Wednesday, October 28, 2020

Detachment dan Humility sebagai Kritik atas Ideologi Agama

Oleh Indro Suprobo 

Beberapa waktu lalu saya berkesempatan mengikuti diskusi buku berjudul Ketika Umat Beriman Mencipta Tuhan yang ditulis oleh Prof. Syafaatun El Mirzanah. Buku ini merupakan pengolahan lanjut dari disertasi beliau yang berjudul When Mistic Masters Meet. Buku ini menelusuri pemikiran dua mistikus abad pertengahan dari dua tradisi, yakni Ibn Al-Farabi (tradisi Islam) dan Meister Eckhart (tradisi Kristen/Katolik), terutama tentang God dan perspektif agama-agama tentang God. Dari diskusi ini saya mempelajari beberapa hal pokok. 

Pertama, kedua mistikus membedakan antara God pada diriNya dan God dalam perspektif agama-agama. God pada dirinya adalah essensi yang tak terbatas dan tak terdefinisikan, yang dalam bahasa Jawa barangkali serupa dengan ungkapan "tan kena kinaya ngapa" (tak dapat dibayangkan seperti apa). Sementara God dalam perspektif agama-agama adalah God yang ditangkap oleh persepsi manusia yang bersifat terbatas dan tidak memadai. God yang tak terbatas dan tak terdefinisikan itu "menyatakan diriNya" atau "membuka selubungNya" kepada setiap manusia hanya satu kali dalam satu bentuk, oleh karena itu bersifat unik atau khas. Namun demikian, God yang membuka selubungNya kepada manusia ini tetap ditangkap oleh manusia dalam keterbatasan perspektifnya. Keunikan pernyataan diri God atau penyingkapan selubung yang unik atau khas inilah yang menjadi landasan bagi keragaman perspektif manusia tentang God. Setiap perspektif itu benar adanya namun tidak memadai. Perspektif yang benar namun tidak memadai inilah yang dalam judul buku ini dirumuskan sebagai "umat beriman mencipta Tuhan". 

Kedua, karena perspektif manusia yang menangkap God yang membuka selubungNya ini bersifat terbatas dan tidak memadai, meskipun mengandung kebenaran, maka kenyataan ini menjadi landasan imperatif bagi manusia untuk senantiasa melakukan detachment, mengambil jarak, melepaskan kelekatan terhadap perspektif yang terbatas dan tidak memadai itu, dan bersikap rendah hati (humility) bahwa ada begitu banyak perspektif lain yang berbeda-beda di luar perspektif yang dimilikinya. 

Ketiga, landasan imperatif untuk senantiasa melakukan detachment atau melepaskan diri dari kemelekatan ini merupakan upaya terus-menerus agar manusia tidak memberhalakan perspektifnya itu sebagai satu-satunya kebenaran, karena perspektifnya itu tidak memadai dan bersifat terbatas. Dengan upaya ini, manusia menjauhkan diri dari berhala atau idolatry. 

Keempat, landasan imperatif ini juga membuka kesadaran bagi manusia untuk membuka diri terhadap beragam perspektif lain yang berbeda agar wawasan dan penghayatannya tentang God ini menjadi semakin luas. Ini sekaligus menjadi landasan penting bagi upaya dialog manusia dari berbagai-bagai agama dan kepercayaan agar ia semakin memiliki keluasan perspektif dan saling memperkaya. Oleh karena itu, tekanan mempelajari perspektif yang berbeda dan membuka diri terhadap perspektif yang berbeda merupakan prinsip yang utama dalam upaya dialog itu, bukan berorientasi semata-mata kepada mencari kesamaan. Kesanggupan untuk mempelajari dan membuka diri terhadap perspektif yang berbeda inilah yang akan membantu untuk merintis saling memahami, saling hormat, dan saling memperkaya pertumbuhan masing-masing. Tantangan paling nyata dalam titik ini adalah sejauh manakah manusia beriman memiliki kemauan dan keberanian untuk membuka diri terhadap perspektif lain yang berbeda dan mencoba memahami perspektif lain yang berbeda itu sebagaimana adanya, bukan dalam kerangka perspektif primordial dirinya. Inilah yang tampaknya paling sulit dan menantang, namun sebenarnya sangat inspiratif. 

Refleksi Kritis 

Dari empat hal itu tampaknya dapat ditangkap bahwa seluruh perspektif tentang God yang ada di bumi ini berada dalam kondisi setara karena masing-masing merupakan penangkapan atas proses God yang membuka selubungNya kepada manusia yang bersifat unik, mengandung kebenaran, namun tak memadai. Jika demikian halnya (seluruh perspektif itu bersifat setara), maka kecenderungan untuk mendaku perspektif dirinya sebagai superior terhadap perspektif yang lain merupakan kecenderungan yang perlu diwaspadai, diambil jarak, dan di-detach (dilepaskan dari kelekatan). Pantas dicurigai bahwa kecenderungan untuk mengklaim diri sebagai superior terhadap perspektif lain yang berbeda itu merupakan kecenderungan untuk membekukan perspektif itu sebagai yang paling sahih dan menjadi ideologi. 

Jika demikian, tampaknya kita perlu bertanya-tanya, menelusur dan merenung-renung secara lebih kritis atas ungkapan-ungkapan dalam kedua tradisi, Islam maupun Kristen, yang menyatakan bahwa Islam itu "menyempurnakan" agama-agama sebelumnya dan Kristen itu "menggenapi" apa yang dijanjikan dalam agama-agama sebelumnya. Bukankah ungkapan "menyempurnakan" dan "menggenapi" ini mengandaikan bahwa yang lain itu "tidak sempurna" dan "tidak genap"? Apakah ini bukan sebuah kecenderungan untuk menjadi superior dan membekukan perspektifnya sebagai yang lebih sahih? Barangkali ini adalah pertanyaan kritis yang pantas direnungkan lebih jauh dan lebih dalam. Mengapa dan dalam konteks apa ungkapan-ungkapan itu muncul? Apakah ungkapan-ungkapan itu dapat saya sebut sebagai the politic of perspective (sebuah upaya politis untuk mendudukkan perspektifnya sebagai dominan dan superior)? Barangkali saja, ungkapan-ungkapan itu muncul ketika perspektif ini sedang berhadapan dengan sebuah gugatan tertentu pada suatu masa, di mana gugatan itu seperti mempertanyakan kesahihannya di tengah perspektif-perspektif lain yang telah ada, sehingga ungkapan-ungkapan itu berfungsi sebagai upaya untuk membangun kepastian. Atau barangkali dapat pula ditelusuri sebagai semacam strategi hegemoni dalam kontestasi beragam artikulasi yang ada pada masanya, dalam rangka mencapai posisi sebagai "nodal point" dalam pemikiran Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe. Atau ada kemungkinan lain lagi yang dapat ditelusuri. Yang jelas, refleksi atas pertanyaan kritis ini sebaiknya dilakukan dalam situasi yang rileks, mengendap (menep - Jawa), hening (wening), terbuka, tenang, dan percaya, sambil minum kopi kesukaan yang nikmat. Bisa juga sambil memperhatikan anggrek kesukaan yang sedang mekar. 

Ini diperlukan karena pada umumnya sebuah keyakinan itu secara emosional telah mengikat kuat dan terkonstruksi sedemikian rupa sehingga sudah menjadi semacam kebenaran yang sahih dan tak dapat dipertanyakan, yang bersemayam di dalam ketidaksadaran kita. Ini adalah refleksi paling mendalam dan paling sulit namun sangat penting karena akan menghasilkan implikasi-implikasi yang sangat produktif dalam memahami beragam perbedaan di muka bumi. 

1 comment:

Unknown said...

Catatan yang menarik, mengajak utk merefleksikannya sambil minum kopi atau menikmati mekarnya sang anggrek, suatu perpaduan antara refleksi dan meditasi...