Tuesday, December 26, 2006
Hari gini tak punya Tivi?
Oleh Indro Suprobo
Kisah awal
Perbincangan anak-anak desa di teras rumah sore itu ramai sekali. Hamid, Ayuk, Aji, Abid, Sunca dan Ibra saling berkomentar tentang Jathilan yang baru saja mereka tonton malam kemarin. Kecuali Ibra yang baru berumur 4 tahun dan belajar di playgroup, anak yang lain sudah sekolah di SD sebelah desa.
“Eh, aku punya kendang lho. Aku ambil ya. Nanti mas Hamid yang menabuh ya”, kata Ibra mengajukan usul.
“Iya, ayo diambil. Nanti Ayuk yang joged ya”, sambung Hamid
Lalu terdengarlah suara ketipang-ketipung kendang, diiringi beragam bunyian dari kaleng bekas cat, potongan bamboo, dan mulut-mulut yang menirukan alat musik. Si Ayuk menjoged, menjejak-jejakkan kaki kanannya ke tanah sambil mulutnya bersuara “Cring-cring, cring-cring” menirukan bunyi kelintingan yang biasa dipasang di kaki para penari Jathilan.
Seluruh keasyikan anak-anak ini berakhir setelah adzan maghrib dilantunkan oleh takmir. Mereka segera pulang ke rumah masing-masing dan bergegas menuju mushala desa.
Cerita kecil ini merupakan kisah nyata yang masih tersisa di sebuah desa di pinggiran utara Jogjakarta. Barangkali, kisah-kisah semacam ini sudah semakin sedikit jumlahnya karena ruang-ruang bermain, beraktivitas bersama, bertukar imajinasi dan berbagi kreativitas di antara anak-anak telah semakin tergusur oleh salah satu bentuk kemajuan teknologi yakni televisi. Aktivitas anak-anak yang sangat dinamis ini, semakin lama semakin terpinggirkan dan digantikan oleh aktivitas baru yakni menonton TV.
Bagi sebagian besar orang jaman sekarang, kehadiran TV di dalam rumah seakan-akan sudah merupakan keharusan yang tak boleh ditawar lagi. Kalau sebuah rumah tak memiliki TV, barangkali orang akan berkomentar,”Hari gini kok tidak punya televisi”. Tidak adanya TV di dalam rumah, sudah hampir menjadi hal aneh bagi kehidupan kebanyakan orang jaman sekarang.
Pilihan alternatif
Ada sebagian kecil orang yang memilih untuk tidak memiliki TV di rumahnya. Beragam alasan melatarbelakangi pilihan ini, salah satunya adalah agar memiliki kesempatan lebih banyak untuk ngobrol bersama anggota keluarga. Mereka yang memilih untuk tidak memiliki TV di rumah tentu saja tidak selalu sama dengan orang yang anti TV. Secara lebih tepat, orang-orang yang memilih untuk tidak memiliki TV di rumah adalah orang-orang yang secara sengaja hendak mengambil jarak terhadap kotak ajaib symbol kemajuan teknologi ini. Pilihan semacam ini termasuk pilihan alternatif.
Tanpa mengabaikan manfaat besar yang bisa dipetik dari kehadiran televisi, mereka yang berada dalam kelompok ini pada umumnya sangat menyadari bahwa televise memiliki kecenderungan besar untuk menyerap seluruh perhatian dan energi anggota keluarga yang menontonnya. Masing-masing anggota diserap oleh tontonan yang sedang berlangsung, sehingga relasi individual antara penonton dan tayangan televise itu jauh lebih besar porsinya daripada relasi personal antar anggota yang sedang bersama-sama menonton. Akibatnya, dialog yang terjadi adalah dialog antara televise yang sedang menyampaikan pesan dan penonton yang sedang menyerap pesan dengan segala dinamikanya (confirmative maupun oppositional).
Mereka yang memilih untuk tidak memiliki TV di dalam rumahnya, biasanya memiliki kegandrungan lebih besar terhadap pola relasi dialog yang melibatkan lebih banyak pihak. Misalnya dialog yang terjadi antara ayah, ibu dan anak. Dialog yang semacam ini dirasa lebih memberikan makna daripada aktivitas menonton televisi yang menyerap perhatian dan energi mereka.
Memperluas ruang bercerita
Bagi mereka yang telah memilih untuk tidak memiliki TV di rumahnya meskipun sebenarnya mampu membelinya, telah terasa betapa ruang untuk bercerita dalam keluarga menjadi lebih luas. Ada lebih banyak waktu dalam keluarga yang bisa dimanfaatkan untuk bercerita antara suami dan istri, antara anak dan orang tua, maupun antara anak-anak sendiri. Terbukanya ruang yang lebih luas untuk bercerita ini ternyata sebanding dengan perkembangan kemampuan anak untuk mengungkapkan dirinya.
Anak-anak yang terbiasa menikmati ruang luas semacam ini menjadi lebih terbiasa untuk menguraikan gagasan, memaparkan pendapat, menggambarkan imajinasi, menciptakan detail-detail dalam cerita pengalaman, menciptakan perluasan kisah yang kreatif dan semuanya itu merupakan sebuah proses yang sangat produktif. Anak-anak yang terbiasa dengan hal-hal demikian, menjadi lebih terbiasa pula untuk memproduksi pikiran yang orisinil dan kreatif. Karena terbiasa untuk bercerita dan didengarkan, anak menjadi terbiasa pula untuk mengajukan pertanyaan berkaitan dengan hal-hal yang ingin diketahuinya atau yang menimbulkan rasa heran baginya. Pertanyaan atau jawaban yang diajukan seringkali juga menantang orang dewasa untuk berpikir keras menemukan jawaban atau tanggapan.
Ibra yang baru berumur sekitar 4 tahun dan tak pernah nonton televise itu suatu kali bertanya kepada kakak pendamping di playgroupnya yang sedang hamil sangat muda.
“Katanya di dalam perut Kak Tuti ada adiknya, kok perutnya tidak besar? Mana adiknya?”
“Adiknya masih kecil sekali, jadi perutnya juga masih kecil, tapi sudah ada adiknya di dalam perut”, jawab kakak pendamping.
“Ooo…itu berarti adiknya masih sel”, komentar si Ibra kemudian. Kakak-kakak pendampingnya terkaget-kaget dengan komentar itu dan akhirnya tertawa dan hanya bisa mengiyakan. “Ya, ya, betul, masih sel”.
Pada kesempatan lain, ketika sedang dimandikan oleh kakak pendamping di playgroupnya, si Ibra bertanya
“Kak, kenapa kok busa sabunnya berwarna putih?”
Tanpa berpikir serius kakak pendampingnya menjawab sekenanya,”Karena sabunnya berwarna putih”
“kalau sabunnya berwarna merah, apakah busanya juga berwarna merah?” tanpa Ibra penasaran
“Kalau sabunnya berwarna merah, busanya tetap berwarna putih”, jawab kakak pendamping mulai serius berpikir.
“Kenapa kok busanya berwarna putih?” tanya Ibra lebih heran lagi.
Karena tak mampu menjawab pertanyaan itu, dan butuh jawaban yang serius, akhirnya kakak pendamping itu menyerah dan terpaksa menjawab,”Nanti kamu tanyakan kepada ayah dan ibumu ya”
Buku sebagai media alternatif
Tanya jawab dan komentar yang demikian ini terjadi karena si Ibra yang tak pernah menonton TV itu lebih akrab dengan buku-buku cerita baik yang fiksi maupun yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan alam dasar seperti dunia binatang, dunia tumbuhan, pengetahuan dasar tentang tubuh manusia dan sebagainya. Bersama dengan orangtuanya, ia lebih terbiasa bercerita dan mendengarkan cerita dari buku tentang perbedaan antara kupu-kupu dan ngengat, tentang mengapa ada serangga yang memiliki belalai panjang dan ada serangga yang memiliki belalai pendek bahkan ada yang tak punya belalai,
Karena tak ada TV di rumah, ia lebih terbiasa mendengarkan orangtuanya bercerita tentang bagian-bagian tubuh manusia sambil memperlihatkan gambarnya yang bagus, menggambar sendiri bagian-bagian yang menarik perhatiannya sambil menceritakan ulang nama dan fungsi bagian itu secara sederhana dan mendasar. Semua buku cerita dan buku pengetahuan umum dasar itu disampaikan kepada anak-anak dalam dunia bermain, sambil bermain, dan dinikmati sebagai sebuah permainan yang menggembirakan. Dengan demikian semua itu menimbulkan kesan bagi anak dan membantunya untuk mengingat-ingat dan suatu saat ia bisa menceritakan ulang semua yang berkesan baginya itu kepada orang lain.
Beberapa orang yang memilih untuk tidak memiliki TV di rumah, memiliki harapan agar mereka memiliki kesempatan yang lebih untuk menamani anak dalam berakrab-ria dengan buku dan bacaan yang dibutuhkan bagi pertumbuhannya. Harapan lebih jauh adalah bahwa kalau anak sudah terbiasa bercerita, merangkai gagasan dan pikiran secara runtut dan penuh dengan bunga kegembiraan, pada saatnya, ia akan lebih mudah untuk ditemani dalam proses menuliskan seluruh gagasan dan imajinasinya.
Kisah akhir
Pada suatu malam menjelang tidur, ketika seorang ayah hendak mendongeng sebagai pengantar tidur, anaknya menolak dan mengatakan, “Sekarang ayah diam. Aku mau bercerita tentang bis kota. Dengerin ya”. Lalu si anak bercerita panjang sekali sampai akhirnya baik si anak maupun si ayah terlelap oleh dongeng yang diceritakan itu. Setelah sekian tahun si ayah terbiasa mendongeng kepada anaknya, sekarang ia tak perlu repot lagi karena si anak telah mampu mendongeng sendiri dan mendongeng untuk ayahnya juga. Selebihnya, waktu-waktu bersama dalam keluarga menjadi saat-saat yang penuh kesegaran, dialog, tanya jawab, tawa bersama, dan terlalu berharga untuk dipinggirkan demi sebuah kehadiran kotak ajaib di dalam rumah.
Sumber: www.parasindonesia.com, 22 Des 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment