Oleh Indro Suprobo
Hari-hari ini kemanusiaan kita kembali
terkoyak oleh beberapa kekerasan brutal yang terjadi di Perancis yang
menghilangkan nyawa manusia secara sangat mengerikan. Saya percaya sebagian
besar orang yang tinggal di bumi ini mengecam peristiwa yang merupakan
kejahatan terhadap kemanusiaan itu. Setiap orang yang berpikir rasional pasti
menghendaki peristiwa semacam itu tidak terjadi di antara kita dan menghendaki
agar hal itu tidak terulang lagi di masa-masa kemudian karena kejahatan
terhadap satu orang sudah merupakan kejahatan terhadap seluruh kemanusiaan.
Namun demikian, barangkali peristiwa itu
bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri pada dirinya. Sangat mungkin untuk
dipikirkan bahwa peristiwa itu merupakan gejala agensional (agentional
symptom), yakni gejala yang mengemuka melalui tindakan sebuah agen baik yang
bersifat individu maupun kelompok, yang merupakan penanda bagi kemungkinan
adanya ketidakseimbangan struktural (structural imbalance) dalam kehidupan
sebuah masyarakat.
Liberty, Equality, Fraternity adalah
prinsip dasar yang diyakini menjadi landasan kehidupan masyarakat Perancis.
Pertanyaan penting pantas diajukan, apakah pemahaman tentang tiga prinsip dasar
ini masih relevan bagi kehidupan masyarakat Perancis hari-hari ini? Apakah tiga
prinsip dasar ini perlu dianalisis dan dimaknai ulang dalam kehidupan saat ini,
mengingat situasi dan kondisi masyarakat Perancis telah mengalami banyak
perubahan dan pergeseran sehingga tidak sama kondisinya dengan masa ketika
prinsip ini dideklarasikan? Dalam situasi masyarakat Perancis yang telah
berubah menjadi lebih heterogen dalam banyak aspek dan menjadi semakin
multikultural, apakah interpretasi atas ketiga prinsip ini masih memberikan
makna yang kontekstual dan relevan?
Salah satu fenomena yang dapat menjadi
jalan awal untuk menganalisis relevansi dan kontekstualitas dari tiga prinsip
dasar itu adalah penerbitan kartun Nabi Muhammad oleh majalah Charlie Hebdo.
Penerbitan kartu nabi itu menuai gelombang protes bukan hanya oleh masyarakat
Muslim Perancis saja melainkan oleh berbagai masyarakat Muslim di banyak
belahan dunia, termasuk Indonesia. Argumentasi yang dijadikan landasan bagi
penerbitan kartun itu adalah soal kebebasan berekspresi. Inilah soal yang
barangkali perlu dilihat secara lebih serius.
Dalam kasus ini, kebebasan berekspresi yang
dipahami sebagai salah satu pengejawantahan dari prinsip liberty ini jika
dicermati secara lebih mendalam, ia merupakan anak kandung dari rasionalitas
modern yang hendak merekayasa kehidupan sosial masyarakat secara instrumental
sebagaimana rasio manusia hendak menguasai alam. Dalam mengelola keberaturan
kehidupan sosial masyarakat, rasionalitas modern semacam ini melandaskan diri
pada relasi subyek-obyek. Pengaturan alam dan kehidupan sosial antar manusia
dilakukan sebagai proses obyektifikasi sehingga baik alam maupun manusia
ditempatkan semata-mata sebagai obyek yang musti tunduk dalam kontrol subyek
yang menentukan keberaturan. Zygmunt Bauman menyebut rasionalitas modern
semacam ini sebagai bentuk rasionalitas yang tidak peduli yang mengabaikan
hakekat manusia lain sebagai subyek lalu menempatkannya sebagai obyek yang
musti ditundukkan.
Kasus Charlie Hebdo adalah contoh nyata
dari praktik kebebasan berekspresi sebagai pengejawantahan dari liberty yang
dijalankan dalam rasionalitas modern yang tanpa kepedulian, yang secara nyata
justru cenderung mengabaikan prinsip lainnya yakni equality dan fraternity.
Sebagai akibatnya, kebebasan berekspresi diagung-agungkan dengan mengabaikan
equality dan fraternity sehingga melahirkan kebebasan berekspresi yang
sewenang-wenang, tanpa empati terhadap "the other" yang senyatanya
ada dan pantas menjadi subyek yang lain, serta tanpa rasa hormat. Para
pengagung kebebasan berekspresi ini cenderung telah menempatkan dirinya sebagai
satu-satunya subyek yang memiliki hak untuk menentukan "keberaturan"
masyarakat dan dengan demikian merasa legitim untuk mengobyektifikasi "the
other".
Kalau demikian halnya, maka kebebasan
berekspresi yang diagung-agungkan itu telah menjadi bahasa hegemonik yang hanya
menguntungkan kelas dominan yang penuh kepentingan dan membuka jalan lebar
kepada ketidakadilan. Dalam kenyataan semacam ini tidak ada ruang publik yang
mempersyaratkan tindakan komunikatif dalam relasi intersubyektivitas yang
setara sebagaimana digagas dan diusulkan oleh Jurgen Habermas. Dalam situasi
yang demikian ini, tidak diakui kehadiran "the other", dan seandainya
"the other" itu diakui, ia ditempatkan sebagai ancaman dan pantas
diobyektifikasi dalam keberaturan yang seluruh pemaknaannya ditentukan oleh
subyek yang merupakan kelompok dominan.
Dalam kasus ini, pengagung-agungan
kebebasan berekspresi yang semestinya merupakan pengejawantahan dari kebebasan
manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya menjadi lebih terhormat dan
bermartabat justru telah menariknya jatuh ke dalam jurang kesewenang-wenangan
yang menghancurkan martabat dan kebebasan manusia lainnya serta melahirkan
ketidakadilan. Orang Jawa pada masa lalu menyebutnya dengan istilah
"adigang adigung".
Pantas juga ditelusuri secara lebih
mendalam lagi, apakah di dalam rumusan kebebasan berekspresi yang
sewenang-wenang dan diagung-agungkan oleh sebagian besar masyarakat Perancis
itu tersembunyi sebuah perasaan terancam dan ketakutan akan realitas perubahan
yang terjadi di mana setiap hari semakin nyata dihadapi kehadiran orang-orang
lain (the other) yang memiliki pengalaman, cara berpikir, kultur, warna kulit,
agama, keyakinan dan beragam bahasa yang berbeda-beda di tengah kehidupan
sehari-hari?
Dalam kehidupan masyarakat yang semakin
majemuk, apabila prinsip liberty, equality dan fraternity benar-benar
dimengerti dan dipraktikkan secara konsisten, niscaya yang akan lahir bukanlah
ekspresi kebebasan yang sewenang-wenang, melainkan cara hidup yang lebih diwarnai
oleh prinsip pro-eksistensi, yakni sebuah prinsip memahami "the
other" pada dirinya sendiri bukan dengan referensi subyektivitas
primordialnya, sehingga mengalirlah semangat fraternity dan kesanggupan serta
keberanian untuk membela hak-hak asasi "the other" itu ketika hak-hak
asasinya berada dalam ancaman, termasuk ketika ia terancam oleh kebebasan
dirinya. Dalam prinsip pro-eksistensi itulah, liberty, equality dan fraternity
hadir secara substansial dan relational.
Jauh-jauh hari sebelum Revolusi Perancis,
prinsip liberty, equality dan fraternity ini sebenarnya telah dideklarasikan
oleh Yesus ketika Ia mengatakan,"Janganlah kamu menyebut siapapun bapa di
bumi ini sebab hanya ada satu Bapamu, yakni Dia yang di surga" (Mat 23:9
dan paralelnya). Ini adalah revolusi sosial-kultural pada jamannya yang
benar-benar menggoncang struktur yang ada. Ini adalah pernyataan figuratif yang
bersifat politis karena melawan kemapaman struktural. Pernyataan deklaratif ini
hendak menyatakan bahwa setiap manusia adalah anak-anak di hadapan Bapa dan
mendapatkan anugerah kasih sayang serta kebebasan (liberty). Karena semuanya
adalah anak-anak di hadapan Bapa, maka setiap manusia adalah setara (equality),
tak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah, tak ada yang punya hak untuk
mendominasi atau didominasi. Karena setiap orang adalah anak-anak di hadapan
Bapa, maka satu sama lain adalah saudara (fraternity) yang mendapatkan mandat
untuk saling melayani, mengasihi, menghormati dan mendukung dalam pertumbuhan.
Keseluruhan prinsip nilai ini dijalani dalam apa yang disebut pro-eksistensi
yang dalam bahasa teologis disebut sebagai saling menyelamatkan atau
soteriologis.
Maka jika kebebasan berekspresimu bersifat
sewenang-wenang dan tidak berorientasi kepada keselamatan dan kesejahteraan
sesama manusia yang saling bertumbuh dalam kesetaraan dan persaudaraan saling
hormat, apalagi justru merendahkan kemanusiaan dan mengobyektifikasinya melalui
penghinaan, pelecehan dan sebagainya, maka kebebasan itu bukanlah kebebasan
yang soteriologis dan pantas untuk dikritik.