Monday, June 23, 2014

Pencari Suaka Anak di Indonesia Menghadapi Kerentanan

Oleh Indro Suprobo



Hamid baru berumur 16 tahun. Saat berumur 15 tahun, ia meninggalkan Afghanistan tanpa didampingi orang dewasa. Ia selalu dihantui rasa takut sejak ayahnya diculik oleh sekelompok orang bersenjata di rumahnya. Sampai saat ini ia tak tahu bagaimana nasib ayahnya. Ia masih sangat takut untuk bercerita tentang ayahnya.

Hanya dengan berbekal uang sejumlah tiga jutaan, agen mengatur perjalanannnya untuk meninggalkan Afghanistan melalui Pakistan menuju India dan tiba di Malaysia dengan pesawat. Dari Malaysia ia naik kapal menuju wilayah Indonesia. Dari suatu daerah yang tak diketahuinya, ia naik bus selama satu malam melalui daerah berhutan-hutan dan tiba di Jakarta. Setelah menginap semalam di Jakarta, ia diantar ke pinggiran Jakarta oleh seorang agen.

Tak seorang pun ia kenal. Untunglah, ada satu orang teman yang dikenalnya dalam perjalanan mau berbagi dengannya untuk menyewa sebuah kamar kos. Namun itu tidak berlangsung lama. Bulan berikutnya mereka harus berpisah karena Hamid tak mampu lagi ikut membayar iuran sewa kamar kos. Ia tak punya tempat tinggal.

“Selama empat hari saya tidur di teras rumah orang. Di teras rumah itu ada sofa tua yang sudah rusak. Lumayan, masih bisa buat tidur. Selama empat hari itu, saya hanya minum air dari keran karena sama sekali tak punya uang untuk membeli makanan sedikitpun. Saya terpaksa hanya minum air keran untuk bertahan hidup,” katanya.

Ternyata, karena hanya minum air keran selama empat hari demi bertahan hidup, Hamid menderita sakit diare tanpa henti. Tubuhnya menjadi semakin kurus dan kelihatan sangat lelah. 

Mengetahui hal itu, beberapa orang Afghanistan yang tinggal di daerah itu menampung Hamid di rumah kontrakan mereka. Karena tak memiliki uang untuk membayar iuran sewa rumah, Hamid terpaksa menggantinya dengan cara bekerja bagi orang-orang yang telah membantunya. Setiap hari ia bertugas mencuci baju, mengepel lantai, membuat makanan tiga kali sehari, dan menyiapkan teh jika ada tamu yang berkunjung. 

Bagi anak seumur dia, pekerjaan rutin seperti itu tentu sangat melelahkan dan terasa berat. Ia menjadi seperti pekerja rumah tangga, padahal usianya masih tergolong sebagai anak-anak. 

“Saya capek sekali. Karena itu kadang-kadang saya tidak bisa membantu mencuci baju. Akibatnya, saya akan dimarahi,” keluhnya. 

Setelah ditampung selama sebulan oleh orang-orang yang membantunya, ia terancam tak memiliki tempat tinggal lagi. Orang-orang yang membantunya terpaksa pindah dan mencari kamar kontrakan yang lebih kecil karena mereka juga mengalami kesulitan keuangan. 
“Sebenarnya kami tidak tega, tetapi kami juga tidak dapat berbuat banyak. Kami mengalami masalah keuangan yang sama. Kami akan pergi dan mencari tempat yang lebih murah,” kata mereka yang telah menampung Hamid selama ini. 

Sebagai anak yang hidup sendirian di negeri asing, ia sering merindukan ibu yang ditinggalkannya di sebuah desa di Afghanistan. Ketika ditanya tentang ibunya, ia hanya bisa menangis dan tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Ia sebenarnya sangat ingin bisa berkomunikasi dengan ibunya, namun tak memiliki uang sedikit pun untuk membayar biaya telepon. Ketika JRS meminjaminya telepon seluler untuk menghubungi ibunya, ia menangis gembira meskipun ibunya tak mengangkat teleponnya.

“Saya senang meskipun ibu belum mengangkat telepon saya. Paling tidak saya tahu bahwa nomor telepon ibu masih aktif. Terima kasih,” katanya sambil berlinang air mata. Nada tunggu telepon ibunya, sudah cukup untuk membangkitkan harapannya. 

Kekeliruan pencatatan data kelahirannya di UNHCR menambah kesulitannya. Semestinya ia baru berusia 16 tahun saat ini, tetapi di UNHCR ia tercatat berusia 26 tahun sehingga tidak termasuk dalam kategori Pencari Suaka Anak-anak Tanpa Pendamping (Unaccompanied Minor) yang termasuk dalam kelompok rentan. Itu terjadi karena sesama Pencari Suaka yang membantunya di kantor UNHCR keliru menyebutkan tahun kelahirannya. 

Hamid adalah satu dari antara ratusan anak tanpa pendamping yang mencari suaka di Indonesia. Mereka menjadi rentan karena sewaktu-waktu dapat ditangkap dan ditahan di Rumah Detensi Imigrasi. Seperti Hamid, mereka bisa telantar dan hidup di jalanan tanpa ada lembaga negara yang bertanggung jawab atas perwalian bagi mereka. Selain itu, tidak ada yang dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Seringkali, mereka juga harus kehilangan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tanpa pendidikan dan harapan bagi masa depan. 


Sementara ini, Hamid telah dibantu oleh JRS untuk mendapatkan tempat tinggal sementara bersama para Pencari Suaka rentan lainnya. Ia juga sudah mendapatkan perawatan kesehatan yang baik sehingga kondisinya sudah semakin sehat. Jaringan Suaka, yakni sebuah kelompok yang terdiri dari para individu maupun lembaga yang menyediakan bantuan hukum dan advokasi secara gratis kepada Pencari Suaka di Indonesia, sedang berusaha membantu Hamid agar segera mendapatkan perlindungan sesuai hukum internasional dalam proses bersama UNHCR di Indonesia. ***

Indro Suprobo
Publikasi awal di JRS Indonesia