Wednesday, October 04, 2017

Kita Semua Memiliki Tanggung Jawab Untuk Melakukan Kebaikan – Paus Fransiskus

Dalam salah satu homilinya di Domus Santa Marta, Bapa Paus Fransiskus menyatakan secara tegas bahwa melakukan kebaikan merupakan prinsip dasar yang menyatukan seluruh manusia, mengatasi segala macam perbedaan ideologi, pandangan maupun agama. Prinsip dasar “melakukan kebaikan” ini akan menciptakan “budaya perjumpaan” yang menjadi pondasi paling kokoh bagi perdamaian.

Dalam kisah Injil Lukas 9:49-50 tertulis demikian:
Yohanes berkata,”Guru, kami lihat seorang mengusir setan demi namaMu, lalu kami cegah orang itu, karena ia bukan pengikut kita.” Yesus berkata kepadanya,”Jangan kamu cegah, sebab barangsiapa tidak melawan kamu, ia ada di pihak kamu.”

Sikap para murid yang menghalangi orang lain untuk berbuat baik dengan alasan bahwa mereka yang berbuat baik itu tidak berasal dari kelompok kita, oleh Bapa Fransiskus dikategorikan sebagai sikap “sedikit intoleran” dan sikap tertutup. Apabila seseorang tidak memiliki dan meyakini kebenaran sebagaimana kita miliki dan yakini, tidak berarti bahwa orang tersebut tidak dapat melakukan kebaikan. Ini adalah pandangan yang keliru. Bahkan orang yang tidak satu pandangan dengan kita, tidak hanya “dapat” melakukan kebaikan, melainkan juga “harus” melakukan kebaikan. Yesus sendiri telah memperluas cara pandang itu bahwa akar dari kesanggupan dan kemungkinan untuk melakukan kebenaran, yang dimiliki oleh semua manusia, adalah proses penciptaan kita sebagai manusia.

“Allah telah menciptakan kita sesuai dengan gambar dan citra-Nya. Kita semua adalah citra Allah, yang melakukan kebaikan. Oleh karena itu di dalam hati kita terdapat perintah dan mandat untuk melakukan kebaikan dan bukan kejahatan. Kita semua memiliki perintah dan mandat itu di dalam hati kita”, kata Bapa Fransiskus.

“Apabila ada seseorang yang mengatakan demikian,’Tetapi dia ini bukan orang Katolik, Bapa. Dia tidak dapat melakukan kebaikan’, maka saya akan menjawabnya,’Ya, dia dapat melakukan kebaikan. Bahkan bukan hanya dapat, melainkan bahwa ia harus melakukan kebaikan. Karena ia memiliki perintah dan mandat di dalam hatinya”, lanjut Bapa Fransiskus.

“Sikap tertutup yang menyatakan bahwa setiap orang yang berada di luar kelompok kita itu tidak dapat melakukan kebaikan, selain merupakan tembok yang membawa kita kepada peperangan, juga merupakan hal yang membawa kita kepada keyakinan keliru bahwa seseorang dapat membunuh orang lain atas nama Tuhan. Dan ini telah kita saksikan dalam perjalanan sejarah umat manusia. Keyakinan bahwa kita dapat membunuh seseorang dalam nama Tuhan adalah sebuah penghujatan kepada Allah sendiri”, lanjut Bapa Fransiskus.

Selanjutnya Bapa Fransiskus menyatakan bahwa Allah telah mengampuni dosa kita semua, setiap orang, tidak pandang bulu apakah ia katolik maupun bukan katolik, apakah ia percaya kepada Tuhan ataukah ia seorang atheis. Semua manusia telah dihapus dosanya oleh Allah tanpa pandang bulu, dan telah diangkat menjadi anak-anak Allah. “Dan kita semua memiliki tanggung jawab untuk melakukan kebaikan. Perintah dan mandat bagi setiap orang untuk melakukan kebaikan ini, saya pikir, merupakan jalan setapak yang indah menuju kepada perdamaian. Apabila kita, masing-masing orang melakukan tanggung jawab kita, jika kita melakukan kebaikan kepada orang lain, sedikit demi sedikit, tahap demi tahap, kita akan bertemu, sehingga kita menciptakan sebuah budaya perjumpaan, yakni sesuatu yang sangat kita butuhkan. Kita harus bertemu dalam upaya melakukan kebaikan. Mereka yang atheis maupun yang percaya, keetika sama-sama melakukan kebaikan sebagaimana diperintahkan dan dimandatkan dalam hati kita melalui proses penciptaan, pada akhirnya akan bertemu.” Kata Bapa Fransiskus.

Di dalam dunia yang semakin harus terbuka terhadap beragam perbedaan dan kemajemukan, orang memang harus percaya kepada prinsip bahwa setiap orang diundang oleh Allah untuk melakukan kebaikan bagi sesama, bagi lingkungan hidup, dan bagi alam raya. Apapun agamanya, apapun ideologinya, semuanya memiliki perintah dan mandat yang sama di dalam hati, yakni melakukan kebaikan. Oleh karena itu, di dalam hidup yang penuh keragaman dan kemajemukan itu, yang paling utama adalah berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan.

Melalui sebuah perikop yang sangat singkat dalam Injil Lukas di atas, kita dapat belajar bahwa Yesus sendiri menegaskan sebuah sikap terbuka dan inklusif bahwa setiap orang dapat melakukan kebaikan, bahkan harus melakukan kebaikan, tanpa harus dibedakan apakah ia merupakan bagian dari kelompok kita atau bukan. Yesus sendiri sudah sejak semula menegaskan penolakan terhadap sikap intoleran para muridnya itu, dan mengajak para murid untuk memperluas cara pandang bahwa setiap orang harus melakukan kebaikan. Seandainya setiap orang mengikuti apa yang ditegaskan oleh Yesus itu, apapun agama dan ideologinya, maka dapat dipastikan akan terciptalah budaya perjumpaan, yang membawa kita kepada cita-cita perdamaian.


(Indro Suprobo)

No comments: