Thursday, October 05, 2006

Selembar Kertas

Indro Suprobo Adzan subuh membangunkan Jumari dari tidur lelapnya. Bergegas ia menuju ke padasan untuk mengambil air wudlu. Dingin air yang menyentuh daun telinga semakin membuatnya lepas dari sisa kantuk yang ada. Mushala kecil tak seberapa jauh dari rumahnya. Di sanalah ia biasa berjamaah bersama dengan warga kampung yang umumnya sudah lanjut usia. Kang Midin telah sekian lama dipercaya menjadi imam shalat meskipun usianya relatif lebih muda. Jumlah anak mudanya bisa dihitung dengan jari. “Rika sida budhal maring Ambarawa, Jum?” (kamu jadi berangkat ke Ambarawa Jum?), tanya kang Midin selepas shalat. “Iya kang, inyong wis sewulan ora tilik ramane. Melasi. Sewulan bae rasane kaya wis lawas temen” (Iya kang, saya sudah sebulan tidak menjenguk ayah saya. Kasihan. Satu bulan saja terasa sudah terlalu lama). Sebulan sekali Jumari memang menjenguk ayahnya yang dipenjara di Ambarawa meskipun tak ada yang tahu apa sebabnya. Ia sudah berkali-kali meminta keterangan dari teman-teman ayahnya di kantor koramil, tetapi tak pernah ada jawaban yang memuaskan. Ketika mencari keterangan itu ia selalu dilempar dari satu petugas kepada petugas yang lain. Tapi yang jelas, banyak orang yang selenthang-selenthing mengatakan kalau ayahnya terlibat sebuah gerakan yang membahayakan keselamatan Negara. Ayah Jumari dianggap terlibat gerakan partai komunis Indonesia. Sembilan tahun sudah ayahnya mendekam di penjara. Jumari bisa bertemu ayahnya terakhir kali empat tahun yang lalu ketika masih berada di penjara Banyumas, sebelum dipindahkan ke Ambarawa. Ketika dipindah, tak ada kabar untuk keluarga. Setelah itu keluarganya tak mendapatkan ijin untuk bertemu langsung dengan ayahnya. Setiap kali menjenguk ayahnya, Jumari akan berdiri di pinggir pagar dekat sawah yang mengelilingi penjara. Dari kejauhan ia akan melambai-lambaikan daun pisang sebagai bahasa komunikasi dengan ayahnya. Dari kejauhan pula, dari tingkat atas penjara, ayahnya akan melambai-lambaikan bajunya. Setelah itu Jumari akan membuat bentuk-bentuk huruf dari lambaian daun pisang yang bisa dibaca dari jauh oleh ayahnya: “Kiye inyong, pak” (Ini aku pak). Lalu ayahnya akan membalas dengan cara yang sama menggunakan lambaian bajunya: “Iya, biyung waras?” (Iya, ibumu sehat?). “Waras, bapak kepriwe?” (Sehat, bapak sendiri bagaimana?) “Inyong waras. Sinau sregep ya. Jaga biyunge” (Saya sehat. Rajinlah belajar. Jagalah ibumu) “Siki Sumi wis bongsor ndeyan?” (Sekarang Sumi tentu sudah besar ya?) “Sumi kelas telu SD pak, durung tau weruh bapak. Melasi.” (Sumi kelas tiga SD pak, belum pernah melihat bapak. Kasihan) Sumi adalah adik Jumari yang paling kecil. Ia belum pernah melihat wajah ayahnya karena ketika ayahnya dipenjara, ia masih dalam kandungan. Sambil menangis dalam kesedihan, rindu dan perut lapar, Jumari biasanya berkomunikasi dengan cara demikian selama kurang lebih satu jam. Ia baru akan sampai di rumah biasanya lepas maghrib. Di akhir percakapan itu, ayahnya selalu berpesan: “Anake inyong sing padha tabah ya. Sedhela maning inyong bali ngumah” (Anak-anakku semoga selalu tabah. Sebentar lagi aku pulang ke rumah) *** Sudah sekian lama, gaji bulanan dan beras jatah ayah Jumari tak diterima lagi oleh keluarga. Rumah dinas yang telah lunas cicilannya dari potongan gaji juga telah disita oleh kantor koramil. Semuanya tak disertai alasan jelas, dihentikan dan dirampas begitu saja. Kemelaratan, kesedihan, amarah dan ketakberdayaan sungguh telah merenggut hidup mereka. Semua yang dimiliki telah dijual oleh biyung Jumari untuk membiayai hidup sehari-hari dengan sembilan orang anak. Meja, kursi, almari, tempat tidur, gelas dan piring, semuanya telah terjual. Makan sehari-hari juga seadanya saja. Belum tentu dalam seminggu bisa makan telor sekali. Kalau kebetulan bisa makan dengan lauk telor, adik-adik Jumari biasanya tidak mau mencuci tangan supaya ketika saat makan lagi, bau telor di tangan masih tersisa sehingga terasa makan dengan lauk telor. Dalam kemelaratan yang demikian, makan telor adalah peristiwa yang sangat istimewa. Suatu hari di waktu lebaran, terjadilah peristiwa yang tak akan pernah terlupakan sepanjang hidup Jumari dan adik-adiknya. Biyung Jumari sudah sama sekali tak memiliki uang lagi untuk membelikan sekedar baju baru bagi anak-anaknya. Karena tidak ingin melihat anak-anaknya merasa minder kepada teman-teman sebayanya yang semuanya memakai baju baru saat lebaran, biyung Jumari membuat sendiri baju untuk anak-anaknya dari kain jarit yang masih dimilikinya. Ia memotong kain jarit itu sesuai dengan ukuran badan anak-anak lalu menjahitnya dengan tangan, tanpa mesin karena tentu saja tak punya mesin dan tak mampu bayar ongkos tukang jahit. Lebaran pagi, ketika semua anak kampung mengenakan baju baru, Jumari dan adik-adiknya mengenakan baju dari kain jarit bikinan biyung. Tetapi, apa yang terjadi? Baju itu pas sekali dengan badan dan bagian lengannya tak bisa buat bergerak nyaman. Jadi seperti wayang. Kain jarit yang dimiliki biyung tak mencukupi untuk membuat baju yang lebih longgar. Kali lain, ketika biyung Jumari mendapat sedikit rejeki dan bisa membeli ikan, Jumari sangat berharap hari itu ia bisa menikmati ikan. Selesai menggoreng ikan, semua adik Jumari kebagian makan dengan lauk ikan. Karena harus bekerja di toko besi selepas sekolah, Jumari baru akan makan di rumah sore harinya menjelang maghrib. Jatah makanan berlauk ikan buat Jumari itu diletakkan di atas tungku, ditutupi jengkok kayu yang berat. Ketika Jumari pulang, jengkok itu sudah terguling di tanah, sementara nasi dan ikannya hanya tersisa sedikit saja. Tanpa ada yang tahu, jatah makanan Jumari telah menjadi santapan kucing. Terpaksa, sore itu Jumari makan nasi yang diurapi sedikit garam. Kesulitan demi kesulitan silih berganti dihadapi oleh Jumari dan adik-adiknya. Selesai sekolah, tak satupun dari antara adik-adiknya yang bisa bekerja sebagai pegawai negeri karena selalu dicap sebagai anak tapol. Setelah lulus sekolah, Jumari sendiri merantau ke Jakarta sebagai kuli bangunan, sementara adik-adiknya yang lain tersebar ke berbagai kota mencari pekerjaan apa saja yang penting bisa buat bertahan hidup. Hanya si bungsu Sumi yang masih tetap di rumah karena dia belum lulus sekolah dan menemani biyung. Suatu hari menjelang maghrib, ketika Sumi sedang menyapu halaman dan biyung sedang di dapur, seorang lelaki tua berdiri di dekat pohon depan rumah. Lelaki itu kurus kering, mengenakan baju hijau bertambal-tambal di sana sini, menjinjing tas plastik hitam dan bersandal jepit. Sumi memperhatikan lelaki itu sekilas saja karena mengiranya sebagai pengemis yang kebetulan lewat. Tetapi lelaki itu berhenti di dekat pohon dan memperhatikan Sumi lama sekali. “Kula nuwun dik” (Permisi dik), sapa lelaki itu. “Mangga pak. Wonten napa?” (Silakan pak. Ada apa), jawab Sumi balik bertanya. “Nuwun sewu, griyanipun bu Surati niku sing pundi nggih?” (Maaf, rumahnya bu Surati itu yang mana?) “Lha niki griyanipun. Sekedhap nggih pak” (Ini rumahnya. Sebentar ya pak), jawab Sumi sambil bergegas masuk ke rumah karena lelaki tua itu menanyakan nama ibunya. “Yung, kae ana wong kaya wong ngemis nggoleti biyunge” (Ibu itu ada lelaki seperti pengemis mencari ibu), kata Sumi kepada ibunya. Ibunya segera keluar rumah. Sumi mengikuti ibunya. Sesampai di luar ibunya mengamati lelaki itu. Maghrib membuat wajah oarng itu samara-samar. Ibunya hampir tak mengenali lelaki itu sampai ketika lelaki itu menyapanya. “Kiye inyong” (Ini aku), kata lelaki itu tetap berdiri di dekat pohon sambil menjing tas plastik hitam. Selanjutnya adalah tangisan dan pelukan. Entahlah apa yang dirasakan oleh keduanya, kesedihan, kebahagiaan, keharuan? Hanya kedalaman yang mengetahuinya. Maghrib itulah, untuk pertama kalinya Sumi melihat wajah bapaknya. Di dalam tas plastik hitam yang dibawa ayahnya, hanya ada satu stel pakaian yang dibawa dan amplop berisi selembar kertas pernyataan yang bertuliskan: “ Orang yang namanya tercantum di bawah ini, tidak terbukti memiliki keterlibatan dengan organisasi terlarang dan menyetujui untuk tidak melakukan tuntutan” Setelah tiga belas tahun dipenjara, kehilangan segala hak dan harta benda, menanggung segala kepedihan dan kemelaratan, ia hanya diberi selembar kertas dan tak boleh melakukan tuntutan.*** (Resist-Info September 2006)

1 comment:

Anonymous said...

Tuhan Maha kuasa, Dia menunjukkan kebesarannya walau pun itu butuh waktu yang lama. tidak apa apa saudaraku apa yang ada didalam dada mu lebih berarti dari pada selembar kertas itu.