Wednesday, October 11, 2006

Rekonsiliasi Kultural Agama-agama, Sebuah Pengalaman Lokal

Indro Suprobo

Dari Pengakuan-pengakuan Kecil 

 Suasana maghrib di rumah doa semua agama yang terletak di pinggir kali dan diteduhi oleh rimbunan bambu di kompleks Balai Budaya Sinduharjo Jogjakarta, menjadi begitu wening dan khusuk oleh wewangian dupa dan lantunan kidung-kidung Hindu yang didaraskan oleh anak-anak muda berbagai agama. Agnihotra, itulah nama sebuah upacara doa Hindu yang dilakukan oleh anak-anak muda itu untuk mengawali week-end bongkar prasangka pada tanggal 6-7 Maret 2002. Semua yang hadir, baik yang beragama Islam, Katolik, Hindu, Budha, Kristen maupun Sapta Dharma, menyatukan hati memaknai pergantian hari dalam lantunan doa-doa pujian Hindu, menyembah Sang Hyang Widhi dan mengenang para suci. 

 Dalam week-end sederhana itu, 30-an orang muda berbagi pengalaman kecil namun nyata berkaitan dengan relasi antaragama. Menceritakan pengalaman pribadi, mencermati kisah orang lain, dan mengakui realita sederhana di antara mereka, menjadi aktivitas utama membongkar prasangka. Yuli, seorang anak SMA kelas tiga yang menganut kerohanian Sapta Dharma mengungkapkan kisah lucu namun menggelitik kesadaran keberagamaan. 

“Saya sekolah di SMA kelas tiga. Pada saat pelajaran PPM (dulu bernama PMP), guru menerangkan soal keyakinan. Karena bicara soal keyakinan, guru saya memberikan contoh keyakinan Sapta Dharma. Saya merasa pemahaman dia tentang Sapta Dharma tidak sama dengan yang saya hayati. Keterangan yang dia berikan di kelas itu menyinggung perasaan saya dan saya merasa dianaktirikan. Oleh karena itu saya mengajukan pandangan saya tentang Sapta Dharma yang berbeda dengan pandangan guru saya itu. Dia lalu bertanya soal agama saya. Saya menjawab bahwa saya tidak beragama melainkan menganut kerohanian Sapta Dharma. Sejak itu dia bersikap lain terhadap saya dan sebagai hadiahnya, saya mendapatkan nilai 6 untuk pelajaran PPM. Sementara untuk pelajaran agama yang formal diajarkan di sana, saya mendapatkan nilai 9” 

Perlakuan serupa dialami oleh Preh, seorang mahasiswi perguruan tinggi swasta di Jogjakarta, yang juga penganut Sapta Dharma. “Saya mendapatkan kuliah agama di kampus saya. Banyak agama dikenalkan dan masing-masing penganut agama di kelas diwajibkan untuk mempresentasikan hal-hal berkaitan dengan agama masing-masing. Ketika mempresentasikan aliran kepercayaan yang saya anut, saya merasa direndahkan oleh dosen. Dosen mengatakan bahwa kepercayaan adalah jiplakan dari agama” 

 Pengakuan Yuli dan Preh ini menunjukkan bagaimana ia mendapatkan perlakuan berbeda karena ia tidak beragama, melainkan menganut suatu kerohanian. Perlakuan yang dirasakannya sebagai “menganaktirikan” dan “merendahkan” itu dialaminya dalam bangku pendidikan dan terjadi di ruang kelas. Perlakuan yang dialami oleh Yuli dan Preh itu dilakukan oleh guru atau dosen yang berbeda agamanya. 

Lain lagi pengakuan yang diutarakan oleh Wayan, seorang mahasiswa Hindu Bali. Ia mengungkapkan bahwa dalam agamanya sendiri, ia mengalami perlakuan “disingkirkan” oleh teman-teman seagamanya sendiri. “Pergaulan itu ada di mana-mana, tidak hanya ada di Ashram Gandhi (asrama untuk mahasiswa Hindu). Di komunitas Hindu, ada orang yang menyingkirkan teman sesama Hindu yang suka bergaul dengan agama lain. Ini saya alami sendiri. Bahkan upacara doa Agnihotra yang kita lakukan di sini, sangatlah sulit untuk bisa dilakukan di dalam kuil Hindu karena dianggap tidak lazim. Saya merasa sangat dihargai karena lagu-lagu pujian Hindu dinyanyikan di sini. Bahkan lagu Sarwa Dharma dinyanyikan secara lebih bagus oleh teman-teman Duta Voice yang beragama kristen. Saya menghargai mereka. Ini jujur dan tidak dibuat-buat” 

Pengalaman yang menarik dialami juga oleh Ryo, seorang pemimpin koor mudika. Pengalaman ini terjadi dalam suatu latihan koor untuk persiapan acara pra-paskah yang bernuansa pertobatan. “Dalam sebuah latihan koor mudika, saya membacakan terjemahan syair pertobatan Abunawas dalam bahasa Indonesia. Syair itu dirasa cocok dengan tema pertobatan masa pra-paskah dan teman-teman mudika merasa tertarik dengan syair itu. Mereka lalu bertanya,”Syair itu berasal dari Santo siapa?” Kepada teman-teman mudika saya mengatakan bahwa syair itu berasal dari seorang Santo di daerah Timur Tengah. Santo itu orang Arab dan bernama Abunawas. Anehnya, ketika saya menyanyikan syair itu dalam bahasa aslinya, yakni bahasa Arab (Ilahiy lastu lil firdausi ahlan...), sebagian besar teman mudika itu lalu berubah perangai wajahnya. Apakah ada yang salah dari syair ini? Mereka belum siap menerima syair ini. Ternyata, bahasa yang berbeda mempengaruhi orang dalam memberikan sikap meskipun kandungan isinya sama.” 

 Pengakuan-pengakuan kecil ini bukanlah sekedar peristiwa-peristiwa yang terserak tanpa kaitan satu sama lain, melainkan merupakan ekspresi-ekspresi yang konsekuens dari arus besar kesadaran beragama masyarakat Indonesia pada umumnya. Kesadaran beragama manakah yang mengakibatkan timbulnya pengakuan-pengakuan semacam itu? 

Mencermati Kesadaran Beragama dalam Masyarakat 

 Jika ditelusuri lebih jauh, pengakuan Yuli dan Preh menunjukkan bagaimana perlakuan diskriminatif dialami oleh agama-agama atau keyakinan lokal sebagai akibat dari dominasi negara terhadap kehidupan beragama. Negara yang telah menentukan definisi agama di Indonesia, membatasi hanya ada 5 agama yang secara formal diakui yakni Islam, Hindu, Budha, Kristen dan Katolik. Agama-agama yang lain yang mungkin sudah hidup dan berkembang dalam religiusitas lokal tidak diakui sebagai agama melainkan sebagai aliran kepercayaan. Perlakuan diskriminatif yang dialami oleh Yuli dan Preh dilakukan oleh mereka yang kesadaran beragamanya dibentuk oleh dominasi negara ini. Sikap terhadap Yuli dan Preh ini dilakukan oleh mereka yang mengamini definisi agama sebagaimana diformulasikan oleh negara yang di dalamnya dirumuskan kriteria-kriteria formal seperti kitab suci dan nabi. Itulah kesadaran beragama yang pertama, terserah mau disebut apa. 

 Pengakuan yang diungkapkan oleh Wayan dan Ryo menunjukkan fenomena kesadaran beragama yang dibentuk oleh dominasi elit agama atas umatnya. Dominasi elit agama ini berkaitan dengan penafsiran atas ajaran dan praksis keagamaan dalam kelompok agama sendiri maupun berkaitan dengan penafsiran atas ajaran dan praksis keagamaan kelompok agama lain.

 Kedua bentuk dominasi ini, baik yang dilakukan oleh negara atas agama maupun yang dilakukan oleh elit agama atas umatnya, pada gilirannya menumbuhkan relasi ketergantungan dalam kehidupan beragama. Sikap masyarakat terhadap ekspresi religiusitas di sekitarnya lalu berada dalam ketergantungan ini dan dengan demikian tidak mandiri. Dominasi negara atas agama selanjutnya melahirkan istilah sinkretisme dan dikenakan kepada masyarakat yang secara formal memeluk agama tertentu namun sekaligus melaksanakan praksis-praksis agama lokal yang telah lebih dahulu dianutnya. Istilah sinkretisme inipun sebenarnya menjadi ekspresi dominasi negara atas agama yang berfungsi sebagai rambu-rambu penjaga “kemurnian” identitas keagamaan sekaligus sebagai hukuman terhadap alternatif religiositas yang dikategorikan “menyimpang”. Akibatnya, masyarakat beragama yang berada dalam ketergantungan terhadap negara ini pun mengekspresikan sikap mereka terhadap “alternatif religiositas” di sekitarnya dengan sikap “anti”, “menjauhi”, “menganggap lebih rendah”, “menilai tidak murni”. Lebih hebat lagi, alternatif religiositas yang dipilih oleh sebagian masyarakat di banyak lokalitas itu dianggap oleh masyarakat beragama sebagai “tidak memiliki kesucian” atau “tidak membawa kepada keilahian” sehingga tidak mungkin menjadi jalan untuk menyucikan kehidupan dan mengangkat hidup kepada keilahian. Sikap yang diekspresikan oleh guru dan dosen beragama terhadap Yuli dan Preh dapatlah dikatakan sebagai sikap superior agama-agama formal atas agama lain yang dikategorikan sebagai kepercayaan.

 Dominasi elit agama atas umat beragama membawa bentuk ketergantungan yang lain. Kehidupan beragama masyarakat lalu ditentukan oleh cara berpikir, pandangan dan sikap elit agamanya. Cara berpikir umat beragama terhadap agamanya dan terhadap agama lain juga dipengaruhi oleh cara berpikir elit agamanya. Oleh karena itu, sebagian besar umat beragama “kurang berani” berbeda sikap dan cara pandang terhadap agama sendiri maupun agama lain karena tergantung kepada elit. Sikap ketergantungan ini sangat berpengaruh pada bagaimana masyarakat beragama itu menyelesaikan konflik dan memaknai perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam kehidupan beragama. Pengakuan Wayan dan pengalaman Ryo menjadi contoh konkret. 

Menjalankan Alternatif Religiositas

Analisis yang dikemukakan di atas tentu saja hanyalah salah satu analisis dari sekian ragam analisis terhadap kehidupan beragama masyarakat Indonesia. Oleh sekelompok anak muda di Jogjakarta, analisis ini dijadikan dasar untuk menentukan pilihan sikap dan tindakan berkaitan dengan kehidupan beragama. Formulasi yang dikemukakan adalah beragama secara dewasa, melepaskan ketergantungan terhadap segala bentuk otoritas dan menceburkan diri dalam eksplorasi religiositas yang mandiri dengan prinsip saling menemani. Formulasi ini secara konkret dijalankan melalui sebuah komunitas yang berdasarkan pengalaman kesejarahannya, secara sadar memilih untuk menghindari bentuk kemapanan organisasi dengan segala hierarkinya. Formulasi ini juga dijalankan melalui sebuah komunitas yang secara sadar menghindari batas-batas keanggotaan dan menghindari senioritas-yunioritas. Akibatnya komunitas ini menjadi sangat terbuka, siapapun boleh bergabung dan meninggalkan komunitas sesuai dengan kemantaban pertanggungjawaban pilihan pribadinya. Masing-masing pengalaman dan kesejarahan religiositas diberi ruang yang sama dan menjalankan prinsip saling menemani.

 Dalam menjalankan alternatif religiositas, komunitas ini mengambil pilihan metodis membongkar prasangka yang diwujudkan dalam tiga kelompok aktivitas yakni silaturahmi dan week-end, ekplorasi musik spiritual, dan belajar bersama. Semua bentuk aktivitas ini dipikirkan, dibicarakan dan dijalankan bersama-sama tanpa ada otoritas superior yang mengawalnya. Satu-satunya pengawal adalah kejujuran, ketulusan dan keyakinan kepada kebaikan-kebaikan yang mungkin dicapai. 

Silaturahmi dan Week-end

Yang dilakukan dalam silaturahmi ini bukanlah sekedar berkunjung dan bercakap-cakap, melainkan berdialog melalui pengalaman. Semua anggota komunitas belajar mengalami “yang berbeda” dan “yang lain” yang selama ini dianggap tidak boleh dialami. Silaturahmi ini barangkali boleh disebut sebagai passing over, menyelami yang lain dan yang berbeda. Contoh konkretnya, semua anggota komunitas belajar mengalami doa agnihotra yang bertradisi Hindu, atau belajar mengalami perayaan ekaristi (misa) di gereja katolik, atau belajar mengalami ritus-ritus Sapta Dharma maupun tradisi meditasi Budha. Dalam week-end, seluruh pengalaman silaturahmi ini beserta dengan segala reaksi pribadi yang terjadi, direfleksikan, diceritakan dan dibicarakan bersama dalam suasana pertemanan yang jujur dan terbuka.

Eksplorasi Musik Spiritual

Eksplorasi musik spiritual adalah kesenian yang dipilih sebagai media lain untuk berdialog, menyelami tradisi-tradisi seni religius yang berbeda-beda dan menghantar setiap pribadi kepada pengalaman religius yang kaya. Eksplorasi musik spiritual ini berisi permainan musik berbagai tradisi religius yang ada di masyarakat baik yang dikategorikan sebagai agama maupun bukan agama (oleh negara), kidung dan syair-syair religius, narasi-narasi religius maupun seni gerak yang mengekspresikan pengalaman religiositas. Semua anggota komunitas menjalankan kesenian ini sebagai media untuk mengekspresikan dan menyelami beragam pengalaman religius yang ada.

Belajar Bersama

Belajar bersama merupakan aktivitas kajian dan dialog lintas disipliner sebagai upaya mengembangkan wacana agama dan membantu masing-masing pribadi memberikan pertanggungjawaban atas pilihan alternatif religiositasnya kepada masyarakat. 

Rekonsiliasi Kultural yang Tak Terduga

Setelah kurang lebih selama dua tahun menjalani alternatif religiositas, komunitas ini menemukan pengalaman-pengalaman rekonsiliatif baru yang tak pernah dipikirkan sebelumnya. Sebagian besar orang yang terlibat di dalamnya mengalami perubahan sikap dalam berelasi dengan agama lain. Sikap-sikap curiga, khawatir atau takut dan kaku yang pada awalnya terjadi, telah berubah menjadi sikap santai dan serba percaya diri. Pertanyaan dan perbincangan mengenai perbedaan-perbedaan yang umumnya dianggap tabu untuk dibicarakan karena dikhawatirkan bisa menyinggung keyakinan agama, justru menjadi pertanyaan dan perbincangan yang dominan dan semuanya itu dilakukan dalam kesantaian pertemanan yang serba terbuka. Orang-orang muda dari berbagai agama ini sekarang menjadi lebih akrab dengan berbagai ritual agama yang sebelumnya dianggap sebagai “perbuatan yang harus dihindari”. Boleh diungkapkan di sini bahwa mereka yang pada masa SMA pernah sangat antusias melemparkan bom molotof di gereja Kotabaru, sekarang menjadi sangat antusias untuk mengikuti ibadat Minggu Palma, Trihari Suci Paskah dan Natal meskipun sehari-harinya mereka tetap menjalankan sholat lima waktu. Mereka yang selama masa kecilnya mengalami pengalaman buruk dengan semua yang berbau Islam dan menganggap Islam sebagai musuh yang senantiasa menolak kehadiran mereka, sekarang dengan penuh ketulusan bisa membagikan pengalaman bahwa sholat maghrib setiap hari merupakan meditasi yang nikmat dan membawa kebeningan batin meskipun misa di gereja setiap Minggu tetap menjadi ungkapan kekristenannya. Atau seorang pemuda yang selama sekian tahun sangat wasis sebagai takmir masjid, tidak lagi merasa canggung untuk melantunkan kidung pujian Hindu dalam upacara ritual di gereja. Ada pula seorang mahasiswa teologi kristen yang dengan gembira sempat memilih untuk berjilbab dalam hidup hariannya karena menurutnya, berjilbab adalah sebuah jalan kesederhanaan yang menuntut konsekuensi dalam banyak hal. Ada pula seorang teman Hindu yang telah dinyatakan lulus karena mampu melaksanakan “sujud” dalam ritual Sapta Dharma secara tulus. Sudilah pula kiranya diterima dalam kebesaran hati, jika seorang pria kristen telah menikahi perempuan muslim dalam sebuah upacara suci yang dipimpin seorang kyai, dan selanjutnya memilih upacara ritual Hindu untuk memaknai sebuah tradisi mitoni, mendoakan sang calon bayi. 

 Orang-orang muda dalam komunitas ini tidak lagi merasa canggung atau khawatir atau bahkan takut disebut sinkretis karena berbagai macam ritual agama yang telah biasa dialaminya ternyata merupakan ekspresi-ekspresi kultural yang tetap mampu membantunya memasuki pengalaman religius dan memasuki ketundukan di hadapan Sang Maha Besar yang satu dan sama. Ternyata, tak ada satupun pengalaman religius yang hilang ketika ia memasuki tradisi-tradisi yang berbeda-beda itu. Bagi orang-orang muda ini, stigma sinkretisme dipahami sebagai ungkapan kepentingan kekuasaan yang mengalami ketakutan akan kehilangan kewibawaan dan loyalitas. Ketika substansi agama telah dicoba untuk diselami dan dialami dalam kerendahan hati, formalisme agama tidak lagi ditempatkan sebagai hal yang utama meskipun tetap diakui sebagai hal yang berharga. Tak mengherankan ketika ditanya “Anda beragama apa?”, mereka justru akan celingukan untuk menjawab sambil tertawa, “Semacam beragama”.

 Empati dan rasa solidaritas terhadap orang lain yang mengalami diskriminasi akibat agama yang dianutnya, ternyata tumbuh lebih besar dan nyata. Mereka yang mengalami diskriminasi dalam menjalankan keyakinan agamanya, diberi ruang untuk mengungkapkan pengalaman diskriminatif itu, diperhatikan, diterima, ditemani dan dibantu untuk menghadapi pengalaman itu. Empati dan solidaritas ini tumbuh justru ketika sikap kritis terhadap agama, termasuk agamanya sendiri, mengemuka sebagai kesadaran bersama. Dengan tulus hati mereka mengakui bahwa agama tidak sepenuhnya suci karena selalu pernah terlibat dalam hal-hal yang tidak manusiawi, dan dalam sejarah selalu pernah menumpahkan darah. 

Pengakuan akhir

Seluruh perjalanan dan rekonsiliasi kultural yang terjadi ini, sesungguhnya tak pernah menjadi rencana. Semuanya berjalan begitu saja, bertemu tanpa dipaksa, bersama belajar tanpa merasa dikejar-kejar, menemukan lalu dibagikan, menjadikannya sebagai kebiasaan, didiskusikan sambil menemukan pertanggungjawaban, diyakini dalam kerendahan hati dan dijalankan dengan penuh harapan. Tak ada pastor dan tak ada kyai, tak ada pendeta maupun bikhu dan bikhuni. Semuanya dipikirkan dan dijalankan sendiri tanpa dominasi dan otoritas yang mengawasi. Seluruh pertanyaan dan kegelisahan budi, diolah dan ditekuni dalam saling menemani.

(Tulisan ini pernah disampaikan dalam Seminar Nasional Pribumisasi Islam : Negara, Agama dan Kebudayaan Menuju Desentralisasi dan Rekonsiliasi, Hotel Indonesia Jakarta, 24 Mei 2002, yang diselenggarakan oleh Desantara Jakarta)

2 comments:

santos said...

Sungguh damai kalau semua orang punya kesadaran seperti anda & teman-teman. Saya yakin para nabi tidak punya maksud untuk mengkotak-kotak kan umat manusia dalam suatu hirarki, mereka hanya ingin mengajarkan 'way of life' yang baik, generasi pengikutnya lah yang melembagakannya menjadi sesuatu yang di sebut "agama".

Mohon informasi kalau ada komunitas serupa di Jakarta. Terimakasih.

>>santos@cbn.net.id

Anonymous said...

Il semble que vous soyez un expert dans ce domaine, vos remarques sont tres interessantes, merci.

- Daniel