oleh Indro Suprobo
Beberapa waktu yang lalu, ada sebuah
postingan video pendek tentang prestasi seorang perempuan muda muslim berjilbab
aseli Indonesia, berpendidikan Master dari universitas internasional, yang
berhasil menjadi salah satu staf di sebuah perusahaan teknologi digital
internasional. Dalam salah satu bagian singkat, perempuan muda ini memberikan
kesaksian atau sharing personal mengapa ia memilih mengenakan jilbab. Alasan
atau motivasi mengenakan jilbab itu adalah refleksi personal yang ia berlakukan
bagi dirinya sendiri dan sama sekali tak memberikan kesan memaksa orang lain
untuk mengambil pilihan seperti dirinya. Sebuah pilihan personal dan mandiri.
Tampaknya, bagi sebagian orang, pilihan
mengenakan jilbab itu telah menghalangi tumbuhnya penghargaan, apresiasi,
dukungan, atau kegembiraan empatik atas prestasi intelektual dan skill
kompetitif yang telah diraih oleh perempuan muda itu. Hanya karena ia memilih
mengenakan jilbab, tanggapan yang muncul terhadapnya, dalam bahasa gaul
milenial diungkapkan dengan kata-kata,"....wah.....nggak jadi oke
deh.....". Padahal, lembaga internasional dan semua orang yang bekerja di
dalamnya, yang berasal dari beragam negara dan kultur itu oke-oke saja dan
enjoy dengan apa yang ada. Kompetensi dan komitmen perempuan muda ini lebih
utama daripada yang lainnya dan kehadirannya sebagai perempuan berjilbab di
antara mereka, merupakan hal yang biasa dan disikapi secara santai, sebagai sesuatu
yang unik, yang khas dan indah.
Memang pantas diakui sebagai kenyataan
sekaligus keprihatinan bahwa bagi sebagian orang tertentu, kehadiran figur
perempuan berjilbab ternyata dapat melahirkan fantasi ideologis, yakni fantasi
yang berisi tentang stereotype atau pandangan serba buruk yang bersifat
generalisir dan cenderung tetap. Kehadiran figur berjilbab telah melahirkan
perasaan benci, tak suka, bahkan perasaan terancam atau tak merasa aman. Ini
boleh disebut sebagai semacam alergi emosional yang bersifat delusif.
Orang-orang dengan fantasi ideologis semacam ini, pada umumnya mengalami
kesulitan untuk membangun imajinasi yang proporsional tentang orang lain,
terutama terhadap orang lain yang mengenakan jilbab. Sebaik apapun prestasinya,
sesantun apapun perilakunya, dan sesolider apapun komitmen perempuan berjilbab
itu terhadap nilai-nilai kehidupan seperti keadilan, kesetaraan, keterbukaan,
kasih sayang dan empati, ia tetap akan difantasikan sebagai "ah...nggak
oke dech....".
Munculnya fantasi ideologis semacam ini
barangkali terkait dengan pola konsumsi informatif yang dipilih oleh sebagian
orang tertentu itu. Sebagian orang memang tidak memilih konsumsi atau asupan
informatif berdasarkan kebutuhan informasi yang sehat dan menyehatkan bagi bagi
seluruh cara berpikir, cara bersikap dan cara bertindak dalam kehidupan bersama
yang semakin beragam. Sebagaimana memilih makanan, sebagian orang memang
cenderung memilih asupan informatif sesuai dengan keinginan dan apa yang
disukainya, bukan berdasarkan kebutuhan demi kesehatan seluruh sistem
berpikirnya. Asupan informasi yang sehat dan proporsional tentu saja akan
sangat memengaruhi kesehatan cara berpikirnya. Sementara asupan informasi yang
tak sehat, akan mengakibatkan gangguan atau kerusakan fungsi dalam elemen-elemen
yang mendukung keseluruhan cara berpikir. Dalam gaya bahasa Slavoj Žižek,
asupan-asupan informatif yang dipilih oleh sebagian orang itu disebut sebagai
asupan ideologis juga. Yang lebih mengherankan lagi, orang memilih
asupan-asupan itu bukan karena mereka tidak tahu, melainkan justru karena
mereka mengetahuinya. Jadi mereka memang cenderung memilih apa yang sebenarnya
tidak sehat bagi cara berpikir mereka bukan karena mereka tidak mengetahuinya,
melainkan justru karena mereka mengetahuinya. Begitu kata Žižek. Jika
konsumsinya dalam jumlah banyak dan terus-menerus, orang Jawa menyebutnya
"kemaruk dan ngawula wadhuk".
Barangkali mengetahui sesuatu saja itu
tidak mencukupi karena bagaimanapun juga keinginan dan apa yang disukai itu
lebih mendominasi pilihan-pilihan sebagian orang. Keinginan dan kesukaan itu
memang lebih bersifat emosional daripada rasional. Barangkali hal ini pula yang
membantu menjelaskan mengapa orang-orang yang mengenyam bangku sekolah sampai
derajad tinggi pun kadang-kadang mengalami halangan untuk memilih asupan-asupan
informatif yang sehat yang lebih dibutuhkan untuk mendukung kesehatan cara
berpikirnya. Ketika yang emosional lebih dominan daripada yang rasional, setiap
orang, siapapun dia, akan cenderung mengalami kesulitan untuk mengambil jarak,
bersikap kritis dan analitis terhadap kecenderungan dirinya sendiri dalam
memilih asupan informatif yang sehat. Itulah halangan terbesar, terberat dan
tersulit dalam melahirkan apa yang disebut sebagai konsistensi, yakni
keselarasan antara cara berpikir, cara bersikap dan cara bertindak.
Salah satu cara yang barangkali dapat
membantu orang untuk lebih konsisten adalah berlatih terus-menerus untuk
menyediaan saat hening, jeda, menunda, mengambil jarak, dan lebih sering
bertanya diikuti penyelidikan analitis atas setiap gerak dinamis di dalam diri
sendiri sambil membangun imajinasi bahwa ada yang lain, yang mungkin lebih luas
dan lebih besar, bahkan lebih indah daripada yang tampak dalam dinamika diri
itu.
Latihan ini perlu dilengkapi dengan
keberanian untuk belajar mendengarkan yang lain dan berbeda itu berbicara atas
nama dirinya sendiri. Mendengarkan yang lain adalah sebuah laku sprititualitas
yang progresif yang dapat membantu orang untuk meninggalkan fantasi-fantasi
ideologis yang tidak sehat, dan menemukan serta mengenali imajinasi-imajinasi
yang jauh lebih empatik tentang orang lain yang berbeda. Dengan demikian orang
menjadi lebih ugahari.
Ini berlaku juga bagi semua fantasi
ideologis yang muncul akibat kehadiran simbol-simbol lain yang berbeda.
Maka ketika muncul rasa tidak suka atau
merasa tidak aman karena kehadiran jilbab, pertanyaan yang pantas diajukan
adalah "mengapa merasa begini ya?" Apa yang salah dengan jilbab? Atau
"kok aku ngga oke banget sich?"
Semoga semakin banyak orang sanggup
menemukan apa yang baik, apa yang indah, apa yang adil, dan apa yang melahirkan
rasa syukur di dalam semua yang lain dan berbeda.
Syaloom alaika.
No comments:
Post a Comment