Setelah peristiwa penyerangan
dan teror Gereja Katolik Bedog, Sleman, ada satu peristiwa yang mungkin pantas
untuk direnung-renungkan ulang. Peristiwa itu adalah hadirnya Buya Safi’I
Maarif. Sangat pantas untuk dicatat, bahwa Buya hadir dan menjumpai dua subyek
yang berbeda, yakni menjumpai umat katolik yang sedang menerima musibah, dan
menjumpai Suliono, pelaku penyerangan Gereja.
Saat menjumpai umat
katolik yang tertimpa musibah dan saat menjumpai Suliono, Buya merasakan
kesedihan mendalam. “Saya sangat sedih”, begitu ucap Buya sebagaimana dikutip
oleh beberapa media. Ini adalah kesedihan mendalam yang mengalir dari hati dan
pikiran seorang pecinta damai. Beliau merasakan kesedihan mendalam menghadapi
kenyataan yang merobek-robek kasih sayang antar manusia.
Kehadiran Buya untuk
mengunjungi umat katolik dan Suliono ini, mengingatkan saya kepada keteladanan
Rasulullah dan Yesus sebagaimana dikisahkan oleh dua tradisi agama, Islam dan
Kristen.
Teladan Muhammad
Tradisi Islam
mengisahkan bahwa Rasulullah Muhammad, pada suatu saat merasakan ada yang tidak
biasa setelah Beliau menjalankan shalat di masjid. Biasanya, setiap keluar dari
masjid setelah selesai shalat, Beliau selalu berjumpa dengan seseorang yang
meludahi Beliau karena ketidaksukaannya. Beliau lalu bertanya-tanya di manakah
orang yang biasanya meludahinya? Maka dengan segera Beliau mendatangi rumah
orang itu. Ternyata, orang yang biasa meludahinya itu sedang menderita sakit.
Dengan segala kasih sayang, persahabatan, dan kemurahan hati, Rasullullah
menjeunguknya, menyapanya, menanyakan keadaannya, dan mendoakannya. Ini adalah teladan kemurahan hati dan kasih
sayang yang tak dapat disangkal oleh siapapun, dari agama manapun. Ini sekaligus
merupakan bukti nyata bahwa seseorang yang benar-benar dekat dan bersujud
kepada Allah, akan dipenuhi oleh kasih sayang dan kemurahan hati yang tiada
terkira. Menggetarkan jiwa siapapun juga. Subhanallah…!
Teladan Yesus
Tradisi Kristen
mengisahkan bahwa Yesus, pada suatu saat menjumpai seorang perempuan yang
dianggap telah berbuat asusila, dan dikerumuni oleh banyak orang untuk dihukum
rajam, dilempari batu. Ketika berada di antara kerumunan itu, Yesus
menghentikan mereka. Orang banyak itu protes dan dengan beragam ungkapan
mengatakan kepada Yesus bahwa perempuan itu telah berbuat dosa dan harus
dilempari batu sampai mati. Yesus tetap berupaya mencegah mereka sampai
akhirnya Ia mengatakan,”Barangsiapa di antara kalian merasa tidak memiliki
dosa, silakan melemparkan batu pertama kali”. Tak satupun dari antara mereka
yang berani melakukannya. Satu demi satu, orang banyak itu pergi meninggalkan
perempuan itu. Setelah semuanya pergi, hanya tinggal Yesus dan perempuan itu,
Yesus berkata,”Lihatlah, tak ada satupun yang melempari engkau dengan batu.
Sekarang, pergilah dan jangan berbuat dosa lagi”.
Ini juga merupakan
tanda kemurahan hati dari seorang manusia yang sangat dekat dengan Allah. Dalam
kesempatan lain, Yesus menjelaskan alasan mengapa orang harus bermurah hati dan
berkasih sayang kepada sesama. Itu karena “Bapamu yang di surga adalah murah
hati”.
Dalam perasaan sedih
yang sangat dalam atas robeknya kasih sayang antar manusia yang telah
disaksikannya, Buya Syafi’i Maarif mengunjungi Suliyono di Rumah Sakit. Namun,
sekaligus, ia juga mengunjunginya dalam kasih sayang dan kemurahan hati yang
besar. Ia menyapa Suliyono, menanyakan keadaannya, duduk di dekatnya,
barangkali ia juga menjabat tangannya atau menyentuh bahunya, dan
“mendengarkannya”. Ia hadir di hadapan Suliyono sebagai bapak, sebagai orangtua
yang murah hati dan penuh kasih sayang, meskipun hatinya tercabik-cabik oleh
kesedihan mendalam. Ia hadir dalam kesedihan mendalam namun tanpa kemarahan dan
dendam. Ini adalah pengalaman jiwa yang sangat sulit dan mendalam. Dengan kasih
sayang dan kemurahan hatinya, Buya berupaya menggapai inti terdalam dari hati,
pikiran dan kemanusiaan Suliyono sehingga ia bisa mengatakan,”Saya juga membaca
tulisan-tulisan Buya”. Ini sebuah proses perjumpaan hati yang tidak mudah dan
tidak sederhana.
Seseorang yang
mengalami kesedihan mendalam ketika menyaksikan robeknya kasih sayang antar
manusia, adalah seseorang yang memiliki ketegasan tentang nilai-nilai dasar
dalam hidup. Kesedihan mendalam adalah perasaan tercabik-cabik oleh hancurnya
nilai-nilai yang semestinya ditegakkan. Ketika seluruh tubuh dan jiwa
menyatakan “saya sangat sedih”, pada saat itu pula ia sedang menyatakan sikap
tegas tentang nilai dasar yang semestinya tidak dilanggar, salah satunya kasih
sayang.
Dalam refleksi saya,
kehadiran Buya Syafi’i ini adalah cerminan dari kehadiran “Bapa yang murah
hati”, yang senantiasa mendambakan anaknya yang hilang, kembali lagi dalam
pelukan kasih sayangnya. Melihat kehadiran dan kunjungan Buya, saya seperti
melihat kehadiran Muhammad Rasulullah dan Yesus sekaligus, kehadiran
orang-orang yang dekat kepada Allah, dan menjadi teladan bagi jiwa kemanusiaan
kita.
Semoga peristiwa ini,
mengingatkan kita untuk segera menghentikan seluruh proses reproduksi phobia
(ketakutan tanpa alasan) dan prasangka terhadap kelompok lain yang berbeda.
Phobia dan prasangka tak akan menyisakan apapun dalam diri kita kecuali
hilangnya rasa hormat dan kasih sayang kepada sesama. Phobia dan prasangka
hanya bisa disembuhkan dengan lima langkah: mengenali, mengenali, mengenali,
mengenali, dan mengenali yang lain yang berbeda sehingga tumbuh rasa hormat dan
kasih sayang.
Semoga Allah, Sang
Bapa yang Murah Hati, senantiasa menganugerahkan kesehatan, kebahagiaan, dan
rahmat-Nya kepada Buya. Semoga seluruh makhluk bertunduk sujud di hadapan yang
Maha Besar dan Murah Hati……Semoga semakin banyak orang kembali ke pangkuan
kasih sayang dan kemurahan hati satu sama lain.
(Indro Suprobo)
No comments:
Post a Comment