Dalam sebuah kesempatan wawancara dengan
sebuah Mingguan berita Katolik Belgia, “Tertio”, Bapa Fransiskus menyampaikan
keprihatinannya berkaitan dengan peran media dalam menciptakan opini kepada
masyarakat. Menurut Bapa Fransiskus, media komunikasi memiliki tanggung jawab
yang sangat besar. Peluang dan kapasitas untuk membangun sebuah opini di tengah
masyarakat, saat ini berada di tangan media. Media dapat membangun opini yang
baik maupun opini yang buruk.
Bapa Fransiskus mengatakan bahwa alat-alat
komunikasi merupakan alat untuk membangun masyarakat. Di dalam dirinya, sarana
komunikasi diciptakan untuk membangun (bukan menghancurkan), untuk saling
bertukar dan berbagi (bukan saling merampas), untuk merajut persahabatan (bukan
untuk bermusuhan), untuk merangsang kita semua berpikir menggunakan akal budi
(bukan untuk menghasut), dan untuk mendidik (bukan untuk menghancurkan
karakter). Pada dirinya sendiri, sarana komunikasi itu bersifat positif. Namun
karena kita semua yang menggunakan media dan alat komunikasi itu memiliki
kecnederungan terhadap dosa, maka media dan alat komunikasi yang kita gunakan
itu juga sangat rentan untuk menjadi bahaya bagi kehidupan bersama.
Media memiliki bahaya untuk digunakan sebagai
alat untuk membuat fitnah dan melecehkan orang lain, terutama dalam dunia
politik. Media juga dapat digunakan sebagai sarana untuk penghinaan. Bapa
Fransiskus mengingatkan bahwa setiap orang memiliki hak atas reputasi yang
baik, tetapi barangkali di masa lalu, misalnya sepuluh tahun yang lalu, mereka
pernah memiliki masalah dengan keadilan atau masalah dalam kehidupan keluarga.
Mengungkit kembali persoalan masa lalu seseorang menjadi perbincangan publik
merupakan persoalan yang sangat serius dan berbahaya karena hal itu dapat
mengakibatkan kehancuran pribadi seseorang.
Di dalam sebuah fitnah, kita berbohong tentang
seseorang. Dalam penghinaan, kita mengumbar dokumen masa lalu tentang keburukan
orang lain yang memang benar adanya pada masa lalu, namun hal itu sudah dibayar
melalui sebuah hukuman penjara atau denda, atau beragam bentuk hukuman lain.
Oleh karena itu, tak ada hak sekalipun bagi orang lain untuk mengumbarnya ke
hadapan publik. Ini merupakan perbuatan dosa dan berbahaya.
Bapa Fransiskus mengatakan bahwa salah satu
hal yang dapat mengakibatkan sebuah kerusakan besar pada media informasi adalah
apa yang disebut sebagai disinformasi, yakni sebuah upaya menghadapi situasi
apapun namun hanya dengan mengatakan sebagian dari kebenaran, sementara sebagian
kebenaran yang lain dihilangkan. Itulah yang disebut sebagai disinformasi.
Karena media hanya memberikan separuh dari kebenaran saja dan mengabaikan
kebenaran yang lain, maka informasi yang diberikan itu tidak dapat dijadikan
sebagai landasan untuk mengambil keputusan serius apapun. Dalam produksi
disinformasi itu, media mengarahkan opini masyarakat hanya kepada satu arah
dengan mengabaikan bagian lain yang penting dari kebenaran.
Bapa Fransiskus juga menegaskan bahwa memang
media itu harus sangat jelas dan transparan, namun jangan sampai media itu
menjadi mangsa dari penyakit coprophilia, yakni sebuah penyakit yang intinya
selalu ingin menyampaikan skandal atau menyampaikan hal-hal yang buruk,
meskipun hal-hal buruk itu memang terjadi dan benar. Apabila orang sudah
memiliki kecenderungan yang sedemikian hebat terhadap penyakit coprophagia,
maka ini sudah sangat berbahaya dan seumpama orang yang cenderung mengonsumsi
kotoran manusia.
Apa yang diprihatinkan oleh Bapa Fransiskus
itu memang pantas mendapatkan perhatian serius. Dunia kita lebih membutuhkan
kisah-kisah yang membangkitkan energi positif bagi pertumbuhan pribadi,
berkembangnya kasih sayang, meluasnya persahabatan, tersebarnya semangat untuk
saling berbagi dan saling mendukung, berseminya semangat perdamaian di antara
manusia, terjaminnya rasa aman setiap orang untuk menghadirkan dirinya dengan
seluruh latar belakang yang dimilikiinya, sehingga pada akhirnya menumbuhkan
gaya hidup yang penuh semangat perdamaian dan keadilan. Media dan alat komunikasi
memiliki tanggung jawab besar untuk menciptakan tanah subur bagi semua hal itu
dengan menyajikan informasi, berita dan kisa-kisah yang positif dan sehat,
serta meneguhkan kehidupan bersama.
Salah satu contoh yang baik dapat diteladani
dari kaum remaja di Indonesia. Di tengah membanjirnya berita hoax dan ujaran
kebencian melalui media sosial, Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) Sekolah
Menengah Atas Kolese Kanisius Jakarta dan Sekolah Menengah Atas Al-Izhar Pondok
Labu, Jakarta Selatan, bergandengan tangan untuk bersama-sama mengampanyekan
sebuah gerakan di media sosial bertajuk Ragamuda Pluralisme. Para siswa dari
SMA Kanisius yang merupakan Yayasan Pendidikan Katolik dan dari SMA Al-Izhar
yang merupakan Yayasan Pendidikan Islam di Jakarta, bekerjasama mengajak
seluruh anak muda agar tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu SARA dan
sebaliknya justru berupaya menjadi agen yang menyampaikan pesan toleransi,
keberagaman, pluralisme, perdamaian dan Bhinneka Tunggal Ika.
“Kami ingin menunjukkan bahwa meskipun kami
berbeda, kami bersama bisa menyuarakan semangat pluralisme,” kata Kevano, ketua
OSIS SMA Kolese Kanisius Jakarta. Sementara Indratono dari SMA Al-Izhar
menyatakan,”Bahwa kami berbeda itu sudah merupakan fakta, dan justru kami bisa
saling memperkaya dalam kerjasama kami ini. Itulah juga yang kami harapkan
dengan anak-anak muda yang lain untuk memperkukuh toleransi, menjaga persatuan
bangsa di tengah banyaknya konflik di masyarakat.”
Pantas disyukuri bahwa masih ada banyak
anak-anak muda yang memiliki pilihan nilai dan komitmen sebagaimana diharapkan
oleh Bapa Fransiskus. Anak-anak muda ini memberikan teladan bahwa media
komunikasi maupun media sosial perlu memperbesar peran dalam membangun opini
yang positif di tengah masyarakat agar menumbuhkan perdamaian, belarasa, kasing
sayang, saling hormat, dan solidaritas. Mengonsumsi dan memproduksi informasi
yang sehat akan melahirkan pribadi-pribadi yang sehat dan penuh martabat. ***
(Indro Suprobo)