Friday, October 06, 2006

Menggugat Klaim atas Sang Nabi




(Resensi Buku)


Indro Suprobo

Sampai saat ini, nabi Ibrahim adalah tokoh yang dianggap penting bagi tiga agama besar di dunia yakni Yahudi, Kristen dan Islam. Ketiga agama ini meyakini bahwa nabi Ibrahim adalah figur peletak dasar ketuhanan dan kesetaraan relasi social yang berkeadilan sekaligus sebagai figur kekasih Tuhan yang menegakkan ajaran Tuhan di muka bumi. Masing-masing agama tersebut juga memiliki klaim khusus atas Sang Nabi. Agama Yahudi menganggap bahwa nabi Ibrahim adalah moyang seluruh bangsa Ibrani, bahwa generasi berikutnya berasal dari tulang rusuknya, bahwa atas kejujuran Ibrahim kepada Allah, mereka diberi tanah khusus yang tidak dimiliki sebelumnya namun di sana mereka hanyalah pendatang, dan bahwa saksi atas peristiwa tersebut adalah tanda khitan (sunat) yang diikat dalam bentuk akad (perjanjian) sehingga tanda fisik tersebut menjadi kebanggaan bagi setiap orang Yahudi, dan mereka menganggapnya sebagai tanda kemuliaan yang membedakan di antara semua orang di dunia.
Agama Kristen menempatkan nabi Ibrahim (atau Abraham) sebagai moyang Yesus Kristus sebagaimana dikemukakan melalui silsilah Yesus dalam Injil Matius. Dalam konteks ini, nabi Ibrahim ditempatkan sebagai bapa seluruh umat beriman (Kristen). Oleh karenanya, agama Kristen membenarkan dan menerima riwayat Taurat seputar keluarnya nabi Ibrahim dari Ur-Kasdim menuju tanah Palestina (Kanaan) sebagaimana tersimpan dalam Kitab Kejadian yang termasuk dalam kitab-kitab Perjanjian Lama dan menjadi referensi bagi penulis Kisah Para Rasul :”Allah Yang Mahamulia telah menampakkan diri-Nya kepada bapa leluhur kita Abraham, ketika ia masih di Mesopotamia, sebelum ia menetap di Haran, dan berfirman kepadanya : Keluarlah dari negerimu dan dari sanak saudaramu, dan pergilah ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu. Maka keluarlah ia dari negeri orang-orang Kasdim, lalu menetap di Haran. Dan setelah ayahnya meninggal, Allah menyuruh ia pindah dari situ ke tanah ini, tempat kamu diam sekarang” (Kis 7:2-4).
Bagi umat Islam, Ibrahim adalah kekasih Allah (khalilullah), yang daripadanya lahir anak cucu yang membawa benih kenabian (nubuwwah). Secara khusus, umat Islam juga menegaskan bahwa nabi Ibrahim adalah founding father agama Islam (millah al-Islam) sebagaimana tersurat : “Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik” (QS. Ali’Imran [3]:67).
Persoalannya mengemuka ketika Taurat (atau Perjanjian Lama) sama sekali tidak menyediakan kisah tentang hubungan antara nabi Ibrahim dan wilayah Arab (Hijaz), sementara Al Qur’an al-Karim mengemukakan hubungan harmonis, prinsipiil, dan fundamental antara sang Nabi dan Semenanjung Arab serta agama Islam. Selain itu, ada beragam narasi tentang nabi Ibrahim yang terdapat dalam Al-Qur’an namun tidak ternyatakan dalam Taurat, atau sebaliknya. Hal ini mendorong Sayyid Mahmud, penulis buku ini, untuk menelitinya secara lebih jeli.
Meskipun ketiga agama besar telah mengklaim dirinya memiliki hubungan yang khusus dengan nabi Ibrahim, masih terdapat juga keraguan di antara para ahli berkaitan dengan keberadaan historis sang nabi. Sebagian kalangan peneliti bahkan menyatakan bahwa Ibrahim hanyalah seorang tokoh legendaris (mitos) yang tidak memiliki dasar relasional dengan ilmu sejarah. Sebagian sejarawan juga menilai bahwa kisah-kisah tentang Ibrahim merupakan bagian dari kisah-kisah khurafat yang tidak nyata, atau sekedar kisah yang berkaitan dengan nama-nama dewa dalam tradisi sesembahan kuno yang legendanya sudah beredar luas di negeri Kanaan sebelum bangsa Ibrani datang ke wilayah ini dan akhirnya diadopsi oleh Taurat (atau Perjanjian Lama). Ada pula sebagian ahli yang menganggap bahwa nama Ibrahim berasal dari legenda yang berkembang dalam tradisi Hindia (agama Hindu) yang sudah beredar luas di wilayah sekitar Iran, India dan sekitarnya yang kemudian diadopsi oleh bangsa Ibrani dan mengubahnya menjadi sosok manusia yang bernama Ibrahim. Ini semua merupakan sisi lain tentang nabi Ibrahim yang menantang untuk diteliti dan diungkap demi mendapatkan penjelasan yang semaksimal mungkin dapat ditelusuri bukti-buktinya.
Dengan menggunakan beragam informasi dari disiplin ilmu sejarah-kebudayaan, arkeologi, geografi, studi teks kitab suci dan linguistik, Sayyid mengajak pembaca untuk secara runtut merekonstruksi perjalanan nabi Ibrahim berdasarkan kisah dan pernyataan tentangnya sebagaimana terdapat dalam Taurat (Perjanjian Lama), kitab-kitab Turast Islam, Al-Qur’an dan hadits. Fokus pertama yang mendapatkan perhatian dalam penelitian penulis adalah soal letak daerah Ur-Kasdim yang oleh Taurat dinyatakan sebagai titik awal perjalanan dan tanah air asli nabi Ibrahim. Sampai saat ini, para peneliti masih beranggapan bahwa Ur-Kasdim adalah sebuah kota yang terletak di sebelah selatan sungai Efrat dan termasuk kawasan selatan Irak kuno. Secara umum telah diasumsikan pula bahwa daerah Kanaan yang mula-mula menjadi tujuan perjalanan nabi Ibrahim adalah wilayah Palestina sekarang ini. Kalau demikian, negeri tujuan rombongan Ibrahim ini terletak di sebelah barat Ur-Kasdim dan hanya dipisahkan oleh jarak pedalaman Syam-Yordania. Persoalannya, kalau yang dituju itu adalah Kanaan yang letaknya di sebelah barat Ur-Kasdim, mengapa Ibrahim dan rombongannya harus menyimpang jauh ke arah utara menuju Haran yang termasuk wilayah perbatasan Armenia-Turki Kuno? Selanjutnya, kalau para ahli telah menetapkan bahwa tanah asal kelahiran nabi Ibrahim adalah Ur-Kasdim di selatan sungai Efrat, mengapa di beberapa tempat yang berbeda, teks-teks Taurat justru menunjuk nama-nama kota di wilayah utara sebagai tanah asal Ibrahim dan klannya? Misalnya, ketika mencarikan istri bagi Ishak, Ibrahim menyebut kota Nahor yakni Aram-Mesopotamia sebagai tanah leluhur (Kej 24), atau ketika Ishak memberi saran kepada Yakub untuk mengambil istri dari tanah leluhur di wilayah Padan-Aram (Kej 28:1,2,7,10). Kitab Taurat juga selalu menegaskan bahwa rumpun Ibrahim adalah rumpun Harani dan Ibrahim adalah sosok Arami, seorang pengembara.
Kota Ur-Kasdim yang terletak di sekitar Efrat dan diyakini oleh para ahli sampai saat ini sebagai tanah asal Ibrahim, berdasarkan informasi sejarah dan arkeologi ternyata baru berdiri 1000 tahun lebih setelah berakhirnya masa hidup Ibrahim, dan dikenal sebagai Negara Kaldan. Ini berarti bahwa tidak ada kecocokan waktu secara histories antara masa hidup Ibrahim dan keberadaan kota tersebut. Karena itu, berdasarkan isyarat-isyarat teks Taurat yang menyebut wilayah utara sebagai tanah leluhur Ibrahim, dengan memanfaatkan arkeologi bahasa, Sayyid Mahmud menyimpulkan bahwa kota Arpaksad di Armenia adalah kota yang dimaksudkan sebagai Ur-Kasdim. Simpulan ini didukung oleh penyebutan yang diberikan oleh penduduk Rafidin (Transoxania) Kuno terhadap warga di wilayah utara ini dengan istilah al-Kasiyin atau al-Kasi. Bentuk plural al-Kasi dalam bahasa Ibrani adalah al-Kasdim. Dengan demikian, nabi Ibrahim dinyatakan berasal dari wilayah Armenia.
Focus kedua dalam penelitian Sayyid Mahmud adalah menemukan kaitan antara nabi Ibrahim dan semenanjung Arab. Kitab Taurat tidak memberi informasi sedikitpun tentang hal ini. Taurat hanya mengatakan bahwa setelah keluar dari Mesir, Abram menuju ke tanah Negeb dari dari tanah Negeb ke tanah dekat Betel di mana mula-mula kemahnya berdiri. Para peneliti berusaha menafsirkan kata “Negeb” (ha-Najub) dalam bahasa asli Ibrani dengan arti an-Naqab, yaitu gurun Naqab di palestina Selatan. Dengan menggunakan pola konversi bahasa, kata ha-Najub bisa juga diartikan sebagai al-Janub yang berarti selatan. Arti inilah yang dipakai oleh terjemahan Taurat versi Arab. Dalam konteks nabi Ibrahim, yang dimaksud dengan selatan setelah ia keluar dari Mesir dan melewati kerajaan Geerar, yang menurut peta versi Taurat terletak di sisi Gaza, tidak lain dan tidak bukan adalah semenanjung Arab (hlm.86).
Sayyid Mahmud menafsir bahwa Taurat sengaja memutus hubungan antara Ibrahim dan semenanjung Arab dengan maksud untuk memproduksi wacana tentang keunggulan dan kemurnian darah Ibrani. Produksi wacana tentang “keibranian” ini kiranya berkaitan erat dan didukung oleh pengulang-ulangan pernyataan dalam Taurat bahwa Ishak adalah anak tunggal Ibrahim, yang dengan demikian sekaligus menghapus dan menafikan eksistensi Ismail dalam sejarah karena ia tidak berdarah Ibrani murni melainkan campuran dengan darah Mesir dan budak. Dalam nalar demikian ini, sangatlah mudah dipahami mengapa Taurat menyatakan bahwa yang dikorbankan oleh Ibrahim adalah Ishak, -anak tunggalnya-, dan bukan Ismail, -anak pertamanya-, meskipun hal itu menyalahi konvensi tentang pengorbanan anak pertama dalam adat Ibrani (hlm.94).
Pengolahan focus yang kedua ini terasa sangat menarik dan mengesankan ketika penulis mengemukakan data-data arkeologi tempat, sejarah kebudayaan, arkeologi bahasa, perkembangan pembagian peta dunia beserta deskripsi batas-batas wilayahnya yang mengantar seluruh kerja penelitian ini menuju kunci pembuka misteri sejarah sang Nabi. Penguraian mengenai kata-kata kunci baik itu berkaitan dengan nama tempat, nama komunitas, nama benda peninggalan sejarah, maupun nama orang, dan kaitan yang runtut antara kata-kata kunci itu menunjukkan sebuah studi yang mengesankan dan memberi informasi yang mengagumkan tentang relasi antara kehidupan nabi Ibrahim dan semenanjung Arab. Berdasarkan informasi sejarah dan arkeologi budaya, penulis menunjukkan bukti bahwa orang-orang Mesir pernah mendiami negeri Yaman. Hal ini didukung oleh berita dari surat kabar harian Mesir Al-Ahram yang menyatakan bahwa telah ditemukan sample-sampel mungil patung Spinx yang bertorehkan tulisan Hierogliph di sebuah pekuburan kampung di Bahrain Utara (hlm.127-128). Ini menjadi petunjuk kuat bahwa nabi Ibrahim pernah melakukan hijrah ke selatan menuju Yaman bersama-sama dengan penduduk Mesir pada waktu itu. Orang-orang Mesir yang hidup di Yaman ini pulalah yang ditunjuk sebagai para pembangun Ka’bah di Yaman dan setelah ka’bah itu hancur karena banjir bandang dan keruntuhan bendungan Ma’arib, komunitas Mesir di Yaman ini mengungsi ke utara dan membangun ka’bah lagi di Makah. Baitullah di Makah ini dijuluki al-“Atiq, yang oleh penulis cenderung diartikan sebagai al-qadim atau kuno, sebagai penegas dan pengingat (kenangan) akan baitullah kuno yang dulu dibangun di Yaman (hlm.150-151).
Kisah tentang kota Sodom dan Gomora yang ada dalam Taurat adalah petunjuk lain tentang masa hidup Ibrahim di semenanjung Arab. Dengan menggunakan informasi sejarah dan geografi, penulis menunjukkan bahwa kota Sodom dan Gomora (atau Amurah) yang dimaksudkan oleh Taurat adalah kota Tsamud dan Armao atau ‘Ad di Yaman (semenanjung Arab bagian selatan). Sementara itu, informasi sejarah tentang bencana alam yang pernah terjadi di wilayah itu, yakni letusan hebat gunung berapi, dapat dijadikan sebagai konteks yang melahirkan kisah tentang Sodom dan Gomora atau Tsamud dan ‘Ad (Amurah) tersebut.
Kalau demikian halnya, rute perjalanan nabi Ibrahim sebagaimana diyakini sampai sekarang dan sebagaimana tergambar dalam peta Kitab Suci Perjanjian Lama (Taurat) mendapatkan tantangan yang luar biasa untuk diteliti kembali atau untuk dikoreksi. Penemuan penulis buku ini menjadikan rute perjalanan nabi Ibrahim menjadi lebih runtut, realistis dan mudah dipahami oleh nalar. Peta tentang dunia kitab suci tentu saja mendapatkan tantangan yang sama.
Keprihatinan utama penulis dalam penelusuran kritis bagian kedua ini sebenarnya adalah menunjukkan dan mengungkap bahwa latar belakang “ke-Mesir-an” Ibrahim dengan seluruh kebudayaannya merupakan hal fundamental yang mempengaruhi seluruh sejarah kemudian, termasuk di dalamnya adalah sejarah Islam. Kalau dicermati dengan jelas keprihatinan penulis sebenarnya adalah mau membela “ke-Mesir-an” sebagai keunggulan kebudayaan yang pantas diperhitungkan, sekaligus sebagai ungkapan potes dan perlawanannya atas “Arabisasi” yang telah melanda sendi-sendi kehidupan Mesir masa sekarang ini. Meminjam istilah Ben Anderson, Sayyid Mahmud berusaha merebut dan mengisi ruang pemaknaan baru atas "ke-Mesir-an" sebagai "Imagined Community", atau merebut makna "Imagined Egypt" dari dominasi Arab.
Seluruh pemaparan Sayyid Mahmud yang merupakan temuan baru dari hasil penelitian panjang mengenai misteri kehidupan Ibrahim ini dengan demikian merupakan sebuah gugatan atas klaim dan keyakinan agama-agama tentang sang Nabi. Boleh dikatakan bahwa temuan baru ini juga menyodorkan cara berpikir lain atas wacana berbasis kenabian yang diproduksi oleh masing-masing agama dan kitab sucinya. Sebagai catatan akhir, judul buku versi terjemahan yang dirumuskan oleh redaksi ini memang memiliki kelemahan, yakni mengaburkan keprihatinan dasar yang sebenarnya dimaksudkan oleh penulis, dan bergeser kepada tema lain yakni relasi agama-agama. Keprihatinan dasarnya sekali lagi adalah mengungkap keluhuran kebudayaan Mesir yang telah “direndahkan” oleh gelombang Arabisasi dalam konteks hidup masyarakat Mesir kontemporer dan pendongkrakan keunggulan Ibrani dalam teks-teks kitab suci perjanjian lama.***


Judul buku : Nabi Ibrahim, Titik Temu - Titik Tengkar Agama-agama
Judul asli : Nabi Ibrahim, wa at-Tarikh al-Majhul
Penulis : Sayyid Mahmud al-Qimni
Penerbit : LKiS Jogjakarta 2004

No comments: