Tuesday, November 01, 2022

Manakala Satu Remang Melepas Pulang, Donatus Danarka Sasangka dalam Kenangan

 Oleh Indro Suprobo




Manakala Satu Remang Melepas Pulang adalah judul karya fotografi mas Donet (Danarka Sasangka) yang ditayangkan di dinding facebooknya pada 18 Februari 2021. Karya ini berhasil menyuguhkan moment yang luar biasa indah, dinamis, sekaligus kontemplatif. Keindahan itu tampak dalam konfigurasi warna dan perpaduan obyek-obyek yang berjalinan menyusun panorama. Dinamikanya tampak dalam simbol-simbol riak gelombang pantai dan perahu-perahu yang membangun imajinasi tentang jerih lelah dan perjuangan hidup. Sisi kontemplatifnya muncul dari kesan keheningan dan "nuansa jeda" yang tercipta, yang sekaligus menyediakan beragam makna untuk dicerna sesuai dengan perspektif pembacanya.

Dalam pembacaan saya, foto ini mengabarkan bahwa moment yang berhasil dibidik oleh mas Donet, adalah moment yang penting dan tampaknya menggaungkan suatu makna yang mendalam baginya. Dalam komentar di facebooknya, moment ini dibidik oleh mas Donet kurang lebih pada tahun 2020 dan baru diunggah di dinding facebooknya pada tanggal 18 Februari 2021. Ini berarti bahwa ia menangkap moment ini pada tahun bonus pertama, setelah pada tahun 2019 ia divonis mengalami kanker glioblastoma, satu jenis kanker ganas di otak kiri yang berada pada stadium IV, dan memiliki kesempatan untuk hidup kurang lebih tiga bulan setelah vonis itu dinyatakan. Ternyata, sampai tahun 2020 itu, ia masih mendapat anugerah dapat menghirup udara segar dan berlibur ke Kuta, Bali, serta berkesempatan mendokumentasikan moment yang indah ini. 

Dalam pembacaan saya pula, moment ini mencerminkan dinamika batin mas Donet dan membuat panorama itu sangat berarti baginya. Ketika memotret moment ini, ia sebenarnya sedang memotret ruang batinnya sendiri. Remang adalah ambang batas atau liminalitas antara malam dan siang. Sekaligus, ia adalah liminalitas antara harapan dan kecemasan, antara keyakinan dan keraguan, antara jaminan dan ketidakpastian, antara keberhasilan dan kegagalan, antara kesedihan dan kebahagiaan, antara kehilangan dan kepenuhan, antara keikhlasan dan kemelekatan, antara belenggu dan kebebasan, antara kesepian dan keheningan, antara kehidupan dan kematian. Namun liminalitas ini bukanlah sesuatu yang sangat tegas. Ia sangat lembut, halus, hening, tipis, dan tidak transparan. Hanya batin yang cermatlah yang dapat menghayati garis tipis lembut itu. Tanpa kecermatan dan kebeningan, ia hanya akan lewat tanpa dinyana dan terlepas. Mencermati dan menghayati garis tipis lembut itu adalah sebuah pengalaman puncak (peak experience) sekaligus pengalaman memasuki momen yang abadi (timeless moment) dan mendalam.

Saya menduga, melalui bidikan foto itu, mas Donet telah memasuki moment itu secara mendalam. Vonis dokter tentang sisa masa hidup yang hanya tiga bulan, namun telah dilampauinya itu, membawa mas Donet memasuki pengalaman remang, liminalitas dalam hidup batinnya. Ia tak tahu pasti sampai kapan ia masih boleh mengalami hidup ini, dan tak tahu kapan "saatnya itu tiba" dan hanya tahu bahwa "saatnya sudah dekat". Remang itu terbuka luas tanpa batas seperti hamparan laut yang seolah-olah menyentuh kaki langit di kejauhan. Semua hal yang pada masa-masa sebelumnya tampak terang benderang, dalam remang dan liminalitas itu, perlahan menguning dan menua seperti warna matahari yang menjemput batas laut.

Dalam batinnya telah tergambar bahwa perahu-perahu yang membawanya berlayar mengarungi kehidupan itu, sudah mendekati masa untuk ditambatkan di antara riak-riak kecil gelombang pantai, berdiam, kosong, memasuki jeda, masa tenggang dan lengang. Perahu-perahu yang sebelumnya terhempas dalam deru liminalitas, kini bersandar dan menghirup ketenangan yang menjalar. Hangat dan penuh maklumat.

Satu hal yang sangat penting dan tak pernah akan hilang, adalah adanya jiwa yang dilepas pulang. Ia pulang dengan membawa penghayatan mendalam bahwa ia telah sungguh-sungguh mengarungi semuanya dengan berjuang. Ia telah menuai satu keputusan bahwa menghadapi liminalitas, satu-satunya hal yang dipilihnya adalah menjadi pribadi yang berkualitas.

 Beberapa teman meneguhkan kesaksian bahwa di antara masa-masa sakit yang penuh perjuangan, mas Donet masih saja sanggup menyuguhkan keceriaan dan pengharapan. Senyuman dan jempolan menghiasi foto-foto yang dikirimkan. Dalam masa-masa sakit, ketika masih sanggup melakukan, ia masih saja berusaha mengirimkan dan membagikan analisis dan tulisan sesuai dengan bidang keahlian. Ia terus saja berupaya melakukan segala hal yang masih sanggup ia lakukan. Semua itu ia jalankan dalam kesungguhan.

Dalam pertemuan terakhir, beberapa waktu sebelumnya, sebelum akhirnnya kesehatannya sangat menurun, ia berkisah bahwa satu-satunya hal yang ia rasakan adalah rasa syukur. Bonus masa hidup yang melebihi vonis tiga bulan dari tim medis, sungguh membuatnya merasa bersyukur. Meskipun ia mengakui bahwa semakin lama, ia semakin menjadi pelupa dan tak boleh berbicara terlalu lama karena nanti akan menjadi tidak jelas lagi dia ngomong apa. Dalam pertemuan terakhir itu, ketika saya mengantarnya pulang ke rumah, ia memang sudah sering lupa jalan dan sulit membedakan arah kiri dan kanan. Karena berkali-kali keliru arah jalan, maka saya menyimpulkan, jika mas Donet mengatakan "kiri", maka saya harus membelok ke kanan. Demikian sebaliknya. Ternyata benar, sehingga kami tidak salah arah dan dapat mencapai rumah.

Senin, 31 Oktober 2022, mas Donet benar-benar pulang. Hari itu, menjelang remang, keluarga dan para sahabat benar-benar telah melepasnya pulang. Ia telah pulang sebagai jiwa yang telah tuntas dalam kesungguhan berjuang. Ia telah mengarungi liminalitas dengan menjadi pribadi yang berkualitas.

Kebetulan sekali, ayat yang dikutip untuk menghantar mas Donet pulang berbunyi demikian,"Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana aku berada, kamu pun berada" (Yoh 14:3b). Ini adalah ayat yang menjadi bagian dari perikop panjang yang disebut sebagai Pidato Perpisahan Yesus (Farewell Discourse) dimulai dari bab 13 dan diakhiri dalam bab 17 berupa Doa Yesus untuk Murid-muridNya (Farewell Prayer).  Bagian ini merupakan bagian yang mencerminkan situasi remang atau liminalitas dalam kehidupan Yesus. Ini adalah masa ambang antara kehidupan dan kematiannya. Ini adalah masa-masa menjelang hari-hari terakhir atau menjelang "saat yang sudah dekat". Saat yang sudah dekat itupun tak dapat dimengerti secara pasti. Entah persisnya kapan, namun sudah dekat. Sungguh, sebuah kebetulan yang luar biasa dan penuh makna. Pada detik remang liminalitas itu, Yesus juga menyampaikan peneguhan dan pengharapan kepada para murid-Nya. Yesus menunjukkan diri sebagai pribadi yang berkualitas.

Pada hari Senin, 31 Oktober 2022, karya fotografi yang sebenarnya adalah sebuah bidikan terhadap isi batin dirinya sendiri, telah secara lengkap dan tuntas memperdengarkan seluruh keindahan, keheningan, keluasan, dan kedalaman bunyinya. Remang itu benar-benar telah melepaskannya pulang. ***


Friday, September 23, 2022

Ketika Agama Kehilangan Puisi

 


Kata Pengantar untuk buku Pluralisme, Dialog, dan Keadilan
Tantangan Berdemokrasi dalam Negara Republik Indonesia


Sesungguhnya agama-agama adalah puisi yang lahir dari manusia-manusia unggul, yang telah mengarungi ziarah hidup di dalam keheningan, kedalaman dan keindahan. Akibatnya agama-agama bukanlah sekumpulan kata dan ajaran yang senantiasa bermakna denotatif, bukan pula sekedar praktikpraktik normatif yang kaku-beku seumpama kematian, melainkan ungkapan makna-makna yang luas membentang dan dipraktikkan sebagai kekayaan seni yang memperindah kehidupan.

Sebagai puisi, agama-agama dilahirkan dari rahim keheningan, kedalaman dan keindahan. Para pembawa agama adalah manusia-manusia yang senantiasa akrab dengan keheningan, kedalaman dan keindahan itu. Keheningan adalah kekosongan yang ramah, yang menyediakan ruang penuh persahabatan bagi kehadiran yang lain (termasuk Yang Mahalain), dengan seluruh kesediaan untuk mendengarkan. Di dalam keheningan tak terdapat satupun kepentingan, kecuali kepentingan untuk mendengarkan. Maka keheningan adalah prasyarat bagi suatu perjumpaan.

Kedalaman adalah keterbukaan yang teramat luas, yang mampu menembus ruang dan batas, yang menyebabkan seluruh perspektif dan spektrum menjadi lebih berpendar dan bercahaya, sehingga mampu mengalami kehadiran yang kaya dari yang lain (termasuk Yang Mahalain). Sementara keindahan adalah pengungkapan dan pancaran dari rahasia-rahasia yang tersembunyi di dalam keheningan dan kedalaman, yang menggerakkan kekaguman, rasa hormat, pengertian, kesadaran, kedamaian, pencerahan, dan kerinduan untuk semakin menyelami.

Apabila diterima dan dihayati sebagai puisi, agama-agama akan membantu manusia-manusia beragama itu untuk senantiasa melatih diri menikmati keheningan, kedalaman dan keindahan yang tak pernah habis. Dengan demikian, manusia beragama akan menjadi lebih terlatih untuk mendengarkan, merasakan kehadiran, dan menemukan pancaran-pancaran rahasia dari yang lain (termasuk Yang Mahalain), yang menumbuhkan kekaguman, rasa hormat, pengertian, kesadaran, kedamaian, pencerahan, dan kerinduan untuk semakin menyelaminya.

Pendek kata, agama yang dihayati sebagai puisi, akan membantu manusia-manusia untuk mendengarkan dan berdialog, menerima dan mencecapi kehadiran keragaman yang luas (pluralitas, kemajemukan, perbedaan), dan terdorong untuk mampu saling berbagi nilai, saling mendukung dan melindungi (koeksistensi dan proeksistensi) sebagai seni yang memperindah kehidupan. Itulah yang barangkali dapat disebut sebagai pluralisme, dialog dan demokrasi, untuk keadilan.

Buku kumpulan tulisan yang hadir di hadapan pembaca ini merupakan refleksi atas dinamika agama-agama di Indonesia yang menghadapi tantangan hilangnya puisi di dalam dirinya, sehingga cenderung rentan untuk menjadi lekat kepada beragam kepentingan, dan menjadikannya mudah dikooptasi serta dijadikan sebagai semata-mata alat yang mengabdi kepada kepentingan-kepentingan yang tak teratur, termasuk kepentingan kekuasaan.

Hilangnya puisi dalam agama-agama ini mengakibatkan orang-orang beragama lebih rentan terhadap masuknya beragam kepentingan yang menggeser kemampuan untuk mendengarkan dan menyediakan ruang penuh persahabatan bagi yang lain. Ini juga berimplikasi kepada hilangnya kemampuan berdialog dan merasakan kehadiran yang lain (pluralisme, penghargaan terhadap kemajemukan). Pada gilirannya, hilang pula kesanggupan untuk menemukan pancaran rahasia keindahan dari yang lain, yang terwujud secara nyata dalam tiadanya rasa hormat, penghargaan, perlindungan, apalagi pembelaan terhadap yang lain yang berbeda.

Hilangnya puisi dalam beragama merupakan tantangan nyata bagi seni hidup bersama, yang disebut sebagai demokrasi, yang mengandaikan setiap manusia dihormati dan dilindungi seluruh hak asasinya, sehingga seluruh kesanggupannya untuk menjadi lebih bermartabat mendapatkan dukungan dan ruang kehadiran, yang tercermin dalam keadilan. Hilangnya ruang bagi kebebasan beragama dan berkeyakinan, saling mempersulit kehadiran rumah ibadah, pemaksaan kehendak dan kekerasan, diskriminasi dan kriminalisasi terhadap mereka yang berbeda, tiadanya pengakuan terhadap hak dan keberadaan agama-agama lokal, ketidakhadiran jaminan dan perlindungan yang semestinya diberikan oleh mereka yang diberi kewenangan, pembiaran-pembiaran atas tindakan yang merusak bahkan mencederai kemanusiaan, serta produksi kebijakan yang tidak produktif dan cenderung melanggengkan prasangka, merupakan contoh-contoh nyata dari akibat yang dilahirkan oleh hilangnya puisi dalam agama-agama.

Meskipun menyuguhkan beberapa pengalaman dan landasan yang memberikan harapan, tulisan-tulisan yang terangkum dalam buku ini lebih banyak menyuguhkan sisi buram dari realitas dinamis kehidupan agama-agama di Indonesia dalam memajukan pluralisme, dialog dan demokrasi untuk mencapai keadilan. Tentu itu dimaksudkan untuk menyuguhkan tantangan nyata yang masih harus dihadapi. Secara garis besar, tulisan-tulisan dalam buku ini seperti menyatakan bahwa ketika agama-agama kehilangan puisi dalam dirinya, ia akan kehilangan kesadaran kritis dalam berhadapan dengan kekuasaan, kehilangan sikap hormat terhadap perbedaan, dan kehilangan orientasi kepada keadilan dan kemanusiaan yang bermartabat.

Jogjakarta, 9 Oktober 2011

Indro Suprobo


Sunday, September 18, 2022

Kesetiaan yang Kemilau


 

Sederhana, murah senyum, baik hati, rileks, dan menikmati hidup secara ringan serta apa adanya. Itulah yang dirasakan ketika orang bertemu dengannya. Dalam semua sifat itu, ia menjalani kerja keras, ketekunan, disiplin, dan loyalitas dalam bekerja. Tanggung jawab hidup dijalaninya secara sungguh-sungguh namun tetap rileks. Saya memanggilnya Lik Tomo.

Sejak saya masih kanak-kanak, Lik Tomo memiliki kebiasaan mengisi waktu senggang dengan mendengarkan musik-musik lokal berupa langgam yang sekarang ini lebih dikenal dengan campursarinan. Salah satu penggalan lirik lagu lama tahun 80an yang dulu sering diputarnya berbunyi demikian,".....dithuthuk nganggo pipa ledheng...." (dipukul dengan pipa air ledeng). Lalu biasanya diteruskan dengan lirik yang sifatnya seperti pantun Melayu lama. Itulah beberapa ciri yang masih saya ingat, yang mencerminkan semangat dan gaya Lik Tomo dalam menghayati kehidupan. Bergembira dalam kesederhanaan.

Yang paling mengesankan, yang dijalaninya sampai akhir hidupnya adalah pilihan untuk tetap tidak menikah lagi setelah istri tercinta, Ermina Sutini, meninggal dunia pada sekitar tahun 90-an. Tampaknya ia memilih untuk tetap menjagai hatinya dengan api cinta dan kasih sayang kepada kekasih yang telah menemaninya dalam perjuangan hidup. Barangkali, setiap saat  ia menghidupkan kehadiran kekasih jiwanya di kedalaman batin, memenuhinya dengan kebahagiaan yang lembut dan mendalam, serta menghangatkan detik-detik nafasnya meski tanpa kehadiran fisik. Ia telah memilih untuk setia secara radikal.

Saya menduga dan hampir-hampir meyakini bahwa pilihannya untuk tetap setia ini merupakan luapan dari rasa hormatnya yang dalam terhadap istri dan kekasih hati yang telah secara ikhlas menemaninya untuk berjuang pada masa-masa paling sulit dalam hidupnya. Sungguh, ini sebuah sikap hormat yang hening, mendalam, menggetarkan, mengesankan, dan memancarkan cahaya kehangatan lembut bagi setiap orang yang sanggup membacanya. Sikap hormat terhadap kekasih hati ini memancar bagaikan fajar pagi. 

Sikap hormat inilah yang tampaknya melandasi kesetiaan yang dijalaninya dalam kesederhanaan dan kebahagiaan. Mau tidak mau, dalam spiritualitas agama apapun, sikap hormat selalu dan senantiasa merupakan luberan dari rasa syukur kepada Tuhan atas anugerah besar yang diterima di dalam hidup. Saya membaca bahwa Lik Tomo telah memandang dan menempatkan istri dan kekasih hatinya, Ermina Sutini, sebagai anugerah besar dalam hidupnya, yang ia terima dari Tuhan. Kehadiran istri dan kekasih jiwanya ini, yang telah mengisi perjalanan hidup dengan makna yang luar biasa itu, tak tergantikan dan melahirkan rasa syukur yang mendalam. Oleh sebab itu ia sangat menghormatinya, dan menghormatinya selama-lamanya, sampai hidupnya sendiri menjemput titik akhirnya. Barangkali itulah jaring-jaring batin yang ada dalam dirinya. Rasa syukur meluberkan sikap hormat, sikap hormat melahirkan kesetiaan. 

Bagi saya, kesetiaan yang dipilih dan dijalaninya ini adalah kesetiaan yang kemilau. Ia memancarkan cahaya yang berpendar mendalam namun lembut, tak menyilaukan namun menghangatkan. Barangkali, pilihan Lik Tomo untuk tetap menjagai kemilau kesetiaannya kepada kekasih jiwanya ini sangat cocok dengan apa yang dikatakan oleh Yesus kepada Marta, tentang Maria,".....tetapi hanya satu saja yang perlu, Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya." (Luk 10:42).

Saya membaca bahwa Lik Tomo adalah cerminan dari figur Maria yang telah memahami apa yang perlu dalam hidupya sehigga ia telah memilih bagian yang terbaik yang tidak akan diambil daripadanya, yakni setia kepada kekasih jiwanya sampai Tuhan memanggilnya. 

Selamat jalan Lik Tomo. Terima kasih atas teladan dan kesaksian tentang kesetiaan yang kemilau. Bahagialah di surga, memeluk kekasih jiwa yang menghangatkan batinmu sepanjang masa. 


Jogjakarta, 17 September 2022


Indro Suprobo

Friday, September 16, 2022

Subyek yang Senantiasa Bertanya



Orang-orang yang menyukai proses belajar terus-menerus (on going learning), pada umumnya memiliki kebiasaan untuk senantiasa bertanya, berpikir dan menemukan alternatif jawaban. Pada umumnya pula, orang-orang yang tergolong dalam kategori ini, memiliki kebiasaan untuk mengambil jarak, menunda persetujuan, membuka kemungkinan terhadap  cara-cara baru dalam membangun pemahaman, serta dengan gembira hati memberikan ruang bagi perbedaan pandangan. Semuanya itu sudah menjadi "laku", jalan hidup (the way of life), atau gaya hidup (life style). Yang paling menarik, orang-orang seperti ini, tak pernah merasa malu untuk mengakui bahwa ia belum memahami sesuatu. Maka ia tak pernah ragu ketika suatu saat harus mengatakan "maaf, saya tidak tahu tentang hal itu".  

Gunawan Sudarsono, adalah salah satu contoh konkretnya. Sejak masih aktif sebagai guru sastra, ia selalu suka bertanya kepada para muridnya, mengajaknya untuk berpikir dan mencoba merumuskan alternatif jawaban. Sebaliknya, ia juga selalu dengan gembira membuka ruang bagi siapapun untuk bertanya, atau menyampaikan pandangan yang berbeda. Berdialog, bertukar pikiran, berbagi gagasan, saling mempertanyakan, saling melengkapi pandangan, saling membuka kemungkinan-kemungkinan, adalah ruang yang ditawarkan dan disediakannya sejak semula. Semangat untuk saling belajar tiada henti, itulah karakter yang sejak dini ia inisiasi.

Karena telah menjadi "laku", masa pensiun tidak membuatnya berhenti untuk berpikir dan bertanya, serta menemukan beragam jawaban yang mungkin beraneka rupa. Ia tetap menjadi pribadi yang produktif, terus bertumbuh, menciptakan makna dan berkarya. Bulan Terbelah, novel kecil yang ditulisnya, adalah salah satu bukti dan hasil nyata, sekaligus kesaksian utama tanpa dusta. 

Sub judul yang dirumuskannya, Dia Anakku Walau Bukan dari Benihku, merupakan tema utama yang menjadi sarana baginya untuk mengajak semua pembaca untuk bertanya, berpikir dan berupaya merumuskan alternatif jawaban. Melalui novel ini, ia mengajak para pembacanya untuk mencoba memasuki peran dalam diri tokoh-tokoh utamanya, Herman dan Kadarwati, memasuki pengalaman, kenyataan, persoalan serta dilema yang dihadapinya. 

Saat memasuki atau menghadapi pengalaman, peristiwa, kenyataan yang tak sesuai impian, dambaan mendalam, relasi kuasa, kegelisahan, rasa bersalah, dan pandangan-pandangan masyarakat sekitar maupun pandangan keluarga yang disuguhkan dalam novel ini, setiap pembaca diajak untuk menentukan pilihan dan mengambil keputusan. Meskipun melalui para tokohnya, Gunawan Sudarsono telah menyodorkan pilihan-pilihan, keputusan, serta cara berpikir dalam menghadapi kenyataan, ini tidak berarti bahwa ia telah secara final merumuskan satu jawaban pasti. Itu semua merupakan tawaran terbuka, sebagai salah satu pandangan yang menghantar pembaca untuk berpikir dan bertanya ulang, lalu merumuskan alternatif keputusan dan pilihan. Melalui novel ini, ia seperti sedang mengajukan sebuah pertanyaan,"Jika pilihan-pilihannya semacam ini, bagaimana menurutmu?" Selanjutnya, pembaca diajak untuk menimbang dan mengambil keputusan sendiri.

Membaca novel yang ditulisnya ini, saya merasa seperti dibawa kembali ke masa lalu, ke ruang kelas sastra, di mana ia mengajukan tanya agar sebanyak mungkin murid-muridnya mengajukan jawaban yang berbeda-beda, dan dengan gembira hati, ia mewadahi dan menanggapi semuanya. Sekali lagi, ia sedang mengajak untuk berpikir, bertanya dan merumuskan alternatif jawaban. 


Bahasa-bahasa Simbolik

Hal lain yang menarik, novel ini menyuguhkan bahasa-bahasa simbolik yang mengesankan dan mendalam. Ia merupakan bahasa yang tak terucap dalam kata, melainkan dalam perilaku, sikap, permainan musik biola maupun piano yang menghubungkan gerak dan dinamika jiwa. Ada kesalahpahaman, ada dugaan-dugaan yang memberi harapan, ada feeling yang membangun keterhubungan dan komunikasi meskipun tak dipahami dalam keyakinan yang pasti. Kemarahan bapak Kepala Sekolah terhadap perilaku tokoh Bulan yang dinilainya tak menunjukkan sopan santun di dalam ruang kelas, merupakan kesalahpahaman yang disebabkan oleh tiadanya pengenalan terhadap konteks psikologis sang murid. Kepala Sekolah tak berhasil mengenali bahwa perilaku Bulan itu sebenarnya merupakan cerminan dari bahasa kerinduannya terhadap sosok ayah yang telah hilang, yang sebagian sifatnya tampaknya ditemukan dalam diri Kepala Sekolah itu. 

Permainan biola oleh tokoh Pak Suryo, nama tua tokoh Herman, adalah upaya seorang ayah untuk menggapai hati seorang anak perempuan yang secara kuat ia duga sebagai anaknya, namun telah tak mengenalnya lagi. Ini adalah komunikasi-komunikasi non verbal yang menggetarkan dan kuat, serta mengesankan. Pembaca diajak untuk melampaui kata-kata dan memasuki komunikasi simbolik yang mendalam dan penuh makna. Saya kutipkan penggalan narasinya yang mengesankan:

Bulan terus disibukkan oleh pikiran-pikiran tentang ayah. Saat matanya terus tidak bisa dipejamkan, saat kerinduan terus menjalari pikiran dan hatinya, sayup-sayup ia dengar Nocturne Op 9, No 2 Chopin. Suara biola mengalun lembut dengan nada rendah berpindah ke nada tinggi, kembali ke rendah lagi mengalir dengan lembut. Nada-nada keluar dari jari-jari yang digerakkan dengan penuh perasaan. Pada akhir lagu nada bergerak dari lambat mengalun menjadi cepat dan melengking. 

Ada perasaan mendalam yang diekspresikan oleh pemain biola yang tak lain Pak Suryo. Bulan merasakan setiap tarikan nada ada getar dan desah kerinduan akan sesuatu yang jauh dan tak terjangkau. Ada pertanyaan, ada gugatan, tetapi sekaligus juga ada penerimaan yang diungkapkan dari nada-nada yang terucap di tengah malam.

Bulan jadi ingat cerita mama bahwa ayah suka sekali memainkan lagu Nocturne Op 9, No 2 Chopin itu. Pak Suryo seperti tidak sedang bermain biola biasa. Ia menyatakan jiwanya. Ia menyatakan jeritan hatinya. Jeritan hati yang rindu kepada orang yang dicintainya. 

Tak terasa, saat lagu itu berakhir, air mata Bulan menitik. Dari mulutnya tergumam,”Kaukah itu, Papa?”


Ruang Terbuka untuk Menunda

Meskipun kisah dalam novel ini diakhiri dengan happy ending, terasa sekali bahwa setelah kalimat terakhir tuntas terbaca, masih tersedia ruang yang terbuka untuk menunda persetujuan, menunda pemaknaan, dan menghantar lagi kepada upaya untuk kembali berpikir dan bertanya, mengurai kembali jaringan peristiwa, menelusur pilihan dan keputusan yang disodorkan melalui para tokohnya dengan pertanyaan mengapa, bagaimana bisa, apa penyebabnya, faktor apa saja yang membentuknya, dan sebagainya. Banyak hal yang memengaruhi para tokoh dalam mengambil pilihan dan keputusan, memang tetap tersembunyi, tak diungkap secara detail dan rinci. Namun justru di situlah ruang dialog dan diskusi itu disediakan oleh novel ini. Ada ruang untuk mencoba menggali, menimbang, menelusuri, menduga, menemukan kemungkinan, mengidentifikasi relasi, dan memahami faktor-faktor yang memungkinkan peristiwa-peristiwa itu terjadi. 

Oleh karena itu, sejauh saya pahami, Bulan Terbelah, adalah novel yang juga mencerminkan konsistensi antara penulis dan karyanya, yakni keduanya adalah subyek yang senantiasa membuka ruang untuk berpikir dan bertanya. Boleh dikata, setelah mencerna sampai pada kalimat pari-purna, pembaca tetap dibuat merasa gelisah, berpikir ulang, menunda untuk percaya, dan tetap bertanya-tanya mengapa bisa demikian itu kisahnya. 

Singkat cerita, Bulan Terbelah adalah novel yang juga berperan sebagai subyek yang senantiasa bertanya kepada pembaca dalam perspektif yang  beraneka rupa. Pada gilirannya, pembaca yang menemukannya, dapat mengajukan kemungkinan dan alternatif jawaban dalam segudang sudut pandang: tentang relasi jender, tentang patriarki, kognisi sosial dan wacana kritis, relasi kuasa, tentang lack dan jouissance dalam psikoanalisis Lacanian, tentang otonomi pribadi, pandangan keagamaan, dan lain-lainnya.

Sudah pasti, novel kecil ini akan berlari mencari jalannya sendiri. Para pembaca akan menemukannya dengan perspektif yang beraneka rupa. Gunawan Sudarsono sebagai penulisnya, akan kembali diajak ke ruang-ruang kelas sastra seperti sedia kala, dengan cara-cara baru dan berbeda, namun dengan esensi yang sama, mengajukan atau mendengarkan tanya, sekaligus menuai temuan-temuan baru yang beragam dan kaya. Lalu sekali lagi prosesnya akan bergulir kembali, saling belajar dan berbagi  pandangan tiada henti. Bahkan, sebagai penulis, ia akan dibawa ke dalam ruang bersama yang terbuka untuk belajar lagi dari karyanya sendiri.

Gunawan Sudarsono yang telah menulis novel kecil ini dan siapapun juga yang mengambil pilihan untuk membacanya, barangkali dengan gembira hati boleh mengingat-ingat dan merasakan kuatnya makna kata-kata Yesus kepada Marta, tentang pilihan Maria,".....tetapi hanya satu saja yang perlu, Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya." (Luk 10:42). Dalam konteks mencintai proses belajar, keputusan untuk menulis maupun membaca novel kecil ini merupakan salah satu tindakan memilih bagian terbaik yang tak akan diambil dari padanya. Semoga demikian adanya......***


Vihara Ngaglik, 16 September 2022

Indro Suprobo

Saturday, August 27, 2022

Agar Kepenyairan Semakin Merekah

 


Oleh Indro Suprobo, Ons Untoro, Rina Widiastuti


Buku kumpulan Puisi Pulang ke Rumahmu ini merupakan dokumentasi dari karya-karya puisi yang telah dihadirkan dalam ruang digital sanggaragam.org. Puisi yang terkumpul dalam buku ini adalah karya-karya yang telah ditayangkan dalam ruang digital pada masa setahun lalu, yakni dari Juli 2021 hingga Juli 2022. 

Ruang digital Sanggaragam merupakan salah satu rumah bagi para penyair yang menjadi alternatif untuk singgah, berjumpa dengan para penyair lain dari berbagai belahan dunia, saling belajar, saling memperkaya, saling menyapa, mengapresiasi dan berbagi semangat untuk terus-menerus kreatif berkarya. Ruang digital Sanggaragam dimaksudkan sebagai rumah yang senantiasa melahirkan kerinduan bagi para penyair untuk pulang dan merasakan pertumbuhan. Rumah ini digambarkan dan dinamai sebagai Gubug Putih.


Gubug Putih

Potret sebuah rumah, “Gubuk Putih”, berlatar langit biru cerah, tampil menyolok menghiasi sampul buku puisi Sang-garagam edisi perdana ini. Ini adalah sebuah kumpulan puisi karya 40-an penyair dari berbagai kota di Indonesia, perempuan maupun laki-laki, kelahiran tahun ‘50-an hingga 2000-an. Sekumpulan puisi yang dibukukan ini merupakan puisi-puisi yang berhasil dimuat di rubrik Puisi media digital non-profit sanggaragam.org, media yang memberi ruang bagi keragaman: Beragam, Selaras, Lestari. 

Sebagai media yang bertujuan untuk merawat, menyangga, dan menumbuhkan diversitas sebagai sumber kekayaan un-tuk kesejahteraan dan perdamaian, Sanggaragam memuat berbagai jenis tulisan, termasuk dari perspektif sastra, yaitu puisi. Lantas, mengapa “Gubuk Putih”? Sebab, Sanggaragam berumah di Gubuk Putih, dan peluncuran buku kumpulan puisi Sanggaragam berikut pentas pembacaan puisi-puisinya berlangsung di Gubuk Putih. 


Kembali Ke Rumah: Awal Pertemuan

Gubung Putih adalah satu bangunan rumah, yang terdiri dari tiga lantai. Di atas sebuah kolam yang ada di depannya, rencananya akan dibuat panggung, yang bisa digunakan untuk pertunjukan kesenian. Area kolam merupakan am-phytheater, yang disekitarnya tumbuh pepohonan sebagai peneduh area. Disebut Gubug Putih, karena bangunannya berwarna putih.

Sebut saja, Gubug Putih adalah rumah, sebagaimana umumnya rumah yang bisa ditinggali maupun digunakan sebagai kantor. Apalagi Gubug Putih terletak di tengah kam-pung, lebih tepat lagi di tengah dusun, yang lokasinya tidak jauh dari kantor kalurahan. Di belakang bangunan Gubung Putih ada embung desa. Jadi, bisa dikatakan, Gubung Putih berada di daerah subur.

Gubug Putih bukanlah semata sebagai bangunan, melain-kan lebih sebagai rumah bersama dan sebagai ruang interaksi sekaligus distribusi produk kebudayaan dalam formula per-tunjukan, dalam berbagai variasi bentuknya.

Di dalam Gubug Putih, ada satu ruang digital, yang dinamai Sanggaragam.org. Di ruang ini ada rubrik puisi, yang memuat karya penyair dari berbagai kota. Setiap hari Jumat puisi-puisi ditayang di rubrik sastra Sanggaragam, dan setelah satu tahun, di bulan Agustus 2022, puisi-puisi tersebut diterbitkan menjadi buku antologi, dan diluncurkan di Gubung Putih se-bagai rumah bersama untuk saling bersilaturahmi budaya.

Dari 41 penyair yang karya puisinya masuk dalam antologi ini, ada satu puisi berjudul ‘Pulang Ke Rumahmu’, karya Heru Mugiarsa, seorang penyair yang tinggal di Semarang, dan sehari-harinya berprofesi sebagai pengajar di salah satu per-guruan tinggi di Semarang. Judul Puisi tersebut dipilih men-jadi judul buku antologi puisi ini, karena setidaknya bagi kita, judul itu ‘mewakili’ imajinasi kembali ke rumah (bersama), yakni kembali ke Gubug Putih.

Melalui peluncuran buku antologi puisi ini, kita bersama kembali ke rumah kebudayaan, dan Gubug Putih adalah rumah kebudayaan itu. Mudah-mudahan, selanjutnya kita akan sering bertemu di rumah ini, untuk bersama menikmati rupa-rupa produk kebudayaan.


Subyek yang Merekah

Beragam tema dari beragam penyair yang berasal dari berbagai daerah, telah mewarnai rumah ini dan menjadi-kannya hidup. Keragaman tema dan gaya kepenyairan yang hadir, menunjukkan betapa para penyair itu merupakan su-byek-subyek otonom yang senantiasa berupaya mencipta waktu dan ruang luang di dalam dirinya, sebagai kesempatan untuk mengambil jarak terhadap seluruh pengalaman harian, membacanya, mencermatinya, menelusurinya, mengenali-nya, menemukan, menjumput serta mengidentifikasi makna-nya, lalu melukiskannya dalam pilihan-pilihan kata berdaya dan membagikannya sebagai sedekah bagi jiwa-jiwa yang se-nantiasa terbuka serta merindu untuk terasah.

Perpaduan antara tersedianya ruang bagi kepenyairan dan gerak kreatif otonom para penyair yang terus mengalir, pada gilirannya menciptakan momen-momen yang melampaui waktu (timeless moment), yakni momen yang senantiasa ter-buka dan memancar bagi setiap subyek untuk melibatkan diri di dalamnya secara intens. Ia menjadi perjumpaan yang produktif dan tak pernah berhenti karena senantiasa mengin-spirasikan gerak kreatif baru untuk terus mencipta, berkarya, dan semakin otonom. 

Semoga perpaduan ini, dalam perjalanan waktu, semakin mampu menjadi perjumpaan yang mengalirkan inspirasi dan energi sehingga para penyair dan kepenyairannya semakin menemukan cahaya cerah yang mendayakan dirinya untuk terus-menerus merekah. 


Tuesday, August 23, 2022

Subyek yang Merekah dan Melampaui

 


oleh Indro Suprobo

Ons Untoro adalah pejalan kaki. Meskipun tidak setiap hari, ia selalu menyempatkan diri untuk berjalan kaki di sore hari, menyusuri ruang-ruang di lingkungan sekitar, lanskap pedesaan atau sudut-sudut perkotaan sambil memaknai waktu sebagai perjalanan diri. Tampaknya, bagi Ons Untoro, berjalan kaki di sore hari bukanlah sekedar praktik jasmani melangkahkan kaki demi kesehatan diri, melainkan juga sebuah praktik simbolik dan rohani, yakni sebuah gerak subyek untuk senantiasa melintas dan melampaui, menyusun pemaknaan hidup tiada henti. Tak mengherankan jika kebiasaan sederhana ini memberinya kesanggupan yang mengasyikkan ketika ia terpaksa harus berhadapan dengan realitas dan pengalaman isolasi mandiri. 

Di masa pandemi, isolasi maupun isolasi mandiri merupakan salah satu metode yang diputuskan oleh otoritas kesehatan dan dipatuhi oleh seluruh warga demi memutus rantai infeksi, menjagai kesehatan dan keamanan komunitas warga, agar virus tidak semakin menyebar dan rumah sakit serta tenaga medis tidak kehabisan daya untuk melayani. 

Isolasi atau isolasi mandiri adalah proses pembatasan aktivitas bagi warga atau pribadi, terutama mereka yang sudah terinfeksi atau dimungkinkan terinfeksi. Isolasi adalah sebuah proses mengurangi kebebasan diri sehingga ia tak dapat terekspresi sebagaimana kebiasaan sehari-hari, terutama demi kesehatan dan keamanan orang lain yang belum terinfeksi. Istilah kerennya, isolasi atau isolasi mandiri adalah sebuah kastrasi atau pengebirian sebagian kenikmatan (jouissance) dalam rupa pengebirian sebagian kebebasan dalam berbagai macam hal demi terjaminnya hasrat kesehatan dan kebebasan orang-orang lainnya (the other). Isolasi yang merupakan kastrasi ini mengakibatkan seseorang merasa mengalami kekurangan (lack) sekaligus menciptakan hasrat (desire) untuk senantiasa mencapai pengalaman kepenuhan. Pada titik ini, isolasi telah mengakibatkan subyek meng-alami situasi terpecah. Pada satu sisi ia terkastrasi, mengalami kekurangan karena menganggap dirinya tak memiliki kebebasan akibat telah dikebiri melalui isolasi. Pada sisi lain ia memiliki hasrat yang mendalam untuk memiliki kebebasan yang terkebiri itu. Isolasi adalah sebuah pengalaman traumatik yang menjadikan subyek menghadapi kenyataan bahwa di satu sisi ia menemukan dirinya berada dalam situasi "tidak utuh" (lackness), namun di sisi lain ia mendambakan keutuhan  yang meng-hasilkan kenikmatan (jouissance).

Bagi sebagian orang, pengalaman isolasi mengakibat-kan depresi, yang terekspresikan ke dalam beragam perilaku seperti murung, mudah marah, protes terhadap situasi, menolak situasi yang membatasi, menyalahkan orang lain, tidak enak makan, sulit tidur (insomnia), mudah gelisah dan sering merasa lelah. Bagi sebagian orang lain, isolasi tak berdampak apapun. Mereka tetap dapat menikmati waktu dan ruang mereka apa adanya dan rileks meskipun harus membatasi sebagian aktivitas yang biasanya dapat mereka lakukan. 

Ons Untoro tidak berada dalam dua situasi itu. Ia berada dalam situasi ketiga. Tampaknya, baginya, isolasi tidak mengakibatkan munculnya anggapan bahwa ada sebagian kebebasan yang terkebiri atau terkastrasi sebagaimana dirumuskan oleh lingkungan  atau struktur sosial pada umumnya. Ia keluar dari kesadaran yang ditanamkan itu, dan memproduksi kesadaran mandiri bahwa sebagai subyek ia tidak sedang terkastrasi, me-lainkan sedang memilih cara memaknai ruang dan waktu secara berbeda dengan seluruh kebebasan yang tetap ada dalam dirinya dan mengarahkannya kepada satu aktivitas produktif yakni membaca dan menulis puisi. Pilihan tindakan Ons Untoro ini barangkali boleh disebut sebagai pilihan tindakan radikal karena ia keluar dari semua anggapan yang pada umumnya dirumuskan oleh lingkungan bagi dirinya dan mengambil pilihan produktif berupa aktivitas membaca dan menulis puisi. Tindakan radikal ini paling tidak tampak dalam dua puisi yang ditulisnya, yakni puisi berjudul "Katanya" dan puisi berjudul "Membaca Buku", saya kutipkan berikut ini:


Katanya

Katanya omicron terbuat dari batuk dan flu

Aku bilang, isoman ramuan imajinasi dan puisi

Di kamar di antara buku aku meramu penuh rindu........


Membaca Buku

...................

Membaca isoman mengisi waktu

Selepas 10 hari berlalu, sehat menemu

Siapa tahu terbit buku baru


Dalam dua kutipan puisi itu, tampak jelas bahwa Ons Untoro membangun makna baru tentang isoman, bukan sebagaimana dirumuskan oleh orang pada umumnya, bukan sebagai pengebirian kebebasan melainkan sebagai ramuan imajinasi dan puisi, yang ia ramu penuh rindu di kamarnya di antara buku-buku. Tujuan akhirnya tiada lain adalah menerbitkan buku baru. Ia melompat keluar dari kotak identifikasi simbolis yang dipaksakan oleh struktur sosial. Ia memilih identifikasinya sendiri dan menikmatinya sebagai keaslian dirinya dan merdeka.

Melalui pilihan tindakan ini, Ons Untoro menjadi subyek yang melampaui pengalaman isolasi. Melalui pilihan tindakan ini pula, ia memilih menjadi subyek yang merekah dan otentik. Tak mengherankan jika isolasi yang harus dijalaninya tak menghalanginya untuk tetap menjadi dirinya sendiri apa adanya dan produktif. 

Ons Untoro memang pejalan kaki sejati. Ia adalah subyek yang senantiasa merekah dan berusaha melam-paui. Buku kumpulan puisi ini adalah hasilnya sekaligus bukti.


Saturday, July 09, 2022

Pengorbanan Abraham dan Manusia yang Berakal


Oleh Indro Suprobo


Dua pertanyaan serius yang diajukan oleh manusia jaman ini terkait kisah Abraham yang mengorbankan anak terkasihnya adalah pertama, bagaimana mungkin Allah yang menyampaikan perintah jangan membunuh kepada Musa dan keturunannya justru memerintahkan pembunuhan sebagai korban bakaran? Kedua, bagaimana mungkin Abraham dan anak terkasihnya secara sangat patuh berusaha menjalankan perintah itu tanpa kritik maupun protes sama sekali?

 Kisah ini terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama, terutama kitab Kejadian 22:1-19 dengan judul perikop “Kepercayaan Abraham diuji”. Kutipan lengkap narasi tersebut adalah sebagai berikut:

 22:1 Setelah semuanya itu Allah mencoba Abraham. Ia berfirman kepadanya: "Abraham," lalu sahutnya: "Ya, Tuhan." 22:2 Firman-Nya: "Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran  pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu." 22:3 Keesokan harinya pagi-pagi bangunlah Abraham, ia memasang pelana keledainya dan memanggil dua orang bujangnya beserta Ishak, anaknya; ia membelah juga kayu untuk korban bakaran itu, lalu berangkatlah ia dan pergi ke tempat yang dikatakan Allah kepadanya. 22:4 Ketika pada hari ketiga Abraham melayangkan pandangnya, kelihatanlah kepadanya tempat itu dari jauh. 22:5 Kata Abraham kepada kedua bujangnya itu: "Tinggallah kamu di sini dengan keledai ini; aku beserta anak ini akan pergi ke sana; kami akan sembahyang, sesudah itu kami kembali kepadamu." 22:6 Lalu Abraham mengambil kayu untuk korban bakaran itu dan memikulkannya ke atas bahu Ishak, anaknya, sedang di tangannya dibawanya api dan pisau. Demikianlah keduanya berjalan bersama-sama. 22:7 Lalu berkatalah Ishak kepada Abraham, ayahnya: "Bapa." Sahut Abraham: "Ya, anakku." Bertanyalah ia: "Di sini sudah ada api dan kayu, tetapi di manakah anak domba untuk korban bakaran itu?" 22:8 Sahut Abraham: "Allah yang akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagi-Nya, anakku." Demikianlah keduanya berjalan bersama-sama. 22:9 Sampailah mereka ke tempat yang dikatakan Allah kepadanya. Lalu Abraham mendirikan mezbah di situ, disusunnyalah kayu, diikatnya Ishak, anaknya itu, dan diletakkannya di mezbah itu, di atas kayu api. 22:10 Sesudah itu Abraham mengulurkan tangannya, lalu mengambil pisau untuk menyembelih anaknya. 22:11 Tetapi berserulah Malaikat TUHAN dari langit kepadanya: "Abraham, Abraham. " Sahutnya: "Ya, Tuhan." 22:12 Lalu Ia berfirman: "Jangan bunuh anak itu dan jangan kauapa-apakan dia, sebab telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu  yang tunggal kepada-Ku." 22:13 Lalu Abraham menoleh dan melihat seekor domba jantan di belakangnya, yang tanduknya tersangkut dalam belukar. Abraham mengambil domba itu, lalu mengorbankannya sebagai korban bakaran pengganti anaknya. 22:14 Dan Abraham menamai tempat itu: "TUHAN menyediakan"; sebab itu sampai sekarang dikatakan orang: "Di atas gunung TUHAN, akan disediakan." 22:15 Untuk kedua kalinya berserulah Malaikat TUHAN dari langit kepada Abraham, 22:16 kata-Nya: "Aku bersumpah demi diri-Ku sendiri--demikianlah firman TUHAN--:Karena engkau telah berbuat demikian, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku, 22:17 maka Aku akan memberkati engkau berlimpah-limpah dan membuat keturunanmu sangat banyak seperti bintang di langit dan seperti pasir di tepi laut, dan keturunanmu itu akan menduduki kota-kota musuhnya. 22:18 Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku ." 22:19 Kemudian kembalilah Abraham kepada kedua bujangnya, dan mereka bersama-sama berangkat ke Bersyeba; dan Abraham tinggal di Bersyeba.

 Konteks dan Waktu Penulisan

Meskipun masa hidup Abraham diperkirakan antara tahun 2165 – 1990 sebelum Masehi, mayoritas penafsir dan pengkaji kitab suci mengidentifikasi bahwa narasi tentang pengorbanan Abraham ini ditulis oleh tradisi para Imam (Priestly Tradition atau Priester Codex) yang disingkat dengan tradisi P, pada masa sekitar tahun 400-an sebelum Masehi, yakni paska pembuangan bangsa Israel ke Babilonia. Meskipun ditulis pada masa yang jauh lebih muda, namun narasi ini ditempatkan pada awal kisah sejarah bangsa Israel sebagai bagian dari narasi besar tentang panggilan Abraham dari Ur Kasdim dan kisah tentang Sara dan Hagar (atau Siti Hajar dalam tradisi Muslim), sehingga narasi itu tampak terjadi pada masa sejarah pembentukan bangsa Israel.

 Periode paska pembungan ke Babilonia merupakan periode krisis yang berat bagi bangsa Israel baik dari sisi politik, ideologis, maupun mental dan religiositas. Pengalaman pembuangan adalah pengalaman kehancuran total sebagai bangsa sekaligus kehancuran dalam banyak pandangan dan keyakinan keagamaan. Kehancuran kenisah atau Bait Allah (Baitullah) yang diyakini sebagai pusat kehadiran Yahweh dan pusat kekuatan bangsa dalam menghadapi musuh-musuh politik, merupakan pengalaman krisis religiositas yang mendalam. Jika tempat kediaman Yahweh itu hancur lebur, lalu di manakah kehadiran Yahweh itu? Apakah Ia telah meninggalkan bangsa Israel? Apakah Ia yang dianggap sebagai sesembahan utama dan sumber kekuatan bangsa juga telah terkalahkan oleh dewa-dewi sesembahan para musuh? Jika tidak demikian mengapa Ia hancur? Jika Yahweh telah menjanjikan kemakmuran dan pertolongan kepada bangsa, mengapa bangsa Israel justru tercerai berai dan bahkan dibuang di negeri asing dan hidup sebagai budak? Itulah pengalaman krisis fundamental yang dialami oleh Israel sebagai bangsa pada masa itu. Akibatnya, pada masa ketika mereka boleh kembali ke negeri asal mereka, dibutuhkan sesuatu yang dapat kembali meneguhkan identitas kebangsaan dan religiositas mereka sebagai orang-orang yang dipilih dan mendapatkan jaminan perlindungan serta beragam jaminan lain dari Yahweh, Allah sesembahan Israel.

 Dalam masa krisis identitas politik dan religius semacam itu, sebagian orang Israel telah mengadopsi atau bahkan melibatkan diri dalam ritual-ritual bangsa-bangsa tetangga demi mendapatkan keselamatan, ketenangan, atau kemakmuran sebagaimana diyakini oleh agama-agama tradisional bangsa-bangsa tetangga di Babilonia. Salah satu bentuk ritual keagamaan yang dijalankan adalah pengorbanan manusia demi mendapatkan keselamatan. Ritual semacam ini tercermin dalam teks kitab nabi Yeremia 7: 30-31 sebagai berikut:

 7:30 Sungguh, orang Yehuda telah melakukan apa yang jahat di mata-Ku, demikianlah firman TUHAN, telah menempatkan dewa-dewa mereka yang menjijikkan di rumah yang atasnya nama-Ku diserukan ini untuk menajiskannya. 7:31 Mereka telah mendirikan bukit pengorbanan yang bernama Tofet di Lembah Ben-Hinom untuk membakar anak-anaknya lelaki dan perempuan, suatu hal yang tidak pernah Kuperintahkan dan yang tidak pernah timbul dalam hati-Ku.

 Fungsi Narasi dan Perhatian Tradisi Para Imam

Dalam konteks krisis identitas kebangsaan dan religiositas semacam itulah narasi tentang pengorbanan Abraham ini ditulis oleh tradisi para Imam. Narasi yang ditulis pada tahun 400-an sebelum Masehi ini tentu saja tidak mencerminkan fakta historis tentang apa yang dilakukan oleh Abraham, melainkan lebih merupakan narasi yang bersifat teologis, metaforis, ideologis dan edukatif. Narasi ini berfungsi sebagai upaya untuk meneguhkan kembali identitas dan karakter kebangsaan maupun religius bangsa Israel dalam menghadapi krisis fundamental. Identitas dan katakter itu sudah selayaknya dijangkarkan pada figur Abraham sebagai tokoh besar dan utama pendiri bangsa yang pada generasi berikutnya diteguhkan dan dilanjutkan oleh Musa.

 Karena penulis narasi ini adalah tradisi Para Imam, sangatlah masuk akal jika perhatian utamanya diarahkan kepada persoalan ibadah dan ritual serta hukum. Maka narasi ini berkaitan erat dengan hal-hal ritual dan keagamaan, yakni ritual pengorbanan, terutama jenis korban bakaran. Perintah Allah kepada Abraham untuk mempersembahkan anak terkasihnya sebagai korban bakaran, sepantasnya dibaca sebagai cerminan sekaligus sindiran tentang praktik mengorbankan anak kepada dewa-dewi agama-agama asing yang lazim dilakukan oleh sebagian orang Israel pada masa itu sebagaimana terefleksikan dalam teks Yeremia 7:30-31. Karena ayat ini bersifat sebagai sindiran dan cerminan dari praksis masyarakat masa itu, sangat dipahami pula bahwa dalam ayat itu Abraham menunjukkan ketaatan mutlak tanpa protes sedikitpun, karena bagi tradisi para Imam, sikap kritis itu tidak menjadi perhatian. Perhatian utamanya adalah menyindir dan mencerminkan praksis serta kognisi sosial tentang pengorbanan manusia.

 Sebagai bentuk sindiran, perintah Allah kepada Abraham dalam Kej 22:2 pada akhirnya ditanggapi dengan perintah malaikat kepada Abraham untuk tidak melakukan apapun kepada anak terkasihnya (Kej 22:12). Kesatuan gagasan antara perintah untuk mempersembahkan anak pada Kej 22:2 dan perintah malaikat untuk tidak membunuh anak pada Kej 22:12 membentuk sebuah pesan kritis dan edukatif bahwa orang-orang Israel yang benar-benar percaya dan setia kepada Allah, sama sekali tak akan pernah melakukan persembahan anak sebagai korban bakaran sebagaimana lazim dilakukan oleh para penyembah dewa-dewi asing. Pesan ini diteguhkan dengan rangkaian ayat yang berkaitan yakni Kej 22:8, 13 dan 14.

 Secara naratif, jawaban Abraham terhadap pertanyaan anaknya bahwa Allah yang akan menyediakan anak domba untuk korban (Kej 22:8) merupakan ayat yang bersifat antisipatif terhadap ayat 13 dan 14. Ayat 14 merupakan penegasan dan puncak dari antisipasi itu yakni bahwa “Allah benar-benar menyediakan” sehingga tempat dari peristiwa itu disebut sebagai tempat “Tuhan menyediakan”. Allah telah menyediakan anak domba jantan yang tanduknya tersangkut di antara belukar.

 Dengan demikian, sebagai penegasan identitas di tengah krisis religius bangsa Israel paska pembuangan Babilonia itu, narasi ini hendak mengatakan sebuah kritik bahwa bagaimanapun situasi sulit yang dihadapinya, bangsa Israel hendaknya tetap setia kepada Allah melalui praktik dan tindakan ibadah sebagaimana telah diwariska oleh nenek moyang sepanjang sejarah dan tidak diperkenankan melakukan ritual keagamaan berupa pengorbanan anak sebagai korban bakaran, karena Allah sendiri lebih menghendaki anak domba jantan sebagai korban bakaran maupun korban persembahan. Sebagai penegasan identitas di tengah krisis, narasi ini juga hendak menyatakan penegasan bahwa dalam situasi apapun, orang Israel hendaknya tetap setia kepada Allah karena Allah adalah pemberi jaminan, Ia adalah “Allah yang menyediakan”. Meskipun perikop narasi ini diberi judul “Kepercayaan Abraham diuji”, sebenarnya yang menjadi tema pokok dan pesan utama dari narasi ini adalah keyakinan tentang “Allah yang menyediakan” atau Allah yang memberikan jaminan dan perlindungan bagi kehidupan manusia beriman. Maka penulis menilai bahwa Kej 22:14 dalam perikop ini merupakan ayat sentral dan puncak.

 Manusia Beriman adalah Manusia Berakal

Narasi pengorbanan Abraham sebagaimana tertulis dalam Kej 22:1-19 ini dengan demikian merupakan narasi yang diproduksi secara kontekstual oleh tradisi para Imam untuk membangun masyarakat Israel yang mengedepankan akal dan sikap kritis dalam menghadapi situasi krisis. Cara berpikir tentang pengalaman krisis, cara menyikapinya dan cara bertindak yang dipilihnya musti ditata ulang dan dikonstruksi secara lebih jernih dan bertanggung jawab. Bagi tradisi para Imam, membunuh anak sebagai korban persembahan adalah tindakan yang sangat tidak masuk akal dan tidak bertanggung jawab. Persembahan korban bakaran dan korban sesembahan hendaknya mewarisi tradisi leluhur yakni berupa anak domba jantan karena selain dapat memenuhi fungsi religius, persembahan itu juga dapat berfungsi sosial yakni menjadi sarana untuk berbagi dengan orang-orang di sekitar, terutama mereka yang kurang beruntung. Menyantap daging korban bersama-sama dengan seluruh komunitas juga merupakan wujud dari ekspresi identitas kebangsaan dan religius orang Israel pada masa itu. Diperlukan pilihan-pilihan yang lebih konstruktif dan produktif untuk menyusun kembali identitas kebangsaan dan religius bangsa Israel. Perlu meneguhkan kembali keyakinan bahwa mereka adalah anak turun Abraham yang tetap mewarisi panggilan dan pilihan oleh Allah untuk menghadirkan diri sebagai bangsa yang berkualitas, setia dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang telah disemai dan dikukuhkan dalam hukum Musa. Sepuluh perintah Allah, secara sosial adalah temuan nilai yang sangat mendasar sepanjang perjalanan sejarah sebagai bangsa dan pantas untuk dijagai sertai dikembangkan dalam kehidupan.

 Dari penelusuran ini tampak jelas bahwa narasi tentang pengorbanan Abraham sebagaimana tertulis dalam kitab Kejadian itu merupakan sebuah rumusan ideologis, teologis, metaforis dan edukatif dalam ranah suprastruktur yang konstruksinya sangat dipengaruhi atau ditentukan oleh basis materialnya, yakni pengalaman krisis fundamental yang dihadapi oleh masyarakat Israel kuno pada masa setelah pembuangan Babilonia. Dalam konteks itu, narasi pengorbanan Abraham yang ditulis oleh tradisi Para Imam dengan jarak kurang lebih 1590 tahun setelah masa hidup Abraham ini tidak mencerminkan fakta historis, melainkan lebih menekankan gagasan teologis, ideologis, metaforis dan edukatif. Dalam konteks itu pula, perdebatan tentang siapa yang dipersembahkan, Iskak atau Ismail, menjadi sangat tidak relevan karena selain tidak mencerminkan fakta historis, penggunaan narasi itu sebagai bahan untuk menegaskan identitas komunitas akan sangat tergantung kepada konteks audiens yang dituju. Yang lebih utama diperhatikan adalah pesan bahwa menjadi manusia beriman semestinya dijalankan dengan menjadi manusia yang lebih berakal dan bersikap kritis. Ini membutuhkan latihan terus-menerus. ***


Thursday, May 26, 2022

Jilbab dan Fantasi Ideologis

 



oleh Indro Suprobo


Beberapa waktu yang lalu, ada sebuah postingan video pendek tentang prestasi seorang perempuan muda muslim berjilbab aseli Indonesia, berpendidikan Master dari universitas internasional, yang berhasil menjadi salah satu staf di sebuah perusahaan teknologi digital internasional. Dalam salah satu bagian singkat, perempuan muda ini memberikan kesaksian atau sharing personal mengapa ia memilih mengenakan jilbab. Alasan atau motivasi mengenakan jilbab itu adalah refleksi personal yang ia berlakukan bagi dirinya sendiri dan sama sekali tak memberikan kesan memaksa orang lain untuk mengambil pilihan seperti dirinya. Sebuah pilihan personal dan mandiri.

Tampaknya, bagi sebagian orang, pilihan mengenakan jilbab itu telah menghalangi tumbuhnya penghargaan, apresiasi, dukungan, atau kegembiraan empatik atas prestasi intelektual dan skill kompetitif yang telah diraih oleh perempuan muda itu. Hanya karena ia memilih mengenakan jilbab, tanggapan yang muncul terhadapnya, dalam bahasa gaul milenial diungkapkan dengan kata-kata,"....wah.....nggak jadi oke deh.....". Padahal, lembaga internasional dan semua orang yang bekerja di dalamnya, yang berasal dari beragam negara dan kultur itu oke-oke saja dan enjoy dengan apa yang ada. Kompetensi dan komitmen perempuan muda ini lebih utama daripada yang lainnya dan kehadirannya sebagai perempuan berjilbab di antara mereka, merupakan hal yang biasa dan disikapi secara santai, sebagai sesuatu yang unik, yang khas dan indah.

Memang pantas diakui sebagai kenyataan sekaligus keprihatinan bahwa bagi sebagian orang tertentu, kehadiran figur perempuan berjilbab ternyata dapat melahirkan fantasi ideologis, yakni fantasi yang berisi tentang stereotype atau pandangan serba buruk yang bersifat generalisir dan cenderung tetap. Kehadiran figur berjilbab telah melahirkan perasaan benci, tak suka, bahkan perasaan terancam atau tak merasa aman. Ini boleh disebut sebagai semacam alergi emosional yang bersifat delusif. Orang-orang dengan fantasi ideologis semacam ini, pada umumnya mengalami kesulitan untuk membangun imajinasi yang proporsional tentang orang lain, terutama terhadap orang lain yang mengenakan jilbab. Sebaik apapun prestasinya, sesantun apapun perilakunya, dan sesolider apapun komitmen perempuan berjilbab itu terhadap nilai-nilai kehidupan seperti keadilan, kesetaraan, keterbukaan, kasih sayang dan empati, ia tetap akan difantasikan sebagai "ah...nggak oke dech....".

Munculnya fantasi ideologis semacam ini barangkali terkait dengan pola konsumsi informatif yang dipilih oleh sebagian orang tertentu itu. Sebagian orang memang tidak memilih konsumsi atau asupan informatif berdasarkan kebutuhan informasi yang sehat dan menyehatkan bagi bagi seluruh cara berpikir, cara bersikap dan cara bertindak dalam kehidupan bersama yang semakin beragam. Sebagaimana memilih makanan, sebagian orang memang cenderung memilih asupan informatif sesuai dengan keinginan dan apa yang disukainya, bukan berdasarkan kebutuhan demi kesehatan seluruh sistem berpikirnya. Asupan informasi yang sehat dan proporsional tentu saja akan sangat memengaruhi kesehatan cara berpikirnya. Sementara asupan informasi yang tak sehat, akan mengakibatkan gangguan atau kerusakan fungsi dalam elemen-elemen yang mendukung keseluruhan cara berpikir. Dalam gaya bahasa Slavoj Žižek, asupan-asupan informatif yang dipilih oleh sebagian orang itu disebut sebagai asupan ideologis juga. Yang lebih mengherankan lagi, orang memilih asupan-asupan itu bukan karena mereka tidak tahu, melainkan justru karena mereka mengetahuinya. Jadi mereka memang cenderung memilih apa yang sebenarnya tidak sehat bagi cara berpikir mereka bukan karena mereka tidak mengetahuinya, melainkan justru karena mereka mengetahuinya. Begitu kata Žižek. Jika konsumsinya dalam jumlah banyak dan terus-menerus, orang Jawa menyebutnya "kemaruk dan ngawula wadhuk".

Barangkali mengetahui sesuatu saja itu tidak mencukupi karena bagaimanapun juga keinginan dan apa yang disukai itu lebih mendominasi pilihan-pilihan sebagian orang. Keinginan dan kesukaan itu memang lebih bersifat emosional daripada rasional. Barangkali hal ini pula yang membantu menjelaskan mengapa orang-orang yang mengenyam bangku sekolah sampai derajad tinggi pun kadang-kadang mengalami halangan untuk memilih asupan-asupan informatif yang sehat yang lebih dibutuhkan untuk mendukung kesehatan cara berpikirnya. Ketika yang emosional lebih dominan daripada yang rasional, setiap orang, siapapun dia, akan cenderung mengalami kesulitan untuk mengambil jarak, bersikap kritis dan analitis terhadap kecenderungan dirinya sendiri dalam memilih asupan informatif yang sehat. Itulah halangan terbesar, terberat dan tersulit dalam melahirkan apa yang disebut sebagai konsistensi, yakni keselarasan antara cara berpikir, cara bersikap dan cara bertindak.

Salah satu cara yang barangkali dapat membantu orang untuk lebih konsisten adalah berlatih terus-menerus untuk menyediaan saat hening, jeda, menunda, mengambil jarak, dan lebih sering bertanya diikuti penyelidikan analitis atas setiap gerak dinamis di dalam diri sendiri sambil membangun imajinasi bahwa ada yang lain, yang mungkin lebih luas dan lebih besar, bahkan lebih indah daripada yang tampak dalam dinamika diri itu.

Latihan ini perlu dilengkapi dengan keberanian untuk belajar mendengarkan yang lain dan berbeda itu berbicara atas nama dirinya sendiri. Mendengarkan yang lain adalah sebuah laku sprititualitas yang progresif yang dapat membantu orang untuk meninggalkan fantasi-fantasi ideologis yang tidak sehat, dan menemukan serta mengenali imajinasi-imajinasi yang jauh lebih empatik tentang orang lain yang berbeda. Dengan demikian orang menjadi lebih ugahari.

Ini berlaku juga bagi semua fantasi ideologis yang muncul akibat kehadiran simbol-simbol lain yang berbeda.

Maka ketika muncul rasa tidak suka atau merasa tidak aman karena kehadiran jilbab, pertanyaan yang pantas diajukan adalah "mengapa merasa begini ya?" Apa yang salah dengan jilbab? Atau "kok aku ngga oke banget sich?"

Semoga semakin banyak orang sanggup menemukan apa yang baik, apa yang indah, apa yang adil, dan apa yang melahirkan rasa syukur di dalam semua yang lain dan berbeda.

Syaloom alaika.


Friday, May 06, 2022

Dua Jenis Kekosongan

 


Oleh Indro Suprobo

Dalam hidup ini paling tidak ada dua jenis kekosongan, yakni kekosongan yang melahirkan kemarahan dan kekosongan yang melahirkan keramahan.

Kekosongan yang seringkali melahirkan kemarahan adalah kekosongan yang dilandasi rasa berkekurangan (lackness), yakni kekosongan yang "menuntut" untuk selalu diisi. Tuntutan itu kadang-kadang disebut sebagai hasrat atau drive. Jika tak terisi atau tak terpenuhi, atau jika ada fantasi bhw kekosongan itu terjadi krn isinya direbut oleh orang lain, ia bisa melahirkan kemarahan, prasangka, kebencian, bahkan mungkin juga kekerasan.

Kekosongan yang melahirkan keramahan adalah kekosongan yang dilandasi oleh rasa aman dan kepenuhan meskipun dalam kesendirian. Kekosongan ini adalah akibat dari pengosongan diri (kenosis) yang justru dipenuhi oleh kesunyian (solitude) namun bukan kesepian (loneliness). Kekosongan yg demikian ini justru merupakan keikhlasan utk melepaskan apa yg tidak penting bagi diri, agar tersedia ruang yg lebih luas untuk dapat menyambut yang lain (termasuk Ia yang Mahalain) dalam keramahan (hospitality).

Yang terakhir inilah yang dihayati dalam Idul Fitri, kesediaan utk menyambut kehadiran yang lain dalam keramahan, karena menyadari bahwa Ia yang diseru sebagai Yang Mahabesar itu adalah Ia yang Maharamah.

Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin. Semoga kita semua berlimpah anugerah.



Monday, February 07, 2022

Perempuan yang (dituduh) berzinah


 Oleh Indro Suprobo


Kisah tentang perempuan yang dituduh berzinah hanya terdapat di dalam Injil Yohanes, yakni Yohanes 7:53-8:11. Kisah ini menarik untuk dicermati karena salah satu bagian ayatnya sering digunakan untuk melegitimasi sikap anti kritik. Ayat yang dimaksudkan berbunyi demikian,”Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu”. Menjadi lebih problematis lagi jika penggalan ayat ini, bahkan isi seluruh perikop kisah ini ditelikung maknanya sebagai landasan untuk tidak mengungkap dan tidak membongkar kasus-kasus kekerasan atau penyelewengan seksual dalam institusi keagamaan, dan membiarkannya terkubur, lalu memaknainya sebagai sebuah praksis pengampunan yang bernilai relijius yang diteladankan oleh Yesus. Sebaliknya, pernyataan itu justru merupakan penegasan dan kritik Yesus yang sangat tajam bahwa tidak ada tempat bagi manipulasi dan kemunafikan agar keadilan benar-benar dapat ditegakkan.

Agar detail yang penting dalam kisah ini dapat lebih dicermati dan agar pembaca yang kurang familiar terhadap kisah ini dapat memiliki gambaran agak lengkap, berikut saya kutipkan perikopnya.

7:53 Lalu mereka pulang, masing-masing ke rumahnya, 8:1 tetapi Yesus pergi ke bukit Zaitun. 8:2 Pagi-pagi benar Ia berada lagi di Bait Allah, dan seluruh rakyat datang kepada-Nya. Ia duduk dan mengajar mereka. 8:3 Maka ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepada-Nya seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah. 8:4 Mereka menempatkan perempuan itu di tengah-tengah lalu berkata kepada Yesus: "Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah. 8:5 Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?" 8:6 Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya. Tetapi Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah. 8:7 Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Iapun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." 8:8 Lalu Ia membungkuk pula dan menulis di tanah. 8:9 Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya. 8:10 Lalu Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya: "Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?" 8:11 Jawabnya: "Tidak ada, Tuhan." Lalu kata Yesus: "Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang."

Kalimat paling awal, yakni 7:53 sebenarnya merupakan sambungan dari perikop sebelumnya, yakni kisah tentang Pembelaan Nikodemus terhadap Yesus (7:45-52). Perikop tentang Nikodemus ini pantas dipertimbangkan sebagai bagian dari konteks karena ia memberi keterangan yang penting bagi beberapa detail ayat dalam kisah tentang perempuan yang dianggap berzinah ini.

Dalam struktur besar Injil Yohanes, kisah perempuan yang dianggap berzinah ini merupakan bagian dari tema besar Kitab Tanda-Tanda, yang berisi tentang pernyataan diri Yesus di hadapan umum, melalui pengajaran, kotbah, dialog-dialog dengan masyarakat dan melalui tindakan-tindakan konkret yang dilakukannya. Pernyataan diri ini menimbulkan pertentangan di antara masyarakat. Ada yang percaya kepadanya dan ada yang tidak percaya kepadanya. Sebagian masyarakat mempercayainya sebagai Mesias, orang yang diutus Allah karena tanda-tanda yang dilakukannya. Sebagian dari kalangan agamawan, diwakili oleh figur Nikodemus, mempercayai Yesus. Sebagian yang lain menentangnya dan berniat membunuhnya. Kisah ini secara khusus berada dalam tema tentang “penentuan sikap terhadap Yesus: percaya atau tidak percaya”, yang berada dalam rangkaian kisah dari bab 7:1 sampai dengan bab 10:42.

Kisah ini secara khusus digambarkan terjadi di Yerusalem, di bait Suci, pada hari terakhir dalam rangkaian Hari Raya Pondok Daun, setelah Yesus menyampaikan kotbah atau pengajaran di bait Suci. Beberapa hal penting yang pantas diperhatikan dalam kisah ini adalah sebagai berikut, pertama, dalam kasus dugaan perzinahan ini, para pemimpin agama hanya mengajukan seorang perempuan untuk diadili, tanpa kehadiran laki-laki pasangannya (8:3-4). Kedua, pengajuan pengadilan atas dugaan perzinahan ini dilandaskan pada hukum Taurat, namun dengan alasan licik untuk mencobai Yesus agar ditemukan alasan untuk menyalahkannya (8:5-6). Ketiga, Yesus mengambil sikap kritis dan berpihak kepada keadilan, yakni dengan menunduk diam sambil menulis atau menggambar sesuatu di tanah, lalu memberikan respon yang mengejutkan (8:7-9). Keempat, Yesus memberikan ruang kepada perempuan itu untuk bersuara dan menyatakan dirinya sendiri (8:10-11).

Dari empat hal penting yang dapat dicermati dari kisah ini, ada beberapa pembelajaran yang dapat dipetik. Pertama, kisah ini mencerminkan nalar patriarki di mana dalam kasus-kasus dugaan perzinahan, perempuan dijadikan sebagai subyek utama dan penyebab yang pantas untuk diberi hukuman, sementara laki-laki yang merupakan pasangan dalam dugaan tindakan perzinahan itu absen dari tuduhan. Praktik ini sebenarnya tidak sesuai dengan hukum Musa karena kitab Ulangan 22:22 menyatakan bahwa,”apabila seseorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami, maka haruslah keduanya dibunuh mati, laki-laki yang tidur dengan perempuan itu dan perempuan itu juga. Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu dari antara orang Israel”.  Dalam kisah ini tampak adanya ketidakadilan terhadap perempuan.

Kedua, ketidakadilan terhadap perempuan dalam kasus dugaan perzinahan itupun ternyata hanya menjadi instrumen manipulatif bagi sebagian elit agama untuk memfasilitasi kepentingannya, yakni mempertahankan hegemoninya sekaligus menjebak Yesus agar dapat dipersalahkan. Ini merupakan praktik yang sungguh luar biasa parah. Kasus ini disebut jebakan karena jika Yesus menentang hukum Taurat, yakni dengan membebaskan perempuan itu, maka ia tak pantas disebut Mesias dan pasti tidak akan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Namun jika ia menyetujui hukum Taurat itu, sementara pada masa itu pemerintah Romawi tidak memberlakukan hukuman mati pada kasus perzinahan, maka Yesus akan dituduh sebagai orang yang menghasut orang banyak dan menimbulkan keonaran. Ia akan dituduh subversif. Kedua pilihan itu akan membawa Yesus kepada kesulitan yang melemahkan bahkan menghancurkan seluruh gerakan sosio-spiritualnya selama ini. Manipulasi dan jebakan ini tampaknya juga merupakan respon sebagian elit agama yang membenci Yesus terhadap komentar Nikodemus (salah satu wakil elit agama yang membela Yesus) yang menyatakan bahwa hukum Taurat tidak menghukum seseorang (menghukum atau membunuh Yesus) sebelum ia didengar dan sebelum orang mengetahui apa yang telah dibuatnya (7:51). Pernyataan Nikodemus ini terdapat dalam perikop yang mendahului kisah ini.

Ketiga, yang paling penting dari semua ini adalah sikap kritis Yesus yang berpihak kepada keadilan. Sikap diam Yesus sambil menunduk ke tanah mencerminkan dua hal penting, yakni pengambilan jarak atau sikap kritis, discernment terhadap fenomena yang sedang dihadapinya, sekaligus sebuah tindakan keberpihakan yang empatik terhadap diamnya perempuan yang dalam seluruh proses itu sama sekali tak diberi kesempatan maupun ruang untuk berbicara, menjelaskan dan membela dirinya. Tentu saja Yesus sangat memahami hukum Taurat bahwa dalam kasus semacam ini yang harus dihukum adalah kedua pasangan, bukan hanya perempuannya saja. Lebih penting dari itu, Yesus juga memahami hukum Taurat bahwa untuk menghukum seseorang, dibutuhkan proses mendengarkan penjelasan dari mereka yang dituduh, bukan dengan cara semena-mena menuduh dan menjatuhkan hukuman. Penghadiran saksi-saksi yang berkualitas dan bertanggung jawab juga merupakan prasyarat utama. Yesus sangat memahami bahwa ada banyak kemungkinan terbuka dalam kasus ini karena semuanya berada dalam ketidakjelasan. Yesus membuka kemungkinan praduga tak bersalah terhadap perempuan yang dituduh itu. Sikap kritis dan keberpihakan terhadap keadilan inilah yang membuat Yesus akhirnya memberikan jawaban yang menohok. Pernyataan Yesus “barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu” secara tegas menunjukkan suatu tamparan dan kritik yang sangat tajam terhadap tindakan instrumental manipulatif yang dilakukan oleh sebagian elit agama yang dengan mengorbankan martabat dan keadilan terhadap perempuan, telah berupaya untuk meraih kepentingannya sendiri, yakni mempertahankan citra kesucian, kekuasaan, penjaga moralitas, dan seluruh ikutan yang menguntungkan dirinya sendiri. Melalui pernyataan dan kritik itu Yesus hendak menegaskan bahwa kewibawaan tidak dapat dipertahankan dengan cara-cara manipulatif, menyembunyikan lelaki pelaku kejahatan perzinahan dan membiarkannya menikmati kebebasan dan keleluasaan sementara hanya perempuan yang dipersalahkan tanpa diberi kesempatan untuk membela dan menjelaskan dirinya sendiri. Jika sungguh-sungguh hendak bersikap adil, maka siapapun yang diduga menjadi pelaku kejahatan harus diajukan bersama-sama dengan proses-proses yang diperlukan agar seluruh hak dan martabatnya tetap terjaga, dan agar kebenaran dapat diungkap. Secara tegas Yesus hendak menyatakan bahwa tidak ada tempat bagi manipulasi dan kemunafikan demi mempertahankan seluruh kepentingan yang hanya menguntungkan diri atau segelintir elit kekuasaan dengan membungkam perempuan di pojok gelap ketidakadilan. Pernyataan ini menuntut suatu sikap etis yang tegas sekaligus praksis implementatif yang radikal. Oleh karena itu, sikap diam Yesus dalam kisah ini bukanlah tindakan cuci tangan dan tindakan pasif membiarkan seluruh ketidakadilan tetap terkubur. Diamnya Yesus adalah sebuah tindakan aktif, kritis, analitis, strategis, sekaligus advokatif (membela) untuk menggali dan mencari pokok persoalan mendasar agar dapat memberikan tindakan responsif yang bertanggung jawab, bijaksana, tegas dan adil.

Keempat, perempuan sudah semestinya diberi ruang yang setara untuk menyatakan seluruh dirinya, membicarakan dirinya sendiri sesuai dengan martabat yang dianugerahkan oleh Tuhan kepadanya, untuk membela dirinya dalam situasi-situasi yang memojokkan dirinya, dan membebaskan dirinya dari seluruh relasi kuasa yang membelenggunya sehingga keadilan yang adalah sebenar-benarnya tanda kehadiran Tuhan dapat terwujud dalam kehidupan, dan agar perempuan dengan seluruh martabat dirinya dapat menyebut dan menemukan Yesus sebagai “kyrios”, tuan atau pribadi yang berwibawa dalam perkataan dan perbuatan, di dalam seluruh pengalaman keperempuanannya.

Pada akhir kisah, Yesus berkata kepada perempuan itu,”Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang”. Perkataan terakhir ini merupakan pengulangan sekaligus penegasan yang bermakna demikian: “Aku tidak menyetujui dan tak akan membiarkan engkau terus berada dalam ketidakadilan. Mulai sekarang, bertindaklah dan ambillah pilihan-pilihan tegas dalam hidup agar kamu, kaum perempuan, menjadi pribadi-pribadi yang mandiri dan penuh martabat, tidak diseret lagi oleh arus manipulasi dan kemunafikan yang sistematis demi kepentingan dan keuntungan segelintir elit kekuasaan, yang dapat membuat dirimu terperosok, terlibat di dalamnya, dan merugi, karena semua itu adalah praksis dosa. Ini adalah pernyataan perutusan dan pemberian mandat kepada kaum perempuan untuk terlibat secara aktif bersama-sama dengan Yesus, menyatakan tanda-tanda kehadiran Allah, di antaranya adalah menjalankan keadilan, menentang segala jenis manipulasi dan kemunafikan yang merendahkan martabat kemanusiaan, terutama martabat perempuan.

Sebagaimana dimaksudkan oleh Injil Yohanes, pada akhirnya, pembaca kisah ini juga dibawa kepada penentuan sikap: setuju dan berpihak kepada perkataan dan tindakan Yesus, atau menentangnya. ***


Thursday, January 27, 2022

Amoris Laetitia dalam Perspektif Dialog Agama-Agama

 


oleh Indro Suprobo


Tantangan Semua Agama

Dokumen Amoris Laetitia merupakan dokumen yang berupaya menekankan perspektif dan prinsip-prinsip dasar kristiani tentang kehidupan keluarga di tengah tantangan hidup berkeluarga yang dihadapi pada jaman ini. Tantangan hidup berkeluarga sebagaimana digambarkan dalam Bab 2 dokumen ini, merupakan tantangan yang dihadapi bukan hanya oleh Gereja Katolik, melainkan juga dihadapi oleh semua komunitas agama. Dalam situasi krisis kehidupan keluarga itu, dokumen ini mengundang keluarga-keluarga untuk menghargai anugerah perkawinan dan keluarga, dan untuk bertekun dalam cinta kasih yang diperkuat oleh nilai-nilai kemurahan hati, komitmen, kesetiaan dan kesabaran. Dokumen ini juga mendorong setiap orang agar menjadi tanda kerahiman dan kedekatan ketika kehidupan keluarga tidak terwujud secara sempurna atau tidak berjalan dengan damai dan sukacita.

Selain tantangan umum, ada beberapa tantangan yang agak khu-sus yang digambarkan sekaligus ditanggapi secara agak khusus juga yakni relasi setara antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga (53-55), menghadapi difabilitas di dalam keluarga (47, 82, 195, 197), dan tantangan ideologi gender yang tampaknya mengarah kepada persoalan LGBT (56), yang dalam dokumen ini disebut sebagai ideologi yang membayangkan sebuah masyarakat tanpa perbedaan seksual dan merongrong dasar antropologi keluarga, yang mempromosikan identi-tas pribadi dan keintiman emosional, yang secara radikal terlepas dari perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Tentang relasi laki-laki dan perempuan serta difabilitas, tampak bahwa tanggapan positip sudah muncul dalam dokumen ini. Khusus berkaitan dengan LGBT, tampaknya ini masih merupakan pekerjaan rumah yang besar yang membutuhkan discernment lebih panjang dan pendekatan-pendekatan lintas disiplin yang masih harus terus digali di masa depan.

Berkaitan dengan relasi agama-agama dan perkawinan, secara agak khusus, dokumen ini juga menyinggung soal perkawinan beda agama atau disparitas cultus (248). 


Spiritualitas Hidup Berkeluarga Lintas Agama

Bab Empat dalam dokumen ini, yang berjudul Cinta Kasih dalam Perkawinan, adalah spiritualitas hidup berkeluarga yang dapat dihayati oleh semua orang dari beragam latar belakang agama. Nilai-nilai dasar yang dipaparkan dan dijelaskan dalam bab ini merupakan nilai-nilai dasar yang terdapat dalam semua agama dan dapat dihayati oleh semua orang dalam berbagai latar belakang agama. Ini merupakan spiritualitas lintas iman yang mendasar dalam kehidupan berkeluarga. Gambaran-gambaran spiritualitas hidup berkeluarga yang dalam dokumen ini secara khas dijelaskan dalam kerangka Trinitarian, tetap dapat dihayati oleh keluarga-keluarga dari berbagai agama dalam kerangka sufistik tentang "relasi kesatuan dan pengalaman akan Allah", yang menunjukkan cara berpikir tentang pengalaman ketunggalan antara manusia dalam kasih yang dihayati dalam relasi kesatuan dengan yang ilahi. Nilai-nilai kesabaran, kebaikan hati, tidak iri hati, tak memegahkan dan tak menyombongkan diri, sikap ramah, murah hati, tanpa kemarahan batiniah, pengampunan, bersukacita bersama orang lain, menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, berharap, menanggung segala sesuatu, berbagi sepanjang hayat, dsb merupakan nilai-nilai dasar yang pantas dihayati oleh semua orang dalam hidup berkeluarga. Semuanya itu membawa kepada pertumbuhan pribadi, keindahan dan rasa hormat. 


Tantangan Disparitas Cultus di Indonesia

Sebagaimana dinyatakan sejak dalam pembukaan dokumen bahwa hidup berkeluarga bukanlah persoalan melainkan sebuah kesempatan (7), perkawinan disparitas cultus juga dipahami sebagai sebuah kesempatan istimewa untuk dialog antaragama dalam kehidupan sehari-hari.. [...].. yang melibatkan kesulitan-kesulitan khusus menyangkut baik identitas keluarga Kristiani maupun pendidikan agama bagi anak-anak...(248). Dalam konteks khusus Indonesia, perkawinan disparitas cultus, terutama antara komunitas Kristen dan Islam, pantaslah diperhatikan tantangan khas yang ada. Tantangan khas itu antara lain adalah tantangan soal tafsir hukum yang secara mainstream masih berlaku yakni bahwa lelaki non muslim tidak dapat menikah dengan perempuan muslim tanpa mengubah identitas agamanya. Sementara perempuan non muslim masih dapat menikah dengan lelaki muslim tanpa mengubah identitas agamanya. 

Mereka yang sudah terbiasa dengan studi agama-agama, apalagi terbiasa dengan kajian antropologi agama, barangkali akan lebih mudah memahami bahwa tafsir mainstream ini merupakan produk dari konteks sosio-kultural tertentu dengan tujuan-tujuan yang tertentu pula. Tafsir mainstream ini merupakan produk ideologis agama (supra-strukrur) yang sangat dipengaruhi oleh "pengalaman basis" tertentu. Masih berlakunya tafsir mainstream ini merupakan realitas yang menantang dan musti dihadapi oleh calon pasangan dan pasangan yang menjalani perkawinan disparitas cultus

Karena realitas yang menantang ini masih belum mengalami perubahan dan barangkali masih akan bertahan untuk beberapa waktu ke depan, maka sudah layak dan sepantasnya, calon pasangan perkawinan disparitas cultus dalam konteks khusus ini semestinya mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan ini secara matang. Realitas yang menantang ini dapat juga ditempatkan sebagai kesempatan yang musti dimaknai oleh pasangan disparitas cultus sebagai ruang yang tetap terbuka bagi pertumbuhan pribadi untuk mencapai kepenuhan. 

Pasangan perkawinan disparitas cultus memiliki tantangan yang lebih berat dan nyata untuk sanggup melampaui "keterbatasan agama-agama" yang bagaimanapun juga tetaplah merupakan produk kebudayaan yang dilekati oleh kontekstualitas dan partialitas yang tak tersangkal. Pasangan-pasangan ini dituntut untuk mampu melampaui "rasa lekat tak teratur emosional" terhadap masing-masing agamanya, membongkar bawah sadar relasi-kuasa antar agama yang bersemayam di dalam dirinya, melepaskan diri dari perasaan menang-kalah, dan musti berani menghadapi stigma sosial yang biasa dikenakan kepada pasangan yang menjalani perkawinan disparitas cultus.

Mereka juga merupakan pasangan yang secara nyata harus membongkar prasangka-prasangka antara agama karena yang dihadapinya setiap saat adalah pasangannya sendiri, yang sangat dikasihinya, yang berangkat dari latar belakang agama yang berbeda. 

Tidak ada rumus umum yang dapat diberikan kepada pasangan disparitas cultus, kecuali kematangan pribadi dan kedewasaan iman yang sanggup melampaui segala bentuk formalisme dan perkara teknis agama-agama. Selebihnya, tantangan yang dihadapi akan sangat unik dan khas tergantung kepada kondisi keluarga dan komunitas konkret kontekstual yang dihadapi. Semua yang lainnya, harus dicari, digali, digeluti, ditekuni sendiri sesuai dengan kondisi realnya. Ini sangat menuntut "kebijaksanaan" pribadi dengan segala risiko yang sanggup ditanggung. Seluruh pergulatan rohani yang diolahnya sesuai dengan konteks tantangan realnya yang khas itu akan menjadi bekal utama bagi pasangan untuk menghadapi seluruh "penilaian publik" yang mungkin akan dihadapi dan dikenakan kepadanya. 


Kesempatan Saling Mendidik dan Saling Belajar

Keluarga dalam perkawinan disparitas cultus memiliki tantangan lebih besar untuk menjalani proses saling mendidik dan saling belajar di dalam iman. Seluruh prinsip dasar dan spiritualitas hidup keluarga sebagaimana digambarkan dalam Bab Empat dokumen Amoris Laetitia, menjadi fondasi utama sekaligus indikator kesehatan iman. Yang paling utama adalah bertumbuhnya iman kepada Allah Pencipta meskipun berada dalam forma dan kerangka berpikir agama-agama yang berbeda. Pilihan tentang model pendidikan iman, terutama untuk anak-anak yang dilahirkan di dalamnya, sepantasnya diserahkan kepada kebijaksanaan pasangan sesuai dengan kesanggupan untuk menjalankan dan menanggung semua risiko yang muncul darinya. Yang paling utama dan terutama adalah tumbuhnya pribadi-pribadi beriman di dalam keluarga, yakni pribadi-pribadi yang sanggup untuk senantiasa tunduk kepada Allah, konsisten menjalani nilai-nilai religius dasar yang menumbuhkan hormat kepada kemanusiaan dan sanggup hidup bergembira penuh kedamaian di dalam perbedaan-perbedaan. 

Keluarga-keluarga dengan perkawinan disparitas cultus justru menjadi kesempatan istimewa untuk saling mendidik dan saling belajar dalam hal iman. Dalam keluarga ini ada banyak kesempatan dan ruang untuk saling berbagi pemahaman tentang perbedaan yang ada, termasuk perbedaan-perbedaan yang paling krusial tanpa kehilangan rasa hormat, kasih sayang dan pembelaan (pro-eksistensi). Keluarga-keluarga disparitas cultus mengundang pribadi-pribadi di dalamnya untuk terus-menerus mengasah kerendahan hati dan keterbukaan serta kesanggupan mendalam untuk mengagumi nilai-nilai yang tersembunyi di dalam setiap perbedaan, sanggup membaca (iqra) tanda-tanda kehadiran dan keagungan Tuhan di dalam diri setiap pribadi, yang pada gilirannya semakin menumbuhkan kasih dan sayang satu sama lain. 

Proses saling belajar dan saling mendidik diri ini, ketika sudah menjadi gaya hidup harian, pada gilirannya akan membawa setiap pribadi dalam keluarga itu kepada kerendahan hati dan keterbukaan religius bahwa setiap pribadi dan setiap manusia memiliki pengalaman yang unik tentang Tuhan. Oleh karena itu ia juga akan sampai kepada pemahaman bahwa setiap agama pun demikian juga, masing-masing memiliki pengalaman yang unik tentang Tuhan, dan tak ada satu pun yang dapat mengungkapkan keseluruhan misteri ketuhanan itu dalam kesempurnaan. Tak ada kebenaran obyektif dan sempurna tentang Tuhan yang musti dianut oleh semua manusia, karena Tuhan senantiasa transenden terhadap semua keterbatasan manusia dan semua kategori. Dengan demikian, pendakuan atau chauvinisme agama yang mengorbankan agama orang lain tak dapat diterima. Masing-masing orang dan agama-agama menyadari keterbatasan dan relativitas dirinya di hadapan Tuhan. 

Kerendahan hati dan keterbukaan religius (iman) ini justru akan berdampak kepada saling hormat, tak memegahkan diri dan tidak sombong, dan membawa kepada pertumbuhan rohani yang mendalam, mendamaikan dan membahagiakan. 


Patriarkhy, Tantangan Hidup Berkeluarga Lintas Agama

Pengalaman hidup berkeluarga di masyarakat Indonesia menunjukkan bahwa tantangan nyata yang masih dihadapi oleh semua keluarga adalah patriarkhy, yakni kerangka berpikir bawah sadar yang memengaruhi seluruh jaringan hidup berkeluarga (pasangan suami-istri, mertua, keluarga dekat, keluarga besar, dan lingkungan tetangga). Dari hal-hal yang paling serius seperti menghadapi pilihan-pilihan sulit yang membutuhkan otonomi pribadi sampai kepada hal-hal remeh temeh soal penggunaan "kendhit" pasca melahirkan bagi perempuan, kerangka pikir patriarkhy senantiasa menyusup di dalamnya. Dalam kenyataan ini, perempuan cenderung menjadi prioritas korban. 

Kerangka berpikir patriarkhy juga menjadi penghalang utama bagi kebeneningan melihat atau menganalisis persoalan/krisis yang kadang-kadang dihadapi oleh pasangan. Dalam situasi-situasi krisis, perempuan cenderung menjadi subyek yang ditempatkan sebagai penyebab. Dalam situasi-situasi semacam itu, pihak laki-laki sebagai pihak yang cenderung diuntungkan, memiliki tantangan dan undangan untuk menghadirkan prinsip-prinsip pro-eksistensi bagi pasangannya, terutama ketika harus berhadapan dengan keluarga dekat pihak laki-laki (ibu, bibi, sepupu perempuan dan sebagainya). Tantangan patriarkhy ini menjadi lebih berat justru ketika kerangka berpikir patriarkhy itu justru dihidupi dan dihayati oleh kaum perempuan dalam jaringan keluarga. 

Dalam kenyataan semacam ini, hidup berkeluarga, terutama bagi pasangan jaman sekarang, semakin menjadi kesempatan untuk menjalankan edukasi baik bagi diri mereka sendiri maupun bagi keluarga dekat dan keluarga besar di sekitarnya, maupun kepada keluarga-keluarga lain yang berelasi dengannya. Meskipun gerakan kesadaran tentang keadilan relasi gender sudah berkembang di banyak tempat, pada kenyataannya, nalar patriarkhy masih bersemayam di dalam bawah sadar keluarga-keluarga. Ini merupakan tantangan iman yang nyata bagi keluarga-keluarga. Disebut sebagai tantangan beriman dalam keluarga karena patriarkhy pada dirinya sendiri merupakan ketidakadilan. Karena keluarga adalah partnership atau kemitraan yang setara di hadapan Allah, yang dipanggil untuk bertumbuh dalam kebebasan dan kasih sayang, maka ketidakadilan merupakan halangan yang besar dan pantas diselesaikan. Patriarkhy di dalam hidup berkeluarga merupakan bagian dari struktur dosa yang mengancam pertumbuhan pribadi dan kasih sayang. 

Dokumen 153-157 yang berbicara tentang Kekerasan dan Manipulasi, yang secara agak sempit berbicara tentang seksualitas, jika diperdalam sampai kepada dasar kerangka berpikirnya, ia berbicara tentang kritik dan kewaaspadaan terhadap patriarkhy. Masih dibutuhkan konsistensi berpikir, bersikap dan bertindak yang lebih besar terkait persoalan ini baik dalam tubuh Gereja Katolik maupun Agama-Agama lain pada umumnya.