Friday, October 30, 2020

Liberty, Equality, Fraternity

 

Oleh Indro Suprobo

 

Hari-hari ini kemanusiaan kita kembali terkoyak oleh beberapa kekerasan brutal yang terjadi di Perancis yang menghilangkan nyawa manusia secara sangat mengerikan. Saya percaya sebagian besar orang yang tinggal di bumi ini mengecam peristiwa yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan itu. Setiap orang yang berpikir rasional pasti menghendaki peristiwa semacam itu tidak terjadi di antara kita dan menghendaki agar hal itu tidak terulang lagi di masa-masa kemudian karena kejahatan terhadap satu orang sudah merupakan kejahatan terhadap seluruh kemanusiaan.

 

Namun demikian, barangkali peristiwa itu bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri pada dirinya. Sangat mungkin untuk dipikirkan bahwa peristiwa itu merupakan gejala agensional (agentional symptom), yakni gejala yang mengemuka melalui tindakan sebuah agen baik yang bersifat individu maupun kelompok, yang merupakan penanda bagi kemungkinan adanya ketidakseimbangan struktural (structural imbalance) dalam kehidupan sebuah masyarakat.

 

Liberty, Equality, Fraternity adalah prinsip dasar yang diyakini menjadi landasan kehidupan masyarakat Perancis. Pertanyaan penting pantas diajukan, apakah pemahaman tentang tiga prinsip dasar ini masih relevan bagi kehidupan masyarakat Perancis hari-hari ini? Apakah tiga prinsip dasar ini perlu dianalisis dan dimaknai ulang dalam kehidupan saat ini, mengingat situasi dan kondisi masyarakat Perancis telah mengalami banyak perubahan dan pergeseran sehingga tidak sama kondisinya dengan masa ketika prinsip ini dideklarasikan? Dalam situasi masyarakat Perancis yang telah berubah menjadi lebih heterogen dalam banyak aspek dan menjadi semakin multikultural, apakah interpretasi atas ketiga prinsip ini masih memberikan makna yang kontekstual dan relevan?

 

Salah satu fenomena yang dapat menjadi jalan awal untuk menganalisis relevansi dan kontekstualitas dari tiga prinsip dasar itu adalah penerbitan kartun Nabi Muhammad oleh majalah Charlie Hebdo. Penerbitan kartu nabi itu menuai gelombang protes bukan hanya oleh masyarakat Muslim Perancis saja melainkan oleh berbagai masyarakat Muslim di banyak belahan dunia, termasuk Indonesia. Argumentasi yang dijadikan landasan bagi penerbitan kartun itu adalah soal kebebasan berekspresi. Inilah soal yang barangkali perlu dilihat secara lebih serius.

 

Dalam kasus ini, kebebasan berekspresi yang dipahami sebagai salah satu pengejawantahan dari prinsip liberty ini jika dicermati secara lebih mendalam, ia merupakan anak kandung dari rasionalitas modern yang hendak merekayasa kehidupan sosial masyarakat secara instrumental sebagaimana rasio manusia hendak menguasai alam. Dalam mengelola keberaturan kehidupan sosial masyarakat, rasionalitas modern semacam ini melandaskan diri pada relasi subyek-obyek. Pengaturan alam dan kehidupan sosial antar manusia dilakukan sebagai proses obyektifikasi sehingga baik alam maupun manusia ditempatkan semata-mata sebagai obyek yang musti tunduk dalam kontrol subyek yang menentukan keberaturan. Zygmunt Bauman menyebut rasionalitas modern semacam ini sebagai bentuk rasionalitas yang tidak peduli yang mengabaikan hakekat manusia lain sebagai subyek lalu menempatkannya sebagai obyek yang musti ditundukkan.

 

Kasus Charlie Hebdo adalah contoh nyata dari praktik kebebasan berekspresi sebagai pengejawantahan dari liberty yang dijalankan dalam rasionalitas modern yang tanpa kepedulian, yang secara nyata justru cenderung mengabaikan prinsip lainnya yakni equality dan fraternity. Sebagai akibatnya, kebebasan berekspresi diagung-agungkan dengan mengabaikan equality dan fraternity sehingga melahirkan kebebasan berekspresi yang sewenang-wenang, tanpa empati terhadap "the other" yang senyatanya ada dan pantas menjadi subyek yang lain, serta tanpa rasa hormat. Para pengagung kebebasan berekspresi ini cenderung telah menempatkan dirinya sebagai satu-satunya subyek yang memiliki hak untuk menentukan "keberaturan" masyarakat dan dengan demikian merasa legitim untuk mengobyektifikasi "the other".

 

Kalau demikian halnya, maka kebebasan berekspresi yang diagung-agungkan itu telah menjadi bahasa hegemonik yang hanya menguntungkan kelas dominan yang penuh kepentingan dan membuka jalan lebar kepada ketidakadilan. Dalam kenyataan semacam ini tidak ada ruang publik yang mempersyaratkan tindakan komunikatif dalam relasi intersubyektivitas yang setara sebagaimana digagas dan diusulkan oleh Jurgen Habermas. Dalam situasi yang demikian ini, tidak diakui kehadiran "the other", dan seandainya "the other" itu diakui, ia ditempatkan sebagai ancaman dan pantas diobyektifikasi dalam keberaturan yang seluruh pemaknaannya ditentukan oleh subyek yang merupakan kelompok dominan.

 

Dalam kasus ini, pengagung-agungan kebebasan berekspresi yang semestinya merupakan pengejawantahan dari kebebasan manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya menjadi lebih terhormat dan bermartabat justru telah menariknya jatuh ke dalam jurang kesewenang-wenangan yang menghancurkan martabat dan kebebasan manusia lainnya serta melahirkan ketidakadilan. Orang Jawa pada masa lalu menyebutnya dengan istilah "adigang adigung".

 

Pantas juga ditelusuri secara lebih mendalam lagi, apakah di dalam rumusan kebebasan berekspresi yang sewenang-wenang dan diagung-agungkan oleh sebagian besar masyarakat Perancis itu tersembunyi sebuah perasaan terancam dan ketakutan akan realitas perubahan yang terjadi di mana setiap hari semakin nyata dihadapi kehadiran orang-orang lain (the other) yang memiliki pengalaman, cara berpikir, kultur, warna kulit, agama, keyakinan dan beragam bahasa yang berbeda-beda di tengah kehidupan sehari-hari?

 

Dalam kehidupan masyarakat yang semakin majemuk, apabila prinsip liberty, equality dan fraternity benar-benar dimengerti dan dipraktikkan secara konsisten, niscaya yang akan lahir bukanlah ekspresi kebebasan yang sewenang-wenang, melainkan cara hidup yang lebih diwarnai oleh prinsip pro-eksistensi, yakni sebuah prinsip memahami "the other" pada dirinya sendiri bukan dengan referensi subyektivitas primordialnya, sehingga mengalirlah semangat fraternity dan kesanggupan serta keberanian untuk membela hak-hak asasi "the other" itu ketika hak-hak asasinya berada dalam ancaman, termasuk ketika ia terancam oleh kebebasan dirinya. Dalam prinsip pro-eksistensi itulah, liberty, equality dan fraternity hadir secara substansial dan relational.

 

Jauh-jauh hari sebelum Revolusi Perancis, prinsip liberty, equality dan fraternity ini sebenarnya telah dideklarasikan oleh Yesus ketika Ia mengatakan,"Janganlah kamu menyebut siapapun bapa di bumi ini sebab hanya ada satu Bapamu, yakni Dia yang di surga" (Mat 23:9 dan paralelnya). Ini adalah revolusi sosial-kultural pada jamannya yang benar-benar menggoncang struktur yang ada. Ini adalah pernyataan figuratif yang bersifat politis karena melawan kemapaman struktural. Pernyataan deklaratif ini hendak menyatakan bahwa setiap manusia adalah anak-anak di hadapan Bapa dan mendapatkan anugerah kasih sayang serta kebebasan (liberty). Karena semuanya adalah anak-anak di hadapan Bapa, maka setiap manusia adalah setara (equality), tak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah, tak ada yang punya hak untuk mendominasi atau didominasi. Karena setiap orang adalah anak-anak di hadapan Bapa, maka satu sama lain adalah saudara (fraternity) yang mendapatkan mandat untuk saling melayani, mengasihi, menghormati dan mendukung dalam pertumbuhan. Keseluruhan prinsip nilai ini dijalani dalam apa yang disebut pro-eksistensi yang dalam bahasa teologis disebut sebagai saling menyelamatkan atau soteriologis.

 

Maka jika kebebasan berekspresimu bersifat sewenang-wenang dan tidak berorientasi kepada keselamatan dan kesejahteraan sesama manusia yang saling bertumbuh dalam kesetaraan dan persaudaraan saling hormat, apalagi justru merendahkan kemanusiaan dan mengobyektifikasinya melalui penghinaan, pelecehan dan sebagainya, maka kebebasan itu bukanlah kebebasan yang soteriologis dan pantas untuk dikritik.

No comments: