Saturday, June 05, 2021

TWK KPK sebagai Praktik Kekuasaan dan Wacana Kolonial

 oleh Indro Suprobo

TWK di KPK dalam pandangan saya tidak mencerminkan praksis perwujudan nilai-nilai dan prinsip-prinsip wawasan kebangsaan sebagaimana diusung di dalam judulnya. Ini adalah sebenar-benarnya praktik kekuasaan yang dijalankan secara murni dan konsekuen. Mengapa demikian? Karena para penyelenggaranya, tanpa harus menyatakannya secara eksplisit, namun melalui praktik sangat nyata, telah mendaku sebagai satu-satunya otoritas yang memiliki kewenangan untuk menafsirkan, merumuskan, dan menentukan kriteria tentang wawasan kebangsaan tanpa memberikan ruang kepada pihak-pihak lain untuk secara terbuka dan dialogis terlibat di dalamnya. Barangsiapa mendaku sebagai satu-satunya aktor dalam produksi pengetahuan, adalah sebenar-benarnya pihak yang menjalankan kekuasaan. Lebih-lebih, jika produksi pengetahuan itu secara semena-mena meminggirkan pihak lain. 

Dalam konteks itu, TWK adalah sebuah produksi wacana kolonial sekaligus praksisnya yang sekali lagi, murni dan konsekuen. 

Wawasan kebangsaan adalah cara pandang tentang keseluruhan diri, lingkungan dan semua gerak relasional-dinamis yang dihadapinya, dengan mengacu kepada nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang telah disepakati sebagai pandangan hidup berbangsa yang sekaligus menjadi landasan ideologis konstitusionalnya, yakni Pancasila. Merumuskan, menafsirkan, dan menentukan kriteria wawasan itu merupakan hak sekaligus kewajiban setiap individu warga negara yang telah mengikatkan diri kepada pandangan hidup berbangsa itu. Hak dan kewajiban setiap individu warga negara untuk terlibat dalam proses penafsiran, perumusan dan penentuan kriteria tentang wawasan kebangsaan itu, secara gamblang telah dijamin baik di dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab, maupun dalam sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Jaminan atas keterlibatan itu dimaksudkan untuk menjagai dan mencapai apa yang dinyatakan dalam sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Oleh karena itu, pengabaian terhadap hak atas keterlibatan dalam penafsiran, perumusan dan penentuan kriteria tentang wawasan kebangsaan itu, justru secara jelas dan terbuka merupakan pengingkaran paling dalam terhadap nilai wawasan kebangsaan itu, dan merupakan pengabaian terhadap pandangan hidup berbangsa yang justru menjadi landasan fundamentalnya. Boleh dikatakan, praksis ini justru merupakan sebuah contradictio in terminis, sebuah kontradiksi sejak dalam pikiran.

Tak mengherankan jika bahkan mereka yang lolos tes wawancarapun, mengajukan pertanyaan kritis dan gugatan serta ketidaksetujuan atas hasil pelaksanaannya. Tak mengherankan jika ada banyak pihak maupun lembaga yang tetap menunjukan sikap kritis terhadap praktik TWK dan konsekuensi di belakangnya. 


Menjadi semakin jelas bahwa ini merupakan praktik kekuasaan dan bukan perwujudan dari nilai wawasan kebangsaan itu, dapat dicermati dari kebebalan pihak penyelenggara dan sikap tutup telinga terhadap semua suara kritik dan gugatan yang ada di sekitarnya dengan segala rasionalisasi yang dikemukakannya. 

Sekali lagi, ini merupakan produksi wacana kolonial yakni wacana yang dianggap dan seolah-olah mengandung seluruh kebenaran tanpa sikap kritis, namun sebenarnya tetap menyimpan dan menyembunyikan superioritas sekaligus kepentingan yang sangat berpotensi meminggirkan liyan. Ini adalah sebuah proses mendefinisikan orang lain tanpa sedikitpun memberikan ruang bagi orang lain untuk mendefinisikan dirinya sendiri. 

Dalam situasi seperti ini, apa yang dinyatakan oleh pihak-pihak yang mengajukan kritik dan gugatan tampaknya sejalan dengan apa yang diingatkan secara jelas oleh pemikir pasca-kolonial, Gayatri Spivak, saat ia menuliskan "Let subaltern speaks".

Foto: Amnesty Internasional Indonesia, dan poster pelemahan KPK (meminjam dari pameran poster dan diskusi Jogja "Berani Jujur, Pecat", dg kurator Anang Saptoto))