Wednesday, September 06, 2017

Mengkonsumsi Berita Palsu itu sama saja dengan Mengkonsumsi Kotoran Manusia

Dalam sebuah kesempatan wawancara dengan sebuah Mingguan berita Katolik Belgia, “Tertio”, Bapa Fransiskus menyampaikan keprihatinannya berkaitan dengan peran media dalam menciptakan opini kepada masyarakat. Menurut Bapa Fransiskus, media komunikasi memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Peluang dan kapasitas untuk membangun sebuah opini di tengah masyarakat, saat ini berada di tangan media. Media dapat membangun opini yang baik maupun opini yang buruk.
Bapa Fransiskus mengatakan bahwa alat-alat komunikasi merupakan alat untuk membangun masyarakat. Di dalam dirinya, sarana komunikasi diciptakan untuk membangun (bukan menghancurkan), untuk saling bertukar dan berbagi (bukan saling merampas), untuk merajut persahabatan (bukan untuk bermusuhan), untuk merangsang kita semua berpikir menggunakan akal budi (bukan untuk menghasut), dan untuk mendidik (bukan untuk menghancurkan karakter). Pada dirinya sendiri, sarana komunikasi itu bersifat positif. Namun karena kita semua yang menggunakan media dan alat komunikasi itu memiliki kecnederungan terhadap dosa, maka media dan alat komunikasi yang kita gunakan itu juga sangat rentan untuk menjadi bahaya bagi kehidupan bersama.

Media memiliki bahaya untuk digunakan sebagai alat untuk membuat fitnah dan melecehkan orang lain, terutama dalam dunia politik. Media juga dapat digunakan sebagai sarana untuk penghinaan. Bapa Fransiskus mengingatkan bahwa setiap orang memiliki hak atas reputasi yang baik, tetapi barangkali di masa lalu, misalnya sepuluh tahun yang lalu, mereka pernah memiliki masalah dengan keadilan atau masalah dalam kehidupan keluarga. Mengungkit kembali persoalan masa lalu seseorang menjadi perbincangan publik merupakan persoalan yang sangat serius dan berbahaya karena hal itu dapat mengakibatkan kehancuran pribadi seseorang.

Di dalam sebuah fitnah, kita berbohong tentang seseorang. Dalam penghinaan, kita mengumbar dokumen masa lalu tentang keburukan orang lain yang memang benar adanya pada masa lalu, namun hal itu sudah dibayar melalui sebuah hukuman penjara atau denda, atau beragam bentuk hukuman lain. Oleh karena itu, tak ada hak sekalipun bagi orang lain untuk mengumbarnya ke hadapan publik. Ini merupakan perbuatan dosa dan berbahaya.

Bapa Fransiskus mengatakan bahwa salah satu hal yang dapat mengakibatkan sebuah kerusakan besar pada media informasi adalah apa yang disebut sebagai disinformasi, yakni sebuah upaya menghadapi situasi apapun namun hanya dengan mengatakan sebagian dari kebenaran, sementara sebagian kebenaran yang lain dihilangkan. Itulah yang disebut sebagai disinformasi. Karena media hanya memberikan separuh dari kebenaran saja dan mengabaikan kebenaran yang lain, maka informasi yang diberikan itu tidak dapat dijadikan sebagai landasan untuk mengambil keputusan serius apapun. Dalam produksi disinformasi itu, media mengarahkan opini masyarakat hanya kepada satu arah dengan mengabaikan bagian lain yang penting dari kebenaran.

Bapa Fransiskus juga menegaskan bahwa memang media itu harus sangat jelas dan transparan, namun jangan sampai media itu menjadi mangsa dari penyakit coprophilia, yakni sebuah penyakit yang intinya selalu ingin menyampaikan skandal atau menyampaikan hal-hal yang buruk, meskipun hal-hal buruk itu memang terjadi dan benar. Apabila orang sudah memiliki kecenderungan yang sedemikian hebat terhadap penyakit coprophagia, maka ini sudah sangat berbahaya dan seumpama orang yang cenderung mengonsumsi kotoran manusia.

Apa yang diprihatinkan oleh Bapa Fransiskus itu memang pantas mendapatkan perhatian serius. Dunia kita lebih membutuhkan kisah-kisah yang membangkitkan energi positif bagi pertumbuhan pribadi, berkembangnya kasih sayang, meluasnya persahabatan, tersebarnya semangat untuk saling berbagi dan saling mendukung, berseminya semangat perdamaian di antara manusia, terjaminnya rasa aman setiap orang untuk menghadirkan dirinya dengan seluruh latar belakang yang dimilikiinya, sehingga pada akhirnya menumbuhkan gaya hidup yang penuh semangat perdamaian dan keadilan. Media dan alat komunikasi memiliki tanggung jawab besar untuk menciptakan tanah subur bagi semua hal itu dengan menyajikan informasi, berita dan kisa-kisah yang positif dan sehat, serta meneguhkan kehidupan bersama.

Salah satu contoh yang baik dapat diteladani dari kaum remaja di Indonesia. Di tengah membanjirnya berita hoax dan ujaran kebencian melalui media sosial, Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) Sekolah Menengah Atas Kolese Kanisius Jakarta dan Sekolah Menengah Atas Al-Izhar Pondok Labu, Jakarta Selatan, bergandengan tangan untuk bersama-sama mengampanyekan sebuah gerakan di media sosial bertajuk Ragamuda Pluralisme. Para siswa dari SMA Kanisius yang merupakan Yayasan Pendidikan Katolik dan dari SMA Al-Izhar yang merupakan Yayasan Pendidikan Islam di Jakarta, bekerjasama mengajak seluruh anak muda agar tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu SARA dan sebaliknya justru berupaya menjadi agen yang menyampaikan pesan toleransi, keberagaman, pluralisme, perdamaian dan Bhinneka Tunggal Ika.

“Kami ingin menunjukkan bahwa meskipun kami berbeda, kami bersama bisa menyuarakan semangat pluralisme,” kata Kevano, ketua OSIS SMA Kolese Kanisius Jakarta. Sementara Indratono dari SMA Al-Izhar menyatakan,”Bahwa kami berbeda itu sudah merupakan fakta, dan justru kami bisa saling memperkaya dalam kerjasama kami ini. Itulah juga yang kami harapkan dengan anak-anak muda yang lain untuk memperkukuh toleransi, menjaga persatuan bangsa di tengah banyaknya konflik di masyarakat.”

Pantas disyukuri bahwa masih ada banyak anak-anak muda yang memiliki pilihan nilai dan komitmen sebagaimana diharapkan oleh Bapa Fransiskus. Anak-anak muda ini memberikan teladan bahwa media komunikasi maupun media sosial perlu memperbesar peran dalam membangun opini yang positif di tengah masyarakat agar menumbuhkan perdamaian, belarasa, kasing sayang, saling hormat, dan solidaritas. Mengonsumsi dan memproduksi informasi yang sehat akan melahirkan pribadi-pribadi yang sehat dan penuh martabat. ***


(Indro Suprobo)