Saturday, March 25, 2023

Implisit Habitus, Penanda dan Sarana Kehadirannya


 

oleh Indro Suprobo

Dalam kesaksian sebagian besar wartawan muda atau calon wartawan yang menjadi murid-muridnya, Hariadi Saptono dilukiskan sebagai pribadi yang disiplin, tegas, konsisten, teliti, keras, perfeksionis, tanpa kompromi terhadap ketidakjujuran, kemalasan, perasaan cukup diri dan kemapaman. Ketegasan dan sikap tak kenal kompromi ini kadang-kadang digambarkan sebagai sikap "sadis", mengakibatkan stress dan kelelahan. Panggilan telepon darinya, bahkan sebelum suaranya terdengar, telah mengakibatkan kepanikan dan perasaan was-was tak karuan, serta melahirkan pertanyaan-pertanyaan "ada apa, apa lagi ini, dan sebagainya". 

Namun dinyatakan juga sebagai kesaksian bahwa pada hari berikutnya atau pada kesempatan sesudahnya, Hariadi Saptono akan berelasi secara sangat biasa, seolah-olah kemarin tak terjadi apa-apa. Ini menunjukkan bahwa sikap-sikapnya itu sangat kontekstual, proporsional, dan profesional. Orang Banyumas menyebutnya "cablaka", apa adanya, apa perlunya, dan tak membawanya ke mana-mana di luar konteks yang semestinya. Menghadapi tipe pribadi seperti ini, tampaknya memang dibutuhkan rasionalitas, sikap kritis dan keterbukaan. Tidak perlu baperan

Seluruh pilihan sikap dan tindakan Hariadi Saptono yang seperti itu, barangkali dapat dibaca sebagai semacam cara menanamkan implisit habitus, atau tindakan keteladanan, demi mendidik dan melahirkan wartawan-wartawan yang handal, berkualitas, kreatif, berdaya juang, berintegritas, penuh kejujuran, tanpa kompromi terhadap beragam bentuk manipulasi baik dalam rupa pikiran maupun tindakan. Semuanya itu tentu pantas dipahami sebagai upaya untuk menjagai kualitas kewibawaan kultural dan kewibawaan simbolik harian Kompas di tengah arena perjuangan media dan jurnalisme di Indonesia. Seluruh pilihan sikap dan tindakan Hariadi Saptono dalam mendidik dan melatih para wartawan muda dan calon wartawan itu merupakan salah satu praksis distinction, yakni memroduksi kualitas wartawan dan jurnalisme yang terbedakan, unik, khas, dan berkarakter, demi mempertahankan wibawa kultural dan simbolik harian Kompas, agar tetap dipercaya sebagai media yang berintegritas dan memiliki pengaruh yang kuat dalam mendorong dan menciptakan perubahan sosial melalui tulisan-tulisan yang disuguhkannya. Sekali lagi, seluruh pilihan sikap itu merupakan implisit habitus, atau keteladanan yang memang diperlukan untuk mereproduksi wibawa jurnalisme yang berintegritas, berlandaskan kompetensi dan komitmen terhadap perubahan sosial berkeadilan. 

Dalam perspektif refleksi teologis biblis, kehadiran Hariadi Saptono tampaknya dapat dilukiskan bagaikan kehadiran orang asing dalam kisah perjalanan menuju ke Emaus (Luk 24:13-35). Sebagaimana para murid yang berjalan menuju Emaus itu tak mengenal orang asing yang berjalan bersama mereka, demikianlah juga kira-kira para wartawan muda murid-murid Hariadi pada awalnya "tak mengenalinya" dan menempatkannya sebagai "orang asing" yang ucapan, sikap dan tindakannya sulit dipahami. Para murid terlalu sibuk dan menikmati perspektif masing-masing sehingga tak melihat perspektif lain. Karena terkungkung dalam perspektifnya, mereka merasa "asing", heran, aneh, bahkan cenderung marah terhadap komentar dan pertanyaan orang asing yang berjalan bersama mereka itu. Disebutkan bahwa mereka berhenti dengan muka muram. Bahkan salah seorang dari antara mereka menjawab dengan nada keras,"Apakah engkau satu-satunya orang asing di Yerusalem, yang tidak tahu apa yang terjadi di situ pada hari-hari belakangan ini?" (ayat 17-18). Keterbatasan perspektif itu telah menghalangi mereka untuk melihat realitas secara berbeda dan secara lebih luas. Dalam narasi kitab suci dinyatakan bahwa ada sesuatu yang menghalangi mata mereka sehingga mereka tak mengenalinya (ayat 16). Ini dapat dibaca sebagai situasi di mana para murid tak dapat mengenali realitas secara berbeda, dalam perspektif yang lain, dalam perspektif yang lebih luas. 

Kisah perjalanan menuju ke Emaus ini merupakan kisah tentang perjalanan edukatif dan transformatif. Ini sebuah proses pendidikan menuju kepada transformasi personal. Ini merupakan simbolisasi perjalanan dari perspektif yang terbatas dan tertutup menuju kepada perspektif yang lebih luas dan terbuka, dari habitus lama menuju kepada habitus baru, dari keterbatasan pemahaman menuju kepada literasi, dari common sense menuju kepada sikap lebih kritis, dari kemuraman menuju kepada mekarnya semangat dari dalam, dari keputusasaan menuju kepada penemuan tentang sesuatu yang bernilai dan bermakna dalam hidup, dari pengalaman gelap menuju kepada ditemukannya titik cahaya yang menuntun arah jalan, dari keterbelengguan menuju kepada pembebasan.

Melalui gayanya yang khas, Hariadi Saptono bagaikan hadir sebagai orang asing yang membuka perspektif-perspektif dan cara hidup yang baru, the new way of journalist life. Sehingga akhirnya, pada saatnya, murid-muridnya itu sampai kepada pengalaman "mengenali dan menemukan apa yang paling bernilai dan bermakna" dalam hidupnya sebagai jurnalis, yang selanjutnya senantiasa berkobar dan menginspirasi jalan hidup di masa-masa kemudian. Dan ketika akhirnya mereka mengenali siapakah orang asing itu, ia lenyap dari tengah-tengah mereka (ayat 31), demikianlah pula para murid Hariadi Saptono, benar-benar mengenali apa yang paling bernilai dan bermakna yang diteladankan dan dilatihkan oleh Hariadi, justru ketika ia telah "diambil" dari antara mereka, dipanggil pulang ke hadirat Pencipta. 

Tidak hadirnya Hariadi dari antara mereka justru mengakibatkan hadirnya apa yang paling bernilai dan bermakna yang diteladankan olehnya bagi para muridnya. Demikian pula bagi para sahabatnya, tidak hadirnya Hariadi justru menghadirkan apa yang paling bernilai darinya secara lebih tegas dan lebih kuat. 

Pada akhirnya bolehlah dikatakan bahwa meskipun kini Hariadi telah pergi menuju keabadian, ia tetap akan senantiasa hadir melalui implisit habitus yang telah ia tanamkan kepada para murid dan para sahabat yang mengenalnya. Implisit habitus menjadi penanda dan sarana kehadirannya di dalam pengalaman para murid dan sahabatnya. Implisit habitus itu akan senantiasa membuat para murid dan sahabat, mengingatnya. Semoga ia berpulang ke dalam kebahagiaan yang agung, karena ia telah meninggalkan keagungan kebahagiaan yang tersembunyi sebagai cahaya di dalam setiap sanubari, yakni ditemukannya dan dikenalinya apa yang paling bernilai dan paling bermakna dalam habitus sehari-hari, setelah pada masa hidupnya, Hariadi memecah-mecah dan membagikan nilai-nilai diri, bagaikan memecah-mecah roti.