Oleh Indro Suprobo
Dua pertanyaan serius yang diajukan oleh manusia jaman
ini terkait kisah Abraham yang mengorbankan anak terkasihnya adalah pertama,
bagaimana mungkin Allah yang menyampaikan perintah jangan membunuh kepada Musa
dan keturunannya justru memerintahkan pembunuhan sebagai korban bakaran? Kedua,
bagaimana mungkin Abraham dan anak terkasihnya secara sangat patuh berusaha
menjalankan perintah itu tanpa kritik maupun protes sama sekali?
Kisah ini terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama,
terutama kitab Kejadian 22:1-19 dengan judul perikop “Kepercayaan Abraham
diuji”. Kutipan lengkap narasi tersebut adalah sebagai berikut:
22:1 Setelah semuanya itu Allah mencoba Abraham. Ia berfirman kepadanya:
"Abraham," lalu sahutnya: "Ya, Tuhan." 22:2 Firman-Nya:
"Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak,
pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu."
22:3 Keesokan harinya pagi-pagi bangunlah Abraham, ia memasang pelana keledainya
dan memanggil dua orang bujangnya beserta Ishak, anaknya; ia membelah juga kayu
untuk korban bakaran itu, lalu berangkatlah ia dan pergi ke tempat yang
dikatakan Allah kepadanya. 22:4 Ketika pada hari ketiga Abraham melayangkan
pandangnya, kelihatanlah kepadanya tempat itu dari jauh. 22:5 Kata Abraham
kepada kedua bujangnya itu: "Tinggallah kamu di sini dengan keledai ini;
aku beserta anak ini akan pergi ke sana; kami akan sembahyang, sesudah itu kami
kembali kepadamu." 22:6 Lalu Abraham mengambil kayu untuk korban bakaran
itu dan memikulkannya ke atas bahu Ishak, anaknya, sedang di tangannya
dibawanya api dan pisau. Demikianlah keduanya berjalan bersama-sama. 22:7 Lalu
berkatalah Ishak kepada Abraham, ayahnya: "Bapa." Sahut Abraham:
"Ya, anakku." Bertanyalah ia: "Di sini sudah ada api dan kayu,
tetapi di manakah anak domba untuk korban bakaran itu?" 22:8 Sahut Abraham:
"Allah yang akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagi-Nya,
anakku." Demikianlah keduanya berjalan bersama-sama. 22:9 Sampailah mereka
ke tempat yang dikatakan Allah kepadanya. Lalu Abraham mendirikan mezbah di
situ, disusunnyalah kayu, diikatnya Ishak, anaknya itu, dan diletakkannya di
mezbah itu, di atas kayu api. 22:10 Sesudah itu Abraham mengulurkan tangannya,
lalu mengambil pisau untuk menyembelih anaknya. 22:11 Tetapi berserulah
Malaikat TUHAN dari langit kepadanya: "Abraham, Abraham. " Sahutnya:
"Ya, Tuhan." 22:12 Lalu Ia berfirman: "Jangan bunuh anak itu dan
jangan kauapa-apakan dia, sebab telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut
akan Allah dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku." 22:13 Lalu Abraham
menoleh dan melihat seekor domba jantan di belakangnya, yang tanduknya tersangkut
dalam belukar. Abraham mengambil domba itu, lalu mengorbankannya sebagai korban
bakaran pengganti anaknya. 22:14 Dan Abraham menamai tempat itu: "TUHAN
menyediakan"; sebab itu sampai sekarang dikatakan orang: "Di atas gunung
TUHAN, akan disediakan." 22:15 Untuk kedua kalinya berserulah Malaikat
TUHAN dari langit kepada Abraham, 22:16 kata-Nya: "Aku bersumpah demi
diri-Ku sendiri--demikianlah firman TUHAN--:Karena engkau telah berbuat
demikian, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal
kepada-Ku, 22:17 maka Aku akan memberkati engkau berlimpah-limpah dan membuat
keturunanmu sangat banyak seperti bintang di langit dan seperti pasir di tepi
laut, dan keturunanmu itu akan menduduki kota-kota musuhnya. 22:18 Oleh
keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau
mendengarkan firman-Ku ." 22:19 Kemudian kembalilah Abraham kepada kedua
bujangnya, dan mereka bersama-sama berangkat ke Bersyeba; dan Abraham tinggal
di Bersyeba.
Konteks dan
Waktu Penulisan
Meskipun masa hidup Abraham diperkirakan antara tahun
2165 – 1990 sebelum Masehi, mayoritas penafsir dan pengkaji kitab suci
mengidentifikasi bahwa narasi tentang pengorbanan Abraham ini ditulis oleh
tradisi para Imam (Priestly Tradition atau Priester Codex) yang disingkat dengan
tradisi P, pada masa sekitar tahun 400-an sebelum Masehi, yakni paska
pembuangan bangsa Israel ke Babilonia. Meskipun ditulis pada masa yang jauh
lebih muda, namun narasi ini ditempatkan pada awal kisah sejarah bangsa Israel
sebagai bagian dari narasi besar tentang panggilan Abraham dari Ur Kasdim dan
kisah tentang Sara dan Hagar (atau Siti Hajar dalam tradisi Muslim), sehingga
narasi itu tampak terjadi pada masa sejarah pembentukan bangsa Israel.
Periode paska pembungan ke Babilonia merupakan periode
krisis yang berat bagi bangsa Israel baik dari sisi politik, ideologis, maupun
mental dan religiositas. Pengalaman pembuangan adalah pengalaman kehancuran
total sebagai bangsa sekaligus kehancuran dalam banyak pandangan dan keyakinan
keagamaan. Kehancuran kenisah atau Bait Allah (Baitullah) yang diyakini sebagai pusat kehadiran Yahweh dan pusat
kekuatan bangsa dalam menghadapi musuh-musuh politik, merupakan pengalaman
krisis religiositas yang mendalam. Jika tempat kediaman Yahweh itu hancur
lebur, lalu di manakah kehadiran Yahweh itu? Apakah Ia telah meninggalkan
bangsa Israel? Apakah Ia yang dianggap sebagai sesembahan utama dan sumber
kekuatan bangsa juga telah terkalahkan oleh dewa-dewi sesembahan para musuh?
Jika tidak demikian mengapa Ia hancur? Jika Yahweh telah menjanjikan kemakmuran
dan pertolongan kepada bangsa, mengapa bangsa Israel justru tercerai berai dan
bahkan dibuang di negeri asing dan hidup sebagai budak? Itulah pengalaman
krisis fundamental yang dialami oleh Israel sebagai bangsa pada masa itu.
Akibatnya, pada masa ketika mereka boleh kembali ke negeri asal mereka,
dibutuhkan sesuatu yang dapat kembali meneguhkan identitas kebangsaan dan
religiositas mereka sebagai orang-orang yang dipilih dan mendapatkan jaminan
perlindungan serta beragam jaminan lain dari Yahweh, Allah sesembahan Israel.
Dalam masa krisis identitas politik dan religius
semacam itu, sebagian orang Israel telah mengadopsi atau bahkan melibatkan diri
dalam ritual-ritual bangsa-bangsa tetangga demi mendapatkan keselamatan,
ketenangan, atau kemakmuran sebagaimana diyakini oleh agama-agama tradisional
bangsa-bangsa tetangga di Babilonia. Salah satu bentuk ritual keagamaan yang
dijalankan adalah pengorbanan manusia demi mendapatkan keselamatan. Ritual
semacam ini tercermin dalam teks kitab nabi Yeremia 7: 30-31 sebagai berikut:
7:30 Sungguh, orang Yehuda telah melakukan apa yang jahat di mata-Ku,
demikianlah firman TUHAN, telah menempatkan dewa-dewa mereka yang menjijikkan
di rumah yang atasnya nama-Ku diserukan ini untuk menajiskannya. 7:31 Mereka
telah mendirikan bukit pengorbanan yang bernama Tofet di Lembah Ben-Hinom untuk
membakar anak-anaknya lelaki dan perempuan, suatu hal yang tidak pernah
Kuperintahkan dan yang tidak pernah timbul dalam hati-Ku.
Fungsi
Narasi dan Perhatian Tradisi Para Imam
Dalam konteks krisis identitas kebangsaan dan
religiositas semacam itulah narasi tentang pengorbanan Abraham ini ditulis oleh
tradisi para Imam. Narasi yang ditulis pada tahun 400-an sebelum Masehi ini
tentu saja tidak mencerminkan fakta historis tentang apa yang dilakukan oleh
Abraham, melainkan lebih merupakan narasi yang bersifat teologis, metaforis,
ideologis dan edukatif. Narasi ini berfungsi sebagai upaya untuk meneguhkan
kembali identitas dan karakter kebangsaan maupun religius bangsa Israel dalam
menghadapi krisis fundamental. Identitas dan katakter itu sudah selayaknya
dijangkarkan pada figur Abraham sebagai tokoh besar dan utama pendiri bangsa
yang pada generasi berikutnya diteguhkan dan dilanjutkan oleh Musa.
Karena penulis narasi ini adalah tradisi Para Imam,
sangatlah masuk akal jika perhatian utamanya diarahkan kepada persoalan ibadah
dan ritual serta hukum. Maka narasi ini berkaitan erat dengan hal-hal ritual
dan keagamaan, yakni ritual pengorbanan, terutama jenis korban bakaran.
Perintah Allah kepada Abraham untuk mempersembahkan anak terkasihnya sebagai
korban bakaran, sepantasnya dibaca sebagai cerminan sekaligus sindiran tentang
praktik mengorbankan anak kepada dewa-dewi agama-agama asing yang lazim
dilakukan oleh sebagian orang Israel pada masa itu sebagaimana terefleksikan
dalam teks Yeremia 7:30-31. Karena ayat ini bersifat sebagai sindiran dan
cerminan dari praksis masyarakat masa itu, sangat dipahami pula bahwa dalam
ayat itu Abraham menunjukkan ketaatan mutlak tanpa protes sedikitpun, karena
bagi tradisi para Imam, sikap kritis itu tidak menjadi perhatian. Perhatian
utamanya adalah menyindir dan mencerminkan praksis serta kognisi sosial tentang
pengorbanan manusia.
Sebagai bentuk sindiran, perintah Allah kepada Abraham
dalam Kej 22:2 pada akhirnya ditanggapi dengan perintah malaikat kepada Abraham
untuk tidak melakukan apapun kepada anak terkasihnya (Kej 22:12). Kesatuan
gagasan antara perintah untuk mempersembahkan anak pada Kej 22:2 dan perintah
malaikat untuk tidak membunuh anak pada Kej 22:12 membentuk sebuah pesan kritis
dan edukatif bahwa orang-orang Israel yang benar-benar percaya dan setia kepada
Allah, sama sekali tak akan pernah melakukan persembahan anak sebagai korban
bakaran sebagaimana lazim dilakukan oleh para penyembah dewa-dewi asing. Pesan
ini diteguhkan dengan rangkaian ayat yang berkaitan yakni Kej 22:8, 13 dan 14.
Secara naratif, jawaban Abraham terhadap pertanyaan
anaknya bahwa Allah yang akan menyediakan anak domba untuk korban (Kej 22:8)
merupakan ayat yang bersifat antisipatif terhadap ayat 13 dan 14. Ayat 14
merupakan penegasan dan puncak dari antisipasi itu yakni bahwa “Allah
benar-benar menyediakan” sehingga tempat dari peristiwa itu disebut sebagai
tempat “Tuhan menyediakan”. Allah telah menyediakan anak domba jantan yang
tanduknya tersangkut di antara belukar.
Dengan demikian, sebagai penegasan identitas di tengah
krisis religius bangsa Israel paska pembuangan Babilonia itu, narasi ini hendak
mengatakan sebuah kritik bahwa bagaimanapun situasi sulit yang dihadapinya,
bangsa Israel hendaknya tetap setia kepada Allah melalui praktik dan tindakan
ibadah sebagaimana telah diwariska oleh nenek moyang sepanjang sejarah dan
tidak diperkenankan melakukan ritual keagamaan berupa pengorbanan anak sebagai
korban bakaran, karena Allah sendiri lebih menghendaki anak domba jantan
sebagai korban bakaran maupun korban persembahan. Sebagai penegasan identitas
di tengah krisis, narasi ini juga hendak menyatakan penegasan bahwa dalam
situasi apapun, orang Israel hendaknya tetap setia kepada Allah karena Allah
adalah pemberi jaminan, Ia adalah “Allah yang menyediakan”. Meskipun perikop
narasi ini diberi judul “Kepercayaan Abraham diuji”, sebenarnya yang menjadi
tema pokok dan pesan utama dari narasi ini adalah keyakinan tentang “Allah yang
menyediakan” atau Allah yang memberikan jaminan dan perlindungan bagi kehidupan
manusia beriman. Maka penulis menilai bahwa Kej 22:14 dalam perikop ini
merupakan ayat sentral dan puncak.
Manusia
Beriman adalah Manusia Berakal
Narasi pengorbanan Abraham sebagaimana tertulis dalam
Kej 22:1-19 ini dengan demikian merupakan narasi yang diproduksi secara
kontekstual oleh tradisi para Imam untuk membangun masyarakat Israel yang
mengedepankan akal dan sikap kritis dalam menghadapi situasi krisis. Cara
berpikir tentang pengalaman krisis, cara menyikapinya dan cara bertindak yang
dipilihnya musti ditata ulang dan dikonstruksi secara lebih jernih dan
bertanggung jawab. Bagi tradisi para Imam, membunuh anak sebagai korban
persembahan adalah tindakan yang sangat tidak masuk akal dan tidak bertanggung
jawab. Persembahan korban bakaran dan korban sesembahan hendaknya mewarisi
tradisi leluhur yakni berupa anak domba jantan karena selain dapat memenuhi
fungsi religius, persembahan itu juga dapat berfungsi sosial yakni menjadi
sarana untuk berbagi dengan orang-orang di sekitar, terutama mereka yang kurang
beruntung. Menyantap daging korban bersama-sama dengan seluruh komunitas juga
merupakan wujud dari ekspresi identitas kebangsaan dan religius orang Israel
pada masa itu. Diperlukan pilihan-pilihan yang lebih konstruktif dan produktif
untuk menyusun kembali identitas kebangsaan dan religius bangsa Israel. Perlu
meneguhkan kembali keyakinan bahwa mereka adalah anak turun Abraham yang tetap
mewarisi panggilan dan pilihan oleh Allah untuk menghadirkan diri sebagai
bangsa yang berkualitas, setia dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang telah
disemai dan dikukuhkan dalam hukum Musa. Sepuluh perintah Allah, secara sosial
adalah temuan nilai yang sangat mendasar sepanjang perjalanan sejarah sebagai
bangsa dan pantas untuk dijagai sertai dikembangkan dalam kehidupan.
Dari penelusuran ini tampak jelas bahwa narasi tentang
pengorbanan Abraham sebagaimana tertulis dalam kitab Kejadian itu merupakan
sebuah rumusan ideologis, teologis, metaforis dan edukatif dalam ranah
suprastruktur yang konstruksinya sangat dipengaruhi atau ditentukan oleh basis
materialnya, yakni pengalaman krisis fundamental yang dihadapi oleh masyarakat
Israel kuno pada masa setelah pembuangan Babilonia. Dalam konteks itu, narasi
pengorbanan Abraham
yang ditulis oleh tradisi Para Imam dengan jarak kurang lebih 1590 tahun
setelah masa hidup Abraham ini tidak mencerminkan fakta historis, melainkan lebih
menekankan gagasan teologis, ideologis, metaforis dan edukatif. Dalam konteks
itu pula, perdebatan tentang siapa yang dipersembahkan, Iskak atau Ismail,
menjadi sangat tidak relevan karena selain tidak mencerminkan fakta historis,
penggunaan narasi itu sebagai bahan untuk menegaskan identitas komunitas akan
sangat tergantung kepada konteks audiens yang dituju. Yang lebih utama
diperhatikan adalah pesan bahwa menjadi manusia beriman semestinya dijalankan
dengan menjadi manusia yang lebih berakal dan bersikap kritis. Ini membutuhkan
latihan terus-menerus. ***