oleh Indro Suprobo
Tantangan Semua Agama
Dokumen Amoris Laetitia merupakan dokumen yang berupaya menekankan perspektif dan prinsip-prinsip dasar kristiani tentang kehidupan keluarga di tengah tantangan hidup berkeluarga yang dihadapi pada jaman ini. Tantangan hidup berkeluarga sebagaimana digambarkan dalam Bab 2 dokumen ini, merupakan tantangan yang dihadapi bukan hanya oleh Gereja Katolik, melainkan juga dihadapi oleh semua komunitas agama. Dalam situasi krisis kehidupan keluarga itu, dokumen ini mengundang keluarga-keluarga untuk menghargai anugerah perkawinan dan keluarga, dan untuk bertekun dalam cinta kasih yang diperkuat oleh nilai-nilai kemurahan hati, komitmen, kesetiaan dan kesabaran. Dokumen ini juga mendorong setiap orang agar menjadi tanda kerahiman dan kedekatan ketika kehidupan keluarga tidak terwujud secara sempurna atau tidak berjalan dengan damai dan sukacita.
Selain tantangan umum, ada beberapa tantangan yang agak khu-sus yang digambarkan sekaligus ditanggapi secara agak khusus juga yakni relasi setara antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga (53-55), menghadapi difabilitas di dalam keluarga (47, 82, 195, 197), dan tantangan ideologi gender yang tampaknya mengarah kepada persoalan LGBT (56), yang dalam dokumen ini disebut sebagai ideologi yang membayangkan sebuah masyarakat tanpa perbedaan seksual dan merongrong dasar antropologi keluarga, yang mempromosikan identi-tas pribadi dan keintiman emosional, yang secara radikal terlepas dari perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Tentang relasi laki-laki dan perempuan serta difabilitas, tampak bahwa tanggapan positip sudah muncul dalam dokumen ini. Khusus berkaitan dengan LGBT, tampaknya ini masih merupakan pekerjaan rumah yang besar yang membutuhkan discernment lebih panjang dan pendekatan-pendekatan lintas disiplin yang masih harus terus digali di masa depan.
Berkaitan dengan relasi agama-agama dan perkawinan, secara agak khusus, dokumen ini juga menyinggung soal perkawinan beda agama atau disparitas cultus (248).
Spiritualitas Hidup Berkeluarga Lintas Agama
Bab Empat dalam dokumen ini, yang berjudul Cinta Kasih dalam Perkawinan, adalah spiritualitas hidup berkeluarga yang dapat dihayati oleh semua orang dari beragam latar belakang agama. Nilai-nilai dasar yang dipaparkan dan dijelaskan dalam bab ini merupakan nilai-nilai dasar yang terdapat dalam semua agama dan dapat dihayati oleh semua orang dalam berbagai latar belakang agama. Ini merupakan spiritualitas lintas iman yang mendasar dalam kehidupan berkeluarga. Gambaran-gambaran spiritualitas hidup berkeluarga yang dalam dokumen ini secara khas dijelaskan dalam kerangka Trinitarian, tetap dapat dihayati oleh keluarga-keluarga dari berbagai agama dalam kerangka sufistik tentang "relasi kesatuan dan pengalaman akan Allah", yang menunjukkan cara berpikir tentang pengalaman ketunggalan antara manusia dalam kasih yang dihayati dalam relasi kesatuan dengan yang ilahi. Nilai-nilai kesabaran, kebaikan hati, tidak iri hati, tak memegahkan dan tak menyombongkan diri, sikap ramah, murah hati, tanpa kemarahan batiniah, pengampunan, bersukacita bersama orang lain, menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, berharap, menanggung segala sesuatu, berbagi sepanjang hayat, dsb merupakan nilai-nilai dasar yang pantas dihayati oleh semua orang dalam hidup berkeluarga. Semuanya itu membawa kepada pertumbuhan pribadi, keindahan dan rasa hormat.
Tantangan Disparitas Cultus di Indonesia
Sebagaimana dinyatakan sejak dalam pembukaan dokumen bahwa hidup berkeluarga bukanlah persoalan melainkan sebuah kesempatan (7), perkawinan disparitas cultus juga dipahami sebagai sebuah kesempatan istimewa untuk dialog antaragama dalam kehidupan sehari-hari.. [...].. yang melibatkan kesulitan-kesulitan khusus menyangkut baik identitas keluarga Kristiani maupun pendidikan agama bagi anak-anak...(248). Dalam konteks khusus Indonesia, perkawinan disparitas cultus, terutama antara komunitas Kristen dan Islam, pantaslah diperhatikan tantangan khas yang ada. Tantangan khas itu antara lain adalah tantangan soal tafsir hukum yang secara mainstream masih berlaku yakni bahwa lelaki non muslim tidak dapat menikah dengan perempuan muslim tanpa mengubah identitas agamanya. Sementara perempuan non muslim masih dapat menikah dengan lelaki muslim tanpa mengubah identitas agamanya.
Mereka yang sudah terbiasa dengan studi agama-agama, apalagi terbiasa dengan kajian antropologi agama, barangkali akan lebih mudah memahami bahwa tafsir mainstream ini merupakan produk dari konteks sosio-kultural tertentu dengan tujuan-tujuan yang tertentu pula. Tafsir mainstream ini merupakan produk ideologis agama (supra-strukrur) yang sangat dipengaruhi oleh "pengalaman basis" tertentu. Masih berlakunya tafsir mainstream ini merupakan realitas yang menantang dan musti dihadapi oleh calon pasangan dan pasangan yang menjalani perkawinan disparitas cultus.
Karena realitas yang menantang ini masih belum mengalami perubahan dan barangkali masih akan bertahan untuk beberapa waktu ke depan, maka sudah layak dan sepantasnya, calon pasangan perkawinan disparitas cultus dalam konteks khusus ini semestinya mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan ini secara matang. Realitas yang menantang ini dapat juga ditempatkan sebagai kesempatan yang musti dimaknai oleh pasangan disparitas cultus sebagai ruang yang tetap terbuka bagi pertumbuhan pribadi untuk mencapai kepenuhan.
Pasangan perkawinan disparitas cultus memiliki tantangan yang lebih berat dan nyata untuk sanggup melampaui "keterbatasan agama-agama" yang bagaimanapun juga tetaplah merupakan produk kebudayaan yang dilekati oleh kontekstualitas dan partialitas yang tak tersangkal. Pasangan-pasangan ini dituntut untuk mampu melampaui "rasa lekat tak teratur emosional" terhadap masing-masing agamanya, membongkar bawah sadar relasi-kuasa antar agama yang bersemayam di dalam dirinya, melepaskan diri dari perasaan menang-kalah, dan musti berani menghadapi stigma sosial yang biasa dikenakan kepada pasangan yang menjalani perkawinan disparitas cultus.
Mereka juga merupakan pasangan yang secara nyata harus membongkar prasangka-prasangka antara agama karena yang dihadapinya setiap saat adalah pasangannya sendiri, yang sangat dikasihinya, yang berangkat dari latar belakang agama yang berbeda.
Tidak ada rumus umum yang dapat diberikan kepada pasangan disparitas cultus, kecuali kematangan pribadi dan kedewasaan iman yang sanggup melampaui segala bentuk formalisme dan perkara teknis agama-agama. Selebihnya, tantangan yang dihadapi akan sangat unik dan khas tergantung kepada kondisi keluarga dan komunitas konkret kontekstual yang dihadapi. Semua yang lainnya, harus dicari, digali, digeluti, ditekuni sendiri sesuai dengan kondisi realnya. Ini sangat menuntut "kebijaksanaan" pribadi dengan segala risiko yang sanggup ditanggung. Seluruh pergulatan rohani yang diolahnya sesuai dengan konteks tantangan realnya yang khas itu akan menjadi bekal utama bagi pasangan untuk menghadapi seluruh "penilaian publik" yang mungkin akan dihadapi dan dikenakan kepadanya.
Kesempatan Saling Mendidik dan Saling Belajar
Keluarga dalam perkawinan disparitas cultus memiliki tantangan lebih besar untuk menjalani proses saling mendidik dan saling belajar di dalam iman. Seluruh prinsip dasar dan spiritualitas hidup keluarga sebagaimana digambarkan dalam Bab Empat dokumen Amoris Laetitia, menjadi fondasi utama sekaligus indikator kesehatan iman. Yang paling utama adalah bertumbuhnya iman kepada Allah Pencipta meskipun berada dalam forma dan kerangka berpikir agama-agama yang berbeda. Pilihan tentang model pendidikan iman, terutama untuk anak-anak yang dilahirkan di dalamnya, sepantasnya diserahkan kepada kebijaksanaan pasangan sesuai dengan kesanggupan untuk menjalankan dan menanggung semua risiko yang muncul darinya. Yang paling utama dan terutama adalah tumbuhnya pribadi-pribadi beriman di dalam keluarga, yakni pribadi-pribadi yang sanggup untuk senantiasa tunduk kepada Allah, konsisten menjalani nilai-nilai religius dasar yang menumbuhkan hormat kepada kemanusiaan dan sanggup hidup bergembira penuh kedamaian di dalam perbedaan-perbedaan.
Keluarga-keluarga dengan perkawinan disparitas cultus justru menjadi kesempatan istimewa untuk saling mendidik dan saling belajar dalam hal iman. Dalam keluarga ini ada banyak kesempatan dan ruang untuk saling berbagi pemahaman tentang perbedaan yang ada, termasuk perbedaan-perbedaan yang paling krusial tanpa kehilangan rasa hormat, kasih sayang dan pembelaan (pro-eksistensi). Keluarga-keluarga disparitas cultus mengundang pribadi-pribadi di dalamnya untuk terus-menerus mengasah kerendahan hati dan keterbukaan serta kesanggupan mendalam untuk mengagumi nilai-nilai yang tersembunyi di dalam setiap perbedaan, sanggup membaca (iqra) tanda-tanda kehadiran dan keagungan Tuhan di dalam diri setiap pribadi, yang pada gilirannya semakin menumbuhkan kasih dan sayang satu sama lain.
Proses saling belajar dan saling mendidik diri ini, ketika sudah menjadi gaya hidup harian, pada gilirannya akan membawa setiap pribadi dalam keluarga itu kepada kerendahan hati dan keterbukaan religius bahwa setiap pribadi dan setiap manusia memiliki pengalaman yang unik tentang Tuhan. Oleh karena itu ia juga akan sampai kepada pemahaman bahwa setiap agama pun demikian juga, masing-masing memiliki pengalaman yang unik tentang Tuhan, dan tak ada satu pun yang dapat mengungkapkan keseluruhan misteri ketuhanan itu dalam kesempurnaan. Tak ada kebenaran obyektif dan sempurna tentang Tuhan yang musti dianut oleh semua manusia, karena Tuhan senantiasa transenden terhadap semua keterbatasan manusia dan semua kategori. Dengan demikian, pendakuan atau chauvinisme agama yang mengorbankan agama orang lain tak dapat diterima. Masing-masing orang dan agama-agama menyadari keterbatasan dan relativitas dirinya di hadapan Tuhan.
Kerendahan hati dan keterbukaan religius (iman) ini justru akan berdampak kepada saling hormat, tak memegahkan diri dan tidak sombong, dan membawa kepada pertumbuhan rohani yang mendalam, mendamaikan dan membahagiakan.
Patriarkhy, Tantangan Hidup Berkeluarga Lintas Agama
Pengalaman hidup berkeluarga di masyarakat Indonesia menunjukkan bahwa tantangan nyata yang masih dihadapi oleh semua keluarga adalah patriarkhy, yakni kerangka berpikir bawah sadar yang memengaruhi seluruh jaringan hidup berkeluarga (pasangan suami-istri, mertua, keluarga dekat, keluarga besar, dan lingkungan tetangga). Dari hal-hal yang paling serius seperti menghadapi pilihan-pilihan sulit yang membutuhkan otonomi pribadi sampai kepada hal-hal remeh temeh soal penggunaan "kendhit" pasca melahirkan bagi perempuan, kerangka pikir patriarkhy senantiasa menyusup di dalamnya. Dalam kenyataan ini, perempuan cenderung menjadi prioritas korban.
Kerangka berpikir patriarkhy juga menjadi penghalang utama bagi kebeneningan melihat atau menganalisis persoalan/krisis yang kadang-kadang dihadapi oleh pasangan. Dalam situasi-situasi krisis, perempuan cenderung menjadi subyek yang ditempatkan sebagai penyebab. Dalam situasi-situasi semacam itu, pihak laki-laki sebagai pihak yang cenderung diuntungkan, memiliki tantangan dan undangan untuk menghadirkan prinsip-prinsip pro-eksistensi bagi pasangannya, terutama ketika harus berhadapan dengan keluarga dekat pihak laki-laki (ibu, bibi, sepupu perempuan dan sebagainya). Tantangan patriarkhy ini menjadi lebih berat justru ketika kerangka berpikir patriarkhy itu justru dihidupi dan dihayati oleh kaum perempuan dalam jaringan keluarga.
Dalam kenyataan semacam ini, hidup berkeluarga, terutama bagi pasangan jaman sekarang, semakin menjadi kesempatan untuk menjalankan edukasi baik bagi diri mereka sendiri maupun bagi keluarga dekat dan keluarga besar di sekitarnya, maupun kepada keluarga-keluarga lain yang berelasi dengannya. Meskipun gerakan kesadaran tentang keadilan relasi gender sudah berkembang di banyak tempat, pada kenyataannya, nalar patriarkhy masih bersemayam di dalam bawah sadar keluarga-keluarga. Ini merupakan tantangan iman yang nyata bagi keluarga-keluarga. Disebut sebagai tantangan beriman dalam keluarga karena patriarkhy pada dirinya sendiri merupakan ketidakadilan. Karena keluarga adalah partnership atau kemitraan yang setara di hadapan Allah, yang dipanggil untuk bertumbuh dalam kebebasan dan kasih sayang, maka ketidakadilan merupakan halangan yang besar dan pantas diselesaikan. Patriarkhy di dalam hidup berkeluarga merupakan bagian dari struktur dosa yang mengancam pertumbuhan pribadi dan kasih sayang.
Dokumen 153-157 yang berbicara tentang Kekerasan dan Manipulasi, yang secara agak sempit berbicara tentang seksualitas, jika diperdalam sampai kepada dasar kerangka berpikirnya, ia berbicara tentang kritik dan kewaaspadaan terhadap patriarkhy. Masih dibutuhkan konsistensi berpikir, bersikap dan bertindak yang lebih besar terkait persoalan ini baik dalam tubuh Gereja Katolik maupun Agama-Agama lain pada umumnya.
No comments:
Post a Comment