Friday, October 07, 2011

Menghadapi Teror Melalui Pendekatan Kultural

Oleh Indro Suprobo

Berita terakhir yang mengusik rasa kemanusiaan kita adalah berita tentang bom bunuh diri di Gereja Bethel Indonesia Sepenuh, Solo, Jawa Tengah. Berita ini secara cepat langsung mendorong berbagai media massa untuk menyuguhkan beragam analisis dan informasi tentang jaringan terorisme di Indonesia, yang secara cepat pula menggeser hiruk pikuk media selama berbulan-bulan tentang jaringan terror jenis lain, yakni korupsi dengan tersangka utama sementara yang bernama Nazarudin.

Secara cepat pula, media menempatkan peristiwa tersebut sebagai terror terhadap kerukunan umat beragama di Indonesia, karena kebetulan [atau sengaja?] yang menjadi tempat kejadian peristiwa itu adalah sebuah bangunan Gereja di mana sebagian jemaatnya menjadi korban luka. Tak mengherankan apabila figure-figur pemimpin [atau pemuka] agama segera dimintai pendapat dan pandangannya tentang hal ini.

Meskipun barangkali memiliki kaitan dengan agama atau keyakinan, peristiwa bom bunuh diri ini sebenarnya bukan merupakan terror terhadap kerukunan antarumat beragama, melainkan lebih merupakan terror terhadap kehidupan masyarakat secara umum dan kemanusiaan secara lebih luas. Peristiwa bom bunuh diri adalah sebuah peristiwa yang mengekspresikan sebuah cara pandang tertentu tentang arti kemanusiaan dan sekaligus tentang arti keilahian, karena kemanusiaan dan keilahian seumpama dua sisi dari satu mata uang, sebagaimana pernah diungkapkan oleh Soekarno bahwa “Orang tidak dapat mengabdi kepada Toehan djika tidak mengabdi kepada sesama manoesia. Toehan bersemajam di goeboeknja si miskin”. Oleh karena itu, terror-teror semacam ini sebaiknya tidak secara sempit-sederhana ditempatkan sebagai tantangan agama-agama, melainkan lebih merupakan sebuah tantangan besar bagi kebudayaan manusia, di mana agama-agama adalah salah satu bagiannya.

Teror lahir dari kandungan Teror

Terror tak pernah terlahir dari rahim perdamaian. Ia senantiasa dilahirkan dari kandungan terror. Oleh karena itu terror merupakan sebuah mata rantai atau “circle”, yang untuk mengatasinya sangat dibutuhkan upaya memutus mata rantai atau “circle” tersebut. Dalam kerangka berpikir demikian, dapat dipahami bahwa para pelaku terror adalah manusia-manusia konkret yang pada mulanya mengalami dan menghadapi “terror” yang sama namun dengan bentuk dan tingkat atau kualitas yang beragam.

Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai macam terror. Beberapa pengalaman terror yang dapat diungkap sebagai contoh adalah pembunuhan para jenderal pada 30 September/1 Oktober 1965, pembantaian masyarakat yang mengikuti peristiwa tahun 1965 itu [dengan beragam analisis mainstream maupun alternative], peristiwa Tanjung Priok, Haur Koneng, Kerusuhan Situbondo, tragedi Ambon-Poso, tragedi Semanggi, penghilangan orang, penjarahan dan perkosaan masal, tragedi Sampit, kematian Munir dan lain-lain. Semua pelaku terror tersebut adalah manusia-manusia konkret yang di dalam dirinya mengalami terror dan harus mengambil pilihan tindakan demi mencapai kepentingan yang paling mungkin secara maksimal. Kesanggupan individu, kelompok kepentingan dan masyarakat untuk menghadapi terror tersebut secara damai baik secara individual maupun komunal-sosial merupakan penentu utama bagi upaya memutus mata rantai terror dan menciptakan perdamaian dalam keadilan. Hanya dari lubuk rahim perdamaianlah [inner peace] akan mengalir dan meluber upaya-upaya penciptaan perdamaian dalam keadilan. Pada gilirannya, menciptakan inner peace secara individual maupun komunal merupakan tantangan nyata yang membutuhkan kerja-kerja cerdas, tulus-ikhlas, dan tanpa mengenal lelah.

Dalam konteks terror yang lebih spesifik yang telah terjadi di tengah masyarakat akhir-akhir ini, terutama bentuk-bentuk terror yang menggunakan peledakan bom dalam berbagai modelnya, para pelakunya adalah mereka yang mengalami terror, baik terror minimal dalam pikiran maupun terror dalam aspek-aspek lain yang lebih luas seperti politik, ekonomi, social maupun kebudayaan. Terror tersebut dialami dalam wujud keterpinggiran,keterancaman, maupun kekalahan dalam aspek-aspek sebagaimana disebutkan sebelumnya.

Gerakan Perdamaian dan Keadilan

Dari beragam pengalaman yang ditemukan di dalam masyarakat, ada begitu banyak model gerakan untuk menciptakan perdamaian dan keadilan, yang memberikan sumbangan besar bagi pengurangan dan penghapusan terror, terutama terror yang dilakukan oleh unsure masyarakat sendiri [dibedakan dari terror yang dilakukan oleh unsure Negara].

·         Membongkar prasangka
Prasangka, baik yang bersifat individual maupun kolektif, merupakan salah satu bentuk terror dalam level pikiran. Ia merupakan mekanisme membangun gambaran tentang yang lain, yang berada di luar dirinya, sebagai subjek yang buruk dan mengancam eksistensi dirinya. Pada tingkat paling rendah, prasangka ini hanya akan membangun halangan-halangan bagi hubungan antar individu atau antar kelompok. Namun pada tingkat yang lebih tinggi, ia akan mendorong tindakan-tindakan diskriminatif bahkan sampai pada tingkat mencederai kemanusiaan seperti pembunuhan dalam beragam bentuknya.

Prasangka, salah satunya dipicu oleh pengalaman buruk dalam sebuah hubungan social. Salah satu hubungan social yang paling buruk adalah hubungan yang tidak adil dan diskriminatif. Sejak munculnya Orde Baru, relasi prasangka antar-masyarakat, terutama relasi antar kelompok keagamaan, mengalami peningkatan yang cukup besar. Daniel Dhakidae menyatakan bahwa Orde Baru adalah orde yang paling banyak membangun tempat ibadah namun merupakan orde yang paling banyak menghancurkan tempat ibadah.[1]

Upaya-upaya cerdas, kreatif dan inovatif untuk membongkar prasangka merupakan gerakan nyata mengurangi dan mencegah terror dalam level pikiran, menyusun gambaran yang baik dan konstruktif tentang yang lain, menumbuhkan perdamaian sejak dalam pikiran dan mendorongnya untuk diwujudkan dalam tindakan praktis liberatif.

·         Menganalisis kebijakan
Kebijakan-kebijakan yang diproduksi oleh Pemerintah atau Negara, baik dalam bentuk Undang-undang, Peraturan, Surat Keputusan dan sebagainya, selain dapat memicu prasangka juga memiliki kerentanan terhadap intervensi prasangka dalam proses perumusannya. Dalam buku yang sama, Daniel Dhakidae menilai bahwa terutama berkaitan dengan agama-agama, Orde Baru telah melahirkan kebijakan yang orientasinya bukan untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak kehidupan, melainkan cenderung bertujuan untuk melakukan control terhadapnya atas dasar kekawatiran terhadap daya otoritas agama-agama yang mampu menjadi agen gerakan social politik yang besar, yang dapat mengancam otoritas penguasa. Hal ini tampak dalam produksi lembaga-lembaga control dari tingkat pusat sampai pada tingkat desa, bahkan dengan pendekatan yang sangat militeristik.

Dalam kenyataan relasi social masyarakat, dapat dilihat fenomena bahwa Surat-surat Keputusan tertentu [SKB tentang rumah ibadah] dan Undang-undang tertentu [UU Sisdiknas] cenderung tidak menyelesaikan persoalan relasi antar kelompok, melainkan terus-menerus menuai persoalan baru. Kedua produk kebijakan tersebut merupakan contoh produk yang diintervensi oleh prasangka sekaligus melahirkan prasangka lanjutan di tengah masyarakat. Dapat dikatakan bahwa kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang tidak produktif bagi pengembangan kerukunan dan perlu dievaluasi, dirumuskan ulang melalui mekanisme dialog yang lebih jujur dan terbuka sehingga menghasilkan rumusan yang lebih adil dan memberikan perlindungan kepada setiap warga, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi yang melandasinya.

Analisis bersama terhadap produk-produk kebijakan semacam ini, setelah didahului dan dilandasi oleh proses membongkar prasangka, akan merupakan upaya nyata untuk merumuskan tata hidup bersama yang lebih damai dan adil bagi segenap masyarakat.

·         Memahami dan menerima perbedaan
Masyarakat Indonesia sudah sejak awal merupakan masyarakat yang sangat majemuk. Ia memiliki banyak sekali perbedaan dan keragaman. Perbedaan dan keragaman ini dalam dirinya sendiri merupakan sunatullah, anugerah dari Allah, yang pantas diterima penuh rasa syukur dan dikelola secara bijaksana demi pertumbuhan kemanusiaan dalam suasana damai dan adil dalam kekayaan aspeknya [ekonomi, politik, social, budaya].

Perbedaan yang ada dan bersifat sunatullah ini tidak dapat disamakan hanya demi satu kepentingan tertentu. Satu-satunya sikap paling realistis adalah menerimanya dan memahaminya semaksimal mungkin agar dapat mengelolanya dalam sebesar-besarnya kebaikan. Oleh karena itu, upaya memahami dan menerima perbedaan merupakan hal yang sangat penting dan mendesak untuk dilakukan.

Berbagai macam gerakan, forum, komunitas, dan kelompok-kelompok telah lahir baik berdasarkan inisiatif masyarakat akar rumput maupun atas inisiatif pemerintah. Kehadiran beragam gerakan dan forum ini sangat membantu dan apabila dikelola sesuai azas, tentu akan melahirkan hasil-hasil yang produktif bagi penciptaan perdamaian dan keadilan, serta mengurangi terror. Kritik penting yang musti diajukan kepada beragam gerakan dan forum ini, terutama yang bekaitan dengan relasi antar kelompok keagamaan, adalah perlunya menghilangkan ketakutan dan perasaan tabu untuk memasuki pemahaman tentang perbedaan yang paling krusial sekalipun. Telah sering didengar dalam beragam kesempatan, adanya semacam anjuran agar forum-forum yang demikian itu tidak membicarakan perbedaan-perbedaan yang ada melainkan lebih banyak menemukan titik temu dan persamaan dalam upaya menghadirkan gagasan dan tindakan bersama yang baik dan berguna di tengah masyarakat. Perbincangan tentang perbedaan dicurigai akan cenderung melahirkan pertentangan dan konflik. Anjuran dan anggapan semacam ini, dalam konteks membangun perdamaian yang jujur dan ikhlas serta dewasa, merupakan anjuran dan anggapan yang tidak tepat dan kurang memberi landasan yang kuat, serta tidak menyentuh akar persoalan yang sudah akut.

Pemahaman dan penerimaan terhadap perbedaan tidak dapat dicapai selain dengan cara membincangkannya secara semaksimal mungkin dalam kedewasaan berpikir, berasa, dan berdialog. Sangatlah dibutuhkan pendekatan interdisipliner dalam usaha ini. Telah terbukti dari pengalaman bahwa pendekatan interdisipliner dalam pemahaman terhadap perbedaan-perbedaan sangat membantu dalam membangun landasan yang kuat bagi penciptaan relasi antar masyarakat yang damai dan adil. Diperlukan upaya “melintas nalar”, “melintas rasa”, “melintas suasana”, dan melintas “latar belakang” dalam gerakan ini. Tentu saja, proses ini membutuhkan waktu yang panjang dan intensitas relasi yang konsisten. Pengalaman kami menunjukkan bahwa pertemuan mingguan yang intensif dengan beragam cara, membutuhkan waktu sekitar 4 tahun untuk sampai pada capaian hasil yang mencengangkan meskipun tidak direncanakan sejak awal. Ini merupakan pengalaman yang bersifat eksploratif. Berbagai macam unsure perbedaan yang digunakan sebagai media belajar untuk memahami dan menyelami perbedaan, terbukti menyumbang perubahan yang cukup berarti. Penggunaan media sastra dan seni [puisi, narasi, kidung, music,tari dsb] merupakan hal yang sangat memperkaya cara memahami perbedaan. Penggunaan media kuliner, juga memberikan hasil yang sama. Penelusuran studi sejarah, arkeologi, psikologi, antropologi, sastra, seni, politik, ekonomi atas suatu unsure perbedaan ternyata membuat perbedaan itu dapat dipahami dan diterima secara lebih santai, dewasa, wajar dan penuh hormat, sambil menemukan titik-titik temu, kemiripan dan sebagainya.[2]

Melalui beragam cara dengan pendekatan interdisipliner itu, pada akhirnya perbincangan tentang perbedaan tidak menghasilkan pertentangan melainkan justru menghasilkan pengayaan [enrichment] perspektif dan spectrum dalam memahami perbedaan yang ada. Dengan landasan yang demikian ini, segala bentuk kerjasama justru menjadi hal yang sangat mudah untuk dilakukan.




·         Memperkuat substansi nilai-nilai local secara kontekstual
Masyarakat Indonesia di berbagai wilayah telah memiliki landasan-landasan kultural dalam mengelola kemajemukan dan mengupayakan keadilan bagi setiap warganya. Landasan kultural ini berisi nilai-nilai, prinsip-prinsip, mekanisme dan kesepakatan yang mendukung terciptanya relasi antar warga yang harmonis dan adil. Apabila dikaji lebih mendalam, nilai-nilai tersebut sebenarnya merupakan nilai-nilai kewargaan yang memperkuat bangunan masyarakat sipil di masing-masing wilayah.

Nilai-nilai kultural itu menjadi pengikat warga yang seringkali memiliki banyak latar belakang yang berbeda. Ikatan terhadap nilai local bersama itu menjadi benteng terhadap intervensi nilai-nilai baru yang mengganggu praksis kebiasaan hidup bersama. Penguatan substansi nilai-nilai local secara kontekstual merupakan upaya menghalangi proses pencerabutan masyarakat dari akar budayanya yang sudah terbukti memberikan sumbangan berarti bagi pengelolaan kemajemukan. Dalam hal ini upaya yang dilakukan oleh Paguyuban Takmir Masjid di wilayah kecamatan Ngaglik, dalam koordinasi dengan Pondok Pesantren Pandanaran untuk memperkuat daya tahan warga dalam menghadapi pemikiran dan sikap keagamaan yang baru yang menimbulkankeresahan warga masyarakat, merupakan contoh menarik yang pantas dikaji lebih lanjut.

·         Koeksistensi dan proeksistensi
Pada akhirnya, seluruh upaya membongkar prasangka, analisis kebijakan, pembelajaran tentang perbedaan secara interdisipliner, dan penguatan substansi nilai local masyarakat akan menumbuhkan cara pikir, sikap dan tindakan baik yang disebut koeksistensi (kemampuan membangun hidup bersama dengan individu/kelompok yang berbeda) maupun yang disebut pro-eksistensi (kemampuan untuk memberikan pembelaan, perlindungan dan penjaminan hak-hak individu/kelompok yang berbeda dalam hidup bersama). Dalam kondisi yang demikian ini, masyarakat yang memiliki banyak perbedaan akan mampu saling memahami, menerima, melindungi, dan menjamin hak-hak hidupnya dalam suasana damai dan adil.




Tulisan ini merupakan pengantar diskusi yang diselenggarakan oleh Magister Administrasi Publik (MAP) Universitas Gadjah Mada pada tanggal 4 Oktober 2011
[1] Lih. Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm. 515
[2] Ini merupakan pengalaman nyata Komunitas Tikar Pandan Jogjakarta, sebuah komunitas anak muda dari beragam latar belakang yang mengupayakan pembongkaran prasangka demi penghayatan keagamaan yang lebih dewasa. Komunitas ini dimulai secara embrional pada tahun 1995 dan menjadi semakin eksploratif sejak tahun 1999. Komunitas ini telah menyebar ke berbagai daerah dengan berbagai bentuk, salah satunya menjadi Komunitas Tikar Pandan Aceh yang masih aktif sampai saat ini.

Tuesday, April 26, 2011

Membangun Desain Kerukunan Umat Beriman

Oleh Indro Suprobo Desain tentang kerukunan hidup umat beragama sebenarnya secara baik telah dirumuskan oleh Menteri Agama pada masa Republik Indonesia Serikat, yakni almarhum Wahid Hasyim. Pada masanya, sebagai menteri agama, Wahid Hasyim telah menunjukkan visi inklusifnya melalui program kementerian agama yang dirumuskan sebagai berikut: 1. Melaksanakan perubahan corak politik keagamaan dari dasar kolonial kepada dasar nasional 2. Mewujudkan kebulatan dan keseimbangan bangsa Indonesia dengan tidak membedakan kepercayaan dan agama, sesuai dengan tuntutan demokrasi yang sejati 3. Menghidupkan moral masyarakat terutama dalam pembangunan 4. Membimbing tumbuh dan berkembangnya paham keTuhanan Yang Mahaesa di segala lapangan penghidupan dan bagian masyarakat. Prinsip demokrasi dalam pandangan Wahid Hasyim memberikan orientasi bahwa keberadaan Departemen Agama harus melindungi seluruh hak hidup umat beragama tanpa pandang bulu. Secara tegas ia menyatakan bahwa ”Pemerintah bukanlah pemerintah Islam. Negara Republik Indonesia bukanlah negara Islam dan Kementerian Agama bukan kementerian Agama Islam”. Menurut Wahid Hasyim, negara tidak boleh melakukan propaganda atas nama agama tertentu terhadap agama lainnya, serta tidak boleh melakukan intervensi atas urusan peribadatan rakyat beragama sebagaimana dilakukan oleh pemerintah masa kolonial. Dalam urusan intern agama, pemerintah tidak diperbolehkan untuk campur tangan. Seandainya harus campur tangan, campur tangan itu bukan dalam urusan isi agama melainkan dalam urusan yang bertalian dengan umat atau rakyat beragama sepanjang batas yang dapat dicampurinya. Masih menurut pandangan Wahid Hasyim, umat Islam tidak boleh menggantungkan diri kepada pemerintah. Dalam urusan kegiatan keagamaan, termasuk dalam pembangunan masjid, umat Islam harus mampu membangun sendiri dan tidak boleh meminta bantuan kepada pemerintah. Sebab kalau ini dilayani, pemerintah juga harus melayani urusan pembangunan rumah ibadah umat yang lainnya.[1] Catatan Evaluatif Namun demikian, praktik kerukunan antar umat beragama pada masa-masa kemudian sungguh jauh panggang dari api. Sejak Orde Suharto muncul, bahkan setelah Penetapan Presiden Soekarno No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama diundangkan sebagai Undang-Undang No.5 Tahun 1969, praktik kerukunan hidup antar umat beragama tidak juga menunjukkan perkembangan menuju kepada kebaikan, kehormatan apalagi keadaban. Sebaliknya, hari demi hari daftar keprihatinan tentang kerukunan hidup antarumat beragama di Indonesia ini semakin banyak. Kasus mutakhir yang sungguh mencederai harkat dan martabat kemanusiaan adalah pembantaian penuh kekejaman yang dilakukan oleh sekelompok massa terhadap anggota Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik. Penulis melihat bahwa sekurang-kurangnya ada dua hal mendasar yang menjadi penyebab dari gagalnya upaya membangun kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia. Dua hal itu adalah cara pandang terhadap yang lain dan adanya kebijakan-kebijakan yang dilandasi oleh prasangka. Cara Pandang terhadap Yang Lain Desain tentang kerukunan hidup umat beragama adalah sebuah desain tentang pola relasi antarumat beragama. Desain yang dibangun sangatlah berhubungan dengan cara pandang yang dihidupi oleh masing-masing kelompok yang saling berhubungan. Cara pandang terhadap yang lain akan sangat mempengaruhi bagaimana satu kelompok membangun pola relasi dengan kelompok yang lain. Cara pandang yang negative akan membuat pilihan sikap dan pilihan tindakan dalam berelasi dengan yang lain juga mengandung warna negative tersebut. Sebaliknya, cara pandang positip akan membuat pilihan sikap dan pilihan tindakan terhadap yang lain juga bernuansa positip. Dalam kenyataan hidup sehari-hari, telah terjadi generalisasi cara pandang antar kelompok umat beragama di Indonesia. Sebagai contoh sederhana, sebagian umat Islam memandang kaum nasrani sebagai kaum yang sangat berambisi untuk mengkristenkan orang dengan segala macam cara. Demikian pula sebaliknya, sebagian umat nasrani memandang bahwa umat Islam adalah kelompok orang-orang yang memiliki keinginan terselubung untuk mendirikan Negara Islam Indonesia dengan segala macam cara. Cara pandang negative dan generalis ini membuat satu sama lain saling berelasi secara baik hanya di tingkat permukaan, sementara ketika menukik ke kedalaman batin, sebenarnya terdapat sikap dan pilihan tindakan yang negative terhadap yang lain yang berbeda. Ini berarti kerukunan permukaan yang dibangun adalah kerukunan tanpa ketulusan dan keikhlasan. Cara pandang yang demikian mengaburkan realitas bahwa masing-masing kelompok umat beragama itu memiliki beragam dinamika dan beragam keunikan. Umat Islam seringkali gagal melihat bahwa umat Kristen itu sebenarnya memiliki seribu satu macam ragam, berbagai-bagai denominasi, selain terdapat dua arus besar yakni Kristen Katholik dan Kristen Protestan. Seringkali tidak diketahui dengan baik bahwa masing-masing kelompok Kristen itu tidak dapat begitu saja bertukar gedung gereja atau menggunakan satu gedung gereja saja, karena masing-masing memiliki detail pandangan teologi yang berbeda. Seringkali tidak diketahui bahwa di kalangan jemaat Katholik dan Protestan telah terjadi perubahan-perubahan doktrin teologis yang penting yang berkaitan dengan pandangan dan sikap terhadap umat lain yang bukan Kristen. Demikian pula sebaliknya, seringkali tidak diketahui dengan baik bahwa di antara umat Islam terdapat beraneka macam model yang masing-masing memiliki keunikan detail pandangan teologis tentang sesuatu hal. Kegagalan cara pandang terhadap yang lain dan yang cenderung generalis inilah yang menyebabkan kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia tidak mudah terbangun. Akibatnya sangat sering kita jumpai komentar-komentar spontan yang sebenarnya mencerminkan cara pandang terhadap yang lain itu. Misalnya,”Dia itu orang yang santun dan dermawan lho meskipun dia orang Kristen”. Atau “Dia itu sangat baik, penuh kasih, suka menolong dan ramah kepada tetangga meskipun dia itu muslim”. Kebijakan yang diwarnai prasangka Produk kebijakan semestinya merupakan alat hukum yang bersifat netral yang berfungsi membantu pengaturan hidup bersama menyangkut hal-hal tertentu secara produktif. Namun sayangnya, tidak semua produk kebijakan, terutama yang berkaitan dengan kehidupan beragama, mencerminkan sifat yang demikian. Banyak produk kebijakan itu dirumuskan dalam semangat dasar yang penuh prasangka. Contoh konkret produk kebijakan yang demikian itu adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.8 dan 9 Tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadat berikut cara menyelesaikan perselisihan tentang hal itu. Produk ini lahir dengan latar belakang maraknya pendirian berbagai macam bangunan gereja di lingkungan masyarakat yang menimbulkan kecurigaan dan rasa tidak nyaman masyarakat sekitar akan adanya bahaya kristenisasi dan berada dalam pola pikir tentang mayoritas dan minoritas. Dalam kerangka pikir semacam ini, produk kebijakan ini justru menjadi alat bagi masyarakat untuk melakukan “politik balas dendam” tanpa melihat konteks dan kebutuhan mendasar secara empatik. Maksudnya, masyarakat dengan mayoritas agama tertentu di suatu daerah akan mempersulit ijin bagi kelompok minoritas. Demikian sebaliknya di daerah yang lain lagi. Akibatnya, kebijakan ini justru bersifat kontra-produktif bagi pertumbuhan kerukunan antar umat beragama yang aseli, jujur dan berdaya. Bahkan, kasus-kasus penutupan dan pembongkaran rumah ibadat yang sudah berdiri bertahun-tahun dan berfungsi baik, dapat terjadi dengan landasan kebijakan tersebut. Demikian juga Penetapan Presiden No1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang telah diundangkan, justru cenderung menjadi alat produktif bagi sebagian masyarakat untuk menolak segala jenis perbedaan dalam beragama dan berkeyakinan, sehingga dengan mudah menempatkan perbedaan tafsir dan keyakinan dalam posisi sebagai penodaan, penyimpangan atau kesesatan. Produk kebijakan ini juga sangat rentan melahirkan tindakan diskriminatif yang mencederai keadilan yang menjadi visi utama dari semua agama. Catatan Apresiatif Dengan segala ketulusan dan rasa hormat secara personal saya memuji pernyataan sikap Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X tentang komitmen untuk memberikan jaminan dan perlindungan bagi warga Ahmadiyah di Yogyakarta untuk menjalankan ibadahnya sesuai dengan keyakinan yang dianutnya. Pernyataan ini merupakan cerminan dari nilai dasar konstitusi Negara kita untuk memberikan ruang yang sejuk bagi pertumbuhan religiositas masyarakat. Pernyataan tersebut juga persis sama dengan isi Covenan tentang Hak Asasi Manusia baik dalam bidang Sipil dan Politik maupun dalam bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya, yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, namun belum diwujudkan secara konsisten. Hormat yang tulus juga sangat pantas diberikan kepada kementerian Agama Kanwil Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang mendukung komitmen Gubernur dengan tidak mengeluarkan kebijakan apapun yang bersifat diskriminatif meskipun mendapatkan sedikit tekanan dari sekelompok kecil masyarakat tertentu. Langkah Bersama yang mendesak Berdasarkan catatan-catatan ini, langkah bersama yang mendesak dan strategis yang dapat dilakukan sebagai perwujudan fundamental desain kerukunan antarumat beragama di Yogyakarta adalah sebagai berikut: 1. Membongkar Prasangka antar umat beragama. Langkah paling mendasar adalah membongkar prasangka antarumat beragama. Upaya membongkar prasangka dapat dilakukan dengan berbagai macam metode dan bentuk, namun orientasi dasarnya adalah membangun sebuah pemahaman yang mendalam, positip, jujur, ikhlas dan dewasa terhadap kelompok lain yang berbeda tanpa harus memaksakan suatu kriteria tunggal tentang kebenaran. Ini merupakan langkah panjang yang membutuhkan banyak proses dan kesabaran dengan dilandasi prinsip-prinsip saling menemani untuk menjadi lebih dewasa dalam beragama. Spiritualitas yang pantas dihidupi dalam langkah ini adalah saling menjadi sahabat atau karib dalam banyak perbedaan yang dihormati oleh Sang Pencipta. Hasil yang dapat dicapai dari proses ini adalah tumbuhnya rasa saling hormat yang mendalam, tulus dan mencerminkan kebijaksanaan satu sama lain, serta lahirnya sensitivitas satu sama lain untuk mengupayakan kepantasan-kepantasan hidup bersama yang perlu tanpa merasa terancam, namun justru diwarnai oleh keharuan mendalam. Semangat ini dalam teks keagamaan sering diungkapkan dengan istilah “berlomba-lomba dalam kebaikan”. 2. Memperkuat Pendidikan Kebhinnekaan Kebhinnekaan adalah kenyataan masyarakat Indonesia yang tidak dapat disangkal dan merupakan sunnatullah, anugerah dari Allah. Anugerah ini mengandung mandat bahwa masyarakat Indonesia semestinya mengupayakan berbagai macam kesanggupan untuk mengelola kebhinnekaan ini sehingga setiap bagian dalam masyarakat itu dapat menjalani hidup sebagai dirinya sendiri dalam seluruh harkat, martabat, kehormatan dan keadilan. Oleh karena itu, pendidikan tentang kebhinnekaan merupakan model pendidikan yang penting. Pendidikan kebhinnekaan adalah pendidikan yang membantu setiap pribadi memiliki kesanggupan untuk menerima perbedaan real sebagai kenyataan, kesanggupan untuk menghormati, kesanggupan untuk melindungi, kesanggupan untuk memberikan ruang pertumbuhan bagi yang lain yang berbeda. Pelajaran Agama juga dapat menjadi pintu masuk bagi pendidikan kebhinnekaan ini, di mana setiap individu yang berbeda latar belakang agamanya dapat saling belajar dalam satu ruang yang sama mengenai topic yang sama namun dalam perspektif yang berbeda-beda. Forum Komunikasi Guru-guru Agama di Yogyakarta telah memulai langkah ini dengan berbagai macam cara sesuai dengan konteks dan kesanggupan masing-masing. Segala bentuk dialog diorientasikan pertama-tama dan terutama kepada pemahaman mendalam tentang perbedaan dan pertumbuhan sikap hormat terhadapnya, bukan untuk semata-mata mencari persamaan atau titik temu. Titik temu atau persamaan justru akan lebih mudah dikelola apabila landasan penerimaan dan hormat terhadap perbedaan sudah terbentuk. 3. Mendukung Pertumbuhan Nilai-nilai Budaya Lokal yang produktif Nilai-nilai budaya local masyarakat seringkali justru menjadi modal budaya dan sosial yang memberi daya bagi upaya membangun kerukunan antarumat beragama secara sederhana, nyata, namun sekaligus mempesona. Nilai-nilai ini sebenarnya masih hidup dan terpelihara di tengah-tengah masyarakat pedesaan Yogyakarta dan membutuhkan dukungan real. Secara sederhana dan mempesona, masyarakat desa seringkali menyuguhkan kerukunan itu dalam kehidupan sehari-hari. Kidung Requiem* yang diperdengarkan dari corong mushala desa, keikhlasan dan semangat warga yang berbeda agama untuk menyumbang sesuai kesanggupannya demi membeli tanah bersama yang selanjutnya diwakafkan demi kemajuan kerohanian Masjid, spontanitas dan keikhlasan warga desa yang mayoritas muslim untuk menguburkan jenasah nasrani miskin secara muslim atas kehendak keluarga dan menyelenggarakan tahlil selama 7 malam dengan biaya bersama, dan keputusan mayoritas muslim desa untuk tidak menggunakan mushala sebagai tempat menyelenggarakan halal bihalal tahunan demi menghormati minoritas nasrani yang ada di antara mereka, kerelaan sebagian warga untuk ikut menyiapkan “ubarampe” yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan kebiasaan “yasinan” meskipun mereka sendiri memiliki perbedaan pandangan tentang kebiasaan “yasinan” demi relasi sosial yang tetap terjaga, merupakan contoh-contoh sederhana tentang bagaimana nilai-nilai budaya local itu secara nyata berkontribusi bagi pertumbuhan kerukunan hidup bersama dalam perbedaan-perbedaan yang nyata. 4. Memperluas dan mengintensifkan Pengalaman Melintasi Perbedaan Pengalaman konkret hidup di tengah perbedaan yang nyata merupakan sekolah dan pendidikan alamiah yang membentuk pribadi manusia sehingga memiliki kebijaksanaan untuk melihat, menerima dan menghayati perbedaan sebagai sebuah kewajaran. Mengalami hal yang berbeda akan merangsang berbagai macam pertanyaan dari yang paling sederhana sampai kepada yang paling rumit sehingga mendorong individu untuk mencari jawaban secara kreatif dan bertanggungjawab. Pengalaman menghidupi perbedaan akan menumbuhkan pemahaman yang lebih mendalam, rasa hormat yang lebih tulus dan sensitivitas yang berkilau sehingga pilihan-pilihan sikap dan tindakannya akan mencerminkan kesantunan dan keadilan. Pengalaman ini dapat diupayakan secara sengaja melalui berbagai macam bentuk dan cara. Pemerintah Kotamadya Yogyakarta dalam kepemimpinan Heri Zudianto telah mewujudkannya melalui program pertukaran pelajar lintas budaya dan menerbitkan pengalaman itu dalam bentuk buku. Ini merupakan upaya yang pantas diapresiasi dan diduplikasi. Kemah Kebangsaan yang diselenggarakan oleh Aliansi Jogjakarta Untuk Indonesia Damai (AJI DAMAI), aktivitas Belajar Bersama yang dikelola oleh Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS) dan Perkemahan Remaja Lintasiman tentang Lingkungan Hidup yang diselenggarakan oleh Interfidei adalah contoh yang lain. Dibutuhkan keberanian untuk menyelami perbedaan secara tulus dan jujur. Mereka yang takut menyelami perbedaan justru akan kehilangan banyak hal, namun mereka yang berani melakukannya justru akan menemukan banyak hal yang memperkaya identitasnya. 5. Memperkaya dan Memperdalam Pendidikan Karakter Kerukunan hidup antarumat beragama hanya mungkin terbangun secara produktif apabila masyarakat pendukungnya merupakan masyarakat yang berkarakter. Masyarakat yang berkarakter adalah masyarakat yang memiliki kesanggupan untuk mengembangkan dan mengelola pengetahuan, mengenali dan mengelola perasaan, serta memiliki landasan yang kuat untuk secara bertanggungjawab mengambil pilihan-pilihan tindakan yang membawa resiko baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Oleh karena itu melakukan pendidikan karakter merupakan upaya mendasar menumbuhkan pribadi-pribadi yang senantiasa terbuka untuk belajar dan mengetahui, memiliki kepercayaan diri, mempunyai kesanggupan untuk berkonsentrasi kepada kebaikan-kebaikan, mampu bekerja sama dengan semua orang dalam berbagai macam perbedaan, dan mampu berkomunikasi secara santun dan inspiratif bagi kehidupan bersama. Membangun kerukunan hidup antar umat beragama adalah proses belajar terus-menerus seumur hidup. Ini membutuhkan kerendahan hati, keterbukaan untuk mengetahui yang baru, keikhlasan untuk mencari alternatif yang produktif, kesanggupan menyediakan ruang batin yang luas dan ramah terhadap perbedaan, kegembiraan untuk mendengarkan yang lain dan berbeda, dan kesediaan untuk menjadi sahabat karib yang terus-menerus menemani yang lain dalam proses pertumbuhan bersama, serta ketegasan untuk menjunjung prinsip-prinsip keadilan bagi semua. *** * Tulisan ini merupakan pengantar dialog dalam Lokakarya Kerukunan Antarumat Beragama yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama Kantor Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta di Hotel Bintang Fajar, 13 April 2011 [1] Lih. AAGN Ari Dwipayana (et al), Kaji Ulang Posisi Departemen Agama dalam Mengimplementasikan Kewajiban Negara untuk Melindungi Hak-hak Beragama, laporan hasil penelitian KOMNAS HAM dan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), 2005, dokumen terbatas dan tidak dipublikasikan. * Kidung Requiem adalah doa umat Katolik yang dikidungkan dalam bahasa Latin dan diperuntukkan bagi jenasah dan keluarga yang sedang mengalami kematian. Kidung ini berisi peneguhan, penghiburan dan pengharapan bahwa Allah adalah penyelenggara kehidupan dan senantiasa berbelas kasih menerima manusia yang dipanggilNya untuk kembali masuk dalam kerahimanNya.