Thursday, September 13, 2007

Genjer-Genjer (Masih) Pating Keleler

Oleh Indro Suprobo 

Yang mau dinyatakan di sini adalah sebuah gugatan terhadap seluruh kebohongan besar dan manipulasi yang telah menyengsarakan ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan anak-anak negeri sendiri. Kebohongan besar itu seluruhnya berpangkal pada apa yang telah dikenal sebagai gerakan tigapuluh september, dan lebih tepatnya adalah gerakan satu oktober tahun seribu sembilan ratus enam puluh lima. Gugatan ini tidak didasari oleh pengalaman afiliasi dengan partai komunis indonesia maupun segala organisasi yang berkaitan dengannya, yang selama puluhan tahun telah diberi stigma sebagai partai dan organisasi berbahaya, melainkan didasari oleh afiliasi dengan empati rasa kemanusiaan sejati sebagai anugerah terbesar kehidupan ini. 

 Harus dinyatakan di sini bahwa gerakan satu oktober tahun seribu sembilan ratus enam puluh lima yang mengakibatkan terbunuhnya para jenderal, yang selanjutnya disebut sebagai pahlawan revolusi, adalah sebuah gerakan sangat terorganisir yang dijalankan oleh para perwira militer sendiri dan didasari oleh kompleksitas konflik internal di dalamnya. Tak pernah ada bukti yang sangat pasti bahwa partai komunis indonesia adalah perancangnya. Seluruh interogasi terhadap para perwira yang ditangkap, secara susah payah dihubung-hubungkan dengan keterlibatan partai komunis indonesia (Dhakidae, 2003). Yang lebih penting dari semua ini adalah akibat yang terjadi pada masa-masa sesudahnya. Pencitraan dan penciptaan mitos bahwa kaum komunis indonesia dan terutama para perempuan yang bergabung dalam organisasi gerwani adalah mereka yang dengan senang hati, menari-nari sambil bernyanyi melakukan orgi seksual sambil melukai dan akhirnya mengakhiri nasib para jenderal di lubang buaya, sebagaimana sebagian adegannya digambarkan dalam film produksi orde baru tentang gerakan itu, haruslah dikatakan sebagai manipulasi dan kebohongan yang menyengsarakan.

 Semua media seperti Angkatan Bersenjata, Berita Yudha, Api Pancasila, dan kantor berita Antara, menyebarkan berita bohong soal penganiayaan yang berlebih-lebihan. Manipulasi dan kebohongan itu telah menyulut emosi dan kemarahan massa sehingga pada hari-hari berikutnya, segala bentuk penangkapan, penyiksaan, dan pembantaian tanpa proses pengadilan dapat terjadi di negeri ini, dan menelan korban anak-anaknya sendiri. Hampir selalu pasti, sebagaimana dinyatakan oleh sisa-sisa saksi, bahwa kaum perempuan yang ditangkap pada masa itu, harus mengalami kekerasan seksual yang tak pernah bisa dilupakan sekaligus terlalu menyakitkan untuk disimpan sebagai ingatan. Sebagian besar dari mereka semua, selalu dipaksa untuk mengakui kesalahan yang tak pernah mereka lakukan, sebelum akhirnya berhadapan dengan eksekusi mati tanpa pengadilan (MR Siregar, 2007). 

Akibat teramat menyakitkan bagi rasa kemanusiaan dari manipulasi dan kebohongan besar itu begitu dasyatnya sehingga tak mampu dibendung oleh kesahihan bukti visum et repertum para dokter ahli Roebiono Kertopati, Frans Pattiasina, Sutomo Tjokronegoro, Liauw Yan Siang, dan Lim Joe Thay yang menyatakan bahwa semua jenderal, menjemput kematian oleh karena luka tembakan, benturan dengan popor senapan, ataupun benturan dengan bebatuan tebing sumur sedalam 11 meter. Tak satupun bukti menunjukkan adanya penganiayaan oleh silet atau pisau para gerwani, maupun bentuk penganiayaan lainnya seperti mencungkil mata atau memotong kemaluan. Bahkan pidato Presiden Soekarno pada tanggal 12 Desember 1965 yang menghardik media karena berita yang berlebih-lebihan tentang penganiayaan yang tak sesuai dengan hasil visum et repertum para dokter itu tak mempunyai gaung sedikitpun. Kebohongan media di ibu kota terutama yang dikuasi oleh tentara telah memiliki pengaruh yang lebih dasyat dalam menyulut emosi massa. Yang lebih mengenaskan lagi, Panglima KOTI saat itu, Major Djenderal TNI Soeharto, sebagai penanggung jawab pemulihan keamanan, membiarkan pembunuhan dan penyembelihan terhadap semua yang berbau komunis berjalan secara brutal dan sadis. Kengerian dan teror yang teramat dalam telah menjalar secara cepat di seluruh kampung di negeri ini. Laki-laki, perempuan, anak-anak, bahkan bayi yang masih menyusu di dada ibu tak terluput dari kengerian dan maut. 

 Kengerian dan teror menjadi begitu dasyatnya karena bagi siapapun yang terkait maupun dianggap terkait dengan partai dan organisasi komunis, tak lagi memiliki tempat untuk berlindung. Bahkan tetangga atau saudara sendiripun tak dapat menjadi tempat berharap. Siapapun yang terkait dan dianggap terkait dengan komunis, menjadi manusia-manusia yang paling terasing di tempat kelahirannya sendiri, dianggap sebagai penjahat, dan lebih parah lagi, tak dianggap sebagai manusia yang memiliki martabat. Yang sungguh menyakitkan bagi rasa kemanusiaan, mereka yang mengaku beragama, dari orang biasa sampai para pemuka, ada yang bisa dengan perasaan bangga menceritakan bagaimana mereka telah merenggut nyawa lusinan orang komunis dengan tangannya. Orang-orang kristen, katholik, islam, maupun hindu terlibat dalam riuh rendah pembunuhan itu. Pada saat itu, orang-orang beragama menunjukkan wajah kontradiktifnya yang paling sempurna. 

 Hutan Situkup, Ndhempes, Kecamatan Kaliwiro, kabupaten Wonosobo dan Luweng Grubug, Semanu, Wonosari, Gunung Kidul adalah dua di antara begitu banyak tempat lain serupa yang menjadi saksi bisu bagi kematian penuh kengerian. Lagu rakyat “Genjer-Genjer”, biasanya diminta untuk dinyanyikan sebagai semacam lagu pengantar persembahan jiwa sebelum mereka yang menyanyikannya akhirnya meregang nyawa (Catatan Femi Adi, 2000). 
Tulang-tulang manusia yang tertimbun dalam satu liang, dan yang berserakan di dasar tebing sungai bawah tanah adalah bukti-bukti yang baru bisa ditemukan di kemudian hari. Semua penjara : Buru, Planthungan, Cipinang, Pamekasan, Tanjung Gusta, Labuhan Ruku, Kalisosok, Denpasar, Ujung Pandang, maupun Nusa Kambangan adalah tempat di mana manipulasi terjadi dan segala penderitaan tak tertahankan.

 Kebohongan yang telah memakan korban ratusan ribu manusia itu, selama puluhan tahun telah menjadi dogma (ajaran paripurna) yang selalu menuntut untuk dijaga setia agar tak terusik lagi oleh ribuan gugatan dan tanya. Parahnya, dogma itu telah bersanding sempurna dengan segala kuasa yang telah dibangun di atasnya. Dalam persandingan sempurna itu, semua yang lain menjadi tak punya harga. Anak tunggal dari persandingan keduanya adalah kekerasan yang terus-menerus mengabaikan rasa kemanusiaan. Selanjutnya, ketiganya, kuasa-dogma-kekerasan, tertali sebagai Tri Tunggal Mahakudus yang cenderung menelantarkan korban terus-menerus. Tri Tunggal yang ini disebut Mahakudus karena ia selalu terbebas (bagaimanapun caranya) dari segala bentuk kesalahan, kejahatan dan dosa. Sebaliknya, mereka yang menjadi korban sangat sedikit mendapatkan keadilan sebagai buah kebenaran, bahkan sangat rentan terhadap segala kemungkinan untuk sekaligus mendapatkan cap sebagai pelaku kejahatan.

 Tingkah polah Tri Tunggal Mahakudus ini sangat mirip-serupa dengan dongeng Calon Arang sebagaimana ditulis oleh almarhum Pramoedya Ananta Toer. Calon Arang, janda sakti mandraguna, telah berhasil membunuh semua musuh dan orang yang tak disukainya, apalagi mengganggu kepentingannya, dengan mantra-mantra. Semua lawan politiknya mati terbunuh oleh mantra teluhnya (Pramoedya, 2003). Dalam analogi ini, dogma dan mantra berada dalam kursi yang serupa : membunuh semua musuhnya. Sampai dengan hari ini, para korban dan sanak keluarganya masih menanggung derita akibat dogma, ajaran paripurna atau mantra-mantra. Tak pernah ada kata maaf apalagi rehabilitasi dalam wujud-wujud yang nyata. Segala bentuk trauma, derita dan luka hati yang meradang akibat kehilangan keadilan, masih saja tersandang. Rasa keadilan mereka, yang adalah saudara-saudara kita juga, sampai sekarang masih tercecer bagaikan genjer-genjer yang pating keleler, teronggok tak terurus di selokan kehidupan.

 Segala kisah dari mereka yang kalah, semestinya didengar dan diolah agar tak muncul lagi generasi yang pongah. Semua cerita dari mereka yang masih saja menyimpan derita, semestinya ditulis dan dicetak dengan tinta, agar dapat dibaca oleh semua yang mendamba untuk belajar arif bijaksana. Segala sesuatu yang membantu untuk mengenang hidup yang telah hilang, semestinya tak boleh lagi dilarang oleh mereka yang mengklaim diri sebagai berwenang dan merasa menjadi pemenang.

 Untuk mendengar jeritan dan mengenang para korban, bolehlah Anda mendendang sebuah lagu yang mungkin masih dilarang. Lagu ini sebenarnya berkisah tentang jerih lelah orang-orang miskin yang selalu kalah di negeri yang katanya berlimpah. Ini lagu petani yang dari kacamata seni, ritmenya sangat cocok untuk diajarkan kepada anak-anak sendiri. Inilah lagu petani yang menghadapi suasana tidak senang dengan semangat yang riang. Ini adalah lagu tentang tanaman dan situasi kemiskinan yang digubah untuk menghibur agar hidup tetap bertahan. Karena dogma dan mantra sebagaimana disebut di muka, lagu inipun harus ikut menanggung derita. Luar biasa.

 Ini salah satu versi aselinya sebelum syairnya dipelesetkan dan dimanipulasi oleh dogma dan mantra. Doa dan salam hormat untuk Muhammad Arief sang seniman pengarang, yang katanya telah hilang sampai sekarang. 

Genjer-genjer nang ledhokan pating keleler (Genjer-genjer di selokan berserakan) 
Emake thole teka-teka mbubuti genjer (Si ibu tiba-tiba mencabuti tanaman genjer) 
Oleh sak tenong mungkur sedhot sing thole-thole (Dapat sebakul lalu segera pergi membawa yang kecil-kecil) 
Genjer-genjer saiki wis digawa mulih (Tanaman genjer sekarang sudah dibawa pulang) Genjer-genjer isuk-isuk didol ning pasar (Tanaman genjer pada pagi hari dijual di pasar) Dijejer-jejer diuntingi padha didhasar (Digelar berjajar dalam ikatan-ikatan kecil) 
Emake Jebreng pada tuku nggawa welasan (Para ibu membelinya berjumlah belasan ikat) Genjer-genjer saiki wis arep diolah (Tanaman genjer sekarang sudah siap dimasak)

(ResistInfo, edisi September 2007)