Tuesday, February 13, 2018

Belajar dari Muhammad Rasulullah dan Yesus

Setelah peristiwa penyerangan dan teror Gereja Katolik Bedog, Sleman, ada satu peristiwa yang mungkin pantas untuk direnung-renungkan ulang. Peristiwa itu adalah hadirnya Buya Safi’I Maarif. Sangat pantas untuk dicatat, bahwa Buya hadir dan menjumpai dua subyek yang berbeda, yakni menjumpai umat katolik yang sedang menerima musibah, dan menjumpai Suliono, pelaku penyerangan Gereja.

Saat menjumpai umat katolik yang tertimpa musibah dan saat menjumpai Suliono, Buya merasakan kesedihan mendalam. “Saya sangat sedih”, begitu ucap Buya sebagaimana dikutip oleh beberapa media. Ini adalah kesedihan mendalam yang mengalir dari hati dan pikiran seorang pecinta damai. Beliau merasakan kesedihan mendalam menghadapi kenyataan yang merobek-robek kasih sayang antar manusia.

Kehadiran Buya untuk mengunjungi umat katolik dan Suliono ini, mengingatkan saya kepada keteladanan Rasulullah dan Yesus sebagaimana dikisahkan oleh dua tradisi agama, Islam dan Kristen.

Teladan Muhammad
Tradisi Islam mengisahkan bahwa Rasulullah Muhammad, pada suatu saat merasakan ada yang tidak biasa setelah Beliau menjalankan shalat di masjid. Biasanya, setiap keluar dari masjid setelah selesai shalat, Beliau selalu berjumpa dengan seseorang yang meludahi Beliau karena ketidaksukaannya. Beliau lalu bertanya-tanya di manakah orang yang biasanya meludahinya? Maka dengan segera Beliau mendatangi rumah orang itu. Ternyata, orang yang biasa meludahinya itu sedang menderita sakit. Dengan segala kasih sayang, persahabatan, dan kemurahan hati, Rasullullah menjeunguknya, menyapanya, menanyakan keadaannya, dan mendoakannya.  Ini adalah teladan kemurahan hati dan kasih sayang yang tak dapat disangkal oleh siapapun, dari agama manapun. Ini sekaligus merupakan bukti nyata bahwa seseorang yang benar-benar dekat dan bersujud kepada Allah, akan dipenuhi oleh kasih sayang dan kemurahan hati yang tiada terkira. Menggetarkan jiwa siapapun juga. Subhanallah…!

Teladan Yesus
Tradisi Kristen mengisahkan bahwa Yesus, pada suatu saat menjumpai seorang perempuan yang dianggap telah berbuat asusila, dan dikerumuni oleh banyak orang untuk dihukum rajam, dilempari batu. Ketika berada di antara kerumunan itu, Yesus menghentikan mereka. Orang banyak itu protes dan dengan beragam ungkapan mengatakan kepada Yesus bahwa perempuan itu telah berbuat dosa dan harus dilempari batu sampai mati. Yesus tetap berupaya mencegah mereka sampai akhirnya Ia mengatakan,”Barangsiapa di antara kalian merasa tidak memiliki dosa, silakan melemparkan batu pertama kali”. Tak satupun dari antara mereka yang berani melakukannya. Satu demi satu, orang banyak itu pergi meninggalkan perempuan itu. Setelah semuanya pergi, hanya tinggal Yesus dan perempuan itu, Yesus berkata,”Lihatlah, tak ada satupun yang melempari engkau dengan batu. Sekarang, pergilah dan jangan berbuat dosa lagi”.

Ini juga merupakan tanda kemurahan hati dari seorang manusia yang sangat dekat dengan Allah. Dalam kesempatan lain, Yesus menjelaskan alasan mengapa orang harus bermurah hati dan berkasih sayang kepada sesama. Itu karena “Bapamu yang di surga adalah murah hati”.

Dalam perasaan sedih yang sangat dalam atas robeknya kasih sayang antar manusia yang telah disaksikannya, Buya Syafi’i Maarif mengunjungi Suliyono di Rumah Sakit. Namun, sekaligus, ia juga mengunjunginya dalam kasih sayang dan kemurahan hati yang besar. Ia menyapa Suliyono, menanyakan keadaannya, duduk di dekatnya, barangkali ia juga menjabat tangannya atau menyentuh bahunya, dan “mendengarkannya”. Ia hadir di hadapan Suliyono sebagai bapak, sebagai orangtua yang murah hati dan penuh kasih sayang, meskipun hatinya tercabik-cabik oleh kesedihan mendalam. Ia hadir dalam kesedihan mendalam namun tanpa kemarahan dan dendam. Ini adalah pengalaman jiwa yang sangat sulit dan mendalam. Dengan kasih sayang dan kemurahan hatinya, Buya berupaya menggapai inti terdalam dari hati, pikiran dan kemanusiaan Suliyono sehingga ia bisa mengatakan,”Saya juga membaca tulisan-tulisan Buya”. Ini sebuah proses perjumpaan hati yang tidak mudah dan tidak sederhana.

Seseorang yang mengalami kesedihan mendalam ketika menyaksikan robeknya kasih sayang antar manusia, adalah seseorang yang memiliki ketegasan tentang nilai-nilai dasar dalam hidup. Kesedihan mendalam adalah perasaan tercabik-cabik oleh hancurnya nilai-nilai yang semestinya ditegakkan. Ketika seluruh tubuh dan jiwa menyatakan “saya sangat sedih”, pada saat itu pula ia sedang menyatakan sikap tegas tentang nilai dasar yang semestinya tidak dilanggar, salah satunya kasih sayang.

Dalam refleksi saya, kehadiran Buya Syafi’i ini adalah cerminan dari kehadiran “Bapa yang murah hati”, yang senantiasa mendambakan anaknya yang hilang, kembali lagi dalam pelukan kasih sayangnya. Melihat kehadiran dan kunjungan Buya, saya seperti melihat kehadiran Muhammad Rasulullah dan Yesus sekaligus, kehadiran orang-orang yang dekat kepada Allah, dan menjadi teladan bagi jiwa kemanusiaan kita.

Semoga peristiwa ini, mengingatkan kita untuk segera menghentikan seluruh proses reproduksi phobia (ketakutan tanpa alasan) dan prasangka terhadap kelompok lain yang berbeda. Phobia dan prasangka tak akan menyisakan apapun dalam diri kita kecuali hilangnya rasa hormat dan kasih sayang kepada sesama. Phobia dan prasangka hanya bisa disembuhkan dengan lima langkah: mengenali, mengenali, mengenali, mengenali, dan mengenali yang lain yang berbeda sehingga tumbuh rasa hormat dan kasih sayang.

Semoga Allah, Sang Bapa yang Murah Hati, senantiasa menganugerahkan kesehatan, kebahagiaan, dan rahmat-Nya kepada Buya. Semoga seluruh makhluk bertunduk sujud di hadapan yang Maha Besar dan Murah Hati……Semoga semakin banyak orang kembali ke pangkuan kasih sayang dan kemurahan hati satu sama lain.


(Indro Suprobo)

No comments: