Tuesday, December 26, 2006

Kabar Duka dari Mushala

Oleh Indro Suprobo 

Suatu pagi di hari Minggu pada bulan ramadhan yang lalu, dari mushala di seberang desa diberitakan sebuah kabar duka dalam bahasa Jawa. “Sampun kapundhut ing ngarsanipun Pangeran, ibu Fransisca Suhartini [bukan nama sebenarnya]….(Telah meninggal dunia, ibu Fransisca Suhartini)”. Setelah itu setiap mushala terdekat secara bergantian mengabarkan kembali berita duka itu kepada semua warganya. Begitulah kebiasaan di desa-desa kecil di wilayah padukuhan Dayakan, kelurahan Sardonoharjo, kecamatan Ngaglik, Sleman, Jogjakarta. 

Yang menarik untuk dicermati kemudian adalah peristiwa setelah berita duka itu. Dari corong mushala yang berada di desa wilayah almarhumah itu menetap, terdengar lantunan kidung-kidung requiem, kidung-kidung duka yang biasa dinyanyikan oleh para saudara yang beriman Kristen Katolik yang sekaligus menjadi doa peneguh jiwa bagi keluarga yang ditinggalkan dan ungkapan ketundukan kepada keagungan Tuhan dalam peristiwa-peristiwa besar kehidupan manusia. Kidung requiem itu dilantunkan selama kurang lebih satu jam. Tak lama kemudian, selama kurang lebih satu jam pula, terdengar dari corong mushala yang sama, lantunan ayat-ayat suci al-Quran yang biasa dilantunkan pada saat ada orang meninggal dunia. Tanpa banyak komando, orang-orang desa segera berbagi tugas, salah satunya adalah menggali makam. Sementara sebagian besar warga desa berdatangan untuk melayat, sekitar jam sepuluh pagi, di rumah duka diselenggarakan upacara ibadat gerejani yang dihadiri oleh jemaat Kristen Katolik dan dipimpin oleh pemimpin jemaat setempat yang disebut prodiakon. 

Pada saat upacara melepas jenasah di siang hari, seluruh warga desa dan perangkat desa berkumpul di rumah duka. Dalam sambutannya, bapak kepala Dusun menyatakan,”Saya sebagai kepala Dusun di sini, meminta dan memohon dengan hormat kepada saudara-saudara yang beriman kristiani untuk memimpin seluruh upacara pelepasan jenasah ini hingga selesai”. Dan terjadilah. Seluruh upacara pelepasan jenasah itu dilakukan dalam tata cara ibadat Kristen katolik dan dihadiri oleh semua warga desa dari semua agama dan kepercayaan. Kaum perempuan berjilbab, tua maupun muda, tampak sangat biasa dengan semua ini dan mengikuti upacara dengan penuh hormat dan kidmat. 

Kekerabatan sebagai yang utama 
Bagi mereka yang menaruh perhatian kepada tema pluralisme dan dialog agama-agama di tengah masyarakat, apa yang terjadi di padukuhan Dayakan ini merupakan sebuah peristiwa yang menarik dan unik. Di tengah terpaan berita tentang konflik dan kekerasan agama-agama di beberapa wilayah di Indonesia, dukuh Dayakan ini menampilkan wajah alternative yang menyejukkan. Yang lebih menarik lagi, dari cerita para tetangga diketahui bahwa ibu Fansiska Suhartini yang meninggal dunia itu, ternyata sangat biasa melakukan shalat tarawih bersama warga desa, meskipun ia adalah seorang perempuan beriman Kristen Katolik. Malam hari sebelum meninggal, ia sempat terjatuh setelah menjalankan shalat tarawih dan tidak sadarkan diri. Esok harinya, kabar duka itu bergema dari corong mushala dan kidung-kidung requiem serta lantunan ayat suci Al-Quran mengiringi kepergiannya. “Requiem aeternam….semoga beristirahat dalam keabadian..” 

Menurut cerita para tetangga pula, rumah tempat tinggal almarhumah sudah biasa digunakan baik untuk sembahyangan para jemaat Kristen katolik dalam berbagai macam bentuknya maupun untuk doa-doa dalam tatacara Islam seperti tahlilan, kenduri dan sebagainya. Semuanya berjalan baik dan banyak keluarga menikmatinya secara wajar dan tanpa prasangka. Peristiwa unik semacam ini bisa terjadi karena kekerabatan di antara warga desa masih sangat kental. Suasana komunitarian sangat mewarnai kehidupan sehari-hari. “Di desa ini, paseduluran atau persaudaraan merupakan hal yang lebih diutamakan daripada hal-hal lain seperti agama dan kepercayaan”, ungkap salah satu ketua RT dalam salah satu obrolan malam di pos ronda. Sapa-aruh atau tegur-sapa akrab dalam perjumpaan sehari-hari merupakan kebiasaan yang masih sangat mudah dijumpai. Panggilan akrab seperti pakdhe Giyanto, mbah Sis, kang Jumari dan Lik Suroto, sangat sering terdengar dalam pergaulan harian. Saling berbagi hasil panen ladang di antara warga juga masih sangat terjaga. 

Dalam suasana hidup yang mengutamakan kekerabatan, persaudaraan dan sifat-sifat komunitarian semacam ini, perbedaan agama dan kepercayaan tak lagi punya tempat untuk memecah belah dan menyulut konflik di antara warga. Agama dan kepercayaan, tidak termasuk dalam prioritas persyaratan hidup bersama warga masyarakat. Tegur sapa, kesediaan untuk terlibat dalam aktivitas gotong royong warga, kerelaan untuk ikut menjalankan ronda malam, keikhlasan untuk menyediakan uang jimpitan, kegembiraan yang dipancarkan dalam kehadiran pada saat muyen (berkunjung ketika ada kelahiran bayi), jagong manten (acara pernikahan), dan ketulusan untuk hadir dalam kenduri, justru merupakan hal-hal yang lebih utama dalam persyaratan hidup bersama antar warga. Prioritas kepada paguyuban warga ini dengan sendirinya telah menjadi alat sensor terhadap munculnya prasangka antar agama. 

Ketika ada anggota warga yang mencoba mempersoalkan isu-isu agama, yang bisa menimbulkan rusaknya rasa hormat terhadap perbedaan, ia akan segera mendapatkan kritik dan teguran dari warga lainnya. Jika kritik dan teguran itu tak dihiraukan juga, ia justru akan menerima sangsi social dalam berbagai macam bentuknya antara lain pendapat dan gagasannya tidak akan mendapat tempat di hati warga (dalam bahasa Jawa, “ora usah digubris”). Apabila yang mempersoalkan isu-isu agama itu adalah mereka yang berasal dari luar desa yang mempunyai fungsi sebagai pemuka agama, ia akan mendapatkan teguran dan kritik yang sama dari warga. Apabila kritik dan teguran itu tak juga dihiraukan, ia akan mendapatkan sangsi social dalam bentuk “tidak akan diundang lagi” untuk menjalankan fungsinya. Dalam kehidupan warga desa yang mengutamakan paguyuban dan persaudaraan ini, perbedaan-perbedaan agama telah diterima sebagai sebuah kewajaran kehidupan. Perbedaan adalah keniscayaan yang pantas dihormati, diterima dengan segala kearifan dan keikhlasan budi, dijalani dan dinikmati sebagai sebuah kebiasaan. 

Mushala sebagai pusat 
Meskipun agama tidak menjadi prioritas dalam persyaratan hidup bersama antar warga, mushala di desa itu tetap merupakan pusat kegiatan. Shalat berjamaah pada saat maghrib dan isya dijalankan secara rutin, pengajian malam jumat diselenggarakan secara terencana, panggilan adzan selalu bergema akrab di telinga, segala bentuk pengumuman dan berita disampaikan dari corong mushala, pertemuan remaja dan orang muda diselenggarakan dengan jadual yang tertata, obrolan tentang perbaikan parit dan jalan desa dilakukan sesuai kebutuhan. Semua itu terjadi di mushala desa. 

Karena tidak dipersempit semata-mata sebagai tempat aktivitas keagamamaan, melainkan sebagai pusat aktivitas seluruh dinamika warga yang meliputi aktivitas social dan cultural, mushala telah menjadi tempat yang diakrabi oleh seluruh warga desa apapun agamanya. Fungsi-fungsi social sebuah mushala yang berkait dengan paguyuban dan kekerabatan antar warga desa menjadi lebih mengemuka. Semua warga, apapun agamanya, merasa memiliki mushala itu sebagai bagian dari hidup hariannya, dan bukan sebagai sesuatu yang asing di luar dirinya. Kehadiran Mushala desa yang demikian ini pada gilirannya merupakan kehadiran yang membawa suasana damai, persaudaraan, saling memperhatikan, dan menandai kehidupan sebuah komunitas desa. Dalam bahasa keindahan, Mushala desa yang demikian ini barangkali boleh disebut sebagai “Mushala yang merangkul seribu hati”. 

Melawan Prasangka Agama 
Mushala desa yang mengabarkan berita duka itu merupakan potret dari perlawanan warga desa terhadap prasangka antar agama, karena ia menyuguhkan sebuah alternative sekaligus kritik atas fenomena mainstream relasi agama-agama di Indonesia. Selama sekian lamanya, masyarakat Indonesia hidup dalam carut-marut prasangka. Pergaulan antar agama selalu berada dalam suasana rentan, mudah terpecah, mudah disulut kemarahan dan kekerasan, dan cenderung saling curiga. 

Penanaman prasangka terjadi melalui berbagai cara, di berbagai tempat, bahkan sampai merasuk dalam unit-unit keluarga. Prasangka antar agama bertumbuh subur karena disemai oleh perasaan superioritas satu sama lain. Rasa superior ini telah menutup banyak pintu bagi suasana saling belajar, usaha mengenali secara lebih dekat, dan menjalin komunikasi secara lebih akrab. Akibatnya, perbedaan-perbedaan tak pernah terpahami, pengalaman dari yang lain tak pernah terselami, dan segala bentuk relasi tak pernah tersusun dari ketulusan hati. 

Di tengah situasi seperti ini, syair requiem yang dikidungkan dari corong Mushala, telah mendobrak kebekuan relasi agama-agama yang diwarnai prasangka. Seolah-olah ia hendak berkata-kata,”Wahai dengarlah, kami menyeru kepada Dia yang sama dalam bahasa yang beragam rupa”

Suatu pagi di hari Minggu, pada bulan Ramadhan yang lalu, kabar duka dari Mushala telah menjadi bukti nyata bahwa kearifan komunitas-komunitas desa telah mampu mengelola relasi agama-agama dalam damai yang didamba, dalam hormat setulus hati dan dengan ikhlas di kedalaman sanubari. Semoga semakin banyak mushala dan tempat ibadah lain sejenisnya, semakin mampu merangkul sebanyak mungkin hati. 


Hari gini tak punya Tivi?

Oleh Indro Suprobo Kisah awal Perbincangan anak-anak desa di teras rumah sore itu ramai sekali. Hamid, Ayuk, Aji, Abid, Sunca dan Ibra saling berkomentar tentang Jathilan yang baru saja mereka tonton malam kemarin. Kecuali Ibra yang baru berumur 4 tahun dan belajar di playgroup, anak yang lain sudah sekolah di SD sebelah desa. “Eh, aku punya kendang lho. Aku ambil ya. Nanti mas Hamid yang menabuh ya”, kata Ibra mengajukan usul. “Iya, ayo diambil. Nanti Ayuk yang joged ya”, sambung Hamid Lalu terdengarlah suara ketipang-ketipung kendang, diiringi beragam bunyian dari kaleng bekas cat, potongan bamboo, dan mulut-mulut yang menirukan alat musik. Si Ayuk menjoged, menjejak-jejakkan kaki kanannya ke tanah sambil mulutnya bersuara “Cring-cring, cring-cring” menirukan bunyi kelintingan yang biasa dipasang di kaki para penari Jathilan. Seluruh keasyikan anak-anak ini berakhir setelah adzan maghrib dilantunkan oleh takmir. Mereka segera pulang ke rumah masing-masing dan bergegas menuju mushala desa. Cerita kecil ini merupakan kisah nyata yang masih tersisa di sebuah desa di pinggiran utara Jogjakarta. Barangkali, kisah-kisah semacam ini sudah semakin sedikit jumlahnya karena ruang-ruang bermain, beraktivitas bersama, bertukar imajinasi dan berbagi kreativitas di antara anak-anak telah semakin tergusur oleh salah satu bentuk kemajuan teknologi yakni televisi. Aktivitas anak-anak yang sangat dinamis ini, semakin lama semakin terpinggirkan dan digantikan oleh aktivitas baru yakni menonton TV. Bagi sebagian besar orang jaman sekarang, kehadiran TV di dalam rumah seakan-akan sudah merupakan keharusan yang tak boleh ditawar lagi. Kalau sebuah rumah tak memiliki TV, barangkali orang akan berkomentar,”Hari gini kok tidak punya televisi”. Tidak adanya TV di dalam rumah, sudah hampir menjadi hal aneh bagi kehidupan kebanyakan orang jaman sekarang. Pilihan alternatif Ada sebagian kecil orang yang memilih untuk tidak memiliki TV di rumahnya. Beragam alasan melatarbelakangi pilihan ini, salah satunya adalah agar memiliki kesempatan lebih banyak untuk ngobrol bersama anggota keluarga. Mereka yang memilih untuk tidak memiliki TV di rumah tentu saja tidak selalu sama dengan orang yang anti TV. Secara lebih tepat, orang-orang yang memilih untuk tidak memiliki TV di rumah adalah orang-orang yang secara sengaja hendak mengambil jarak terhadap kotak ajaib symbol kemajuan teknologi ini. Pilihan semacam ini termasuk pilihan alternatif. Tanpa mengabaikan manfaat besar yang bisa dipetik dari kehadiran televisi, mereka yang berada dalam kelompok ini pada umumnya sangat menyadari bahwa televise memiliki kecenderungan besar untuk menyerap seluruh perhatian dan energi anggota keluarga yang menontonnya. Masing-masing anggota diserap oleh tontonan yang sedang berlangsung, sehingga relasi individual antara penonton dan tayangan televise itu jauh lebih besar porsinya daripada relasi personal antar anggota yang sedang bersama-sama menonton. Akibatnya, dialog yang terjadi adalah dialog antara televise yang sedang menyampaikan pesan dan penonton yang sedang menyerap pesan dengan segala dinamikanya (confirmative maupun oppositional). Mereka yang memilih untuk tidak memiliki TV di dalam rumahnya, biasanya memiliki kegandrungan lebih besar terhadap pola relasi dialog yang melibatkan lebih banyak pihak. Misalnya dialog yang terjadi antara ayah, ibu dan anak. Dialog yang semacam ini dirasa lebih memberikan makna daripada aktivitas menonton televisi yang menyerap perhatian dan energi mereka. Memperluas ruang bercerita Bagi mereka yang telah memilih untuk tidak memiliki TV di rumahnya meskipun sebenarnya mampu membelinya, telah terasa betapa ruang untuk bercerita dalam keluarga menjadi lebih luas. Ada lebih banyak waktu dalam keluarga yang bisa dimanfaatkan untuk bercerita antara suami dan istri, antara anak dan orang tua, maupun antara anak-anak sendiri. Terbukanya ruang yang lebih luas untuk bercerita ini ternyata sebanding dengan perkembangan kemampuan anak untuk mengungkapkan dirinya. Anak-anak yang terbiasa menikmati ruang luas semacam ini menjadi lebih terbiasa untuk menguraikan gagasan, memaparkan pendapat, menggambarkan imajinasi, menciptakan detail-detail dalam cerita pengalaman, menciptakan perluasan kisah yang kreatif dan semuanya itu merupakan sebuah proses yang sangat produktif. Anak-anak yang terbiasa dengan hal-hal demikian, menjadi lebih terbiasa pula untuk memproduksi pikiran yang orisinil dan kreatif. Karena terbiasa untuk bercerita dan didengarkan, anak menjadi terbiasa pula untuk mengajukan pertanyaan berkaitan dengan hal-hal yang ingin diketahuinya atau yang menimbulkan rasa heran baginya. Pertanyaan atau jawaban yang diajukan seringkali juga menantang orang dewasa untuk berpikir keras menemukan jawaban atau tanggapan. Ibra yang baru berumur sekitar 4 tahun dan tak pernah nonton televise itu suatu kali bertanya kepada kakak pendamping di playgroupnya yang sedang hamil sangat muda. “Katanya di dalam perut Kak Tuti ada adiknya, kok perutnya tidak besar? Mana adiknya?” “Adiknya masih kecil sekali, jadi perutnya juga masih kecil, tapi sudah ada adiknya di dalam perut”, jawab kakak pendamping. “Ooo…itu berarti adiknya masih sel”, komentar si Ibra kemudian. Kakak-kakak pendampingnya terkaget-kaget dengan komentar itu dan akhirnya tertawa dan hanya bisa mengiyakan. “Ya, ya, betul, masih sel”. Pada kesempatan lain, ketika sedang dimandikan oleh kakak pendamping di playgroupnya, si Ibra bertanya “Kak, kenapa kok busa sabunnya berwarna putih?” Tanpa berpikir serius kakak pendampingnya menjawab sekenanya,”Karena sabunnya berwarna putih” “kalau sabunnya berwarna merah, apakah busanya juga berwarna merah?” tanpa Ibra penasaran “Kalau sabunnya berwarna merah, busanya tetap berwarna putih”, jawab kakak pendamping mulai serius berpikir. “Kenapa kok busanya berwarna putih?” tanya Ibra lebih heran lagi. Karena tak mampu menjawab pertanyaan itu, dan butuh jawaban yang serius, akhirnya kakak pendamping itu menyerah dan terpaksa menjawab,”Nanti kamu tanyakan kepada ayah dan ibumu ya” Buku sebagai media alternatif Tanya jawab dan komentar yang demikian ini terjadi karena si Ibra yang tak pernah menonton TV itu lebih akrab dengan buku-buku cerita baik yang fiksi maupun yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan alam dasar seperti dunia binatang, dunia tumbuhan, pengetahuan dasar tentang tubuh manusia dan sebagainya. Bersama dengan orangtuanya, ia lebih terbiasa bercerita dan mendengarkan cerita dari buku tentang perbedaan antara kupu-kupu dan ngengat, tentang mengapa ada serangga yang memiliki belalai panjang dan ada serangga yang memiliki belalai pendek bahkan ada yang tak punya belalai, Karena tak ada TV di rumah, ia lebih terbiasa mendengarkan orangtuanya bercerita tentang bagian-bagian tubuh manusia sambil memperlihatkan gambarnya yang bagus, menggambar sendiri bagian-bagian yang menarik perhatiannya sambil menceritakan ulang nama dan fungsi bagian itu secara sederhana dan mendasar. Semua buku cerita dan buku pengetahuan umum dasar itu disampaikan kepada anak-anak dalam dunia bermain, sambil bermain, dan dinikmati sebagai sebuah permainan yang menggembirakan. Dengan demikian semua itu menimbulkan kesan bagi anak dan membantunya untuk mengingat-ingat dan suatu saat ia bisa menceritakan ulang semua yang berkesan baginya itu kepada orang lain. Beberapa orang yang memilih untuk tidak memiliki TV di rumah, memiliki harapan agar mereka memiliki kesempatan yang lebih untuk menamani anak dalam berakrab-ria dengan buku dan bacaan yang dibutuhkan bagi pertumbuhannya. Harapan lebih jauh adalah bahwa kalau anak sudah terbiasa bercerita, merangkai gagasan dan pikiran secara runtut dan penuh dengan bunga kegembiraan, pada saatnya, ia akan lebih mudah untuk ditemani dalam proses menuliskan seluruh gagasan dan imajinasinya. Kisah akhir Pada suatu malam menjelang tidur, ketika seorang ayah hendak mendongeng sebagai pengantar tidur, anaknya menolak dan mengatakan, “Sekarang ayah diam. Aku mau bercerita tentang bis kota. Dengerin ya”. Lalu si anak bercerita panjang sekali sampai akhirnya baik si anak maupun si ayah terlelap oleh dongeng yang diceritakan itu. Setelah sekian tahun si ayah terbiasa mendongeng kepada anaknya, sekarang ia tak perlu repot lagi karena si anak telah mampu mendongeng sendiri dan mendongeng untuk ayahnya juga. Selebihnya, waktu-waktu bersama dalam keluarga menjadi saat-saat yang penuh kesegaran, dialog, tanya jawab, tawa bersama, dan terlalu berharga untuk dipinggirkan demi sebuah kehadiran kotak ajaib di dalam rumah. Sumber: www.parasindonesia.com, 22 Des 2006

Manusia Yesus

Oleh Indro Suprobo Di pengasingan yang sunyi dia terlahir. Tersingkir dari kebisingan pertikaian kuasa. Dalam sunyi pula dia dibesarkan Dan saat memasuki kebisingan kerumunan dunia Dia telah mampu membacanya dari kebeningan sunyinya Untuk melawan segala kelicikan manusia dan menjadi kawan bagi mereka yang tersingkir oleh kuasa Kelahiran Yesus adalah tanda reinkarnasi komitmen dalam sejarah kemanusiaan. Masa kanak-kanak telah mendidiknya untuk menjadi akrab dengan pengalaman ketersingkiran, pengasingan, penolakan, ketidakpedulian, kesewenangan, kemiskinan dan penghinaan. Beruntunglah bahwa kedua orangtuanya, Maria dan Yusup, adalah orang-orang yang memiliki komitmen besar terhadap kehidupan. Mereka menyuguhkan cinta, kasih sayang, perhatian, ketulusan, kejujuran, martabat, pengertian, dan rasa hormat dalam keseharian yang detailnya tak sempat terdokumentasi oleh kitab manapun, namun terbaca jelas dalam keseharian Yesus pada masa hidupnya kemudian. Dengan demikian, pengalaman negative kehidupan tak mampu merusak kepribadiannya karena kedua orangtuanya telah sanggup menemani dalam mengolah, mencerna dan memaknai semua itu menjadi kekuatan besar bagi pertumbuhan jiwanya. Keakraban dengan pengalaman negative kemanusiaan, yang dilengkapi oleh pendidikan tentang keutamaan-keutamaan hidup dalam keluarganya, telah menjadi ladang subur bagi tumbuh dan berkembangnya komitmen kemanusiaan dalam diri Yesus. Pergaulannya dengan kehidupan masyarakat sehari-hari telah mengajarinya untuk mengerti apa dan bagaimana ketidakadilan itu terjadi. Sementara aneka ragam kebiasaan bersama kedua orangtuanya dalam keluarga, telah mendidiknya untuk memahami apa dan bagaimana harkat-martabat manusia sepantasnya dijunjung tinggi. Visi yang melawan Yesus adalah seutuhnya manusia seperti orang-orang pada jamannya. Sesuai dengan konteks hidupnya, ia hadir dalam seluruh kewajaran kemanusiaan. Ia makan roti, minum air atau anggur, mengenakan pakaian, gelisah oleh berbagai macam pertanyaan, merasa marah melihat ketidakadilan di depan mata, geram terhadap kelicikan-kelicikan, bersedih oleh pengalaman penderitaan, bersyukur atas segala pengalaman bahagia, dan tertawa karena penghiburan-penghiburan sederhana. Yesus adalah manusia yang beriman juga. Dalam keimanan itulah, barangkali ia berbeda dengan orang-orang pada jamannya. Kedalaman hidup rohani dan spiritual inilah yang membuatnya unik dan dihormati, dan pada masa berikutnya terhitung sebagai salah satu di antara para nabi dalam sejarah kehidupan manusia. Keutuhan kemanusiaan dan kedalaman spiritual telah menuntun perjalanan hidup Yesus kepada kesanggupan menghadirkan visi baru bagi kehidupan. Ketika menyatakan kepada orang-orang sejamannya bahwa Allah adalah Bapa (Abba), pada saat itu pula Ia menawarkan sebuah komitmen kemanusiaan yang sangat radikal. Dalam konteks struktur social dan kebudayaan masa itu, pernyataan Allah adalah Bapa (Abba) merupakan pernyataan perlawanan terhadap kenyataan ketidakadilan yang meluas dan menggelisahkan jiwanya. Ketika Allah dinyatakan sebagai Bapa (Abba), maka setiap manusia adalah anak-anak Allah yang memiliki harkat dan martabat yang sama. Dalam kerangka itu, segala bentuk ketidakadilan, penyingkiran, peminggiran dan pemiskinan kemanusiaan tak lagi memiliki landasan pijaknya. Pernyataan Yesus ini tentu saja tidak pada tempatnya untuk dipahami dalam pengertian denotative biologis, melainkan dimaknai dalam pengertian konotatif spiritual. Konsistensi yang menawan Pilihan Yesus untuk menjadi kawan bagi mereka yang tersingkir dan terpinggirkan dalam kehidupan social-kultural, merupakan wujud dari konsistensi dirinya untuk berkomitmen kepada keadilan dan martabat kemanusiaan. Ia berusaha menolong mereka yang sakit namun tak punya akses terhadap layanan kesehatan. Ia menghormati kaum perempuan dan anak-anak yang hak-haknya terabaikan oleh struktur social dan budaya pada masanya. Ia bergaul dan berkomunitas dengan orang-orang yang mendapatkan stigma dalam kehidupan social dan dengan demikian merehabilitasi hidupnya. Tak segan-segan ia melontarkan kritik tajam kepada mereka yang memanipulasi kedudukan dan kuasa. Semuanya itu dilakukan bukan dalam kemegahan tempik sorai para pengagum, melainkan dijalankan dalam kewajaran keutuhan kemanusiaannya yang mengalir dari kebeningan, keikhlasan dan ketundukan sebagai manusia beriman. Sebagai manusia seutuhnya, tentu saja Yesus tidak luput dari pergulatan batin dalam seluruh proses untuk setia kepada visi dan komitmen dirinya atas kemanusiaan. Ancaman dan terror sebagai akibat dari kata-kata, cara berpikir dan tindakannya, tentu dihadapinya pula, dan ada kalanya semua itu menimbulkan kegentaran hebat dan kekhawatiran. Sebagai manusia, sudah selayaknya apabila ia mempertimbangkan resiko-resiko dari pilihan hidupnya dan senantiasa belajar setia untuk menanggungnya. Sampai akhir hidupnya, Ia telah menunjukkan kepada orang-orang sejaman dan komunitas pendukungnya, sebuah konsistensi pilihan yang menawan. Inspirasi Profetis Manusia Yesus yang peristiwa kelahirannya diperingati pada hari natal, merupakan sumber inspirasi bagi seluruh umat kristiani untuk mereinkarnasi komitmen radikal bagi terbangunnya martabat kemanusiaan. Komitmen manusia Yesus tentulah menjadi komitmen manusia Kristen seluruh dunia. Tantangannya dalam kehidupan dunia sekarang ini sangatlah nyata. Lonceng natal yang berdentang di seluruh penjuru dunia, merupakan panggilan dan peringatan untuk terus berjerih payah mengambil pilihan menjadi kawan bagi saudara yang terpinggirkan, menghormati hak-hak perempuan yang masih cenderung terabaikan, bergaul dan berkomunitas dengan saudara-saudara yang masih menanggung stigma dalam kehidupan social, menyelenggarakan pendidikan murah bagi semakin banyak anak yang tak sanggup membayar, mendahulukan pelayanan kesehatan istimewa kepada lebih banyak orang yang memiliki keterbatasan kesanggupan membiayai diri mereka, dan membongkar segala macam prasangka antar kelompok yang cenderung melahirkan ketidakadilan, Sebagaimana manusia Yesus dilahirkan dalam kesunyian pengasingan, maka kegembiraan perayaan natal sudah semestinya tidak mengabaikan kesedihan, kesulitan hidup dan derita yang sangat nyata di sekitarnya. Dengan demikian, peringatan kelahiran manusia Yesus menjadi jalan menuju kebeningan hati yang semakin menumbuhkan keutuhan kemanusiaan umat kristiani dan menjagai konsistensi dalam mewujudkan visi keadilan bagi kehidupan. Selamat Natal, terutama buat saudara-saudari yang sedang prihatin