Dalam salah satu homilinya di Domus Santa
Marta, Bapa Paus Fransiskus menyatakan secara tegas bahwa melakukan kebaikan
merupakan prinsip dasar yang menyatukan seluruh manusia, mengatasi segala macam
perbedaan ideologi, pandangan maupun agama. Prinsip dasar “melakukan kebaikan”
ini akan menciptakan “budaya perjumpaan” yang menjadi pondasi paling kokoh bagi
perdamaian.
Dalam kisah Injil Lukas 9:49-50 tertulis
demikian:
Yohanes berkata,”Guru, kami lihat seorang
mengusir setan demi namaMu, lalu kami cegah orang itu, karena ia bukan pengikut
kita.” Yesus berkata kepadanya,”Jangan kamu cegah, sebab barangsiapa tidak
melawan kamu, ia ada di pihak kamu.”
Sikap para murid yang menghalangi orang lain
untuk berbuat baik dengan alasan bahwa mereka yang berbuat baik itu tidak
berasal dari kelompok kita, oleh Bapa Fransiskus dikategorikan sebagai sikap
“sedikit intoleran” dan sikap tertutup. Apabila seseorang tidak memiliki dan
meyakini kebenaran sebagaimana kita miliki dan yakini, tidak berarti bahwa
orang tersebut tidak dapat melakukan kebaikan. Ini adalah pandangan yang
keliru. Bahkan orang yang tidak satu pandangan dengan kita, tidak hanya “dapat”
melakukan kebaikan, melainkan juga “harus” melakukan kebaikan. Yesus sendiri
telah memperluas cara pandang itu bahwa akar dari kesanggupan dan kemungkinan
untuk melakukan kebenaran, yang dimiliki oleh semua manusia, adalah proses
penciptaan kita sebagai manusia.
“Allah telah menciptakan kita sesuai dengan
gambar dan citra-Nya. Kita semua adalah citra Allah, yang melakukan kebaikan.
Oleh karena itu di dalam hati kita terdapat perintah dan mandat untuk melakukan
kebaikan dan bukan kejahatan. Kita semua memiliki perintah dan mandat itu di
dalam hati kita”, kata Bapa Fransiskus.
“Apabila ada seseorang yang mengatakan
demikian,’Tetapi dia ini bukan orang Katolik, Bapa. Dia tidak dapat melakukan
kebaikan’, maka saya akan menjawabnya,’Ya, dia dapat melakukan kebaikan. Bahkan
bukan hanya dapat, melainkan bahwa ia harus melakukan kebaikan. Karena ia
memiliki perintah dan mandat di dalam hatinya”, lanjut Bapa Fransiskus.
“Sikap tertutup yang menyatakan bahwa setiap
orang yang berada di luar kelompok kita itu tidak dapat melakukan kebaikan,
selain merupakan tembok yang membawa kita kepada peperangan, juga merupakan hal
yang membawa kita kepada keyakinan keliru bahwa seseorang dapat membunuh orang
lain atas nama Tuhan. Dan ini telah kita saksikan dalam perjalanan sejarah umat
manusia. Keyakinan bahwa kita dapat membunuh seseorang dalam nama Tuhan adalah
sebuah penghujatan kepada Allah sendiri”, lanjut Bapa Fransiskus.
Selanjutnya Bapa Fransiskus menyatakan bahwa
Allah telah mengampuni dosa kita semua, setiap orang, tidak pandang bulu apakah ia katolik
maupun bukan katolik, apakah ia percaya kepada Tuhan ataukah ia seorang atheis.
Semua manusia telah dihapus dosanya oleh Allah tanpa pandang bulu, dan telah diangkat menjadi
anak-anak Allah. “Dan kita semua memiliki tanggung jawab untuk melakukan
kebaikan. Perintah dan mandat bagi setiap orang untuk melakukan kebaikan ini,
saya pikir, merupakan jalan setapak yang indah menuju kepada perdamaian.
Apabila kita, masing-masing orang melakukan tanggung jawab kita, jika kita
melakukan kebaikan kepada orang lain, sedikit demi sedikit, tahap demi tahap,
kita akan bertemu, sehingga kita menciptakan sebuah budaya perjumpaan, yakni
sesuatu yang sangat kita butuhkan. Kita harus bertemu dalam upaya melakukan
kebaikan. Mereka yang atheis maupun yang percaya, keetika sama-sama melakukan
kebaikan sebagaimana diperintahkan dan dimandatkan dalam hati kita melalui
proses penciptaan, pada akhirnya akan bertemu.” Kata Bapa Fransiskus.
Di dalam dunia yang semakin harus terbuka
terhadap beragam perbedaan dan kemajemukan, orang memang harus percaya kepada
prinsip bahwa setiap orang diundang oleh Allah untuk melakukan kebaikan bagi
sesama, bagi lingkungan hidup, dan bagi alam raya. Apapun agamanya, apapun
ideologinya, semuanya memiliki perintah dan mandat yang sama di dalam hati,
yakni melakukan kebaikan. Oleh karena itu, di dalam hidup yang penuh keragaman
dan kemajemukan itu, yang paling utama adalah berlomba-lomba untuk melakukan
kebaikan.
Melalui sebuah perikop yang sangat singkat
dalam Injil Lukas di atas, kita dapat belajar bahwa Yesus sendiri menegaskan
sebuah sikap terbuka dan inklusif bahwa setiap orang dapat melakukan kebaikan,
bahkan harus melakukan kebaikan, tanpa harus dibedakan apakah ia merupakan
bagian dari kelompok kita atau bukan. Yesus sendiri sudah sejak semula
menegaskan penolakan terhadap sikap intoleran para muridnya itu, dan mengajak
para murid untuk memperluas cara pandang bahwa setiap orang harus melakukan
kebaikan. Seandainya setiap orang mengikuti apa yang ditegaskan oleh Yesus itu,
apapun agama dan ideologinya, maka dapat dipastikan akan terciptalah budaya
perjumpaan, yang membawa kita kepada cita-cita perdamaian.
(Indro Suprobo)
No comments:
Post a Comment