Friday, January 03, 2014

Di Mana Ada Perdamaian, Di Situlah Saya Ingin Hidup

Saat ini, Mebratu Selam tinggal sementara di Indonesia dan telah mendapatkan status “Refugee” dari UNHCR. Duapuluh enam tahun silam, ia lahir di sebuah kota kecil di Ethiopia dalam sebuah keluarga dari etnis minoritas. Setelah lulus SMA ia sempat belajar di sebuah Akademi Teknik namun tak menyelesaikannya. Beruntung sekali, setelah mengikuti pelatihan di bidang teknik konstruksi dengan hasil yang baik, ia direkrut oleh sebuah perusahaan dan bekerja sebagai petugas konstruksi. Namun sayang, hidupnya yang selalu menghadapi ancaman dan tidak aman, memaksanya untuk meninggalkan kampung halaman demi mencari keselamatan.

“Pemerintah yang berkuasa sering melakukan tindakan berupa ancaman, kekerasan, pemaksaan, dan bahkan tindakan yang mengakibatkan kematian,” katanya.

Keluarga Mebratu merupakan pendukung sebuah organisasi yang bersikap kritis terhadap Pemerintah. Ketidakadilan dan diskriminasi yang dialami oleh etnis minoritas, memotivasi mereka untuk melakukan pendidikan politik dan mengkritik penguasa. Pada bulan Januari 2011, aparat pemerintah yang berkuasa mendatangi rumahnya dan memaksa ayahnya untuk menyerahkan seluruh tanah yang dimilikinya. Menghadapi pemaksaan yang tidak adil ini, ayahnya tetap bertahan pada pendiriannya dan menolak permintaan penguasa.

“Mereka menyeret dan membawa ayah saya ke lahan luas milik ayah saya. Mereka memaksanya untuk menyerahkan lahan itu kepada pemerintah. Karena tetap menolak, mereka memukuli dan menganiaya ayah saya secara sangat kejam sampai ia tergeletak di atas tanah dalam kondisi tak sadarkan diri. Akibat penganiayaan itu, sebulan kemudian ayah saya meninggal,” kenangnya penuh kesedihan.

Pada saat pemakaman, pemerintah melarang orang-orang untuk menghadiri pemakaman ayahnya dengan alasan bahwa pemakaman seorang penentang pemerintah tidak perlu dihadiri. “Pada saat pemakaman itu, tentara datang untuk mencegah kehadiran orang yang melayat. Saya marah dan bertengkar dengan para tentara itu. Karena itu saya dipukuli dan ditangkap oleh mereka, lalu dimasukkan dalam penjara selama tiga bulan,” paparnya.

Sejak peristiwa itu, pemerintah selalu mengawasi seluruh kegiatan Mebratu. Meskipun demikian, secara sembunyi-sembunyi ia masih tetap melakukan pendidikan politik kritis kepada sesama kaum muda. Ketidakadilan dan penganiayaan terhadap minoritas yang disaksikan dan dialaminya, membuatnya tak bisa tinggal diam. “Kadang-kadang kami berkumpul untuk berdiskusi tentang apa yang telah dilakukan oleh pemerintah terhadap minoritas dan apa yang harus kami perjuangkan.”

Pada suatu malam di bulan Agustus, dua orang tentara menjemputnya paksa di rumah dan memasukkannya ke sebuah ruang sekap rahasia. “Mereka memasukkan saya ke sebuah ruang gelap. Kaki dan tangan saya diikat. Dalam posisi meringkuk, saya dipukuli dan ditendangi. Mereka menganiaya saya sepanjang malam,” kenang Mebratu penuh kesedihan dan kemarahan. “Jika kamu atau saudaramu tidak berhenti menentang Pemerintah, aku akan membunuhmu,” tambahnya menirukan ancaman para tentara. Mereka memaksa saya menandatangani sebuah surat pernyataan yang berisi kesanggupan untuk mendukung partai pemerintah. Saya terpaksa menandatanganinya karena tak tahan dengan aniaya mereka. Lalu mereka melepaskan saya.

Pada tengah malam di pertengahan bulan Agustus, tiga orang tentara kembali mendatangi rumah saya. Malam itu, saya berhasil melarikan diri, sementara kakak lelaki saya tertangkap dan dipenjara sampai sekarang.

Pemberlakuan Undang-undang Anti Terorisme semakin menyulitkan kelompok minoritas yang bersikap kritis terhadap Pemerintah. Undang-undang itu menjadi legitimasi untuk menuduh siapa pun yang tidak setuju dengan kebijakan Pemerintah sebagai teroris. Terhadap teroris, Pemerintah akan bertindak sewenang-wenang: menangkap, memukul, menganiaya, bahkan membunuhnya. “Itulah ketakutan-ketakutan dan ancaman yang saya hadapi sehingga saya terpaksa melarikan diri ke Kenya dan sampai ke Indonesia,” kata Mebratu.

Meskipun berada dalam pengungsian, ia merasa tetap menemukan saudara. “Bagi saya, JRS adalah keluarga yang sewaktu-waktu mau datang berkunjung, menanyakan kabar, mengajak ngobrol, dan mendengarkan cerita. JRS memberi bantuan finansial dan biaya kontrak kamar. Bahkan JRS mau datang dan menunggui kami ketika sakit di rumah sakit sampai-sampai mereka sendiri lupa makan siang. Saya sangat berterima kasih atas semua itu,” katanya.

Sambil menunggu proses penempatan ke negara ketiga, ia membangun harapan dengan mengikuti kursus gratis secara online. Ia mengambil kursus tentang Manajemen Proyek sebagai bekal untuk bekerja di masa depan. Ia mau ditempatkan di negara mana pun, yang penting aman dan damai. “Ditempatkan di mana pun saya mau, yang penting saya dapat hidup sebagaimana layaknya manusia.”


Mebratu Selam adalah satu dari jutaan orang yang terpaksa meninggalkan orang-orang tercinta demi merajut masa depan yang lebih aman dan manusiawi. Persahabatan dan solidaritas dari orang-orang yang peduli telah menjadi salah satu penyulut harapan baginya karena ia merasa tetap memiliki saudara dan merasa dibela di tengah segala kesulitan. ***

Indro Suprobo

Publikasi awal di JRS Indonesia