkan secara konsisten. Hormat yang tulus juga sangat pantas diberikan kepada kementerian Agama Kanwil Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang mendukung komitmen Gubernur dengan tidak mengeluarkan kebijakan apapun yang bersifat diskriminatif meskipun mendapatkan sedikit tekanan dari sekelompok kecil masyarakat tertentu. Langkah Bersama yang mendesak Berdasarkan catatan-catatan ini, langkah bersama yang mendesak dan strategis yang dapat dilakukan sebagai perwujudan fundamental desain kerukunan antarumat beragama di Yogyakarta adalah sebagai berikut: 1. Membongkar Prasangka antar umat beragama. Langkah paling mendasar adalah membongkar prasangka antarumat beragama. Upaya membongkar prasangka dapat dilakukan dengan berbagai macam metode dan bentuk, namun orientasi dasarnya adalah membangun sebuah pemahaman yang mendalam, positip, jujur, ikhlas dan dewasa terhadap kelompok lain yang berbeda tanpa harus memaksakan suatu kriteria tunggal tentang kebenaran. Ini merupakan langkah panjang yang membutuhkan banyak proses dan kesabaran dengan dilandasi prinsip-prinsip saling menemani untuk menjadi lebih dewasa dalam beragama. Spiritualitas yang pantas dihidupi dalam langkah ini adalah saling menjadi sahabat atau karib dalam banyak perbedaan yang dihormati oleh Sang Pencipta. Hasil yang dapat dicapai dari proses ini adalah tumbuhnya rasa saling hormat yang mendalam, tulus dan mencerminkan kebijaksanaan satu sama lain, serta lahirnya sensitivitas satu sama lain untuk mengupayakan kepantasan-kepantasan hidup bersama yang perlu tanpa merasa terancam, namun justru diwarnai oleh keharuan mendalam. Semangat ini dalam teks keagamaan sering diungkapkan dengan istilah “berlomba-lomba dalam kebaikan”. 2. Memperkuat Pendidikan Kebhinnekaan Kebhinnekaan adalah kenyataan masyarakat Indonesia yang tidak dapat disangkal dan merupakan sunnatullah, anugerah dari Allah. Anugerah ini mengandung mandat bahwa masyarakat Indonesia semestinya mengupayakan berbagai macam kesanggupan untuk mengelola kebhinnekaan ini sehingga setiap bagian dalam masyarakat itu dapat menjalani hidup sebagai dirinya sendiri dalam seluruh harkat, martabat, kehormatan dan keadilan. Oleh karena itu, pendidikan tentang kebhinnekaan merupakan model pendidikan yang penting. Pendidikan kebhinnekaan adalah pendidikan yang membantu setiap pribadi memiliki kesanggupan untuk menerima perbedaan real sebagai kenyataan, kesanggupan untuk menghormati, kesanggupan untuk melindungi, kesanggupan untuk memberikan ruang pertumbuhan bagi yang lain yang berbeda. Pelajaran Agama juga dapat menjadi pintu masuk bagi pendidikan kebhinnekaan ini, di mana setiap individu yang berbeda latar belakang agamanya dapat saling belajar dalam satu ruang yang sama mengenai topic yang sama namun dalam perspektif yang berbeda-beda. Forum Komunikasi Guru-guru Agama di Yogyakarta telah memulai langkah ini dengan berbagai macam cara sesuai dengan konteks dan kesanggupan masing-masing. Segala bentuk dialog diorientasikan pertama-tama dan terutama kepada pemahaman mendalam tentang perbedaan dan pertumbuhan sikap hormat terhadapnya, bukan untuk semata-mata mencari persamaan atau titik temu. Titik temu atau persamaan justru akan lebih mudah dikelola apabila landasan penerimaan dan hormat terhadap perbedaan sudah terbentuk. 3. Mendukung Pertumbuhan Nilai-nilai Budaya Lokal yang produktif Nilai-nilai budaya local masyarakat seringkali justru menjadi modal budaya dan sosial yang memberi daya bagi upaya membangun kerukunan antarumat beragama secara sederhana, nyata, namun sekaligus mempesona. Nilai-nilai ini sebenarnya masih hidup dan terpelihara di tengah-tengah masyarakat pedesaan Yogyakarta dan membutuhkan dukungan real. Secara sederhana dan mempesona, masyarakat desa seringkali menyuguhkan kerukunan itu dalam kehidupan sehari-hari. Kidung Requiem* yang diperdengarkan dari corong mushala desa, keikhlasan dan semangat warga yang berbeda agama untuk menyumbang sesuai kesanggupannya demi membeli tanah bersama yang selanjutnya diwakafkan demi kemajuan kerohanian Masjid, spontanitas dan keikhlasan warga desa yang mayoritas muslim untuk menguburkan jenasah nasrani miskin secara muslim atas kehendak keluarga dan menyelenggarakan tahlil selama 7 malam dengan biaya bersama, dan keputusan mayoritas muslim desa untuk tidak menggunakan mushala sebagai tempat menyelenggarakan halal bihalal tahunan demi menghormati minoritas nasrani yang ada di antara mereka, kerelaan sebagian warga untuk ikut menyiapkan “ubarampe” yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan kebiasaan “yasinan” meskipun mereka sendiri memiliki perbedaan pandangan tentang kebiasaan “yasinan” demi relasi sosial yang tetap terjaga, merupakan contoh-contoh sederhana tentang bagaimana nilai-nilai budaya local itu secara nyata berkontribusi bagi pertumbuhan kerukunan hidup bersama dalam perbedaan-perbedaan yang nyata. 4. Memperluas dan mengintensifkan Pengalaman Melintasi Perbedaan Pengalaman konkret hidup di tengah perbedaan yang nyata merupakan sekolah dan pendidikan alamiah yang membentuk pribadi manusia sehingga memiliki kebijaksanaan untuk melihat, menerima dan menghayati perbedaan sebagai sebuah kewajaran. Mengalami hal yang berbeda akan merangsang berbagai macam pertanyaan dari yang paling sederhana sampai kepada yang paling rumit sehingga mendorong individu untuk mencari jawaban secara kreatif dan bertanggungjawab. Pengalaman menghidupi perbedaan akan menumbuhkan pemahaman yang lebih mendalam, rasa hormat yang lebih tulus dan sensitivitas yang berkilau sehingga pilihan-pilihan sikap dan tindakannya akan mencerminkan kesantunan dan keadilan. Pengalaman ini dapat diupayakan secara sengaja melalui berbagai macam bentuk dan cara. Pemerintah Kotamadya Yogyakarta dalam kepemimpinan Heri Zudianto telah mewujudkannya melalui program pertukaran pelajar lintas budaya dan menerbitkan pengalaman itu dalam bentuk buku. Ini merupakan upaya yang pantas diapresiasi dan diduplikasi. Kemah Kebangsaan yang diselenggarakan oleh Aliansi Jogjakarta Untuk Indonesia Damai (AJI DAMAI), aktivitas Belajar Bersama yang dikelola oleh Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS) dan Perkemahan Remaja Lintasiman tentang Lingkungan Hidup yang diselenggarakan oleh Interfidei adalah contoh yang lain. Dibutuhkan keberanian untuk menyelami perbedaan secara tulus dan jujur. Mereka yang takut menyelami perbedaan justru akan kehilangan banyak hal, namun mereka yang berani melakukannya justru akan menemukan banyak hal yang memperkaya identitasnya. 5. Memperkaya dan Memperdalam Pendidikan Karakter Kerukunan hidup antarumat beragama hanya mungkin terbangun secara produktif apabila masyarakat pendukungnya merupakan masyarakat yang berkarakter. Masyarakat yang berkarakter adalah masyarakat yang memiliki kesanggupan untuk mengembangkan dan mengelola pengetahuan, mengenali dan mengelola perasaan, serta memiliki landasan yang kuat untuk secara bertanggungjawab mengambil pilihan-pilihan tindakan yang membawa resiko baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Oleh karena itu melakukan pendidikan karakter merupakan upaya mendasar menumbuhkan pribadi-pribadi yang senantiasa terbuka untuk belajar dan mengetahui, memiliki kepercayaan diri, mempunyai kesanggupan untuk berkonsentrasi kepada kebaikan-kebaikan, mampu bekerja sama dengan semua orang dalam berbagai macam perbedaan, dan mampu berkomunikasi secara santun dan inspiratif bagi kehidupan bersama. Membangun kerukunan hidup antar umat beragama adalah proses belajar terus-menerus seumur hidup. Ini membutuhkan kerendahan hati, keterbukaan untuk mengetahui yang baru, keikhlasan untuk mencari alternatif yang produktif, kesanggupan menyediakan ruang batin yang luas dan ramah terhadap perbedaan, kegembiraan untuk mendengarkan yang lain dan berbeda, dan kesediaan untuk menjadi sahabat karib yang terus-menerus menemani yang lain dalam proses pertumbuhan bersama, serta ketegasan untuk menjunjung prinsip-prinsip keadilan bagi semua. *** * Tulisan ini merupakan pengantar dialog dalam Lokakarya Kerukunan Antarumat Beragama yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama Kantor Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta di Hotel Bintang Fajar, 13 April 2011 [1] Lih. AAGN Ari Dwipayana (et al), Kaji Ulang Posisi Departemen Agama dalam Mengimplementasikan Kewajiban Negara untuk Melindungi Hak-hak Beragama, laporan hasil penelitian KOMNAS HAM dan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), 2005, dokumen terbatas dan tidak dipublikasikan. * Kidung Requiem adalah doa umat Katolik yang dikidungkan dalam bahasa Latin dan diperuntukkan bagi jenasah dan keluarga yang sedang mengalami kematian. Kidung ini berisi peneguhan, penghiburan dan pengharapan bahwa Allah adalah penyelenggara kehidupan dan senantiasa berbelas kasih menerima manusia yang dipanggilNya untuk kembali masuk dalam kerahimanNya.