Oleh Indro Suprobo
Memasuki masa kampanye dan pemilu 2019, beberapa pengamat politik memprediksi maraknya politik uang. Sebagian warga negara memandang politik uang sebagai kewajaran bahkan sebagai kesempatan yang dinantikan karena menjanjikan keuntungan. Tulisan kecil ini akan mengurai tiga hal terkait politik uang. Pertama, apa itu politik uang? Kedua, apakah politik uang merupakan kewajaran? Ketiga, bagaimana warga masyarakat musti bersikap terhadap politik uang? Tiga pertanyaan dasar itu akan dilengkapi dengan alasan dan pertimbangan yang diperlukan demi terciptanya praktik demokrasi Pancasila yang semakin baik di negeri ini.
Pengertian
Politik Uang
Secara sederhana politik uang dipahami sebagai upaya
yang disengaja untuk mempengaruhi atau mengarahkan suara dalam proses pemilihan
umum dengan memberikan atau menjanjikan uang atau materi lainnya. Secara tegas,
dalam bahasa larangan, PKPU No.23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum,
Pasal 69 ayat (1) huruf j menyatakan, Pelaksana, peserta, dan
Tim Kampanye Pemilu dilarang menjanjikan
atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye. Ditegaskan pula dalam pasal 72 bahwa Pelaksana
dan/atau Tim Kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi
lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye secara langsung atau tidak
langsung untuk: (a)
tidak menggunakan hak pilihnya, (b)
menggunakan hak pilihnya dengan memilih Peserta Pemilu dengan cara tertentu sehingga
surat suaranya tidak sah, (c) memilih
Pasangan Calon tertentu, (d)
memilih Partai Politik Peserta Pemilu tertentu; dan/atau (e) memilih calon anggota DPD tertentu.
Lebih mendasar lagi, UU No.7 Tahun 2017 tentang
Pemilu, pasal 286 ayat (1) menyatakan Pasangan
Calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota, pelaksana
kampanye, dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang
atau materi lainnya untuk memengaruhi Penyelenggara Pemilu dan/atau Pemilih.
Jika semua yang dilarang ini tetap dilanggar dan dilakukan, UU Pemilu maupun
dalam PKPU menyebutnya sebagai tindak Pidana Pemilu dengan implikasi sangsi
yang jelas.
Lalu bagaimana contoh konkret politik uang itu? Contoh
praktik politik uang itu misalnya ketika ada calon anggota legislatif atau tim
kampanye yang menjanjikan atau memberikan sejumlah uang atau barang berupa tenda, sound-system,
karpet untuk masjid atau kursi untuk tempat ibadah lainnya dengan maksud agar
mereka yang menerima barang itu akhirnya memilih calon anggota legislatif tertentu.
Apabila secara jelas terdapat praktik “menjanjikan atau memberikan uang atau materi
lain” dan praktik “mengajak, menganjurkan, mengarahkan, meminta, bahkan
mewajibkan” untuk memilih calon tertentu, maka secara sangat gamblang itu sudah
disebut sebagai praktik politik uang.
Apakah Politik
Uang itu sebuah Kewajaran?
Secara sangat jelas Undang-Undang tentang Pemilu dan
Peraturan KPU menyatakan bahwa politik uang itu bukanlah kewajaran dan bahkan
merupakan praktik yang dilarang dan disebut sebagai tindak
pidana pemilu. Tetapi mengapa sebagian masyarakat menganggapnya sebagai
kewajaran? Pantas dijelaskan bahwa sebagian besar masyarakat menganggap politik
uang itu sebagai kewajaran karena dalam kehidupan sehari-hari, sebagian
masyarakat tidak terbiasa menjalankan prinsip-prinsip moralitas secara
konsisten. Sebagian masyarakat tidak memiliki kebiasaan melakukan pendidikan
nilai sejak di dalam keluarga-keluarga. Ditambah lagi, selama masa pemerintahan
Orde Baru, semua jenis praktik suap dan korupsi telah menjadi kebiasaan umum di banyak tempat. Akibatnya, sebagian
masyarakat, bahkan mereka yang mengenyam pendidikan tinggipun, tidak terdidik
dalam hal prinsip-prinsip dan nilai kejujuran dan integritas. Mereka menganggap
ketidakjujuran sebagai hal yang wajar dan bukan persoalan.
Secara serius bahkan harus dikatakan bahwa politik
uang adalah sebuah tindakan yang mengkhianati semua nilai dalam Pancasila.
Politik uang adalah bentuk ketidakjujuran yang mengkhianati sila Ketuhanan Yang
Mahaesa karena dalam perbuatan itu orang menganggap tak ada siapapun yang
mengetahuinya, padahal ketika tak seorang manusiapun mengetahui perbuatan
seseorang, masih ada Tuhan yang mengetahuinya. Oleh karena itu, politik uang
adalah bentuk atheisme praktis, yakni
ketidakpercayaan akan adanya Tuhan yang dijalankan dalam praktik, meskipun
orang tersebut mengatakan memiliki keyakinan terhadap adanya Tuhan. Dalam hal
ini, semua jenis keuntungan baik berupa uang, materi lain, maupun jabatan
politik telah disembah sebagai berhala baru yang membuat seseorang
menomorduakan sang Pencipta dan nilai-nilai kebaikan yang diwahyukanNya. Semua
jenis ketidakjujuran demi sesuatu yang kurang bernilai atau bernilai rendah (misalnya
keuntungan material atau jabatan politik) sudah pasti bertentangan dengan semua
ajaran agama manapun. Namun pantas dicatat di sini bahwa orang atheispun bahkan
menolak politik uang karena bertentangan dengan prinsip moralitas mereka, meskipun
moralitasnya tidak didasarkan pada nilai-nilai yang berketuhanan, melainkan moralitas
yang dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan universal. Jika demikian halnya,
maka orang atheis yang menolak politik uang justru lebih beradab dan lebih
religius daripada orang beragama yang menyetujui politik uang.
Politik uang mengkhianati sila kedua, Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab, karena merendahkan kehormatan pribadi manusia dengan segala
kebebasannya, dengan cara menempatkannya hanya sebagai sesuatu yang nilainya bersifat
transaksional dan dapat diperjualbelikan. Kehormatan pribadi manusia hanya
dinilai dengan sejumlah uang atau materi lainnya yang nilainya barangkali hanya
puluhan juta rupiah. Dalam praktik politik uang, pribadi manusia ditempatkan
sebagai budak bagi kepentingan politik sempit dan temporer (sementara) atau
bagi kepentingan praktis tertentu. Selanjutnya, politik uang menciderai sila
ketiga, Persatuan Indonesia, karena merusak rasa saling percaya masyarakat.
Persatuan masyarakat Indonesia yang semestinya diikat oleh saling percaya
terhadap sistem hidup bersama yang adil dan menjamin nilai-nilai keadaban demi
kepentingan seluruh masyarakat, dihancurkan oleh praktik politik uang karena ia
mengkhianati sistem dan tatanan bersama yang semestinya dimaksudkan menjagai
keadaban. Politik uang adalah praktik ketidakjujuran yang tentu saja tidak
beradab dan merusak sistem serta tatanan hidup bersama. Ini merupakan praktik jahiliyah di jaman modern.
Politik uang mengkhianati sila keempat, karena
kedaulatan rakyat yang semestinya dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan, yakni
dipimpin oleh etika dalam berdemokrasi, justru dirusak oleh tindakan yang
melanggar etika publik. Yang dimaksud dengan etika dalam berdemokrasi adalah refleksi atas seluruh standar atau norma yang menentukan baik-buruk dan benar-salah suatu
perilaku, tindakan, dan keputusan yang mengarahkan praktik demokrasi demi
terpenuhinya seluruh kepentingan demos
atau rakyat. Kedaulatan rakyat digerogoti oleh ketidakjujuran dan praktik
transaksional yang hanya menguntungkan segelintir orang. Tak ada lagi
hikmat/kebijaksanaan karena yang memimpin adalah ketamakan akan uang, materi
lain dan jabatan. Seorang calon anggota legislatif yang menjalankan politik
uang dalam proses pemilu sangat dipastikan bahwa ia bukanlah orang yang berkualitas,
berintegiritas dan berhikmat/kebijaksanaan, sehingga ketika ia menduduki
jabatan politik, ia tak akan sanggup menjalankan prinsip kedaulatan rakyat
dalam permusyawaratan/perwakilan, karena ia hanya akan menimbang kepentingan
diri sendiri atau kelompoknya, serta berorientasi kepada nilai-nilai yang
rendah dan sempit. Ia tak akan sanggup menghasilkan kebijakan publik yang
berkualitas dan mengutamakan kepentingan publik.
Akhirnya, politik uang menciderai sila kelima,
Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, karena pada dasarnya praktik
politik uang sendiri merupakan praktik ketidakadilan yang mendasar. Ini disebut
sebagai praktik ketidakadilan karena mengkhianati orang-orang lain yang
menjalankan pemilu secara jujur dan berintegritas. Mereka yang jujur dan
berintegritas, yang semestinya memiliki kesempatan untuk terpilih, dikalahkan
hanya oleh uang atau materi lain. Jika demikian, hanya mereka yang memiliki
sumberdaya finansial besar yang dapat terpilih dalam pemilu, sementara dari
banyak aspek lainnya belum tentu mereka itu memenuhi kualifikasi yang
dipersyaratkan misalnya kompetensi atau keahlian, komitmen, kejujuran, ilmu
pengetahuan dan wawasan yang luas yang seluruhnya akan mendukung proses
pengambilan keputusan dalam perumusan kebijakan publik. Politik uang menciderai
keadilan bagi seluruh rakyat karena ia hanya menguntungkan para pihak yang
terlibat dalam relasi transaksional.
Bagaimana
menyikapi Politik Uang?
Politik uang tidak dapat ditolerir karena selain
menghasilkan pemimpin yang tak berkualitas, ia juga merusak institusi
demokrasi. Pemimpin yang menjalankan politik uang dipastikan tak memiliki
integritas dan tak berkualitas sehingga tak akan sanggup memproduksi
kebijakan-kebijakan publik yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat banyak
dan non partisan. Karena dalam proses pemilu telah menggunakan politik uang,
maka ketika terpilih sebagai pemimpin atau sebagai anggota legislatif, mereka
juga akan memikirkan bagaimana cara mengembalikan modal yang telah
dikeluarkannya. Akibatnya, orientasinya bukan lagi kepada kepentingan publik
melainkan kepentingan dan keuntungan diri sendiri, kelompok atau partainya.
Karena tujuan dari Pemilu yang jujur dan berintegritas
itu adalah menghasilkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas, yang memiliki
kompetensi, keahlian, ilmu pengetahuan, keterampilan dan wawasan, serta
komitmen yang mendukung seluruh proses produksi kebijakan publik yang
berkualitas dan adil, maka terhadap praktik dan tawaran politik uang, hanya ada
satu cara untuk menyikapinya, yakni TOLAK dan LAWAN!!!
Dalam situasi politik jahiliyah di jaman modern sekarang ini, yakni situasi yang
menghalalkan politik uang, sikap tegas untuk menolak dan melawan politik uang
di tengah masyarakat seringkali menghadapi tantangan berat. Mereka yang menolak
politik uang seringkali dicap sebagai “penghalang kepentingan kelompok”,
pengkhianat atau predikat lainnya. Selain membutuhkan keberanian, komitmen dan
sikap tegas untuk menolak politik uang itu juga membutuhkan ilmu pengetahuan,
wawasan dan pemahaman yang lebih luas tentang politik, demokrasi, hak asasi
manusia, nilai-nilai religiositas atau spiritualitas (bukan hanya pengetahuan
tentang ajaran formal agama-agama), gerakan sosial dan ilmu-ilmu sosial kritis.
Oleh karena itu, untuk menghadapi kondisi politik jahiliyah di jaman modern ini
dibutuhkan proses pendidikan politik yang memadai dan terus-menerus. Ini semua
dapat dimulai dari kampung maupun desa. Ingatlah, menolak politik uang adalah
bagian dari iman.***
No comments:
Post a Comment