Thursday, May 26, 2022

Jilbab dan Fantasi Ideologis

 



oleh Indro Suprobo


Beberapa waktu yang lalu, ada sebuah postingan video pendek tentang prestasi seorang perempuan muda muslim berjilbab aseli Indonesia, berpendidikan Master dari universitas internasional, yang berhasil menjadi salah satu staf di sebuah perusahaan teknologi digital internasional. Dalam salah satu bagian singkat, perempuan muda ini memberikan kesaksian atau sharing personal mengapa ia memilih mengenakan jilbab. Alasan atau motivasi mengenakan jilbab itu adalah refleksi personal yang ia berlakukan bagi dirinya sendiri dan sama sekali tak memberikan kesan memaksa orang lain untuk mengambil pilihan seperti dirinya. Sebuah pilihan personal dan mandiri.

Tampaknya, bagi sebagian orang, pilihan mengenakan jilbab itu telah menghalangi tumbuhnya penghargaan, apresiasi, dukungan, atau kegembiraan empatik atas prestasi intelektual dan skill kompetitif yang telah diraih oleh perempuan muda itu. Hanya karena ia memilih mengenakan jilbab, tanggapan yang muncul terhadapnya, dalam bahasa gaul milenial diungkapkan dengan kata-kata,"....wah.....nggak jadi oke deh.....". Padahal, lembaga internasional dan semua orang yang bekerja di dalamnya, yang berasal dari beragam negara dan kultur itu oke-oke saja dan enjoy dengan apa yang ada. Kompetensi dan komitmen perempuan muda ini lebih utama daripada yang lainnya dan kehadirannya sebagai perempuan berjilbab di antara mereka, merupakan hal yang biasa dan disikapi secara santai, sebagai sesuatu yang unik, yang khas dan indah.

Memang pantas diakui sebagai kenyataan sekaligus keprihatinan bahwa bagi sebagian orang tertentu, kehadiran figur perempuan berjilbab ternyata dapat melahirkan fantasi ideologis, yakni fantasi yang berisi tentang stereotype atau pandangan serba buruk yang bersifat generalisir dan cenderung tetap. Kehadiran figur berjilbab telah melahirkan perasaan benci, tak suka, bahkan perasaan terancam atau tak merasa aman. Ini boleh disebut sebagai semacam alergi emosional yang bersifat delusif. Orang-orang dengan fantasi ideologis semacam ini, pada umumnya mengalami kesulitan untuk membangun imajinasi yang proporsional tentang orang lain, terutama terhadap orang lain yang mengenakan jilbab. Sebaik apapun prestasinya, sesantun apapun perilakunya, dan sesolider apapun komitmen perempuan berjilbab itu terhadap nilai-nilai kehidupan seperti keadilan, kesetaraan, keterbukaan, kasih sayang dan empati, ia tetap akan difantasikan sebagai "ah...nggak oke dech....".

Munculnya fantasi ideologis semacam ini barangkali terkait dengan pola konsumsi informatif yang dipilih oleh sebagian orang tertentu itu. Sebagian orang memang tidak memilih konsumsi atau asupan informatif berdasarkan kebutuhan informasi yang sehat dan menyehatkan bagi bagi seluruh cara berpikir, cara bersikap dan cara bertindak dalam kehidupan bersama yang semakin beragam. Sebagaimana memilih makanan, sebagian orang memang cenderung memilih asupan informatif sesuai dengan keinginan dan apa yang disukainya, bukan berdasarkan kebutuhan demi kesehatan seluruh sistem berpikirnya. Asupan informasi yang sehat dan proporsional tentu saja akan sangat memengaruhi kesehatan cara berpikirnya. Sementara asupan informasi yang tak sehat, akan mengakibatkan gangguan atau kerusakan fungsi dalam elemen-elemen yang mendukung keseluruhan cara berpikir. Dalam gaya bahasa Slavoj Žižek, asupan-asupan informatif yang dipilih oleh sebagian orang itu disebut sebagai asupan ideologis juga. Yang lebih mengherankan lagi, orang memilih asupan-asupan itu bukan karena mereka tidak tahu, melainkan justru karena mereka mengetahuinya. Jadi mereka memang cenderung memilih apa yang sebenarnya tidak sehat bagi cara berpikir mereka bukan karena mereka tidak mengetahuinya, melainkan justru karena mereka mengetahuinya. Begitu kata Žižek. Jika konsumsinya dalam jumlah banyak dan terus-menerus, orang Jawa menyebutnya "kemaruk dan ngawula wadhuk".

Barangkali mengetahui sesuatu saja itu tidak mencukupi karena bagaimanapun juga keinginan dan apa yang disukai itu lebih mendominasi pilihan-pilihan sebagian orang. Keinginan dan kesukaan itu memang lebih bersifat emosional daripada rasional. Barangkali hal ini pula yang membantu menjelaskan mengapa orang-orang yang mengenyam bangku sekolah sampai derajad tinggi pun kadang-kadang mengalami halangan untuk memilih asupan-asupan informatif yang sehat yang lebih dibutuhkan untuk mendukung kesehatan cara berpikirnya. Ketika yang emosional lebih dominan daripada yang rasional, setiap orang, siapapun dia, akan cenderung mengalami kesulitan untuk mengambil jarak, bersikap kritis dan analitis terhadap kecenderungan dirinya sendiri dalam memilih asupan informatif yang sehat. Itulah halangan terbesar, terberat dan tersulit dalam melahirkan apa yang disebut sebagai konsistensi, yakni keselarasan antara cara berpikir, cara bersikap dan cara bertindak.

Salah satu cara yang barangkali dapat membantu orang untuk lebih konsisten adalah berlatih terus-menerus untuk menyediaan saat hening, jeda, menunda, mengambil jarak, dan lebih sering bertanya diikuti penyelidikan analitis atas setiap gerak dinamis di dalam diri sendiri sambil membangun imajinasi bahwa ada yang lain, yang mungkin lebih luas dan lebih besar, bahkan lebih indah daripada yang tampak dalam dinamika diri itu.

Latihan ini perlu dilengkapi dengan keberanian untuk belajar mendengarkan yang lain dan berbeda itu berbicara atas nama dirinya sendiri. Mendengarkan yang lain adalah sebuah laku sprititualitas yang progresif yang dapat membantu orang untuk meninggalkan fantasi-fantasi ideologis yang tidak sehat, dan menemukan serta mengenali imajinasi-imajinasi yang jauh lebih empatik tentang orang lain yang berbeda. Dengan demikian orang menjadi lebih ugahari.

Ini berlaku juga bagi semua fantasi ideologis yang muncul akibat kehadiran simbol-simbol lain yang berbeda.

Maka ketika muncul rasa tidak suka atau merasa tidak aman karena kehadiran jilbab, pertanyaan yang pantas diajukan adalah "mengapa merasa begini ya?" Apa yang salah dengan jilbab? Atau "kok aku ngga oke banget sich?"

Semoga semakin banyak orang sanggup menemukan apa yang baik, apa yang indah, apa yang adil, dan apa yang melahirkan rasa syukur di dalam semua yang lain dan berbeda.

Syaloom alaika.


Friday, May 06, 2022

Dua Jenis Kekosongan

 


Oleh Indro Suprobo

Dalam hidup ini paling tidak ada dua jenis kekosongan, yakni kekosongan yang melahirkan kemarahan dan kekosongan yang melahirkan keramahan.

Kekosongan yang seringkali melahirkan kemarahan adalah kekosongan yang dilandasi rasa berkekurangan (lackness), yakni kekosongan yang "menuntut" untuk selalu diisi. Tuntutan itu kadang-kadang disebut sebagai hasrat atau drive. Jika tak terisi atau tak terpenuhi, atau jika ada fantasi bhw kekosongan itu terjadi krn isinya direbut oleh orang lain, ia bisa melahirkan kemarahan, prasangka, kebencian, bahkan mungkin juga kekerasan.

Kekosongan yang melahirkan keramahan adalah kekosongan yang dilandasi oleh rasa aman dan kepenuhan meskipun dalam kesendirian. Kekosongan ini adalah akibat dari pengosongan diri (kenosis) yang justru dipenuhi oleh kesunyian (solitude) namun bukan kesepian (loneliness). Kekosongan yg demikian ini justru merupakan keikhlasan utk melepaskan apa yg tidak penting bagi diri, agar tersedia ruang yg lebih luas untuk dapat menyambut yang lain (termasuk Ia yang Mahalain) dalam keramahan (hospitality).

Yang terakhir inilah yang dihayati dalam Idul Fitri, kesediaan utk menyambut kehadiran yang lain dalam keramahan, karena menyadari bahwa Ia yang diseru sebagai Yang Mahabesar itu adalah Ia yang Maharamah.

Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin. Semoga kita semua berlimpah anugerah.