Tuesday, December 03, 2019

Menulis adalah Tindakan Integral, sebuah Epilog

 




Oleh Indro Suprobo


Buku kumpulan karya tulis seminaris (siswa-siswa Seminari atau sekolah calon pastor) ini diberi judul Menulis untuk Mendidik Diri dan Berbagi, karena seluruh proses menuliskan karya ini merupakan proses menggali bahan-bahan pembelajaran (lessons learned) yang dapat digunakan untuk mendidik diri sendiri dalam tiga aspek dasar, yakni sanctitas (kesucian), sanitas (kesehatan) dan scientia (kecerdasan), yang pada gilirannya memberi manfaat bagi orang lain untuk mendidik dirinya sendiri juga.  Seperti kata pepatah, sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui, demikianlah sifat dasar yang dapat ditemukan dari proses menulis. Melalui satu aktivitas menulis, seseorang dapat menggapai dua hal sekaligus yakni mendidik diri sendiri dan berbagi kepada orang lain.

Lebih mendasar dari itu, aktivitas menulis adalah sebuah tindakan integral karena senantiasa melibatkan tindakan-tindakan fundamental yang lain. Seseorang yang hendak mengembangkan kapasitas menulis sebagai gaya atau jalan hidupnya, paling tidak ia musti mengembangkan kapasitas-kapasitas lain seperti membangun keheningan (silentium), membaca (lectio), menimbang-nimbang (discretio), mengambil jarak (distantia), dan terlibat secara empatik dalam pengalaman atau peristiwa atau isu tertentu (empathetic involvement). Semua elemen itu akan berada dalam satu tarikan nafas yang dibutuhkan oleh seorang penulis, lebih-lebih jika ia hendak menuliskan sesuatu yang penting, untuk memperjuangkan kebaikan, kebenaran, keadilan dan keindahan dalam kehidupan. 

Orang yang mencintai aktivitas menulis, pada umumnya juga mencintai aktivitas membangun keheningan agar ia dapat mengambil jeda dan jarak atas pengalaman atau peristiwa, agar ia dapat mencermati hal-hal penting yang pantas dicermati, agar ia dapat mempelajari apa yang pantas dipelajari, mewaspadai dan mengkritisi apa yang dapat mengelabuhi pikiran, lalu mengambil nilai dasar yang perlu untuk melandasi pilihan dan keputusan yang diambil, lalu merumuskannya dalam tulisan. Agar terus-menerus dapat melakukan pertimbangan yang memadai dan matang, orang yang mencintai aktivitas menulis dengan sendirinya akan senantiasa melengkapi diri dengan informasi dan penge-tahuan yang dibutuhkan. Oleh karena itu aktivitas menulis akan membutuhkan aktivitas membaca. 

Informasi dan pengetahuan, selain diperoleh dari aktivitas membaca buku, juga dapat diperoleh dari aktivitas membaca dan mendengarkan secara langsung dari pengalaman di mana ia terlibat. Menggali informasi dari pengalaman langsung biasa disebut sebagai riset atau riset aksi. 

Seluruh elemen tindakan fundamental itu akan saling melengkapi dan saling membutuhkan serta berkorelasi secara sirkular (circle), sehingga semakin lama semakin maju dan berkualitas. Oleh karena itu, aktivitas menulis adalah sebuah tindakan integral yang penting, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. 

Pantas disyukuri bahwa Seminari Menengah Mertoyudan secara setia dan konsisten telah terus-menerus melatih para seminaris untuk membiasakan diri dengan seluruh elemen tindakan integral ini sejak dari hari pertama. Silentium (keheningan), lectio (membaca), menulis refleksi, dan keterlibatan empatik dalam pengalaman langsung seperti offisio (tugas-tugas dan tanggung jawab), ekstra kurikuler, Aquila (penerbitan majalah tiga bulanan), opera (kerja tangan), malam musik seminari, malam kreativitas, sidang akademi (latihan menulis makalah-presentasi-diskusi), dsb, adalah wujud-wujud konkret yang pantas dinikmati sebagai latihan dasar menjalani tindakan integral ini. Pada saat melakukannya sebagai bagian dari rutinitas di Seminari, sebagian seminaris barangkali menemui rasa malas atau tak menangkap manfaat fundamentalnya bagi hidup. Namun, setelah sekian tahun kemudian, bahkan puluhan tahun sesudahnya, manfaat itu tak akan dapat disangkal. Untuk hal itu, saya adalah saksinya. 

Sebagai sebuah tindakan integral, aktivitas menulis yang dihayati sebagai gaya dan jalan hidup, boleh juga disebut sebagai laku spiritual yang terus-menerus untuk membangun hidup menjadi semakin bertumbuh, mendalam dan berkualitas. Aktivitas menulis menjadi latihan rohani yang terus-menerus (on-going spiritual exercise) yang menjagai diri agar senantiasa menjadi manusia keheningan yang terus-menerus belajar, mendengarkan, menimbang, merumuskan, dan mengambil tindakan untuk terli-bat di dalam kehidupan secara berkualitas. 

Semoga, buku Menulis untuk Mendidik Diri dan Berbagi ini, menjadi bagian dari latihan panjang menjalani tindakan integral, on-going spiritual exercise, bagi para seminaris dan membawa kepada rasa syukur dan rasa cinta demi pertumbuhan diri yang semakin maju, mendalam dan berkualitas. Semoga para seminaris semakin mencintai aktivitas menulis sebagai jalan yang sunyi namun membahagiakan, menyelamatkan, dan membebaskan, baik bagi diri sendiri maupun bagi sesama.


Tuesday, October 15, 2019

Merumuskan Sikap dan Keberpihakan terhadap Nilai

 


Oleh Indro Suprobo

Buku Pro-Eksistensi dan Konsistensi yang berada di tangan pembaca ini merupakan catatan-catatan reflektif atas sikap dan keberpihakan penulis terhadap nilai-nilai dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai itu terutama terkait penghormatan terhadap martabat kemanusiaan, empati dan dukungan terhadap mereka yang terpaksa mengalami kemalangan, penderitaan dan pengasingan, ketulusan dalam membangun persahabatan dan persaudaraan dalam begitu banyak perbedaan yang nyata, keterbukaan dan kerendahan hati untuk menyelami spiritualitas dan religiositas agama-agama serta kepercayaan, dan sikap kritis ter-hadap semua hal yang bersifat korup dan manipulatif. 

Rumusan dan catatan reflektif ini terbagi dalam tujuh bagian. Pertama, tentang Konflik dan Pengungsian. Pada bagian ini penulis merefleksikan pengalaman dan realitas orang-orang yang terpaksa mengungsi untuk menyelamatkan diri dari konflik dan kekerasan yang mengancam nyawa. Para pengungsi lintas batas negara maupun para pengungsi internal di negeri sendiri, adalah subyek utama dari refleksi ini. Catatan-catatan ini dilandasi oleh keterlibatan langsung bersama mereka selama kurang lebih empat tahun. Kedua, tentang Relasi Orang Beragama. Catatan pada bagian ini berasal dari pergulatan dan keterlibatan langsung yang sangat panjang dalam kehidupan penulis. Penulis berupaya mengambil jarak terhadap pengalaman relasi antar perbedaan, pengalaman didiskriminasi, maupun pengalaman diskriminasi yang dialami oleh orang lain, dan menempatkannya dalam kerangka struktural yang lebih luas. Dua hal penting dalam upaya mewujudkan relasi antar perbedaan ini adalah perjumpaan langsung yang intensif dan pengembangan wawasan yang luas. Kedua hal ini akan membantu untuk membongkar prasangka dan reduksi pengetahuan tentang yang lain, selanjutnya membangun pengenalan yang lebih tepat dan mendalam, dalam keterbukaan. Ketiga, tentang Empati, Kesederhanaan dan Persahabatan. Ini merupakan catatan atas prinsip-prinsip hidup bersama yang penting dan pantas diperjuangkan terus-menerus. Ini juga merupakan catatan tentang kaitan antara spiritualitas dan perubahan sosial. Keempat, tentang Religiositas Sehari-hari. Pada bagian ini, penulis lebih banyak mengulas komentar dan pernyataan Paus Fransiskus dalam beberapa kesempatan. Catatan-catatan ini pada awalnya adalah permintaan dari pihak lain yang ingin belajar memahami komentar dan pernyataan Paus secara lebih mendalam dan lebih mudah. Kelima, tentang Tragedi 1965. Keenam, tentang Sikap Kritis. Ketujuh, tentang Relasi Adil Jender. Catatan reflektif ini ditulis dalam perjalanan waktu kurang lebih lima belas tahun, seiring dengan pergulatan, pekerjaan, dan keterlibatan penulis dalam tema-tema tersebut. Sebagian catatan reflektif ini dilahirkan dari pengalaman keterlibatan langsung dan intensif. Sebagian lainnya dirumuskan sebagai keberpihakan sikap, pikiran dan tindakan yang tidak berasal dari keterlibatan langsung dan intensif, namun menjadi perhatian dan keprihatinan yang serius. 

Namun sejujurnya, seluruh catatan reflektif yang terangkum di dalam buku ini merupakan ekspresi dan luberan dari komitmen dan perhatian penulis dalam gerakan dan kajian Teologi Sosial, yang merupakan minat studi penulis selama belajar di Perguruan Tinggi. Seluruh catatan ini semoga boleh disebut sebagai rumusan-rumusan Teologi Sosial dalam bahasa yang lebih populer dan sederhana,  yang sekaligus merupakan praksis dari upaya berteologi dari pengalaman. 

Teologi sosial yang dijalankan dalam praksis berteologi dari pengalaman, secara sederhana sebenarnya merupakan upaya mengaitkan pokok-pokok hidup beriman (apapun agamanya) dengan situasi konkret yang dihadapi dalam kehidupan di tengah masyarakat. Secara metodis, hal ini dijalankan pertama-tama melalui pengamatan dan analisis sosial-kultural-ekonomi-politik-ideologis terhadap kenyataan real yang dihadapi dan dialami, menemukan pokok-pokok keprihatinannya, merefleksikan pokok-pokok keprihatinan itu dalam kerangka nilai-nilai hidup beriman (apapun agamanya), lalu merumuskan pilihan cara berpikir, bersikap, dan bertindak. Tentu saja, agar analisis sosial yang dijalankan itu memiliki landasan yang lebih kokoh, realitas yang dihadapi itu perlu dicermati, diselami, dan dipahami secara lebih mendalam, terutama melalui keterlibatan dan pengalaman langsung di dalamnya sehingga sungguh-sungguh merasakan bagaimana "hidup di dalamnya" secara nyata atau biasa disebut "live in". Pengalaman dan keterlibatan langsung yang mendalam dan intensif ini pada umumnya akan memberikan insight-insight yang seringkali tak dapat ditangkap dari pengamatan luaran semata. Insight-insight itu dapat diperoleh dari peristiwa sederhana, kesaksian langsung, komentar-komentar, kebiasaan-kebiasaan yang ditemui, pengulangan-pengulangan sikap dan sebagainya. Semuanya itu akan membantu untuk mencapai pengenalan yang lebih mendalam tentang realitas yang menuntut untuk direfleksikan secara lebih mendalam pula. 

Meskipun catatan reflektif ini merupakan catatan atas peristiwa dan pengalaman yang sudah terjadi pada masa lalu, penulis memiliki keyakinan bahwa tema-tema dasar yang direfleksikan dalam buku ini masih akan menjadi tema-tema yang relevan dan masih akan terus dihadapi dalam perjalanan kehidupan masya-rakat di masa sekarang dan masa depan. Bahkan mungkin, beberapa tema tertentu justru semakin menuntut upaya refleksi yang jauh lebih maju dan mendalam serta mengundang pilihan cara berpikir, bersikap dan bertindak yang semakin mendesak. 

Tema hubungan antara orang beragama dan hubungan antar perbedaan di masyarakat Indonesia, penulis anggap sebagai tema yang semakin mendesak dan relevan, mengingat akhir-akhir ini terdapat kecenderungan pola hubungan yang semakin tersegregasi dan terkotak-kotak antara "kita" dan "mereka".  Tidak jarang pula, relasi antar orang beragama dan antar perbedaan ini melahirkan tindakan diskriminasi dan kekerasan yang memperihatinkan dan tidak masuk akal. 

Tema tentang sikap kritis juga penulis anggap sebagai tema yang krusial pada masa kini karena masyarakat kita telah meng-hadapi era paska kebenaran (post truth) yang wilayah kerjanya berada di dalam cara berpikir dan cara kerja otak, yang sungguh-sungguh membutuhkan disiplin untuk melakukan pengambilan jarak, detachment atau distansiasi. Pekerjaan yang paling sulit di era paska kebenaran (post truth) seperti sekarang ini justru ketika orang harus mengambil jarak terhadap dinamika cara berpikirnya sendiri, terhadap mekanisme kerja otak di dalam dirinya, yang menuntut orang untuk menyelami bawah sadarnya dan mengangkatnya menjadi kesadaran. Detachment dan distansiasi ini akan membawa orang untuk selalu melakukan pengecekan fakta dan mengecek ulang fakta, sehingga ia dapat membedakan antara fakta dan opini atau informasi yang manipulatif. Detachment dan distansiasi juga akan membantu individu untuk mengenali motif-motif bawah sadarnya yang mudah "tersetrum" oleh simbol, perkataan, istilah atau peristiwa tertentu, yang mengakibatkan munculnya perasaan terancam, khawatir atau ketakutan yang tidak rasional di dalam dirinya sendiri, yang sangat mempengaruhi cara dirinya memberikan tanggapan terhadap realitas yang dihadapinya itu. 

Tema yang masih relevan dan masih menghadapi tantangan berat adalah tema tentang tragedi 1965. Upaya-upaya untuk membangun rekonsiliasi yang berkeadilan memang telah dilakukan oleh banyak pihak, namun tampaknya masih menghadapi kesulitan. Penulis beranggapan bahwa yang paling menentukan dalam upaya rekonsiliasi yang adil dalam hal ini adalah para penyintas dan keluarga-keluarga para penyintas sendiri. Keputusan dan pilihan mereka untuk menyelesaikan rekonsiliasi yang adil, ada-lah yang terbaik yang pantas diterima dan didukung oleh semua orang lain yang berada di luar lingkaran. Mengapa demikian? Karena para penyintas dan keluarga penyintas itulah yang paling mengerti isi pengalaman tragedi itu dan oleh karena itu merekalah yang paling berwenang untuk mengambil pilihan dan keputusan tentang rekonsiliasi yang adil. Semoga rekonsiliasi yang adil atas peristiwa dan tragedi 1965 semakin maju menuju titik yang mendamaikan bagi semuanya. Seluruh prasangka musti ditanggalkan dan ketulusan musti dikedepankan. 

Menuliskan catatan reflektif seperti penulis lakukan dalam buku ini semoga juga boleh disebut sebagai "laku" spiritual, atau menjalankan spiritualitas karena menulis catatan reflektif itu bagaimanapun juga menuntut discernment, detachment dan distansiasi yang harus terus-menerus dilakukan sehingga menjadi jalan atau gaya hidup (the way of life). Lebih tepatnya, laku menulis catatan reflektif ini merupakan wujud dari latihan rohani atau spiritual exercise. Dengan demikian, merumuskan catatan menjadi jalan untuk belajar memilah-milah, menimbang-nimbang, mencermati, dan membedakan gerakan-gerakan batin sehingga sanggup untuk merumuskan pilihan cara berpikir, cara bersikap dan cara bertindak di tengah realitas masyarakat yang nyata dan menantang. Menulis catatan reflektif pada akhirnya menjadi on going spiritual exercise.

Akhirnya, semoga catatan reflektif ini sungguh mencerminkan pilihan keberpihakan dan loyalitas penulis kepada nilai-nilai fundamental kehidupan yang dapat membantu setiap orang untuk bertumbuh dan berkembang sebagai manusia yang bermartabat dan berharga di hadapan Tuhan, apapun perbedaan dan keunikan yang dimilikinya. Dengan demikian Pro-eksistensi dan konsistensi adalah prinsip yang berpihak terutama kepada nilai fundamental kehidupan, bukan kepada orang, kelompok, atau golongan apapun. 

Karena penulis bukanlah ahli, melainkan hanyalah orang kampung yang belajar terlibat dan berperhatian, tentu saja catatan-catatan yang terkumpul dalam buku ini memiliki banyak sekali kelemahan dan kekurangan. Untuk itu penulis akan sangat berterima kasih kepada siapapun yang berkenan memberikan masukan dan sumbangan pemikiran untuk perbaikan dan kemajuan. Apabila dari antara catatan yang terkumpul dalam buku ini ada yang memberikan manfaat bagi pembaca, maka itu adalah kebahagiaan terbesar bagi penulis. 


Vihara Ngaglik, Oktober 2019


Tuesday, October 08, 2019

Juru Kamera, Epilog

 


Oleh Indro Suprobo

Raphael Udik Yunianto atau RUY Pamadiken, adalah seorang juru kamera kehidupan, yang sanggup memotret pengalaman dan peristiwa, bahkan yang paling sederhana sekalipun. Oleh karena itu, buku yang disusunnya ini boleh disebut sebagai album kenangan, hasil bidikan kameranya.

Keahlian seorang juru kamera yang seringkali tidak dimiliki oleh orang lain adalah kepekaannya untuk melihat nilai yang tersembunyi dalam satu peristiwa. Orang lain barangkali tidak peduli kepada peristiwa itu dan tak melihat potensi tentang keindahan dan makna di dalamnya. Bagi seorang juru kamera, setiap peristiwa selalu merupakan undangan untuk ditangkap, dilihat lebih mendalam, dan didengarkan dalam kebeningan. Ketika "saat" atau momentum yang ditangkapnya itu dibagikan kepada orang lain, ia telah menjadi percikan peristiwa yang bermakna, dan bersuara, sehingga orang lain ikut menangkap dan mendengarkan isi terdalamnya. Bidikan kamera itu lalu menghantar orang lain menuju pengertian lebih mendalam, ketertarikan, perasaan yang menggetarkan, tremendum et fascinosum, kebahagiaan yang lembut, keharuan yang menyusup dalam diam, pengampunan, belas kasih, bahkan menggerakkan orang untuk melakukan tindakan berkualitas dan menghidupkan, moving and motivating. 

Hasil bidikan sang juru kamera, pada gilirannya juga mempunyai fungsi sebagai undangan bagi setiap orang untuk berhenti sejenak, memandang, mencermati, memperhatikan, mendalami, mengenali secara lebih baik, merenung, mengunyah, dan menemukan nilai yang tak sempat ditemukannya pada saat peristiwa itu benar-benar berlangsung. Hasil bidikan sang juru kamera, juga merupakan undangan untuk mengambil jarak, membangun distansiasi, mengajak orang untuk melakukan detachment, mele-paskan rasa lekat diri yang tak teratur terhadap segala sesuatu, dan menempatkan peristiwa-peristiwa itu di dalam kerangka yang lebih besar, saling terkait, saling terjaring, sehingga tersusunlah sebuah pemahaman yang integral. 

RUY PAMADIKEN, sebagai juru kamera peristiwa hidup, telah berupaya membangun galeri pengalaman dan peristiwa melalui buku ini. Buku galeri dan album pengalaman ini sebagai keseluruhan merupakan ajakan kepada setiap orang untuk terlibat secara lebih cermat di dalam pengalaman hidup masing-masing dan menikmatinya, serta merangkainya sebagai sebuah laku spiritualitas integral, yakni spiritualitas hidup yang memandang dan menempatkan pengalaman-pengalaman tidak secara terpisah-pisah atau terkotak-kotak, melainkan saling terhubung, saling memperkaya makna, dan saling mengutuhkan. 

Saya percaya, buku album dan galeri pengalaman hidup ini adalah buku yang akan senantiasa nikmat untuk dibaca berulang-ulang dalam banyak kesempatan, terutama dalam keheningan dan kesunyian, karena akan selalu relevan dan menyediakan nilai yang baru serta kaya. Maka pantaslah bahwa buku ini diberi judul Inner Journey, sebuah perjalanan ke dalam menuju kedalaman, karena seluruh isi buku ini mengajak para pembaca untuk semakin berani belajar menghayati silentium, solitudo, bersunyi diri untuk "memasuki pengalaman keheningan agar semakin sanggup mendengarkan isi terdalam dari segala keramaian".


Friday, July 26, 2019

Sederhana

Oleh Indro Suprobo


There is a sufficiency in the world for man's need but not for man's greed – Mahatma Gandhi 
(Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia, 
namun tak cukup untuk memenuhi keserakahan segelintir orang) 




Pengertian

Pernyataan Mahatma Gandhi bahwa dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia, namun tidak mencukupi untuk memenuhi keserakahan segelintir orang, menunjuk kepada pentingnya hidup sederhana di bumi ini. Dalam pernyataan itu ditunjukkan adanya perbedaan antara “kebutuhan” dan “keserakahan”. Kebutuhan berkaitan dengan segala sesuatu yang memang penting dan mendasar bagi kehidupan manusia, sementara keserakahan lebih berkaitan dengan segala hal yang sebenarnya tidak terlalu penting dan tidak mendasar. Bahkan dalam keserakahan itu terkandung pengertian tentang keinginan yang tak terkendali terhadap segala sesuatu yang sebenarnya hanya dibutuhkan secukupnya saja dan kelebihannya sudah tidak termasuk sebagai kebutuhan lagi.

Hidup sederhana adalah sebuah cara hidup yang dilandasi oleh pemahaman tentang mana yang penting dan benar-benar dibutuhkan untuk mendukung kehidupan, dan mana yang tidak terlalu penting untuk mendukung kehidupan sehingga yang tidak terlalu penting itu dapat dihindari, ditunda, dibatasi, atau bahkan sama sekali tidak perlu diperhitungkan sehingga tidak perlu dicari dan diupayakan ketersediannya. Hidup sederhana itu tidak sama dengan tidak memiliki apapun. Hidup sederhana juga tidak sama dengan hidup dalam kemiskinan. Orang yang menjalani hidup sederhana tentu saja tetap memiliki sesuatu namun yang ia miliki hanyalah segala hal yang memang benar-benar dibutuhkan dan penting bagi kehidupan. Orang yang hidup sederhana dapat juga tergolong sebagai orang yang kaya dari sisi harta benda, memiliki tabungan yang cukup yang menjamin kelangsungan hidupnya, namun ia sangat cermat dan selektif dalam memanfaatkan apa yang dimilikinya itu. Orang yang menjalani hidup sederhana adalah orang yang selalu cermat memilih kebutuhan dan selalu bersikap kritis terhadap “keinginan” yang ada dalam dirinya sehingga tidak selalu harus memenuhi keinginan itu, bahkan bisa juga ia meninggalkan keinginan itu.

Hidup sederhana juga dipahami sebagai sebuah cara hidup yang memilih untuk melepaskan diri dari segala jenis kelekatan tak teratur dalam hidup ini, lalu menemukan segala hal yang benar-benar penting serta bernilai di dalam hidup ini. Dengan demikian, hidup sederhana adalah sebuah pilihan, bukan keterpaksaan atau nasib. Hidup sederhana adalah sebuah jalan hidup yang dipahami alasannya, diyakini tujuannya, dan dinikmati manfaat-manfaatnya.

Oleh karena itu, orang yang hidup sederhana adalah orang yang tetap berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang penting dan tidak berlebihan. Orang yang hidup sederhana bukanlah orang yang bermalas-malasan tanpa usaha dan menerima situasi apa adanya. Itu bukanlah gaya hidup sederhana, melainkan hidup yang tidak bertanggung jawab. Orang yang hidup sederhana adalah orang yang tetap berusaha sungguh-sungguh dalam segala upayanya untuk mencapai sesuatu. Ia serius bekerja dan tekun serta tetap fokus kepada apa yang hendak dicapai. Namun dalam menjalankan semua itu ia tidak berlebihan. Dalam bekerja, ia justru sangat menghargai saat untuk beristirahat agar kesehatan tetap terjaga, agar tidak mengalami tekanan psikologis atau stress berlebihan, dan tetap merasakan kegembiraan dalam seluruh aktivitasnya.

Pantas diketahui bahwa lawan dari hidup sederhana bukanlah kekayaan, melainkan ketamakan atau kerakusan. Orang yang hidup sederhana bisa jadi dia adalah orang kaya juga. Ada banyak contoh tentang hal ini. Banyak orang sukses dan kaya di berbagai belahan dunia namun dalam kehidupan sehari-hari mereka menjalani hidup yang sederhana. Sebaliknya, banyak juga orang yang tidak kaya namun dalam kehidupan sehari-hari justru rakus dan tamak.

Supaya memiliki gambaran yang lebih konkret, berikut ini adalah beberapa ciri orang-orang yang menjalani hidup sederhana.

Ciri-ciri Hidup Sederhana

1. Memiliki Sikap Kritis terhadap Keinginan

Orang yang memilih hidup sederhana, pada umumnya adalah orang yang memiliki sikap kritis terhadap keinginan-keinginan pribadinya. Orang yang memiliki sikap kritis terhadap keinginan adalah orang yang selalu menunda persetujuan dirinya untuk segera memenuhi keinginannya itu. Secara serius ia akan melakukan penilaian dan pertimbangan apakah keinginan yang ada dalam dirinya itu merupakan sesuatu yang sangat penting dan bernilai sehingga dapat disebut sebagai kebutuhan ataukah tidak. Apabila ia menilai bahwa keinginannya itu tidak terlalu penting dan bukan merupakan hal yang bernilai, maka ia tidak akan memenuhi keinginannya itu.

Keinginan setiap orang itu bermacam-macam. Misalnya, orang menginginkan untuk memiliki kendaraan yang bagus keluaran terbaru, menginginkan memiliki smartphone tercanggih dan terbaru yang tentu saja berharga mahal, atau menginginkan untuk membeli barang-barang bermerek terkenal. Orang yang memiliki sikap kritis terhadap keinginan, akan menunda untuk memenuhi keinginan itu, dan terlebih dahulu bertanya kepada dirinya sendiri, apakah hal-hal yang diinginkannya itu sungguh-sungguh penting? Apakah jika tidak memiliki hal-hal itu, hidupnya akan mengalami kesulitan dan menderita? Apakah jika keinginan-keinginan itu tidak dipenuhi, ia akan kehilangan kesempatan untuk melakukan hal-hal yang penting dan berguna di dalam hidup? Apakah jika keinginan itu tidak dipenuhi, hidupnya akan menjadi tidak bermanfaat bagi orang lain? Jika ternyata kehidupan tetap berjalan baik dan memberi banyak manfaat bagi diri sendiri maupun bagi orang lain meskipun tak memiliki semua itu, maka tidak ada alasan bagi seseorang untuk mengharuskan dirinya memenuhi keinginan itu dan tidak perlu memaksakan diri.

2. Mampu Membedakan antara Yang Penting dan Yang Tidak Penting

Terkait dengan sikap kritis sebagimana dijelaskan sebelumnya, orang yang menjalani hidup sederhana adalah orang yang mampu membedakan mana yang penting dan mana yang tidak penting. Hal yang penting dalam hidup adalah segala sesuatu yang sangat dibutuhkan dan bersifat fundamental untuk mendukung hidup seseorang sehingga ketika hal itu tidak ada, kehidupannya akan terganggu atau tidak akan berkembang secara memadai. Sementara hal yang tidak penting adalah segala sesuatu yang tidak terlalu dibutuhkan untuk mendukung hidup seseorang sehingga ketika hal itu tidak ada, kehidupannya tetap dapat berjalan dengan baik dan tetap berkembang secara memadai.

Sebagai contoh, seseorang yang setiap harinya berprofesi sebagai penulis, ketika dihadapkan kepada pilihan untuk membeli televisi keluaran terbaru ataukah membeli laptop yang memadai, pada umumnya ia akan memilih laptop yang memadai sebagai hal yang lebih penting daripada televisi keluaran terbaru. Mengapa demikian? Karena dengan memiliki laptop yang memadai, ia dapat melakukan aktivitasnya sebagai penulis secara lebih produktif dan dapat mengembangkan kemampuan menulisnya terus-menerus meskipun ia tidak memiliki televisi keluaran terbaru. Produktivitasnya dalam menulis juga akan sangat menunjang kehidupannya karena dari tulisan-tulisan yang ia produksi itulah ia dapat menghidupi dirinya dan keluarganya, serta memberikan banyak manfaat bagi masyarakat lebih luas karena gagasan-gagasannya yang inspiratif dapat dibaca oleh lebih banyak orang.

3. Memiliki Kesungguhan dan Perencanaan

Orang-orang yang hidup sederhana adalah orang-orang yang memiliki kesungguhan dan perencanaan di dalam hidupnya. Ia akan menentukan tujuan di dalam kehidupan sehari-hari dan berusaha secara sungguh-sungguh untuk mengerjakan sesuatu yang penting yang sudah dipilihnya agar tujuan hidupnya itu tercapai dengan baik. Oleh karena itu, orang-orang yang demikian ini pada umumnya juga sangat menghargai waktu dan tenaga sehingga tidak akan menyia-nyiakan waktu hanya untuk kegiatan-kegiatan yang semata-mata menyenangkan namun tidak penting dan bernilai.

Namun demikian, orang yang bersungguh-sungguh dan memiliki perencanaan itu bukanlah orang yang tidak memiliki waktu luang untuk bersantai, membaca, bermain bersama anak dan keluarga. Justru sebaliknya, orang yang hidup sederhana yang memiliki kesungguhan dan perencanaan adalah orang yang sangat berperhatian terhadap waktu-waktu yang berharga dan bernilai. Bersantai, duduk tenang membaca buku dan belajar, bermain bersama anak dan keluarga adalah saat-saat yang sangat berharga dan bernilai bagi mereka. Maka saat-saat seperti itu justru akan menjadi prioritas. Mengapa demikian? Karena saat-saat seperti itu dianggapnya sangat penting bagi hidupnya dan akan sangat mempengaruhi produktivitas dan perkembangan hidupnya dalam bidang-bidang yang lain sesuai dengan profesi dan pilihan yang diambilnya.

Justru karena memiliki kesungguhan dan perencanaan di dalam hidup sehari-hari, orang-orang yang hidup sederhana akan memilih mana yang penting untuk dilakukan dan mana yang tidak. Jika hal yang penting untuk dilakukan sudah dipilihnya, ia akan melakukannya secara sungguh-sungguh demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.

4. Tidak Berlebihan

Orang yang menjalani hidup sederhana adalah orang yang menjalani hidup secara wajar dan tidak berlebihan. Ia memilih yang penting dan benar-benar dibutuhkan dalam hidup. Meskipun barangkali memiliki harta yang cukup, ia tidak membelanjakan hartanya untuk hal-hal yang tidak menjadi kebutuhannya dan tidak penting. Ia juga tidak membiarkan dirinya untuk diperbudak oleh keinginan-keinginannya. Sebaliknya, ia bisa menjadi tuan atas dirinya, secara bebas memilih yang penting dan bermanfaat, serta dengan gembira hati menjalani hal-hal secara biasa dan wajar. Dengan gembira, ia akan memilih makanan yang sehat dan biasa, memilih jenis transportasi atau kendaraan yang biasa sebagaimana kebanyakan orang lain, ia akan memilih tempat menginap yang hemat dan wajar, dan semua hal lain yang biasa. Meskipun memiliki kesanggupan untuk memilih yang luar biasa dan mewah, orang-orang yang hidup sederhana justru todak melakukannya. Ia tetap memilih segala hal yang wajar, biasa dan ugahari.

5. Pada umumnya merupakan orang yang cerdas

Orang yang menjalani hidup sederhana pada umumnya adalah orang yang cerdas, karena orang yang hidup sederhana biasanya mengandalkan sikap kritis terhadap lingkungannya, mengedepankan pikiran dan pertimbangan yang rasional (masuk akal), serta memiliki kemampuan untuk mengambil jarak terhadap banyak hal. Orang yang menjalani hidup sederhana pada umumnya juga memiliki informasi dan pengetahuan yang lebih luas yang mendukung kemampuan dirinya untuk menimbang-nimbang segala sesuatu dari hal-hal yang paling sederhana sampai dengan hal yang kompleks. Karena pengetahuan yang luas dan sikap kritisnya, orang yang hidup sederhana pada umumnya mampu menempatkan hal yang paling sederhana di dalam kerangka dan struktur kehidupan yang luas. Misalnya, orang yang hidup sederhana cenderung memilih untuk membeli buah-buah lokal yang ditanaman dan dipanen dari desa-desa terdekat daripada membeli buah-buahan impor karena memahami bahwa buah-buahan lokal jauh lebih sehat, lebih segar, lebih bebas dari unsur-unsur kimia, serta lebih memberikan banyak keuntungan kepada para petani.

6. Memiliki Kebebasan dan Kegembiraan yang besar

Orang yang hidup sederhana pada umumnya memiliki kebebasan dan kegembiraan yang lebih besar. Kebebasan dan kegembiraan ini terjadi karena ia tidak banyak diatur atau dipengaruhi oleh keinginan-keinginan yang tidak diperlukannya. Ia sanggup mengambil keputusan yang bebas dan memilih sesuatu yang benar-benar dianggapnya penting bagi hidupnya, serta tidak banyak digelisahkan oleh keinginan-keinginan yang tidak teratur. Ia juga tidak merasa khawatir bahwa ia tidak memiliki sesuatu yang pada umumnya orang lainnya barangkali berlomba-lomba untuk memilikinya. Karena memiliki sedikit kekhawatiran dan kecemasan, orang-orang yang hidup sederhana menjadi lebih gembira dan ringan dalam hidupnya.

Mengapa hidup sederhana itu penting?

Berikut ini adalah beberapa alasan mengapa hidup sederhana itu penting.

a. Demi keadilan generasi

Seperti dinyatakan oleh Mahatma Gandhi, dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia namun tidak cukup untuk memenuhi kerakusan dan ketamakan segelintir orang. Dalam pernyataan ini terkandung pengertian bahwa dunia ini harus dapat digunakan oleh lebih banyak manusia lintas generasi. Apa yang tersedia di bumi ini, air, udara, tanah, dan segala jenis kekayaan alam yang terkandung di dalamnya semestinya memberi manfaat dan mendukung kehidupan dan pertumbuhan lebih banyak manusia. Ini berarti kelestarian bumi ini musti dijaga sebaik-baiknya. Hidup sederhana akan lebih menjamin kelestarian bumi dengan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya karena manusia hanya menggunakannya secara wajar dan secukupnya, tidak berlebihan, dan hanya untuk mendukung hal-hal yang sangat penting dalam hidup. Hidup sederhana tidak akan menghambur-hamburkannya.

Orang yang hidup sederhana menyadari bahwa bumi dan seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya adalah milik manusia lintas generasi, dan bukan hanya milik dirinya sendiri pada jaman ini. Oleh karena itu ia akan menggunakan segala sesuatu secara bijak, tidak berlebihan, tidak membuangnya sia-sia. Pola hidup orang yang sederhana pada umumnya lebih menjamin kelestarian hutan karena pola hidupnya mengurangi penebangan hutan secara besar-besaran. Pola hidup sederhana lebih menjamin pengurangan kerusakan lingkungan karena lebih sedikit mengonsumsi sumberdaya alam dan sebagainya. Alam yang lebih lestari dan lingkungan yang jauh lebih terjaga merupakan jaminan bagi kehidupan lebih banyak generasi manusia pada masa depan.

b. Hidup sederhana membuat orang lebih bersyukur dan bahagia

Orang yang hidup sederhana akan selalu memilih segala sesuatu yang benar-benar penting dan berguna untuk dirinya dan berusaha untuk memiliki segala sesuatu secara wajar. Ia juga tidak merasa harus memiliki banyak hal dan bekerja keras untuk mengejar keinginan-keinginan yang tidak penting. Oleh karena itu, pada umumnya orang yang hidup sederhana hanya membelajakan sedikit saja dari hartanya sehingga ia tidak akan pernah memilih melakukan pengeluaran biaya yang melebihi kesanggupannya. Ia akan cenderung merasa cukup dengan apa yang sudah ada, atau dengan hal-hal yang penting dan sederhana. Oleh karena itu, ia menjadi lebih bersyukur dan berbahagia atas kehidupan sehari-hari yang dijalaninya.

Karena merasa cukup dengan banyak hal yang sewajarnya, orang-orang yang hidup sederhana tidak menghabisakan banyak waktu dan energi untuk hal-hal yang tidak penting. Akibatnya, lebih banyak waktu dan energi digunakannya juga untuk banyak hal lain yang jauh lebih produktif dan bermanfaat. Joshua Becker, seorang penulis buku yang sangat laris berjudul The More of Less, juga menyatakan bahwa pola hidup sederhana, terutama dengan mengurangi harta milik yang tidak benar-benar penting dan diperlukan, justru akan membuat manusia memiliki lebih banyak waktu dan energi untuk hal-hal yang jauh lebih bernilai, bermanfaat dan membahagiakan. Ia memberikan kesaksian demikian:

Ketika saya berumur 33 tahun, kami mulai memberikan semua harta dalam hidup kami yang tidak mutlak penting bagi tujuan dan sasaran kami. Akhirnya, keluarga kami memindahkan lebih dari 60% dari harta benda yang kami miliki. Dan kita bisa lebih bahagia. Kami menemukan lebih banyak waktu, uang, dan energi untuk mengejar hal-hal dalam hidup yang paling berharga bagi kami: iman, keluarga, dan teman. Kami menemukan pemenuhan yang jauh lebih besar dalam lebih banyak hal yang kami harapkan daripada yang pernah kami temukan ketika kami mengejar harta benda.[1] Dengan memiliki lebih sedikit harta benda, kami justru membebaskan hidup kami untuk mengejar hal-hal yang jauh lebih berarti.[2]

c. Hidup sederhana membuat hidup bersama menjadi lebih adil

Hidup sederhana adalah sebuah pola hidup yang lebih mudah mengatakan “cukup” terhadap segala sesuatu dan menghindari diri untuk menumpuk atau memiliki segala sesuatu secara berlebihan. Pola hidup ini membuat ketersediaan segala sesuatu dalam hidup menjadi lebih banyak dan lebih longgar sehingga lebih banyak orang lain dapat memperolehnya juga. Ini berarti hidup bersama cenderung akan menjadi lebih adil.

Pola hidup sederhana juga menghindarkan orang untuk mencuri atau memiliki segala sesuatu secara ilegal, merampaas segala hal yang bukan haknya, karena pola hidup sederhana membuat orang merasa cukup dengan apa yang sudah ada secara sewajarnya. Dengan demikian, pola hidup sederhana juga akan menghindarkan orang dari perbuatan korupsi.

Akibatnya, pola hidup sederhana akan lebih menjamin keadilan dalam kehidupan bersama karena apa yang menjadi hak lebih banyak orang tidak akan diambil secara semena-mena dan secara rakus oleh hanya segelintir orang yang tamak. Misalnya, anggaran negara yang dialokasikan untuk pendidikan dan kesehatan masyarakat akan benar-benar diterima sebagai manfaat oleh masyarakat karena para pejabat yang hidup sederhana tidak mencurinya melalui tindakan korupsi. Pejabat yang hidup sederhana sudah merasa cukup dengan apa yang diterima secara sewajarnya, tidak perlu mengejar hal lain secara berlebihan.

Contoh Hidup Sederhana

Berikut ini adalah beberapa contoh hidup sederhana yang ditunjukkan justru oleh orang-orang penting di berbagai belahan dunia. Kehidupan sederhana ini dijalankannya dalam beberapa hal.[3]

Orang yang hidup sederhana tidak mendewakan penampilan. Bila diperhatikan, orang-orang penting dan jenius justru tidak pernah terlalu peduli dengan penampilan luar mereka. Lihat saja penampilan Steve Jobs dengan T-shirt hitam kemana-mana. Juga Zuckerberg yang nyaman saja dengan kaos oblong berwarna abu-abu dan celana jeans. Mereka memilih strategi seefisien mungkin terutama untuk hal-hal yang kurang mendasar seperti “pakaian apa yang perlu dikenakan hari ini”. Dengan menghemat waktu dan energi memikirkan hal-hal kurang penting, orang-orang ini bisa memaksimalkan energi dan waktu mereka untuk memikirkan hal lebih penting seperti pengembangan bisnis. Selain itu, berpenampilan sederhana juga menghindarkan mereka dari langkah pemborosan uang untuk penampilan.

Orang yang hidup sederhana merasa nyaman dan tidak malu membawa bekal makan siang. Kebiasaan membawa bekal makan siang yang tampaknya sepele ternyata memiliki nilai penghematan yang luar biasa dan sering dilakukan oleh banyak orang. Membawa bekal makan siang dari rumah bukan cuma membantu orang untu lebih berhemat uang jajan, melainkan juga bisa menghemat waktu karena tidak perlu bingung mencari tempat makan yang tepat saat jam makan siang tiba. Dengan demikian mereka bisa lebih fokus memakai waktu tersebut untuk melakukan hal lain yang lebih penting. Charlie Ergen, pemilik Dish Network, yang memiliki kekayaan bersih 14,4 miliar dollar AS, sampai hari ini masih rajin membawa bekal makan siang dari rumah berisi sandwich dan minuman ringan setiap berangkat ke kantor. Bukan cuma itu, Ergen juga tetap merasa nyaman berbagi kamar dengan kolega kerja ketika tengah berdinas ke luar kota. Ia tidak memilih satu kamar eksklusif yang mahal hanya untuk dirinya sendiri.

Orang yang hidup sederhana tidak manja. Seringkali, orang-orang yang merupakan orang kaya baru sudah merasa berhak atas kenyamanan tingkat tinggi. Misalnya, membawa mobil pribadi ke mana-mana walaupun terhadang macet yang sering tidak masuk akal. Ingvar Kampard, pendiri IKEA, yang memiliki kekayaan bersih 39,3 miliar dollar AS, sampai hari ini masih nyaman-nyaman saja memakai transportasi umum ke mana-mana. Sebagai salah satu orang terkaya di dunia, Kampard tidak merasa harus mengubah gaya hidupnya menjadi serba wah. Kampard masih senang bepergian menumpang pesawat kelas ekonomi dan makan siang di kafetaria bersama karyawan-karyawannya dan naik bus ke mana-mana.

Orang yang hidup sederhana mendukung hidup hemat energi. Orang yang hidup sederhana selalu menyukai konsep hidup efisien dan hemat energi. Salah satu orang taipan terkenal asal India, Azem Premji, yang memiliki Wipro Ltd dan kekayaan bersih 16,6 miliar dollar AS, rajin mengingatkan para karyawannya agar tidak lupa mematikan lampu setelah selesai dipakai. Premji juga asyik-asyik saja ke mana-mana menumpang pesawat kelas ekonomi dan menyetir mobil bekas.

Tidak memaksakan diri. Salah seorang negarawan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah Mohammad Hatta, wakil Presiden pertama RI. Ia adalah sosok yang sangat sederhana dan berintegritas. Selama menjadi pejabat negara, bahkan sampai akhir hayatnya, ia tak pernah terlibat dalam tindak korupsi. Ia menjalani hidupnya secara sangat sederhana. Bahkan, sebagaimana dikisahkan oleh keluarganya, bung Hatta bahkan tidak memaksakan diri untuk bisa membeli sebuah sepatu yang sebenarnya sangat disukainya. Benar, ia sangat menyukainya, namun ia tidak merasa diri harus memaksa dirinya sendiri agar dapat membeli sepatu itu. Meskipun pada masa berikutnya anak-anaknya hidup secara berkecukupan, bung Hatta tidak juga pernah meminta kepada anak-anaknya untuk membelikan sepatu yang ia sukai itu. Ini adalah bukti hidup sederhana yang diteladankan oleh Mohammad Hatta. Dari hal yang sangat sederhana, yakni soal sepatu, sampai hal yang jauh lebih mendasar dan kompleks, yakni kehidupan sebagai pejabat, bung Hatta menunjukkan kesederhanaan dan integritasnya secara penuh. Ia bersih dan jujur sampai ajalnya menjemput.[4]

Tantangan Hidup Sederhana di Jaman Sekarang

Tantangan paling nyata yang dihadapi oleh masyarakat jaman sekarang dalam hidup sederhana adalah membanjirnya tawaran konsumsi berlebihan dan iming-iming beragam iklan yang menggiurkan tentang berbagai produk yang seolah-olah menjanjikan kebahagiaan apabila seseorang telah memilikinya. Rumah mewah, hotel berbintang, kendaraan bergengsi, makanan siap saji yang diberi citra sebagai makanan modern dan sebagainya adalah contoh-contoh nyata dari membanjirnya tawaran konsumsi dan iming-iming itu.

Tanpa kesadaran dan sikap kritis, tanpa kelengkapan wawasan dan pengetahuan yang luas, masyarakat akan dengan mudah menjadi korban dan hamba dari semua tawaran konsumtif dan iming-iming yang menggiurkan itu. Tak mengherankan jika saat ini mudah ditemukan orang-orang yang berlomba-lomba untuk dapat mengonsumsi segala hal yang telah dicitrakan sebagai modernitas dan dengan segera memperlihatkannya kepada teman, keluarga atau kepada masyarakat luas bahwa ia telah sanggup mengonsumsi hal tersebut.

Kenyataan bahwa ada begitu banyak orang terlibat dalam tindak pidana korupsi adalah salah satu petunjuk paling jelas dari tergerusnya pola hidup sederhana. Sangat tidak mungkin bahwa orang yang memiliki pilihan hidup sederhana itu membiarkan dirinya terlibat dalam tindak pidana korupsi. Ketika menghadapi gelagat ke arah itu sudah semestinya ia akan mengambil jarak sejak awal dan mengambil keputusan untuk meninggalkan dirinya dari aktivitas yang sangat tidak bermartabat itu. Orang-orang yang terlibat dalam tindak pidana korupsi adalah orang-orang yang sebenarnya telah kehilangan akal sehat karena tidak sanggup bersikap kritis terhadap apa yang dilakukannya sendiri. Ia telah menjadi hamba bagi keinginginan diri yang tiada habisnya, ia menjadi budak bagi ketamakan dan kerakusannya, dan menjadi pribadi-pribadi yang sama sekali tidak memiliki pemahaman bahwa tindakan korupsi yang ia lakukan adalah sebuah tindakan mengkhianati orang-orang lain yang sebenarnya memiliki hak atas apa yang ia rampas. Terutama, ia telah mengkhianati orang-orang yang paling membutuhkan dan cenderung terabaikan.

Tawaran konsumsi berlebihan dan ketamakan yang melanda masyarakat jaman ini menjadi tantangan yang luar biasa ketika ia ditemani oleh apa yang disebut sebagai individualisme. Dalam bahasa gaulnya, tantangan itu disebut sebagai konsumerisme dan individualisme. Konsumerisme adalah pola hidup yang merasa harus terus-menerus mengonsumsi segala sesuatu secara berlebihan (listrik, air, tanah, hutan, sumberdaya alam dsb). Ini sama dengan ketamakan dan kerakusan. Sementara individualisme adalah pola hidup yang mengutamakan terpenuhinya kepentingan dan keinginan diri sendiri tanpa mempedulikan kepentingan, kebutuhan dan hak orang lain. Individualisme ini mengakibatkan tergerusnya empati dan solidaritas atau perasaan senasib dengan orang lain, terutama mereka yang menderita dan menghadapi kesulitan hidup.

Untuk menghadapi tantangan ini, agar kehidupan sederhana dapat dijalani sebagai gaya hidup sehari-hari, orang juga perlu melatih diri terus-menerus melalui hal-hal yang sederhana. Yang paling mendasar dan pertama-tama perlu dilakukan agar orang dapat memilih pola hidup sederhana adalah melatih cara berpikir kritis di dalam dirinya dan menanamkan kesadaran serta pemahaman kepada dirinya bahwa pola hidup sederhana adalah sebuah langkah fundamental untuk membangun keadilan bagi seluruh umat manusia, serta merupakan langkah penting untuk membangun kebahagiaan sejati manusia. Selanjutnya, orang dapat meneladan pola hidup sederhana melalui hal-hal sederhana setiap hari sebagaimana sudah dipaparkan dalam contoh-contoh.


* Naskah ini merupakan salah satu bahan bacaan dalam pendidikan karakter untuk Taruna Akademi Kepolisian Republik Indonesia yang terdapat di dalam buku Modul Pengasuhan Gatra Karakter Akademi Kepolisian Republik Indonesia, PUSHAM-UII 2018, hlm.

[1] Lihat https://www.becomingminimalist.com/soon-as-you-can/
[2] Lihat https://www.becomingminimalist.com/done-minimizing/
[3] Lihat https://ekonomi.kompas.com/read/2017/08/21/074307226/8-pelajaran-hidup-sederhana-dari-orang-orang-super-kaya-dunia-.
[4] Bandingkan https://www.kompasiana.com/kafha/5554746273977355209054af/bung-hatta-yang-sederhana

Tuesday, January 08, 2019

Empati



Oleh Indro Suprobo




“Empathy is about finding echoes of another person in yourself.”  Mohsin Hamid[1]
(Empati adalah menemukan gema orang lain di dalam dirimu) 




Pengertian Empati



Mohsin Hamid, sastrawan dan penulis novel yang berasal dari Lahore, Pakistan, menggambarkan pengertiannya tentang empati secara puitis. Ia menggambarkan empati sebagai menemukan gema orang lain yang ada di dalam diri kita. Penggambaran ini mau menyatakan bahwa empati adalah sebuah “kehadiran” orang lain di dalam diri kita. Kehadiran orang lain itu meliputi seluruh aspeknya, yakni pengalaman, perasaan, pikiran, harapan, duka, dan kecemasannya. Atau dengan cara yang lebih sederhana, empati adalah kesanggupan seseorang untuk ikut memahami dan merasakan pengalaman, perasaan, pikiran, harapan, duka dan kecemasan orang lain sehingga semua itu menjadi pengalaman, perasaan, pikiran, harapan, duka dan kecemasan kita sendiri. Ketika seseorang sudah sanggup memahami dan merasakan seluruh pengalaman, perasaan, dan pikiran orang lain secara lebih baik dan menjadi pengalaman, perasaan dan pikiran dirinya sendiri, pada saat itulah ia telah menemukan “gema”atau “kehadiran” orang lain di dalam dirinya sendiri.

Secara psikologis, empati adalah sebuah gerakan “keluar” (outreach) sekaligus gerakan “ke dalam” (include). Disebut gerakan “keluar” atau outreach karena empati adalah usaha untuk mengjangkau pengalaman dan perasaan orang lain agar seseorang dapat memahami, menerima dan mendukung orang lain itu demi pertumbuhan hidup bersama. Ini adalah upaya untuk “berada dalam posisi dan situasi orang lain” secara maksimal. Dalam gerakan “keluar” ini, empati adalah sebuah upaya untuk berada di pihak yang lain secara maksimal, atau upaya untuk “berpihak” kepada yang lain.

Disebut gerakan “ke dalam” atau include karena empati adalah sekaligus usaha untuk menghadirkan dan memasukkan pengalaman serta perasaan orang lain ke dalam pengalaman dan perasaan diri sendiri. Dengan memahami dan menerima seluruh situasi orang lain secara sebaik-baiknya itu dan menjadikannya sebagai pengalaman diri sendiri, seseorang sedang “membawa masuk situasi orang lain ke dalam diri sendiri”. Oleh karena itu menghadirkan situasi orang lain ke dalam diri sendiri disebut sebagai sebuah gerakan “ke dalam”.

Pemahaman tentang empati seperti digambarkan oleh sastrawan Pakistan ini, memiliki kemiripan dengan pemahaman yang dikemukakan oleh salah seorang ahli psikologi perkembangan bernama Gordon Allport. Allport menyatakan bahwa empati adalah “the imaginative transposing of oneself into the thinking, feeling, and acting of another”.[2] Jadi menurut Allport, empati adalah upaya imajinatif seseorang untuk memindahkan posisi dirinya ke dalam posisi orang lain, yakni ke dalam pikiran, perasaan, dan perilaku orang lain. Ada ungkapan yang sederhana namun membantu untuk memahami pengertian ini, yakni ungkapan “coba bayangkan, seandainya kamu menjadi dia”. Lalu biasanya dilanjutkan dengan pertanyaan,”seandainya kamu menjadi dia, coba apa yang kamu rasakan?”

Seorang ahli psikologi yang lain, Carl Rogers, menyatakan bahwa empati adalah upaya melihat kerangka berpikir internal orang lain secara akurat, memahami orang lain tersebut seolah-olah seseorang itu masuk ke dalam diri orang lain tersebut, sehingga dapat merasakan dan mengalami apa yang dirasakan dan dialami oleh orang lain tersebut, namun tanpa kehilangan identitas dirinya.[3] Pengertian empati yang dinyatakan oleh Carl Rogers ini menunjukkan unsur yang penting, yakni menempatkan diri dalam posisi orang lain, namun tidak hanyut dalam situasi orang lain itu sehingga tidak kehilangan identitas dirinya. Dalam pengertian ini, seseorang dapat memasuki pengalaman, perasaan dan pikiran orang lain, namun ia tetap dapat mengambil jarak secara rasional sehingga tidak terlarut ke dalam suasana emosional, melainkan secara sadar tetap dapat melakukan segala sesuatu dalam kesadaran yang penuh.


Mengapa Empati itu Penting?

Sebagai makhluk sosial, setiap manusia selalu hidup bersama dengan orang lain dan selalu membutuhkan orang lain. Hidup bersama dengan orang lain, selain untuk saling menolong, juga untuk saling menumbuhkan, berkembang bersama sebagai manusia yang sehat jasmani dan rohani, dan menjadi semakin bermartabat. Dalam kehidupan bersama dengan orang lain itulah, empati sangat dibutuhkan dan menjadi penting. Berikut adalah beberapa alasan mengapa empati itu penting dalam kehidupan bersama:

a. Empati membuat manusia dapat menghargai keunikan dan perbedaan manusia lain.

Setiap manusia diciptakan oleh Tuhan secara unik atau khas. Kata unik berasal dari bahasa Latin “unus” yang berarti “satu”. Itu berarti bahwa setiap pribadi yang diciptakan oleh Tuhan di dunia ini hanya ada satu itu, tidak ada yang menyamainya. Barangkali ada yang mirip atau kembar, namun tidak pernah ada yang sama persis. Oleh karena itu setiap manusia disebut unik, tiada duanya.

Karena diciptakan secara unik, tiada duanya, maka secara kodrati setiap manusia itu berbeda-beda satu sama lain. Bahkan dalam satu keluarga yang samapun, tidak ada pribadi yang sama persis. Ini menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan manusia yang ada di seluruh dunia ini adalah ciptaan Tuhan, anugerah dari Sang Pencipta.

Oleh karena itu, menerima, memahami dan menghargai perbedaan merupakan tugas mulia setiap manusia karena menerima, memahami dan menghargai perbedaan manusia itu sama dengan menghargai dan menghormati Tuhan yang telah menciptakannya. Dalam konteks ini, empati sebagai kesanggupan seseorang untuk ikut memahami dan merasakan pengalaman, perasaan, pikiran, harapan, duka dan kecemasan orang lain, akan sangat membantu manusia untuk saling menghargai keunikan dan perbedaan manusia lain.

b. Empati menciptakan hidup bersama yang damai

Ketika setiap manusia sudah dapat menerima, memahami dan menghargai orang lain dengan segala perbedaannya, maka kehidupan bersama manusia itu akan terasa damai dan penuh persahabatan. Setiap orang merasa nyaman untuk hidup bersama yang lain, bergaul bersama orang lain, dan merasa aman ketika menyadari dan merasakan bahwa orang lain yang ada di sekitarnya itu menerima dan menghargainya. Oleh karena itu, empati sebagai kesanggupan untuk mmahami orang lain secara mendalam, merupakan hal yang sangat penting dalam upaya menciptakan kehidupan bersama yang damai.

c. Empati membuat manusia dapat memahami kebutuhan orang lain

Empati sebagai kesanggupan untuk memahami, menerima dan merasakan apa yang dialami dan dirasakan oleh orang lain, membantu manusia untuk memahami kebutuhan orang lain. Ketika sesorang sanggup menempatkan diri dalam posisi orang lain, terutama orang lain yang sedang menerima pengalaman pahit, kesusahan, dan penderitaan, ia akan memahami secara lebih baik apa yang benar-benar dibutuhkan oleh orang lain itu. Dengan mengetahui apa yang paling dibutuhkan oleh orang lain itu, ia dapat melakukan sesuatu yang tepat guna menjawab atau memenuhi kebutuhan itu. Dengan demikian, ia juga dapat menunjukkan sikap dan tindakan yang jauh lebih tepat dan sesuai dengan kebutuhan. Pada gilirannya, empati juga membantu setiap orang untuk dapat membahagiakan orang lain atau saling membahagiakan.

d. Empati membuat manusia terdorong untuk melindungi orang lain

Hal yang juga sangat mendasar, empati dapat membantu seseorang untuk memiliki keputusan, kesanggupan, dan keberanian untuk melindungi orang lain. Karena memahami, menerima, bahkan ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, ikut merasakan apa yang dirindukan dan dibutuhkan oleh orang lain secara mendalam, lebih-lebih ketika orang lain itu berada dalam situasi yang berbahaya dan mengancam keselamatannya, seseorang akan terdorong untuk mengambil keputusan, memilih sikap dan tindakan yang bersifat melindungi orang lain tersebut agar hidupnya terselamatkan. Hanya melalui empatilah, manusia yang hidup bersama dapat saling melindungi hak-hak hidupnya dan saling mengupayakan keselamatan bagi yang lain.

Contoh Empati dalam Pengalaman Konkret

Salah satu contoh konkret tentang empati terhadap orang lain, disajikan dalam kisah singkat berikut ini. Kisah ini bercerita tentang bagaimana orang-orang desa di sebuah kampung berusaha memahami, menerima dan merasakan apa yang dialami oleh para Pengungsi dan Pencari Suaka yang terpaksa tinggal sementara di Indonesia. Mereka adalah orang-orang baik yang terpaksa pergi dengan berbagai cara demi menyelamatkan hidup. Mereka berasal dari berbagai negara yang dilanda konflik dan peperangan. Kisah ini merupakan kisah nyata, namun demi perlindungan, sesuai dengan konvensi internasional tentang Pengungsi, nama-nama orang dalam kisah ini menggunakan nama samaran.[4]

Adalah Otang Sukarna, lelaki 50 tahun, warga sebuah desa di perbukitan Cipayung, Jawa Barat, yang dengan ketulusan hatinya, memberikan empati kepada para Pengungsi dan Pencari Suaka yang terpaksa tinggal di lingkungan kampungnya. Ia adalah orang desa yang menjadi sahabat bagi para Pengungsi dan Pencari Suaka. Melalui cara-cara yang sederhana dan nyata, ia memotivasi warga desa, ibu-ibu serta anak-anak, untuk bersikap ramah dan bersahabat kepada Pengungsi dan Pencari Suaka yang tinggal di sana. Persahabatan yang tulus dan sikap saling membantu sebagai saudara, adalah keramahtamahan yang nyata, sekaligus wujud perlindungan yang memberi rasa aman bagi mereka.

Ketika di tempat lain Pengungsi dan Pencari Suaka menghadapi penolakan, kecurigaan, stigma negatif, pengusiran dan pengasingan, Otang Sukarna dan warga di desanya justru menawarkan rumah sederhana dan nyaman untuk tinggal, suasana pergaulan yang akrab dan bersahabat, kegiatan bersama yang bermanfaat, dan pertolongan-pertolongan nyata yang membesarkan jiwa.

“Para imigran ini adalah orang-orang baik. Mereka bukan penjahat dan tidak berbuat onar. Mereka ke sini untuk mencari rasa aman karena negaranya kacau,” begitu kata Otang memaparkan pemahamannya. Meskipun belum pernah membaca dokumen internasional tentang Pengungsi, ia mampu menggambarkan pemahamannya dalam rumusan paling sederhana dan komunikatif, yang paling mudah diterima dan dimengerti oleh semua warga desa.

Otang Sukarna memiliki alasan mendasar mengapa ia bersikap ramah dan bersahabat dengan para Pengungsi dan Pencari Suaka. “Mereka adalah orang-orang yang memiliki anak seperti saya juga. Mereka juga mengalami kesusahan yang sama seperti saya. Jadi sudah semestinya saya bersikap baik dan membantu mereka. Bahkan kalau bisa, saya melindungi mereka karena sama-sama sebagai manusia biasa,” jelasnya. Menyelami, memahami dan membiarkan diri disentuh oleh pengalaman orang lain, adalah sebuah olah kesadaran yang empatik. Kesadaran ini melahirkan keterlibatan yang konkret.

Ketika media massa memberitakan adanya ancaman penolakan dan pengusiran terhadap para Pencari Suaka, Otang Sukarna dan Kepala Desa berkeliling kampung memberikan peneguhan kepada mereka. “Saya berkeliling bersama pak Lurah, mengunjungi mereka satu demi satu dan meyakinkan mereka beserta pemilik kontrakan untuk tidak merasa takut karena di wilayah ini situasinya dijamin aman,” katanya penuh semangat. Bahkan Kepala Desa sendiri menegaskan perlindungannya,”Nanti jika terpaksa memang ada orang luar yang datang ke sini untuk menganggu mereka, suruh mereka semua pindah ke rumah saya. Saya sendiri yang akan melindungi,” lanjutnya menirukan pernyataan Kepala Desa.

Otang Sukarna memiliki cara jitu dan sederhana untuk semakin mempererat hubungan antara warga desa dan Pencari Suaka. Hidup sehari-hari adalah medianya. “Saya sering mengajak mereka untuk ikut menghadiri acara pernikahan dan kematian. Bahkan mereka juga ikut mengangkat keranda jenasah sampai ke makam,” katanya. Hadir dan terlibat dalam kebiasaan-kebiasaan warga adalah tanda, sarana serta wujud kesediaan untuk menjadi bagian. Hal itu membuat hubungan mereka semakin dekat dan akrab. Mereka menjadi bagian dari warga, dan bukan lagi orang asing. “Karena dekatnya hubungan itu, salah satu imigran bahkan dibujuk oleh warga untuk menikah dengan orang sini dan menjadi keluarga mereka,” lanjut Otang.

Peringatan hari keagamaan juga menjadi sarana untuk saling berbagi. Pada peringatan 10 Muharram [Assyura], warga dan Pencari Suaka menyelenggarakan upacara keagamaan bersama. “Bahkan pak Lurah menyumbangkan satu ekor kambing. Mereka senang sekali.”

Pada masa awal kehadiran Pencari Suaka, selama beberapa waktu pernah diselenggarakan kegiatan belajar bahasa Inggris untuk anak-anak. Melalui kegiatan itu warga dan Pencari Suaka dapat saling belajar. Anak-anak belajar bahasa Inggris, sementara para Pencari Suaka belajar tentang kebiasaan hidup sehari-hari. “Wah dulu banyak sekali anak yang ikut belajar bahasa Inggris. Hampir tiga kelas penuh jumlah pesertanya.”

Berkat hubungan yang akrab ibu, tak mengherankan apabila di beberapa sudut jalan atau di dekat warung, terdengar kelakar dan canda tawa antara Pencari Suaka dan warga desa yang sedang mengisi waktu senggang mereka. Otang Sukarna dan warga desa di perbukitan Cipayung, adalah teladan nyata tentang bagaimana berempati kepada para Pengungsi dan Pencari Suaka, yang terpaksa pergi meninggalkan tanah kelahiran dan harta benda, demi mencari keselamatan.

Tantangan Nyata

Dalam kisah nyata di atas tampak sekali bagaimana Otang Sukarna dan warga desa memberikan empati terhadap orang lain yang terpaksa mengungsi ke negara tetangga karena ingin menyelamatkan kehidupan dari bahaya konflik dan peperangan yang telah menelan banyak korban. Otang Sukarna memahami dan menyelami apa yang dirasakan oleh para Pengungsi. Ia dapat merasakan kerinduan yang sama tentang hidup yang aman dan damai. Ia dapat merasakan kecemasan yang sama sebagaimana dialami oleh para Pengungsi dan Pencari Suaka. Empati yang ditunjukkan oleh Otang Sukarna, tampak jelas dalam pernyataannya,”Para imigran ini adalah orang-orang baik. Mereka bukan penjahat dan tidak berbuat onar. Mereka ke sini untuk mencari rasa aman karena negaranya kacau. Mereka adalah orang-orang yang memiliki anak seperti saya juga. Mereka juga mengalami kesusahan yang sama seperti saya. Jadi sudah semestinya saya bersikap baik dan membantu mereka. Bahkan kalau bisa, saya melindungi mereka karena sama-sama sebagai manusia biasa”.

Dalam pernyataan itu, Otang Sukarna telah memposisikan dirinya dalam posisi orang lain, yakni para Pengungsi dan Pencari Suaka. Demikian juga, ia telah menemukan gaung orang lain di dalam dirinya sendiri, sebagaimana ditulis oleh sastrawan Pakistan, Mohsin Hamid. Ia merasakan kehadiran orang lain di dalam dirinya. Itulah empati.

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia saat ini, empati sedang menghadapi tantangan yang tidak ringan. Kebhinnekaan, keragaman, perbedaan, dan keunikan masyarakat Indonesia sedang mudah sekali menjadi alat sekaligus pemicu bagi lahirnya pertentangan, perseteruan, bahkan konflik berdarah yang menimbulkan jatuhnya korban jiwa. Salah satu hal yang menggerus dan melemahkan empati adalah berkembangnya berita-berita yang bersifat menghasut, mengandung fitnah, tidak sesuai dengan kenyataan, menyulut kebencian terhadap orang atau kelompok lain, yang lebih dikenal dengan berita hoax. Berita-berita semacam itu adalah tanda dari sebuah upaya yang justru berlawanan dengan empati. Jika empati adalah upaya memahami dan merasakan apa yang benar-benar dialami dan dirasakan oleh orang lain, berita hoax justru menyodorkan pemahaman dan perasaan yang keliru, yang tidak sesuai dengan kenyataan. Berita hoax tidak berupaya untuk “memberikan pemahaman dan pengertian yang apa adanya sesuai dengan kenyataan”, melainkan justru “mengaburkan dan menghalangi pemahaman dan pengertian yang apa adanya, dan cenderung menjauhi kenyataan”.

Masyarakat Indonesia yang bhinneka, yang kaya akan keragaman, hanya dapat dipertahankan apabila setiap manusia Indonesia berupaya untuk mengenali dan memahami keunikan atau perbedaan satu sama lain secara mendalam dan sebaik-baiknya. Mengenali perbedaan secara lebih mendalam dan menerimanya, merupakan langkah mendasar dan penting bagi terbangunnya empati.

Oleh karena itu, untuk melatih empati dibutuhkan usaha nyata untuk belajar memahami, mengenali, mengakui dan menerima keunikan serta perbedaan orang lain (apapun latar belakangnya) secara sedalam-dalamnya. Hanya dengan memahami, mengenali, mengakui dan menerima keunikan serta perbedaan orang lain secara apa adanya, empati itu akan terbangun. Sehingga keunikan dan perbedaan itu tidak dianggap sebagai ancaman, melainkan sebagai kekayaan yang memperluas pemahaman, pengalaman dan perasaan setiap manusia.

Jika demikian, apakah saya memiliki kemauan dan keikhlasan untuk belajar memahami orang lain bahkan yang paling berbeda sekalipun secara lebih mendalam? Adakah halangan yang membuat saya mengalami kesulitan untuk memahami, mengenali, dan menerima orang lain? Jika saya telah terbiasa untuk belajar mengenali dan menerima orang lain serta tak lagi memiliki halangan untuk melakukannya, maka saya akan secara mudah membangun empati di dalam diri saya.



* Naskah ini merupakan salah satu bahan bacaan untuk pendidikan karakter bagi Taruna Akademi Kepolisian Republik Indonesia yang terdapat di dalam buku Modul Pengasuhan Gatra Karakter Akademi Kepolisian Republik Indonesia, PUSHAM-UII 2018, hlm. 203-220









[2] Lihat http://etheses.uin-malang.ac.id/1249/6/08410104_Bab_2.pdf, lihat juga Nailul Fauziah, Empati, Persahabatan dan Kecerdasan Adversitas Pada Mahasiswa yang Sedang Skripsi, dalam Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.1 April 2014, 78-92, terutama hlm.87-88
[3] Lihat http://etheses.uin-malang.ac.id/1249/6/08410104_Bab_2.pdf, lihat juga Nailul Fauziah, Empati, Persahabatan dan Kecerdasan Adversitas Pada Mahasiswa yang Sedang Skripsi, dalam Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.1 April 2014, 78-92, terutama hlm.87-88, lihat juga penjelasan Daniel Goleman yang serupa http://jurnal.umk.ac.id/index.php/gusjigang/article/view/718/717
[4] Kisah ini diambil dan diadaptasi seperlunya dari https://jrs.or.id/campaigns/urban-refugees/dalam-naungan-sayap-sayap-tuhan/