Tuesday, December 26, 2006

Kabar Duka dari Mushala

Oleh Indro Suprobo 

Suatu pagi di hari Minggu pada bulan ramadhan yang lalu, dari mushala di seberang desa diberitakan sebuah kabar duka dalam bahasa Jawa. “Sampun kapundhut ing ngarsanipun Pangeran, ibu Fransisca Suhartini [bukan nama sebenarnya]….(Telah meninggal dunia, ibu Fransisca Suhartini)”. Setelah itu setiap mushala terdekat secara bergantian mengabarkan kembali berita duka itu kepada semua warganya. Begitulah kebiasaan di desa-desa kecil di wilayah padukuhan Dayakan, kelurahan Sardonoharjo, kecamatan Ngaglik, Sleman, Jogjakarta. 

Yang menarik untuk dicermati kemudian adalah peristiwa setelah berita duka itu. Dari corong mushala yang berada di desa wilayah almarhumah itu menetap, terdengar lantunan kidung-kidung requiem, kidung-kidung duka yang biasa dinyanyikan oleh para saudara yang beriman Kristen Katolik yang sekaligus menjadi doa peneguh jiwa bagi keluarga yang ditinggalkan dan ungkapan ketundukan kepada keagungan Tuhan dalam peristiwa-peristiwa besar kehidupan manusia. Kidung requiem itu dilantunkan selama kurang lebih satu jam. Tak lama kemudian, selama kurang lebih satu jam pula, terdengar dari corong mushala yang sama, lantunan ayat-ayat suci al-Quran yang biasa dilantunkan pada saat ada orang meninggal dunia. Tanpa banyak komando, orang-orang desa segera berbagi tugas, salah satunya adalah menggali makam. Sementara sebagian besar warga desa berdatangan untuk melayat, sekitar jam sepuluh pagi, di rumah duka diselenggarakan upacara ibadat gerejani yang dihadiri oleh jemaat Kristen Katolik dan dipimpin oleh pemimpin jemaat setempat yang disebut prodiakon. 

Pada saat upacara melepas jenasah di siang hari, seluruh warga desa dan perangkat desa berkumpul di rumah duka. Dalam sambutannya, bapak kepala Dusun menyatakan,”Saya sebagai kepala Dusun di sini, meminta dan memohon dengan hormat kepada saudara-saudara yang beriman kristiani untuk memimpin seluruh upacara pelepasan jenasah ini hingga selesai”. Dan terjadilah. Seluruh upacara pelepasan jenasah itu dilakukan dalam tata cara ibadat Kristen katolik dan dihadiri oleh semua warga desa dari semua agama dan kepercayaan. Kaum perempuan berjilbab, tua maupun muda, tampak sangat biasa dengan semua ini dan mengikuti upacara dengan penuh hormat dan kidmat. 

Kekerabatan sebagai yang utama 
Bagi mereka yang menaruh perhatian kepada tema pluralisme dan dialog agama-agama di tengah masyarakat, apa yang terjadi di padukuhan Dayakan ini merupakan sebuah peristiwa yang menarik dan unik. Di tengah terpaan berita tentang konflik dan kekerasan agama-agama di beberapa wilayah di Indonesia, dukuh Dayakan ini menampilkan wajah alternative yang menyejukkan. Yang lebih menarik lagi, dari cerita para tetangga diketahui bahwa ibu Fansiska Suhartini yang meninggal dunia itu, ternyata sangat biasa melakukan shalat tarawih bersama warga desa, meskipun ia adalah seorang perempuan beriman Kristen Katolik. Malam hari sebelum meninggal, ia sempat terjatuh setelah menjalankan shalat tarawih dan tidak sadarkan diri. Esok harinya, kabar duka itu bergema dari corong mushala dan kidung-kidung requiem serta lantunan ayat suci Al-Quran mengiringi kepergiannya. “Requiem aeternam….semoga beristirahat dalam keabadian..” 

Menurut cerita para tetangga pula, rumah tempat tinggal almarhumah sudah biasa digunakan baik untuk sembahyangan para jemaat Kristen katolik dalam berbagai macam bentuknya maupun untuk doa-doa dalam tatacara Islam seperti tahlilan, kenduri dan sebagainya. Semuanya berjalan baik dan banyak keluarga menikmatinya secara wajar dan tanpa prasangka. Peristiwa unik semacam ini bisa terjadi karena kekerabatan di antara warga desa masih sangat kental. Suasana komunitarian sangat mewarnai kehidupan sehari-hari. “Di desa ini, paseduluran atau persaudaraan merupakan hal yang lebih diutamakan daripada hal-hal lain seperti agama dan kepercayaan”, ungkap salah satu ketua RT dalam salah satu obrolan malam di pos ronda. Sapa-aruh atau tegur-sapa akrab dalam perjumpaan sehari-hari merupakan kebiasaan yang masih sangat mudah dijumpai. Panggilan akrab seperti pakdhe Giyanto, mbah Sis, kang Jumari dan Lik Suroto, sangat sering terdengar dalam pergaulan harian. Saling berbagi hasil panen ladang di antara warga juga masih sangat terjaga. 

Dalam suasana hidup yang mengutamakan kekerabatan, persaudaraan dan sifat-sifat komunitarian semacam ini, perbedaan agama dan kepercayaan tak lagi punya tempat untuk memecah belah dan menyulut konflik di antara warga. Agama dan kepercayaan, tidak termasuk dalam prioritas persyaratan hidup bersama warga masyarakat. Tegur sapa, kesediaan untuk terlibat dalam aktivitas gotong royong warga, kerelaan untuk ikut menjalankan ronda malam, keikhlasan untuk menyediakan uang jimpitan, kegembiraan yang dipancarkan dalam kehadiran pada saat muyen (berkunjung ketika ada kelahiran bayi), jagong manten (acara pernikahan), dan ketulusan untuk hadir dalam kenduri, justru merupakan hal-hal yang lebih utama dalam persyaratan hidup bersama antar warga. Prioritas kepada paguyuban warga ini dengan sendirinya telah menjadi alat sensor terhadap munculnya prasangka antar agama. 

Ketika ada anggota warga yang mencoba mempersoalkan isu-isu agama, yang bisa menimbulkan rusaknya rasa hormat terhadap perbedaan, ia akan segera mendapatkan kritik dan teguran dari warga lainnya. Jika kritik dan teguran itu tak dihiraukan juga, ia justru akan menerima sangsi social dalam berbagai macam bentuknya antara lain pendapat dan gagasannya tidak akan mendapat tempat di hati warga (dalam bahasa Jawa, “ora usah digubris”). Apabila yang mempersoalkan isu-isu agama itu adalah mereka yang berasal dari luar desa yang mempunyai fungsi sebagai pemuka agama, ia akan mendapatkan teguran dan kritik yang sama dari warga. Apabila kritik dan teguran itu tak juga dihiraukan, ia akan mendapatkan sangsi social dalam bentuk “tidak akan diundang lagi” untuk menjalankan fungsinya. Dalam kehidupan warga desa yang mengutamakan paguyuban dan persaudaraan ini, perbedaan-perbedaan agama telah diterima sebagai sebuah kewajaran kehidupan. Perbedaan adalah keniscayaan yang pantas dihormati, diterima dengan segala kearifan dan keikhlasan budi, dijalani dan dinikmati sebagai sebuah kebiasaan. 

Mushala sebagai pusat 
Meskipun agama tidak menjadi prioritas dalam persyaratan hidup bersama antar warga, mushala di desa itu tetap merupakan pusat kegiatan. Shalat berjamaah pada saat maghrib dan isya dijalankan secara rutin, pengajian malam jumat diselenggarakan secara terencana, panggilan adzan selalu bergema akrab di telinga, segala bentuk pengumuman dan berita disampaikan dari corong mushala, pertemuan remaja dan orang muda diselenggarakan dengan jadual yang tertata, obrolan tentang perbaikan parit dan jalan desa dilakukan sesuai kebutuhan. Semua itu terjadi di mushala desa. 

Karena tidak dipersempit semata-mata sebagai tempat aktivitas keagamamaan, melainkan sebagai pusat aktivitas seluruh dinamika warga yang meliputi aktivitas social dan cultural, mushala telah menjadi tempat yang diakrabi oleh seluruh warga desa apapun agamanya. Fungsi-fungsi social sebuah mushala yang berkait dengan paguyuban dan kekerabatan antar warga desa menjadi lebih mengemuka. Semua warga, apapun agamanya, merasa memiliki mushala itu sebagai bagian dari hidup hariannya, dan bukan sebagai sesuatu yang asing di luar dirinya. Kehadiran Mushala desa yang demikian ini pada gilirannya merupakan kehadiran yang membawa suasana damai, persaudaraan, saling memperhatikan, dan menandai kehidupan sebuah komunitas desa. Dalam bahasa keindahan, Mushala desa yang demikian ini barangkali boleh disebut sebagai “Mushala yang merangkul seribu hati”. 

Melawan Prasangka Agama 
Mushala desa yang mengabarkan berita duka itu merupakan potret dari perlawanan warga desa terhadap prasangka antar agama, karena ia menyuguhkan sebuah alternative sekaligus kritik atas fenomena mainstream relasi agama-agama di Indonesia. Selama sekian lamanya, masyarakat Indonesia hidup dalam carut-marut prasangka. Pergaulan antar agama selalu berada dalam suasana rentan, mudah terpecah, mudah disulut kemarahan dan kekerasan, dan cenderung saling curiga. 

Penanaman prasangka terjadi melalui berbagai cara, di berbagai tempat, bahkan sampai merasuk dalam unit-unit keluarga. Prasangka antar agama bertumbuh subur karena disemai oleh perasaan superioritas satu sama lain. Rasa superior ini telah menutup banyak pintu bagi suasana saling belajar, usaha mengenali secara lebih dekat, dan menjalin komunikasi secara lebih akrab. Akibatnya, perbedaan-perbedaan tak pernah terpahami, pengalaman dari yang lain tak pernah terselami, dan segala bentuk relasi tak pernah tersusun dari ketulusan hati. 

Di tengah situasi seperti ini, syair requiem yang dikidungkan dari corong Mushala, telah mendobrak kebekuan relasi agama-agama yang diwarnai prasangka. Seolah-olah ia hendak berkata-kata,”Wahai dengarlah, kami menyeru kepada Dia yang sama dalam bahasa yang beragam rupa”

Suatu pagi di hari Minggu, pada bulan Ramadhan yang lalu, kabar duka dari Mushala telah menjadi bukti nyata bahwa kearifan komunitas-komunitas desa telah mampu mengelola relasi agama-agama dalam damai yang didamba, dalam hormat setulus hati dan dengan ikhlas di kedalaman sanubari. Semoga semakin banyak mushala dan tempat ibadah lain sejenisnya, semakin mampu merangkul sebanyak mungkin hati. 


2 comments:

bejo unlimited said...

di kampungku pernah demikian, tapi sekarang hilang ditelan jaman.

Anonymous said...

Apakah itu masih bisa terus terjadi ?????? dimana orang -orang yang berfikiran sempit dengan mengatasnamakan jihad menyebarkan teror terhadap umat agam yang lain ... (R)