Saturday, April 22, 2023

Mengelola Perbedaan berdasarkan Prinsip Pro-eksistensi

Foto: Prayogi/Republika


 Oleh Indro Suprobo

Realitas Kemajemukan

Salah satu kenyataan sekaligus anugerah kehidupan yang tak dapat disangkal oleh masyarakat Indonesia adalah kenyataan dirinya sebagai masyarakat yang diwarnai oleh kemajemukan. Kemajemukan itu terbentang dalam wilayah yang luas dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai ke Pulau Rote. Dalam bentangan wilayah yang luas itu, masyarakat Indonesia memiliki paling sedikit 300 suku bangsa,[1] bahkan versi lain menyatakan 750 suku bangsa.[2] Dengan demikian ia juga memiliki paling sedikit 300 atau 750 agama dan keyakinan lokal yang mendasari kerangka berpikirnya dalam membangun makna kehidupan, memiliki ratusan bahasa sekaligus cara berpikir serta kearifan-kearifan lokal.

Kenyataan kemajemukan yang sedemikian ini pantaslah dipahami karena dalam sejarahnya, manusia Indonesia berasal dari paling tidak empat gelombang migrasi leluhur.[3] Empat gelombang itu pertama, 50-45 ribu tahun silam, ketika manusia modern (dari subsahara Afrika) masuk lewat jalur darat selatan Asia. Saat itu Sumatera, Kalimantan dan Jawa masih merupakan satu daratan yang disebut Paparan Sunda. Bali dan Lombok sudah terpisah oleh selat yang dalam. Gelombang kedua, 35-16 ribu tahun silam, manusia dari daratan Indocina masuk melalui jalur darat. Pada masa ini, Paparan Sunda masih merupakan satu daratan. Gelombang ketiga, 5000-4000 tahun silam, manusia rumpun bahasa Austronesia (dan austroasiatik) dari Cina Selatan dan Taiwan menyebar ke kepulauan bagian barat dan timur. Gelombang keempat, 2000 tahun silam, mulai abad ketiga hingga abad 13 kelompok pro asiatik, India, China dan Arab masuk ke kepulauan. Terjadilah persebaran agama dan budaya Hindu, Budha dan Islam. Kenyataan bahwa manusia Indonesia memiliki asal-usul dari minimal empat gelombang migrasi leluhur ini, membuat manusia Indonesia itu sebagai manusia dengan campuran beragam genetika.[4] Artinya, bahkan sejak dari dalam dirinya sendiri, setiap individu manusia Indonesia itu sudah mencerminkan kemajemukan yang luar biasa. 

Dengan demikian, manusia Indonesia adalah manusia yang sejak dari awalnya terlempar di dalam kenyataan kemajemukan. Kemajemukan itu mau tidak mau menjadi realitas kontekstual dirinya yang merupakan anugerah, tak dapat diubah, hanya dapat diterima, diakui dan dihormati apa adanya, serta menantang untuk dikelola secara arif bijaksana. Realitas kemajemukan ini juga sudah sepantasnya menjadi landasan dalam membangun kerangka berfikir visional untuk menenun kehidupan bersama di masa depan. 


Prasangka sebagai Tantangan

Tantangan dan halangan paling utama yang dihadapi oleh masyarakat majemuk adalah prasangka. Prasangka adalah cara berpikir dan bersikap buruk terhadap orang atau kelompok lain, tanpa mengevaluasinya secara kritis dan tanpa disertai dengan pembuktian empiris. Prasangka menghalangi individu dan masyarakat untuk melihat orang lain secara apa adanya, sesuai dengan realitas diri mereka. Prasangka, atau berburuk sangka (su’u al dzan) merupakan pangkal dari tindakan buruk lainnya, seperti membenci, memperolok-olok, mengejek, merendahkan, bullying atau perundungan, menyebar ujaran kebencian (hate speech), memproduksi berita bohong (hoax atau fake news), serta menolak keberadaan dan kehadiran orang lain yang berbeda.[5] Sebagai sebuah cara berpikir dan bersikap negatif terhadap orang atau kelompok lain, prasangka pada umumnya adalah akibat dari relasi sosial yang terluka, namun tanpa terapi dan tanpa penyembuhan maupun rekonsiliasi, sehingga terakumulasi menjadi penilaian buruk satu sama lain yang bersifat akut, dan bisa termanifestasi dalam kekerasan. Di dalam diri setiap orang atau masyarakat, prasangka hampir beroperasi sebagai mitos, yang kebenarannya seringkali tak dipertanyakan lagi karena ia lebih berkaitan dengan keyakinan dan emosi, bukan sesuatu yang bersifat rasional. Prasangka lebih banyak bekerja di dalam wilayah tak sadar, bukan di wilayah kesadaran. Dalam proses pembentukannya, prasangka pada umumnya merupakan buah dari habitus, yang direproduksi melalui sebuah proses pembiasaan yang panjang, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, komunitas-komunitas pergaulan, bahkan juga melalui grup-grup media sosial yang berkembang seperti sekarang ini. Pada gilirannya, prasangka juga melahirkan stigma terhadap kelompok lain yang berbeda.

Di dalam diri setiap individu atau masyarakat, prasangka tentang kelompok lain itu, cara bekerjanya hampir seperti ilusi Muller-Lyer, di mana kesan, keyakinan dan emosi lebih mendominasi dalam membentuk “kebenaran ilusif” sehingga penjelasan-penjelasan alternatif berdasarkan fakta tak lagi memiliki daya untuk membentuk alternatif kebenaran.[6] Ketika seseorang atau masyarakat telah meyakini bahwa orang atau kelompok tertentu itu buruk, maka penjelasan apapun yang berkaitan dengan orang atau kelompok tertentu itu tak memiliki daya untuk mengubah keyakinan itu. Ilusi Muller-Lyer dapat dilihat di dalam gambar di bawah ini.


Di dalam gambar ilusi Muller-Lyer ini, tampak bahwa garis yang berada di sebelah kiri seolah-olah lebih panjang daripada gambar garis yang ada di sebelah kanan. Meskipun subyek sudah diberitahu bahwa kedua garis itu sebenarnya sama panjang, namun di dalam persepsi subyek, garis yang sebelah kiri tetap saja tampak lebih panjang daripada garis yang sebelah kanan. Dengan demikian gambar ini memberikan “kebenaran ilusif” kepada subyek bahwa garis yang sebelah kiri lebih panjang daripada yang lain. Demikian pulalah prasangka tentang orang atau kelompok lain itu bekerja di dalam pikiran. Prasangka itu membangun kebenaran ilusif tentang orang lain meskipun kenyataan orang lain itu bisa sama sekali berbeda dengan kebenaran ilusif yang sudah diyakini ini. Seringkali, meskipun telah diberi tahu bahwa kenyataan orang lain itu tidak seperti yang telah diyakininya itu, individu atau subyek memiliki kesulitan besar untuk mengubah keyakinan ilusif yang telah bercokol di dalam dirinya. Unsur-unsur emosionalnya jauh lebih dominan dan memengaruhi pembentukan keyakinannya. Maka dapat dikatakan bahwa prasangka adalah ilusi Muller-Lyer yang beroperasi di dalam relasi sosial manusia.

Dalam perspektif psikoanalisis, prasangka dapat dirumuskan sebagai sebuah fantasi yang dimiliki oleh suatu kelompok tentang adanya kenikmatan yang dicuri (the theft of enjoyment) oleh kelompok lain yang berbeda, sehingga kenikmatan yang dimilikinya itu berkurang atau bahkan hilang. Sementara kelompok lain yang berbeda itu dinilainya sebagai mengenyam seluruh kenikmatan bahkan secara berlebihan.[7] Dalam konteks ini, kehadiran kelompok lain yang berbeda (agama, etnik, suku, kaum pendatang dsb) difantasikan sebagai melahirkan ancaman dan gangguan baginya. Yang dimaksud dengan kenikmatan dalam hal ini bisa berupa apa saja, bisa akses ekonomi, politik, sosial, budaya dan sebagainya. Kehadiran kelompok lain dengan segala keunikannya (bahasa, cara berpakaian, makanan, kebiasaan harian dsb) melahirkan perasaan terancam dan memunculkan fantasi bahwa kelompok lain tersebut telah merebut seluruh kenikmatan yang semestinya dimiliki oleh kelompoknya sendiri. Fantasi ini menimbulkan sikap antipati dan penolakan, bahkan dapat melahirkan tindakan kekerasan yang menghancurkan kemanusiaan. Sekali lagi, dalam perspektif ini, prasangka adalah sebuah fantasi tentang tercurinya kenikmatan suatu kelompok oleh kehadiran kelompok lainnya yang berbeda. Di mana kelompok lain yang berbeda itu dianggap memiliki kenikmatan yang berlebih (surplus of enjoyment), sementara kelompoknya sendiri mengalami kehilangan kenikmatan (the lack of enjoyment).


Perlunya Pro-eksistensi dan Sikap Kritis

Menghadapi prasangka yang berkembang di antara masyarakat majemuk, yang cara bekerjanya lebih banyak didominasi oleh emosi dan berada dalam wilayah ketaksadaran, yang sangat dibutuhkan adalah dua hal yang tak terpisahkan, yakni menumbuhkan dan membiasakan sikap kritis serta menjalankan prinsip pro-eksistensi. Sikap kritis adalah kemampuan untuk mempertimbangkan, mempertanyakan, mengambil jarak, menunda persetujuan, mengevaluasi dan meneliti suatu pengetahuan, informasi, cara berpikir, sikap, maupun tindakan yang pada umumnya begitu saja diterima sebagai kebenaran (taken for granted) sehingga menemukan kepentingan atau ideologi yang tersembunyi di dalamnya. Informasi, bahasa, rumusan, pengetahuan, tuturan, pernyataan, cara berpikir, penggunaan istilah selalu merupakan sebuah konstruksi dari produsennya dan mengonstruksi orang lain untuk memercayai dan menyetujuinya serta menggunakannya. Bahasa itu tidak netral sehingga senantiasa perlu disikapi secara kritis agar ditemukan unsur kepentingan dan kekuasaan yang tersembunyi di dalamnya.[8] Sikap kritis adalah cara berpikir yang mampu menyingkapkan fenomena-fenomena tersembunyi atau melampaui asumsi-asumsi yang hanya berdasarkan “common sense” (anggapan umum) dalam istilah Antonio Gramsci (1971).[9] Langkah pertama sikap kritis adalah “menunda persetujuan” terhadap segala macam informasi, dan mempertanyakan asal-usul atau konteks sebagai langkah verifikasi. Mengedepankan “proses berpikir rasional”, mengutamakan informasi berbasis data, siap mempertanyakan setiap informasi dan menunda keyakinan terhadapnya (constant self-questioning, move outside the framework), dan berupaya membedakan antara constructed-fictional-reality dan factual-reality.

Melalui sikap kritis ini, individu dan masyarakat akan semakin sanggup untuk membebaskan diri dari beragam prasangka yang bercokol di dalam dirinya, sehingga semakin sanggup memahami dan menerima kelompok lain secara apa adanya, lengkap dengan seluruh perbedaan yang dimilikinya. Melaluinya, individu dan masyarakat yang hidup dalam kemajemukan akan dibebaskan dari fantasi tentang kelompok lain yang mencuri atau merebut kenikmatannya (enjoyment), dan dibebaskan dari perasaan terancam oleh kehadiran orang lain yang berbeda. Dengan demikian, individu dan masyarakat akan lebih dewasa dan sanggup melawan beragam konstruksi wacana diskriminatif (discriminatory discourse) yang cenderung melahirkan stigma dan perpecahan di dalam kehidupan, yang memiliki potensi sangat besar untuk menghancurkan kemanusiaan. 

Sikap kritis justru akan melahirkan kesanggupan untuk membangun imajinasi tentang liyan sebagai pribadi yang sama dengan dirinya sendiri. Ia sanggup membangun kemampuan berpikir dan membayangkan bahwa orang lain yang dilukai itu adalah orang seperti diri kita sendiri. Imajinasi yang bijak tentang orang lain sebagai yang sama dengan diri kita sendiri, merupakan pertahanan yang paling penting untuk melawan dorongan manusia yang keras untuk melakukan kejahatan. Kesanggupan membangun imajinasi bahwa orang lain yang kita lukai adalah orang yang sama seperti diri kita sendiri, adalah satu-satunya pertahanan kita yang berarti untuk menghadapi fiksi beracun yang mereduksi dunia keragaman menjadi ideologi tunggal dan sama. Karena ideologi yang paling berbahaya bergantung pada upaya menciptakan musuh yang tetap dan tak berubah.[10] Sikap semacam ini secara sangat singkat dirangkum oleh kaidah emas (the golden rule) yang terkenal itu yang berbunyi “Jangan lakukan kepada orang lain, sesuatu yang kau tidak ingin orang lain melakukannya pada dirimu”.

Pada gilirannya sikap ini akan melahirkan apa yang disebut sebagai sikap pro-eksistensi. Secara sederhana sikap pro-eksistensi adalah sikap hidup bersama yang memandang orang atau kelompok lain sebagai sesama yang setara dan memiliki martabat yang sama dengan diri atau kelompok kita sendiri, yang terwujud dalam sikap dan tindakan nyata untuk secara damai dan empatik ikut terlibat menjadi bagian dalam usaha menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh kelompok lain itu, serta secara adil menjamin dan membela hak-hak kelompok yang berbeda terutama ketika hak asasi kelompok yang berbeda itu sedang terancam. Dalam prinsip ini terkandung nilai dan sikap “damai sejak dalam pikiran”, kesetaraan, inklusi, terlibat, empati, dan pembelaan (advocacy). Dalam prinsip ini, masyarakat yang hidup bersama dalam banyak perbedaan seperti masyarakat Indonesia, secara aktif saling memandang yang lain sebagai sesama yang setara dan bermartabat, serta berupaya saling melindungi agar masing-masing dapat menghidupi keunikannya dalam kedamaian

Ini berarti bahwa ketika orang atau kelompok lain yang berbeda sedang menghadapi persoalan di mana hak-haknya sedang dilanggar, individu dan masyarakat yang ada di sekitarnya secara damai dan empatik menempatkan dirinya sebagai bagian dari kelompok itu, menempatkan dirinya dalam posisi kelompok yang berbeda itu, dan bersama-sama terlibat aktif membantu menyelesaikan masalah yang dihadapinya sehingga hak-haknya dipulihkan dan tidak ada lagi pelanggaran. Perbedaan-perbedaan, bahkan yang krusial sekalipun, tidak menghalangi individu dan masyarakat yang bersikap pro-eksisten untuk membela dan membantu kelompok yang berbeda, yang hak-haknya sedang terancam oleh pelanggaran. Di dalam prinsip pro-eksistensi ini, terdapat solidaritas dan empati, atau apa yang akhir-akhir ini sedang dikembangkan oleh Karel Armstrong, yakni compassion, belarasa (bahasa Latin compassio berasal dari kata kerja dasar compatire, artinya bersimpati, atau ikut menderita, ikut merasakan penderitaan).


Pro-eksistensi dan Tepa Salira

Di dalam khasanah kebudayaan Jawa pada umumnya dan masyarakat Yogyakarta khususnya, prinsip pro-eksistensi ini barangkali setara dengan apa yang disebut sebagai tepa salira. Secara sederhana sikap tepa salira ini dipahami sebagai sikap menempatkan (anepakaken) diri (salira) ke dalam diri orang lain (saliraning sesami), sehingga dapat merasakan seluruh duka, kecemasan, kegembiraan, harapan, penderitaan, kesulitan, dan keputusasaan yang dialami oleh orang lain itu sebagai pengalamannya sendiri. Melalui sikap tepa salira ini, penderitaan dan kesusahan orang lain yang hak-haknya sedang dilanggar oleh pihak lain, menjadi penderitaan dan kesusahan dirinya sendiri juga. Individu dan masyarakat yang menjalankan sikap tepa salira ini adalah individu dan masyarakat yang sanggup manjing ajur ajer ing saliraning liyan utawi sesami. 

Bagi masyarakat Yogyakarta yang sangat majemuk karena berasal dari beragam latar belakang baik suku, etnisitas, agama, asal daerah, bahasa, cara berpikir, selera makanan, profesi, gaya hidup, tingkat ekonomi, orientasi seksual, dan sebagainya, prinsip pro-eksistensi dan tepa salira ini menjadi prinsip yang penting. Sebagai kota pelajar yang menyediakan banyak fasilitas pendidikan, Yogyakarta menjadi tempat tinggal dan tempat berkumpulnya orang-orang dari beragam daerah di seluruh Indonesia. Kemajemukan ini sangat rentan terhadap munculnya beragam prasangka karena perbedaan-perbedaan yang tak terpahami. Pengalaman-pengalaman buruk dalam relasi sosial antar perbedaan yang pernah terjadi atau sering terjadi, cenderung melahirkan prasangka yang menetap dan menjadi stigma terhadap kelompok masyarakat yang berasal dari daerah tertentu sehingga melahirkan penolakan. Konflik dan bahkan kekerasan seringkali terjadi di antara kelompok-kelompok warga yang berasal dari wilayah kebudayaan yang berbeda, lalu lahirlah prasangka baru yang menetap dan dipelihara di dalam pikiran melalui konstruksi wacana diskriminatif tentang kelompok lain. Akibatya satu sama lain saling memelihara prasangka dan stigma, yang sebenarnya kebenarannya perlu diuji karena tentu saja apa yang diyakini di dalam prasangka itu tidak seluruhnya merupakan kebenaran faktual. 

Terutama menyangkut perbedaan latar belakang yang krusial seperti etnisitas, keyakinan dan agama, serta aliran keagamaan, masyarakat Yogyakarta dan Pemerintah Daerah sangat perlu melatih dan membiasakan diri dengan sikap kritis, prinsip pro-eksistensi dan tepa salira ini. Ketika masyarakat gagal menjalankan prinsip-prinsip ini, diskriminasi terhadap kelompok tertentu dengan mengatasnamakan toleransi sangat mungkin terjadi, dan ini sudah sangat sering terjadi. Penolakan terhadap aktivitas ibadah agama atau kepercayaan tertentu, atau penolakan terhadap pembangunan tempat ibadah tertentu seringkali terjadi bahkan dengan mengatasnamakan toleransi dengan rumusan “demi menjagai toleransi dan kerukunan yang sudah ada”. Jika hal demikian ini terjadi, maka toleransi yang disebut-sebut itu adalah sebuah toleransi yang semu belaka. Oleh karena itu dalam masyarakat majemuk seperti masyarakat Yogyakarta ini, toleransi tidak memadai dan rentan untuk dimanipulasi.Yang dibutuhkan adalah prinsip pro-eksistensi dan tepa salira di mana masyarakat saling dapat merasakan penderitaan yang dialami ketika hak-hak dasarnya dilanggar, dan saling membantu untuk memberikan pembelaan terhadap kelompok lain yang hak-haknya dilanggar, karena pelanggaran terhadap hak-hak kelompok lain itu sudah dimaknai dan dirasakan sebagai sama dengan pelanggaran terhadap hak-haknya sendiri.

Akan menjadi lebih berdayaguna lagi apabila prinsip dan nilai pro-eksistensi serta tepa salira ini benar-benar manjing ajur ajer di dalam kebijakan-kebijakan publik yang dihasilkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, selain terinternalisasi di dalam cara berpikir, bersikap dan bertindak individu-individu dan masyarakat. Karena sejatinya, prinsip pro-eksistensi dan tepa salira ini sudah tertanam di dalam hikmat/kebijaksanaan sebagaimana terumuskan di dalam sila 4 dalam Pancasila, yang terkait dengan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab karena memandang manusia lain sebagai setara, sebagai konsekuensi dari kesadaran bahwa tak satupun manusia boleh memandang diri sebagai lebih berkuasa daripada yang lain karena hanya ada satu subyek yang sungguh berkuasa sebagaimana tercermin dalam sila pertama, sehingga setiap individu dan masyarakat memiliki orientasi untuk membangun hidup bersama penuh kedamaian seperti terungkap dalam sila Persatuan Indonesia, demi mencapai nilai yang dijunjung tinggi yakni keadilan seperti ternyatakan dalam sila kelima Pancasila. Jika demikian halnya, Yogyakarta akan benar-benar pantas disebut sebagai daerah Istimewa. 

Semoga masyarakat dan Pemerintah Daerah kita semakin sanggup mencapainya.***


Catatan Kaki:

1. Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Gramedia, 2003, hlm.513

2. Sri-Edi Swasono, “Persatuan, Kebangsaan dan Integrasi Nasional” dalam Masalah Kebangsaan Kita, Kompilasi Seri Diskusi Kebangsaan edisi 1-12 Tahun 2017, Tonggak Pustaka dan Persatuan Wartawan Sepuh Yogyakarta, 2019, hlm.85

3. https://tekno.tempo.co/read/841121/inilah-nenek-moyang-kita-4-gelombang-migrasi-ke-indonesia/full&view=ok, Diakses 18 Agustus 2021

4.  https://historia.id/kuno/articles/manusia-indonesia-adalah-campuran-beragam-genetika-6mmWr/page/1, diakses 18 Agustus 2021

5. Bdk. M. Amin Abdullah, Multidisiplin, Interdisiplin, dan Transdisiplin, Metode Studi Agama dan Studi Islam di Era Kontemporer, IB Pustaka, Yogyakarta, 2021, hlm.288-289.

6. Bdk. J. Haryatmoko, Era Post-Truth, Mengintensifkan Prasangka Negatif, Emosi Sosial dan Populisme Agama, bahan kursus Filsafat Universitas Sanata Dharma, 4 Maret 2019, hlm.8-9

7. Lih. Jodi Dean, “Why Zizek for Political Theory?” dalam International Jurnal of Zizek Studies, Volume One, Number One, hlm.18-32, 

8. Bdk. J. Haryatmoko, Critical Discourse Analysis, Landasan Teori, Metodologi dan Penerapan, Rajawali Pers, 2016

9. Bdk. Agus Nuryatno, Mazhab Pendidikan Kritis, Menyingkap Relasi Pengetahuan, Politik, dan Kekuasaan, Resist Book 2008, hlm.2

10. Roger Berkowitz, Jeffrey Katz, and Thomas Keenan, Thinking in Dark Times, Hannah Arendt on Ethics and Politics, Fordham University Press 2010, hlm.9


Sunday, April 02, 2023

Monumen Religius, Trauma, dan Kekuasaan


 

Oleh Indro Suprobo


Barangkali pantas dipikirkan bahwa pembangunan monumen religius yang tinggi, megah dan besar, tidak selalu mencerminkan perkembangan religiositas yang semakin lembut dan mendalam. Ia justru bisa menjadi penanda kepada sesuatu yang lain, bahkan dapat menjadi tanda dari suatu krisis internal hebat yang sedang dialami oleh pembuat monumen itu. Salah satunya, ia justru menjadi penanda tentang adanya rasa takut terhadap hilangnya perasaan berkuasa, perasaan berwibawa dan sebagainya yang ada di dalam dirinya (fear of the loosing of enjoyment). Boleh dikatakan bahwa sedang terjadi suatu perasaan takut akan hilangnya semua bentuk kapital simbolik yang dimilikinya. Sehingga monumen religius yang besar, megah dan hebat itu justru berfungsi sebagai medium untuk menjagai fantasi tentang perasaan berkuasa, menjagai fantasi tentang langgengnya kapital simbolik yang dimilikinya.

Krisis internal itu bisa jadi merupakan fakta atau realitas yang sungguh-sungguh dijumpai dan dialami, namun tersembunyi atau disembunyikan dari pengamatan publik. Namun dapat juga merupakan fakta atau realitas yang sudah mulai menjamur di banyak tempat dan sedang menjadi perhatian publik. Krisis internal itu dialami karena menjamurnya praksis inkonsistensial di dalam dirinya, suatu praksis yang menunjukkan tidak satunya kata dan perbuatan. 

Krisis internal yang dihadapi ini mengakibatkan munculnya pengalaman traumatik, yakni sebentuk pengalaman emosional tubuh, baik tubuh personal, maupun tubuh institusional, sebagai respon atas pengalaman krisis yang dampaknya dinilai sebagai mengerikan bagi dirinya. Salah satu isi pengalaman mengerikan itu adalah pengalaman kehancuran wibawa simbolik sebagai akibat inkonsistensi yang terjadi di dalam banyak bagian, banyak tempat, di dalam tubuh personalnya maupun tubuh institusionalnya. Dalam konteks pengalaman takut yang traumatik terhadap hancurnya wibawa simbolik dirinya yang mengerikan itu, maka monumen-monumen religius yang hebat, besar dan megah, membuka fasilitas atau medium untuk menjagai fantasi tentang perasaan wibawa atau perasaan berkuasanya. Maka monumen-monumen religius yang besar dan hebat itu sebenarnya merupakan suatu penanda traumatik tentang rasa rakut dan kengerian akan suatu kehancuran atau kehilangan dalam dirinya. Jika demikian halnya, boleh dikatakan bahwa monumen-monumen yang megah itu menjadi artikulasi bahasa traumatik dari suatu tubuh yang sedang mengalami krisis dan kengerian.

Di dalam sebuah negeri yangg dalam waktu lama diasuh oleh orde baru melalui habitus relasi kuasa traumatik antar kelompok, monumen-monumen religius yang sederhanapun, apalagi yang serba hebat dan megah, akan cenderung melahirkan fantasi tentang tercurinya kekuasaan atau kewibawaan (the theft of enjoyment) dalam diri kelompok lain, terutama kelompok-kelompok yang dalam pengalaman historisnya memiliki relasi traumatik paling besar. Dalam konteks ini, kedua kelompok bertemu di dalam dan disatukan oleh satu hal yang sama, yakni perasaan takut yang traumatik. Perasaan takut traumatis yang diartikulasikan dalam bahasa monumental oleh kelompok yang satu, melahirkan perasaan takut dan terancam di dalam diri kelompok lain, karena kehadirannya bisa menggoncang relasi kuasa yang selama ini senantiasa direproduksi satu-sama lain. 

 Ketika pengalaman takut traumatik kedua kelompok ini tak pernah mendapatkan terapi yang baik, ia akan terus berakumulasi karena kedua kelompok akan senantiasa cenderung mereproduksinya di dalam komunitas masing-masing. Peristiwa patung Maria di Kulon Progo, barangkali merupakan salah satu peristiwa yang dapat ditempatkan dalam kerangka ini. 

 Pengalaman-pengalaman traumatik semacam ini dalam sejarah kebudayaan masa lalu, salah satunya dapat ditemukan dalam narasi mitologis tentang menara Babel yang terdokumentasi di dalam kitab suci Perjanjian Lama (Kej 11:1-9). Kisah menara Babel itu, lebih tepatnya dirumuskan sebagai kisah tentang gagalnya pembangunan menara Babel, adalah suatu cerminan dan refleksi dari fantasi traumatik bangsa Israel kuno terhadap monumen religius kerajaan Babilonia. 

Pada sekitar tahun 500an SM, bangsa Israel kuno, terutama yang hidup di wilayah kerajaan selatan, yakni Kerajaan Yehuda, adalah bangsa yang sudah memasuki masa pembentukan monotheisme yang kuat, yakni penghormatan dan keyakinan terhadap satu-satunya kekuatan yang dapat menjamin keselamatan bagi seluruh bangsa, yakni penghormatan kepada Yahweh. Dalam cara berpikir masa itu, keselamatan itu meliputi seluruh aspek kehidupan baik itu ekonomi, sosial, maupun politik. Relasi-relasi politik, termasuk konflik, peperangan, kemenangan perang maupun kekalahan politik, pada masa  itu dipahami sebagai sangat berkaitan dengan relasinya dengan Yahweh. Peperangan antara bangsa Israel kuno dengan bangsa-bangsa di sekitarnya, dipahami juga sebagai peperangan antara Yahweh melawan dewa-dewi sesembahan bangsa-bangsa lain itu. Maka kemenangan maupun kekalahan perang, dipahami pula sebagai kemenangan maupun kekalahan Yahweh terhadap dewa-dewi asing. Atau, dalam cara berpikir yang lain, kekalahan perang adalah hukuman dari Yahweh sebagai akibat dari ketidaksetiaan bangsa Israel dalam praktik peribadatan kepada Yahweh. Maka kekalahan perang adalah akibat dari Yahweh yang tak mau membela mereka dan membiarkan mereka dikalahkan oleh bangsa asing. Atau dipahami juga bahwa Yahweh menghukum ketidaksetiaan mereka melalui tangan bangsa-bangsa asing yang mengalahkannya. Dengan demikian, tema tentang kesetiaan kepada Yahweh menjadi prinsip yang sangat mendasar dan utama demi keselamatan bagi seluruh bangsa.

 Pada tahun 539 SM, kerajaan Yehuda dikalahkan dan dihancurkan oleh tentara Babilonia dan sebagian besar bangsa Israel terutama para elit kerajaan, dibuang di Babilonia dalam jangka waktu yang lama. Pengalaman kehancuran itu sangatlah traumatik bagi mereka, apalagi ketika dalam masa pembuangan itu, sebagaian dari mereka dipaksa menjadi budak yang mengerjakan renovasi maupun pembangunan kuil-kuil atau bangunan tinggi seperti menara yang menjadi tempat ibadah orang-orang Babilonia kepada dewa-dewi mereka, bersama-sama dengan para budak dari bangsa-bangsa lain yang memiliki ragam bahasa yang di antara mereka tak saling mengerti, namun bekerja dalam perintah-perintah penguasa Babilonia. Perasaan hancur ini tentu saja semakin mendalam dan mengerikan bagi mereka. Sudah kalah, merasa terhukum oleh Yahweh karena ketidaksetiaan (atau inkonsistensi iman), dibuang sebagai orang buangan, dan bahkan menjadi budak yang membangun tempat ibadah bagi dewa-dewi asing. Oleh karena itu, bangunan-bangunan ibadah Babilonia yang merupakan kuil-kuil tiinggi dan besar, melahirkan pengalaman traumatik yang mendalam bagi sebagian besar orang Israel yang dibuang ke Babilonia.

Pengalaman traumatik tentang ketidaksetiaan, inkonsistensi, kekalahan perang, kehancuran, dan pembuangan ini terproyeksikan di dalam bangunan yang tinggi dan besar, yakni menara Babel. Kisah kegagalam pembangunan menara Babel yang terdokumentasi dalam Kitab Suci Perjanjian Lama itu, berdasarkan penelusuran sebagian ahli sebenarnya baru ditulis pada sekitar tahun 400-an, pasca peristiwa pembuangan Babilonia itu. Tradisi yang menulisnya, sekelompok pujangga dan editor yang menulis narasi itu, lalu menempatkannya di dalam kisah yang seolah-olah peristiwanya itu terjadi pada jaman Musa, yakni pada jaman formasi iman dan kesatuan bangsa dalam monotheisme Yahwis. Kisah itu ditulis dengan maksud untuk meneguhkan tentang pentingnya kesetiaan dan monotheisme terhadap Yahweh agar seluruh keselamatan bangsa itu mendapatkan jaminan. 

Oleh karena itu, dalam kisah tersebut, pembangunan Menara Babel dilukiskan sebagai sebuah kegagalan manusia dalam membangun menara yang tinggi, di mana Yahweh mengacaubalaukan bahasa mereka sehingga satu sama lain tak saliing memahami. Dalam kisah ini, tercermin dua hal mendasar yang dialami oleh bangsa Israel kuno. Pada satu sisi, menara Babel mencerminkan pengalaman traumatik bangsa Israel kuno tentang kehancuran, kekalahan, dan pembuangan akibat ketidaksetiaan atau inkonsistensi. Di sisi lain, penggagalan pembangunan menara Babel mencerminkan fantasi tentang kekuasaan Yahweh terhadap dewa-dewi asing. Dalam konteks ini, narasi tentang kegagalan pembangunan menara Babel, menara traumatik yang melahirkan perasaan hancur dan kengerian itu, berfungsi untuk menjagai fantasi bangsa Israel tentang perasaan berkuasa, yang ditubuhkan di dalam kekuasaan Yahweh terhadap dewa-dewi asing. Menara Babel, yang melahirkan pengalaman traumatik itu, lalu ditempatkan sebagai simbol kesombongan manusia yang harus dihancurkan, yang dalam ketaksadaran bangsa Israel kuno dihayati sebagai kesombongan kekuasaan kerajaan Babilonia terhadap mereka.

Menara Babel dalam kisah ini berfungsi sebagai simbol yang melahirkan fantasi tentang tercurinya kekuasaan dan wibawa bangsa Israel oleh kekuasaan Babilonia, dan penggagalan pembangunan menara Babel itu pada girilirannya menjadi penanda yang menjagai fantasi tentang perasaan berkuasa dan wibawa bangsa Israel atas bangsa-bangsa lain, yang ditubuhkan dalam kekuasaan dan wibawa Yahwe atas dewa-dewi asing.

Dengan begitu, tampaknya menarik apa yang dinyatakan oleh para bijak bahwa religiositas yang mendalam itu biasanya justru terwujud di dalam praksis keadilan dan kasih sayang, bukan pada kemegahan dan kehebatan monumental. Surat Al Maidah:8 menyatakan,"Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa". Sementara Injil menyatakan,"...yang Kukehendaki adalah belas kasihan, bukan persembahan" (Matius 9:13). Keadilan, kasih sayang dan belas kasihan itu sebenarnya dapat terwujud jika masyarakat semakin sanggup belajar dan terus mengupayakan agar relasi-relasi kuasa traumatik yang selama ini direproduksi, dapat semakin ditransformasikan menjadi relasi demokratik pro-eksistensial. ***