Oleh Indro Suprobo
Kisah orang majus dari Timur yang mengunjungi kanak-kanak Yesus (Matius 2:1-12) merupakan kisah yang khas dalam Injil Matius, dan tak ditemukan dalam narasi Injil yang lain. Dari sisi struktur, kisah ini merupakan bagian dari prolog Injil Matius yang mencerminkan sebagian konteks sekaligus konstruksi wacana teologis penulis Injil.
Ditulis sekitar tahun 70 M, Injil Matius mencerminkan situasi jemaat pada masa itu, yang mulai memiliki keunikan cara hidup dan semakin terbedakan dari tradisi Yudaisme. Pantas diakui, Injil Matius juga mencerminkan situasi polemik antara jemaat Kristen awal dan orang-orang Yahudi pada masa itu.[1] Dalam konteks polemik yang menantang itu, kisah orang Majus dari Timur memiliki peran dan pesan penting. Di satu sisi ia merupakan sarana untuk secara jelas menggambarkan dan membela keistimewaan Yesus, namun di sisi lain ia merupakan sarana untuk meneguhkan orang-orang Yahudi yang telah menjadi kristen agar tidak goyah terhadap keyakinan barunya, dan agar memiliki landasan legitimatif dalam cara berpikirnya, sehingga pilihan untuk percaya kepada Yesus itu merupakan pilihan yang berkualitas dan bertanggung jawab. Injil Matius tidak menyediakan informasi detail tentang siapa sebenarnya yang disebut sebagai orang Majus dari Timur itu, berapa jumlah orang Majus yang mengunjungi Yesus, bagaimana dan kapan mereka mengunjungi kanak-kanak Yesus, apakah mereka bersama-sama berkunjung sebagai satu rombongan ataukah mereka datang sendiri-sendiri secara bergantian, dari wilayah mana saja persisnya mereka datang, dan sebagainya. Selain itu, fakta historis tentang peristiwa seperti dinarasikan dalam kisah ini juga menjadi perdebatan karena banyak ahli sejarah yang dianggap kompeten seperti Flavius Yosephus sama sekali tak memiliki catatan tentang hal ini. Meskipun demikian, kisah ini menarik untuk direfleksikan sebagai bahan pembelajaran. Penulis cenderung melihat kisah ini sebagai narasi metaforis-mitologis yang tidak mencerminkan fakta historis namun secara kultural berfungsi sebagai sarana untuk membangun sebuah kerangka pemaknaan yang khas tentang siapakah Yesus bagi penulis Injil. Penulis lebih melihat kisah ini sebagai mitos yang di dalamnya mengandung sebuah kerangka berpikir jamannya, yang tetap menarik untuk dikaji dan dipahami.
Jika dikaitkan dengan kisah infantisida, pembunuhan kanak-kanak oleh Herodes, yang dinarasikan dalam perikop berikutnya (Mat 2:13-18) secara sederhana kisah ini hendak menyatakan dua hal pokok. Pertama, Yesus adalah Musa baru (yang diselamatkan dari pembunuhan anak-anak), yang bahkan membuat orang-orang Majus dari negeri yang jauh dan asing pun, yang bukan orang Yahudi, hadir untuk menghormatinya. Penempatan Yesus sebagai Musa baru ini merupakan pemaknaan alegoris oleh penulis Injil yang di satu sisi menunjukkan kelanjutan dari karya keselamatan Allah dalam Perjanjian Lama (continuity) dan di sisi lain menunjukkan kebaharuan, perbedaan dan tentu saja keunggulan Yesus (discontinuity). Sementara itu, kehadiran orang Majus dari Timur ini berfungsi juga untuk menunjukkan nada universalitas keselamatan, bahwa keselamatan itu bukan hanya untuk orang Yahudi, melainkan juga untuk seluruh bangsa. Kedua, kualitas kemajusan mereka telah menjadikan mereka sanggup mengenali, menerima, menemukan dan menghormati Yesus sebagai pribadi yang bernilai. Maka siapapun dia, entah orang Yahudi entah bukan Yahudi, jika memiliki kualitas kemajusan, ia akan sanggup mengenali dan menemukan kehadiran pribadi yang bernilai dalam kehidupan.
Tulisan reflektif ini tidak berfokus kepada kristologi Injil Matius, melainkan lebih memperhatikan aspek kemajusan yang secara figuratif menyediakan beberapa pembelajaran menarik.
Pertama, di antara beragam pemaknaan tentang orang Majus, penulis cenderung memilih pengertian orang Majus dalam karakternya yang paling substansial dan fundamental, yakni sebagai orang-orang yang memiliki kecintaan terhadap proses belajar terus-menerus demi memperluas dan memperdalam wawasan sebagai sarana fundamental untuk lebih sanggup memahami, mendengarkan, mencermati, dan mengenali apa yang penting, yang baik, yang indah, yang luhur, yang adil dan yang bermanfaat dalam kehidupan. Pengertian ini dapat disandingkan dengan istilah "para pecinta ilmu, para santri, kaum pembelajar, learning people". Jika Gereja ditempatkan dalam kategori pengertian ini, maka ia akan disebut sebagai "ecclesia discent" (Gereja yang belajar). Dalam hal ini, wawasan itu dapat bersifat intelektual maupun spiritual-religius, yang oleh Mgr. J. Pujasumarta, Pr (alm) dirumuskan sebagai spiritualitas integral.
Kecintaan untuk belajar terus-menerus ini merupakan gerak dinamis di dalam diri seseorang yang tidak lahir secara natural melainkan merupakan hasil dari pembelajaran dan pembiasaan yang panjang. Ia merupakan buah dari habitus, dalam arti selain merupakan hasil pembiasaan sekaligus juga merupakan hasil dari pilihan yang membedakan (distinctive) dari jenis pilihan lain. Ini merupakan gerak yang harus dilatih dan ditekuni setiap saat sehingga menjadi laku atau the way of life. Sungguh menarik, bahkan kecintaan untuk belajar pun harus dipelajari dan dilatihkan, serta dibiasakan...!!!
Kedua, orang majus adalah mereka yang dengan wawasan dan pengetahuan yang diperolehnya melalui kecintaan belajar itu, senantiasa berupaya untuk membaca tanda-tanda dalam kehidupan. Tanda selalu berisi dua elemen yakni penanda atau sesuatu yang menandakan, dan tinanda atau sesuatu lain yang ditandakan. Penanda itu bisa berupa apa saja, perkataan, ujaran, peristiwa, kecenderungan, kebiasaan, sikap, perilaku, kebijakan politik, konflik di tengah masyarakat, komentar di media, respon terhadap suatu peristiwa, dsb. Tinanda adalah apa yang kurang lebih menunjukkan isi, penjelasan, substansi, pengertian utama, maksud, kepentingan dasar, dinamika dari sesuatu yang menjadi penanda itu.
Pergulatan untuk terus-menerus membaca relasi penanda dan tinanda di dalam kehidupan inilah yang menjadi panggilan dasar seorang yang memiliki kualias kemajusan. Seluruh pergulatan membaca tanda ini mengarah kepada pengenalan dan penemuan tentang apa yang mendasar dan penting, apa yang baik dan benar, apa yang indah dan mengagumkan di dalam kehidupan. Ini merupakan sebuah karakter keterbukaan, kesiapsediaan untuk menyelami dan melampaui. Sekaligus, ia menunjukkan karakter magis, menuju yang lebih.
Mereka yang berada dalam panggilan kemajusan ini, pada umumnya memiliki sikap dan pandangan bahwa setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah, setiap peristiwa dan pengalaman adalah materi pembelajaran. Ia senantiasa terbuka untuk mencari dan menemukan. Dalam kerangka spiritualitas, pergulatan membaca tanda ini diorientasikan untuk menemukan nilai-nilai fundamental dalam kehidupan yang memungkinkan manusia dapat menjalani dan mewarnai kehidupan menuju kepada pertumbuhan, perdamaian, kasih sayang, saling hormat, saling meneguhkan, kesetaraan, kemartabatan dan keadilan.
Jika diimplementasikan di dalam teologi sosial, maka pergulatan membaca tanda ini juga memiliki keserupaan dengan seluruh pergulatan analisis sosio-kultural-struktural yang berorientasi kepada menemukan nilai spiritualitas dasar manakah yang pantas dan semestinya ditegakkan dalam situasi kontekstual itu.
Ketiga, orang-orang majus adalah orang-orang yang pada akhirnya akan senantiasa bersikap kritis terhadap jebakan-jebakan ideologis yang tersebar di dalam kehidupan. Mimpi yang mengingatkan para majus untuk tidak kembali kepada Herodes adalah simbolisasi tentang sikap kritis terhadap ideologi politik dan kekuasaan yang seringkali menyembunyikan kepentingan yang justru dapat menghancurkan kehidupan dan pertumbuhan kemanusiaan. Sikap kritis selalu diorientasikan kepada pertumbuhan kehidupan, mekarnya kemanusiaan, dan meluas serta mendalamnya kasih sayang. Sikap kritis semakin dibutuhkan terutama pada masa sekarang ini karena beragam ideologi itu bekerja secara sangat halus dan seringkali tak terdeteksi oleh pikiran dalam banyak aspek kehidupan.
Keempat, pilihan orang-orang Majus untuk tidak kembali kepada Herodes, selain merupakan sikap kritis, juga merupakan pilihan keberpihakan. Kemajusan menghantar kepada keberpihakan terhadap yang rentan, yang terancam kematian dan kehancuran kemanusiaan. Kemajusan mengarahkan kepada keberpihakan terhadap segala yang memungkinkan pertumbuhan dan kehidupan.
Dengan demikian, kisah orang majus ini dapat menjadi kisah yang mengundang kita untuk senantiasa membangun kualitas dan kedalaman kita sebagai orang-orang yang mencintai proses belajar terus-menerus, agar semakin memiliki kesanggupan untuk bertekun dan setia dalam pergulatan membaca tanda-tanda dalam kehidupan, disertai sikap kritis dan pengambilan jarak, sehingga semakin dapat menemukan nilai-nilai fundamental yang dibutuhkan dalam kehidupan bersama, yang pada gilirannya menjadi landasan bagi keberpihakan. Nilai-nilai fundamental seperti kebaikan, kebenaran, kasih sayang, kesetaraan, dan keadilan itulah yang akhirnya menjadi pegangan, acuan dan landasan bagi seluruh cara berpikir, bertutur kata, bersikap, dan bertindak di tengah kehidupan yang paling kontekstual. Proses ini berlangsung terus-menerus tanpa henti.
Kualitas kemajusan yang kita jaga setiap saat akan menjadi sarana yang membantu kita untuk semakin sanggup menemukan apa yang benar-benar baik, indah, agung, memesona, luhur, penting, adil, menumbuhkan dan memekarkan kemanusiaan. Kesetiaan untuk menjagai kemajusan ini juga dapat menjadi sarana bagi kita agar dalam situasi apapun, dalam lingkungan apapun, nilai-nilai luhur dan fundamental yang diperjuangakan oleh para guru rohani sepanjang sejarah ini tak pernah hilang dan terlepas dari pertimbangan-pertimbangan dan pilihan kita. Bagi setiap orang dari beragam latar belakang keyakinan dan agama, nilai-nilai fundamental ini telah dijunjung tinggi dan diperjuangkan oleh para guru rohani mereka melalui perkataan maupun keteladanan.
Akhirnya, kualitas kemajusan ini, yakni kecintaan untuk senantiasa belajar dan membuka diri, dapat membantu setiap manusia untuk mengenali dan menemukan segala yang baik dan indah, yang luhur dan yang adil, di dalam setiap komunitas kemanusiaan, di dalam keragaman kebudayaan, agama-agama, dan keyakinan-keyakinan leluhur,[2] yang pantas dikembangkan dalam kehidupan bersama.***
[1] Bdk. I. Suharyo, Pengantar Injil Sinoptik, Kanisius Yogyakarta, 1993, hlm. 77-82
[2] Bdk. Nostra Aetate artikel 2, dalam Dokumen Konsili II, Dokpen KWI dan Obor 1993, hlm. 310
No comments:
Post a Comment