Monday, February 07, 2022

Perempuan yang (dituduh) berzinah


 Oleh Indro Suprobo


Kisah tentang perempuan yang dituduh berzinah hanya terdapat di dalam Injil Yohanes, yakni Yohanes 7:53-8:11. Kisah ini menarik untuk dicermati karena salah satu bagian ayatnya sering digunakan untuk melegitimasi sikap anti kritik. Ayat yang dimaksudkan berbunyi demikian,”Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu”. Menjadi lebih problematis lagi jika penggalan ayat ini, bahkan isi seluruh perikop kisah ini ditelikung maknanya sebagai landasan untuk tidak mengungkap dan tidak membongkar kasus-kasus kekerasan atau penyelewengan seksual dalam institusi keagamaan, dan membiarkannya terkubur, lalu memaknainya sebagai sebuah praksis pengampunan yang bernilai relijius yang diteladankan oleh Yesus. Sebaliknya, pernyataan itu justru merupakan penegasan dan kritik Yesus yang sangat tajam bahwa tidak ada tempat bagi manipulasi dan kemunafikan agar keadilan benar-benar dapat ditegakkan.

Agar detail yang penting dalam kisah ini dapat lebih dicermati dan agar pembaca yang kurang familiar terhadap kisah ini dapat memiliki gambaran agak lengkap, berikut saya kutipkan perikopnya.

7:53 Lalu mereka pulang, masing-masing ke rumahnya, 8:1 tetapi Yesus pergi ke bukit Zaitun. 8:2 Pagi-pagi benar Ia berada lagi di Bait Allah, dan seluruh rakyat datang kepada-Nya. Ia duduk dan mengajar mereka. 8:3 Maka ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepada-Nya seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah. 8:4 Mereka menempatkan perempuan itu di tengah-tengah lalu berkata kepada Yesus: "Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah. 8:5 Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?" 8:6 Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya. Tetapi Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah. 8:7 Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Iapun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." 8:8 Lalu Ia membungkuk pula dan menulis di tanah. 8:9 Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya. 8:10 Lalu Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya: "Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?" 8:11 Jawabnya: "Tidak ada, Tuhan." Lalu kata Yesus: "Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang."

Kalimat paling awal, yakni 7:53 sebenarnya merupakan sambungan dari perikop sebelumnya, yakni kisah tentang Pembelaan Nikodemus terhadap Yesus (7:45-52). Perikop tentang Nikodemus ini pantas dipertimbangkan sebagai bagian dari konteks karena ia memberi keterangan yang penting bagi beberapa detail ayat dalam kisah tentang perempuan yang dianggap berzinah ini.

Dalam struktur besar Injil Yohanes, kisah perempuan yang dianggap berzinah ini merupakan bagian dari tema besar Kitab Tanda-Tanda, yang berisi tentang pernyataan diri Yesus di hadapan umum, melalui pengajaran, kotbah, dialog-dialog dengan masyarakat dan melalui tindakan-tindakan konkret yang dilakukannya. Pernyataan diri ini menimbulkan pertentangan di antara masyarakat. Ada yang percaya kepadanya dan ada yang tidak percaya kepadanya. Sebagian masyarakat mempercayainya sebagai Mesias, orang yang diutus Allah karena tanda-tanda yang dilakukannya. Sebagian dari kalangan agamawan, diwakili oleh figur Nikodemus, mempercayai Yesus. Sebagian yang lain menentangnya dan berniat membunuhnya. Kisah ini secara khusus berada dalam tema tentang “penentuan sikap terhadap Yesus: percaya atau tidak percaya”, yang berada dalam rangkaian kisah dari bab 7:1 sampai dengan bab 10:42.

Kisah ini secara khusus digambarkan terjadi di Yerusalem, di bait Suci, pada hari terakhir dalam rangkaian Hari Raya Pondok Daun, setelah Yesus menyampaikan kotbah atau pengajaran di bait Suci. Beberapa hal penting yang pantas diperhatikan dalam kisah ini adalah sebagai berikut, pertama, dalam kasus dugaan perzinahan ini, para pemimpin agama hanya mengajukan seorang perempuan untuk diadili, tanpa kehadiran laki-laki pasangannya (8:3-4). Kedua, pengajuan pengadilan atas dugaan perzinahan ini dilandaskan pada hukum Taurat, namun dengan alasan licik untuk mencobai Yesus agar ditemukan alasan untuk menyalahkannya (8:5-6). Ketiga, Yesus mengambil sikap kritis dan berpihak kepada keadilan, yakni dengan menunduk diam sambil menulis atau menggambar sesuatu di tanah, lalu memberikan respon yang mengejutkan (8:7-9). Keempat, Yesus memberikan ruang kepada perempuan itu untuk bersuara dan menyatakan dirinya sendiri (8:10-11).

Dari empat hal penting yang dapat dicermati dari kisah ini, ada beberapa pembelajaran yang dapat dipetik. Pertama, kisah ini mencerminkan nalar patriarki di mana dalam kasus-kasus dugaan perzinahan, perempuan dijadikan sebagai subyek utama dan penyebab yang pantas untuk diberi hukuman, sementara laki-laki yang merupakan pasangan dalam dugaan tindakan perzinahan itu absen dari tuduhan. Praktik ini sebenarnya tidak sesuai dengan hukum Musa karena kitab Ulangan 22:22 menyatakan bahwa,”apabila seseorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami, maka haruslah keduanya dibunuh mati, laki-laki yang tidur dengan perempuan itu dan perempuan itu juga. Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu dari antara orang Israel”.  Dalam kisah ini tampak adanya ketidakadilan terhadap perempuan.

Kedua, ketidakadilan terhadap perempuan dalam kasus dugaan perzinahan itupun ternyata hanya menjadi instrumen manipulatif bagi sebagian elit agama untuk memfasilitasi kepentingannya, yakni mempertahankan hegemoninya sekaligus menjebak Yesus agar dapat dipersalahkan. Ini merupakan praktik yang sungguh luar biasa parah. Kasus ini disebut jebakan karena jika Yesus menentang hukum Taurat, yakni dengan membebaskan perempuan itu, maka ia tak pantas disebut Mesias dan pasti tidak akan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Namun jika ia menyetujui hukum Taurat itu, sementara pada masa itu pemerintah Romawi tidak memberlakukan hukuman mati pada kasus perzinahan, maka Yesus akan dituduh sebagai orang yang menghasut orang banyak dan menimbulkan keonaran. Ia akan dituduh subversif. Kedua pilihan itu akan membawa Yesus kepada kesulitan yang melemahkan bahkan menghancurkan seluruh gerakan sosio-spiritualnya selama ini. Manipulasi dan jebakan ini tampaknya juga merupakan respon sebagian elit agama yang membenci Yesus terhadap komentar Nikodemus (salah satu wakil elit agama yang membela Yesus) yang menyatakan bahwa hukum Taurat tidak menghukum seseorang (menghukum atau membunuh Yesus) sebelum ia didengar dan sebelum orang mengetahui apa yang telah dibuatnya (7:51). Pernyataan Nikodemus ini terdapat dalam perikop yang mendahului kisah ini.

Ketiga, yang paling penting dari semua ini adalah sikap kritis Yesus yang berpihak kepada keadilan. Sikap diam Yesus sambil menunduk ke tanah mencerminkan dua hal penting, yakni pengambilan jarak atau sikap kritis, discernment terhadap fenomena yang sedang dihadapinya, sekaligus sebuah tindakan keberpihakan yang empatik terhadap diamnya perempuan yang dalam seluruh proses itu sama sekali tak diberi kesempatan maupun ruang untuk berbicara, menjelaskan dan membela dirinya. Tentu saja Yesus sangat memahami hukum Taurat bahwa dalam kasus semacam ini yang harus dihukum adalah kedua pasangan, bukan hanya perempuannya saja. Lebih penting dari itu, Yesus juga memahami hukum Taurat bahwa untuk menghukum seseorang, dibutuhkan proses mendengarkan penjelasan dari mereka yang dituduh, bukan dengan cara semena-mena menuduh dan menjatuhkan hukuman. Penghadiran saksi-saksi yang berkualitas dan bertanggung jawab juga merupakan prasyarat utama. Yesus sangat memahami bahwa ada banyak kemungkinan terbuka dalam kasus ini karena semuanya berada dalam ketidakjelasan. Yesus membuka kemungkinan praduga tak bersalah terhadap perempuan yang dituduh itu. Sikap kritis dan keberpihakan terhadap keadilan inilah yang membuat Yesus akhirnya memberikan jawaban yang menohok. Pernyataan Yesus “barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu” secara tegas menunjukkan suatu tamparan dan kritik yang sangat tajam terhadap tindakan instrumental manipulatif yang dilakukan oleh sebagian elit agama yang dengan mengorbankan martabat dan keadilan terhadap perempuan, telah berupaya untuk meraih kepentingannya sendiri, yakni mempertahankan citra kesucian, kekuasaan, penjaga moralitas, dan seluruh ikutan yang menguntungkan dirinya sendiri. Melalui pernyataan dan kritik itu Yesus hendak menegaskan bahwa kewibawaan tidak dapat dipertahankan dengan cara-cara manipulatif, menyembunyikan lelaki pelaku kejahatan perzinahan dan membiarkannya menikmati kebebasan dan keleluasaan sementara hanya perempuan yang dipersalahkan tanpa diberi kesempatan untuk membela dan menjelaskan dirinya sendiri. Jika sungguh-sungguh hendak bersikap adil, maka siapapun yang diduga menjadi pelaku kejahatan harus diajukan bersama-sama dengan proses-proses yang diperlukan agar seluruh hak dan martabatnya tetap terjaga, dan agar kebenaran dapat diungkap. Secara tegas Yesus hendak menyatakan bahwa tidak ada tempat bagi manipulasi dan kemunafikan demi mempertahankan seluruh kepentingan yang hanya menguntungkan diri atau segelintir elit kekuasaan dengan membungkam perempuan di pojok gelap ketidakadilan. Pernyataan ini menuntut suatu sikap etis yang tegas sekaligus praksis implementatif yang radikal. Oleh karena itu, sikap diam Yesus dalam kisah ini bukanlah tindakan cuci tangan dan tindakan pasif membiarkan seluruh ketidakadilan tetap terkubur. Diamnya Yesus adalah sebuah tindakan aktif, kritis, analitis, strategis, sekaligus advokatif (membela) untuk menggali dan mencari pokok persoalan mendasar agar dapat memberikan tindakan responsif yang bertanggung jawab, bijaksana, tegas dan adil.

Keempat, perempuan sudah semestinya diberi ruang yang setara untuk menyatakan seluruh dirinya, membicarakan dirinya sendiri sesuai dengan martabat yang dianugerahkan oleh Tuhan kepadanya, untuk membela dirinya dalam situasi-situasi yang memojokkan dirinya, dan membebaskan dirinya dari seluruh relasi kuasa yang membelenggunya sehingga keadilan yang adalah sebenar-benarnya tanda kehadiran Tuhan dapat terwujud dalam kehidupan, dan agar perempuan dengan seluruh martabat dirinya dapat menyebut dan menemukan Yesus sebagai “kyrios”, tuan atau pribadi yang berwibawa dalam perkataan dan perbuatan, di dalam seluruh pengalaman keperempuanannya.

Pada akhir kisah, Yesus berkata kepada perempuan itu,”Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang”. Perkataan terakhir ini merupakan pengulangan sekaligus penegasan yang bermakna demikian: “Aku tidak menyetujui dan tak akan membiarkan engkau terus berada dalam ketidakadilan. Mulai sekarang, bertindaklah dan ambillah pilihan-pilihan tegas dalam hidup agar kamu, kaum perempuan, menjadi pribadi-pribadi yang mandiri dan penuh martabat, tidak diseret lagi oleh arus manipulasi dan kemunafikan yang sistematis demi kepentingan dan keuntungan segelintir elit kekuasaan, yang dapat membuat dirimu terperosok, terlibat di dalamnya, dan merugi, karena semua itu adalah praksis dosa. Ini adalah pernyataan perutusan dan pemberian mandat kepada kaum perempuan untuk terlibat secara aktif bersama-sama dengan Yesus, menyatakan tanda-tanda kehadiran Allah, di antaranya adalah menjalankan keadilan, menentang segala jenis manipulasi dan kemunafikan yang merendahkan martabat kemanusiaan, terutama martabat perempuan.

Sebagaimana dimaksudkan oleh Injil Yohanes, pada akhirnya, pembaca kisah ini juga dibawa kepada penentuan sikap: setuju dan berpihak kepada perkataan dan tindakan Yesus, atau menentangnya. ***


No comments: