Bagi Soekarno dan Mohammad Hatta, serta kaum
pergerakan pada masanya, imperialisme dan kolonialisme adalah anak kandung dari
kapitalisme yang sangat menyengsarakan banyak warga bangsa di seluruh dunia.
Bagi kaum pergerakan pada masa itu, termasuk bagi Soekarno dan Mohammad Hatta,
untuk dapat mendorong semangat dan cita-cita mencapai kemerdekaan sekaligus
melawan imperialisme dan kolonialisme itu, tidak ada pilihan ideologi lain
kecuali sosialisme. Oleh karena itu, kaum pergerakan pada masa itu sangat giat
dan bertekun untuk membaca, mempelajari dan menghidupkan prinsip-prinsip
sosialisme itu di dalam peri kehidupan masyarakat. Tidak mengherankan jika
setelah berhasil mencapai kemerdekaan pada tahun 1945, dengan beberapa
kelemahan dan kesulitan yang masih tetap dihadapi sebagai akibat dari hasil
Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949 di mana Indonesia masih harus menerima
kehadiran perusahaan asing, dan mewarisi hutang Pemerintah Hindia Belanda kepada
Amerika, Mohammad Hatta menulis sebuah buku berjudul “Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia” dan diterbitkan oleh
Penerbit Djambatan pada tahun 1953. Orientasi ekonomi politik para pendiri
bangsa adalah terbangunnya sebuah negeri dengan watak dasar sosialis karena
banyaknya kecocokan, salah satunya adalah watak gotong royong. Pancasila dan
UUD 1945 yang dirumuskan sebagai landasan kehidupan berbangsa itupun merupakan
manifestasi dari watak dasar sosialisme yang secara nyata tercermin dalam lima
sila dan secara sangat tegas terumuskan dalam Pasal 33 UUD 1945.
Watak sosialisme
sebagai semangat dasar perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme yang
menyengsarakan banyak warga bangsa itu tetap hidup dan semakin dikembangkan
termasuk dalam membangun relasi dan aliansi dengan negara-negara yang masih
berada dalam ancaman imperialisme dan kolonialisme. Hal ini terwujud dalam
perhelatan Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung, yang melahirkan citra
tentang gerakan bangsa-bangsa penentang imperialisme dan kolonialisme dengan
istilah “The Emerging Forces”. Tentu saja, gerakan ini dianggap sebagai ancaman
bagi negara-negara kapitalis yang telah mendapatkan keuntungan besar dari
praktik kolonialisme selama ini. Indonesia menjadi salah satu negara yang
mengancam dan pantas untuk dijadikan target “proses pelumpuhan”. The Emerging
Forces ini harus dilumpuhkan dan ditundukkan menjadi “market” bagi seluruh
produk kapitalisme baik secara material maupun secara ideologis.
Proses pelumpuhan secara ideologis ini
dilakukan dengan banyak cara, salah satunya adalah dengan membaca peta kekuatan
masyarakat Indonesia, menyelami basis suprastruktur ideologis yang membentuk
kerangka berpikir dan menentukan pilihan tindakan masyarakat Indonesia. Dengan
demikian, peta-peta dan cara pembacaan itu akan membantu untuk menemukan
strategi
pelumpuhannya yang efektif. Jeanne S. Mintz, adalah salah seorang yang
memiliki peran penting dalam proses itu. Ia adalah tenaga ahli di Pentagon dan
seorang analis politik-ekonomi bagi pemerintah Hindia Belanda di Pengasingan,
dan tenaga ahli senior di Special Operations Research Office di Washington. Ia berhasil membuat peta kekuatan dan
kerangka ideologis masyarakat Indonesia dan pada akhirnya tertuang dalam sebuah
buku yang diterbitkan pada bulan Januari tahun 1965, berjudul “Mohammed, Marx and Marhaen. The Root of
Indonesian Socialism”. Delapan bulan setelah penerbitan buku ini, kekuatan
sosialisme di Indonesia benar-benar dilumpuhkan dan dikuburkan baik melalui
aparatus ideologis maupun melalui kekerasan, yakni dalam tragedi Oktober 1965,
yang menorehkan trauma bagi banyak generasi kemudian.
Setelah penghancuran dan penguburan seluruh
kekuatan sosialisme di Indonesia pada tahun 1965, sejak 1967, seluruh aparatus
ideologis maupun aparatus negara di Indonesia bekerja melancarkan jalan bagi
kapitalisme dan neokolonialisme, sampai sekarang. Sejak itu, seluruh proyek
ekonomi Indonesia menggunakan kerangka dasar pemikiran ekonom Walt Whitman
Rostow yang terkenal dengan bukunya yang berjudul “The Stage of Economic Growth, a non-Communist Manifesto” dan
terbit pertama kali pada tahun 1960, diterbitkan oleh Cambridge University
Press. Tak mengherankan jika seluruh tahapan pembangunan yang disebut sebagai
Repelita dan Pelita, seluruhnya menggunakan kerangka berpikir tentang tahap
pertumbuhan ekonomi Rostow ini.
Sejak itu, hampir
di seluruh universitas di Indonesia, dikembangkan ilmu-ilmu ekonomi yang
sejalan dengan ideologi kapitalisme, dalam beragam bentuk dan cabangnya,
disertai dengan proses lanjutan penghancuran gagasan sosialisme melalui segala
macam penanaman stigma terhadapnya. Maka banyak kebijakan negara yang
diproduksi untuk mengabdi bagi kepentingan itu. Tak ketinggalan, diproduksi
pula beragam ilmu sosial lain yang menjadi aparatus ideologis bagi kepentingan
itu. Bahkan sebenarnya, ekonomi yang diajarkan di universitas-universitas di
Indonesia saat ini boleh disebut bukan sebagai ilmu, melainkan sebagai
propaganda neokolonialisme. Propaganda ekonomi neokolonial itu bahkan sudah
sampai pada taraf melahirkan “radikalisme” dan “fundamentalisme”, sudah hampir
menjadi sama dengan agama. Akibatnya, ketika Indonesia meratifikasi kovenan HAM
ekonomi, sosial dan budaya (ekosob), di samping HAM sipil dan politik, seorang
ekonom internasional menyatakan bahwa “hak asasi manusia di bidang ekonomi itu
tidak ada, karena hak asasi manusia di bidang ekonomi itu adalah produk
orang-orang komunis”.
Oleh karena itu,
sejak berkuasanya Soeharto, sistem ekonomi yang dijalankan di Indonesia adalah
sistem ekonomi yang inkonstitusional karena tidak sesuai lagi dengan amanat
konstitusi Indonesia, terutama pasal 33 UUD 1945.
Proses penghancuran
dan penguburan sosialisme di Indonesia melalui kekerasan tahun 1965,
mengakibatkan Indonesia tidak lagi memiliki aktor perubahan yang berasal dari
rakyat itu sendiri. Kekuatan-kekuatan gerakan rakyat yang mencoba berpikir
tentang perubahan dan alternatif sudah akan langsung dihadapi dengan beragam
stigma dan bahkan kekerasan. Akibat lanjutnya adalah semakin berkurangnya
pemahaman generasi muda tentang sejarah masa lalu. Selain karena berhadapan
dengan aparatus negara maupun aparatus ideologis, segala bentuk informasi
sejarah telah berada dalam kontrol kekuasaan.
Dalam situasi hidup
di tengah-tengah neokolonialisme semacam ini, yang harus dilakukan adalah
merawat gagasan-gagasan dasar yang telah diusung oleh kaum pergerakan dan para
pendiri bangsa. Membaca gagasan-gagasan itu dari karya-karya mereka pada masa
lalu dan dari seluruh bacaan pendukung yang tersedia pada masa kini menjadi hal
yang sangat penting. Semuanya itu dilakukan hanya untuk satu tujuan yakni
menegakkan konstitusi, yakni menegakkan prinsip-prinsip Pancasila dan UUD 1945
yang telah dirumuskan dan diperjuangkan oleh kaum pergerakan dan para pendiri
bangsa ini dalam nafas dan watak sosialisme Indonesia, demi mencapai cita-cita
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam keyakinan kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan
Kerakyatan yang dipimpim oleh hikmat/kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Pekerjaan ini tentu
akan mengalami kesulitan karena yang terus akan dihadapi adalah aparatus
ideologis kapitalis-neokolonial yang telah sedemikian kuat, dan tentu saja
kekerasan yang digunakannya. Ini akan menjadi pekerjaan yang tidak ringan
karena pada saat ini, Indonesia sudah bukan lagi menjadi salah satu “the
emerging forces” sebagaimana dicita-citakan dan dirintis oleh Soekarno dan
Hatta, melainkan cenderung menjadi salah satu “the emerging market” bagi
negara-negara kapitalis besar dan kuat. Seluruh perilaku ideologis maupun
ekonomisnya cenderung mengarah kepada apa yang didakwahkan oleh W.W. Rostow,
yakni “the mass consumption”.
Catatan reflektif:
Yang pantas
diwaspadai bersama oleh bangsa Indonesia saat ini adalah selalu munculnya
pola-pola adu domba menggunakan peta-peta yang telah dituliskan oleh Jeanne S.
Mintz, yakni adu domba antara kekuatan “Mohammad” atau Islam, “Karl Marx” atau
sosialisme, dan “Marhaen” atau kelompok miskin pedesaan. Adu domba itu juga
dapat diperluas dalam kerangka “antar agama”, “antar etnis”, dan “antar kelas”.
Seluruh produksi wacana tentang “kebangkitan komunisme”, “bahaya
kristenisasi/islamisasi”, “pribumi/non-pribumi” adalah sebuah konstruksi
tentang nalar konfliktual untuk memperlemah “persatuan” masyarakat Indonesia
karena neokolonialisme itu terlalu kuat dan terlalu dasyat untuk dihadapi jika
tanpa “persatuan” yang merupakan “the emerging force”. Apa yang dimaksud dengan
“the emerging force” ini tidak hanya dalam manifestasi material berupa kekuatan
militer, persenjataan dsb, melainkan juga dalam manifestasi
ideologis-kulturalnya yakni “cara berpikir dan pemahaman mendasar tentang
cita-cita sosialisme Indonesia” sebagaimana secara gamblang dituliskan oleh Mohammad
Hatta dan secara final telah tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945.
Pengembangan
sosialisme Indonesia itu harus dipahami sebagai sesuatu yang “sama sekali tidak sama” dengan
bangkitnya komunisme, sebagaimana selalu dimunculkan sebagai isu politik terutama
menjelang pemilu atau menjelang proses klarifikasi atas tragedi kemanusiaan
terbesar 1965. Karena sosialisme Indonesia secara final telah termanifestasi
dalam landasan ideologis dan landasan konstitusional, Pancasila dan UUD 1945. Dalam
kerangka itu pula, seluruh studi/kajian/diskusi filosofis, sosial, kebudayaan,
maupun ekonomis tentang tema-tema sosialisme pantas ditempatkan sebagai upaya
untuk menggali spirit dasar Pancasila dan UUD 1945 demi mencapai cita-cita
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tidak dicurigai sebagai
upaya menggulingkan dasar negara dan landasan konstitusional bangsa karena
seluruh landasan itu telah dibangun oleh kaum pergerakan dan para pendiri
bangsa dengan darah dan air mata.
Pada saat ini,
telah banyak berkembang ilmu-ilmu sosial kritis yang berlandaskan pada kerangka
pemikiran Marx disertai dengan sikap kritis dan inovasi kontekstual yang sangat
bermanfaat bagi pengembangan sikap kritis terhadap cara bekerjanya ideologi kapitalisme
dan neoliberalisme di dalam cara berpikir masyarakat. Ilmu-ilmu itu seringkali
disebut sebagai post-marxis maupun post-strukturalis. Michel Foucault, Pierre Bordieux, Derrida, Antonio Gramsci, adalah beberapa pemikir yang dapat disebut di antaranya. Semuanya menyediakan sikap kritis untuk membongkar cara bekerjanya ideologi dominan di dalam struktur ketidaksadaran manusia. Dalam ranah dunia pendidikan, ada juga Paulo Freire yang memberikan wawasan tentang filsafat manusia, konsep arkeologi kesadaran manusia, dan pendidikan sebagai proses politik. Mempelajari ilmu-ilmu
itu, dipadukan dengan spiritualitas agama-agama, akan sangat membantu
masyarakat untuk “membebaskan diri” dari belenggu neokolonialisme “sejak dalam
pikiran”. ***
(Indro Suprobo)
No comments:
Post a Comment