Friday, October 06, 2006

Senja Bersama Hatta

Indro Suprobo Dua cangkir kopi kental beraroma sedap, diletakkan di meja teras rumah yang terbuka. “Silakan dinikmati. Saya sendiri yang membuatnya, moga-moga rasanya pas”, kata lelaki tua yang masih kelihatan segar dan cerdas itu penuh keramahan. Mohammad Hatta namanya. Mantan proklamator dan perintis kemerdekaan Republik Indonesia. Orang lebih akrab memanggilnya dengan Bung Hatta. Suguhan kopi sedap membuka obrolan kami saat itu. Rambut di sekitar telinga dan jidatnya masih basah oleh sedikti air. Wajahnya kelihatan segar. Bung Hatta memang tak pernah lepas dari disiplin sholat. Baginya, sembahyang sholat bukan lagi kewajiban melainkan bagaikan tarian jiwa menyelami keheningan dan kedalaman hidup. Teras yang terbuka tempat kami ngobrol itu terasa nyaman dan segar karena dikelilingi oleh beragam tanaman hijau di halaman. Angin yang terhirup oleh hidung terasa bersih dan sehat, menyusup ke dalam tubuh dan membangkitkan energi positip. Sesekali wangi bunga tanaman kanthil menyusup lembut, menciptakan suasana relaks. “Ini adalah rumah yang pertama kali saya tempati setelah menikah sekitar bulan nopember tahun 1945. Sekarang menjadi tempat istirahat keluarga pada saat akhir pekan dan hari libur”, kata bung Hatta menjelaskan. “Nyaman sekali. Udaranya segar. Tampaknya sangat cocok untuk menenangkan hati”, kataku menimpali. “Betul sekali. Sangat tenang dan membantu saya memasuki ruang-ruang batin, mencermati peristiwa-peristiwa yang seringkali sangat susah dieja karena terlindas oleh kebisingan kesibukan”, jawabnya tenang menyiratkan kesadaran yang tak pupus oleh keramaian dunia. “Ketenangan semacam ini tentu menjauhkan kita dari beban pikiran yang berat, lalu menjadi lebih sehat”, sambungku mantab. “Memang ini bisa menjauhkan dari beban pikiran berat, tetapi tidak berarti menjadi kehilangan kegelisahan”, tegasnya. Dahiku tiba-tiba mengerut mendengar pernyataannya terakhir. Kegelisahan macam apa yang masih bisa menggelayuti hati orang besar seperti lelaki yang sedang aku hadapi ini? Bukankah kata orang, pengetahuan dan wawasan yang luas, pengalaman yang kaya dengan asam garam kehidupan mampu meminggirkan kegelisahan-kegelisahan yang mengganggu pikiran? “Maaf, anda masih mengalami kegelisahan?”, tanyaku tidak percaya. “Oh, tentu saja masih. Justru semakin sering saya memasuki ruang-ruang batin yang jernih dan tenang, semakin saya menemukan kegelisahan yang menggoncang-goncang pikiran saya. Apalagi jika saya melihat kenyataan hidup yang seringkali sangat susah untuk dipahami, susah untuk dieja, sehingga membutuhkan keseriusan tinggi untuk bisa membacanya”, jawabnya serius sekali. Ia menggaruk bagian belakang telinga kanannya sebentar, mungkin karena ada rasa gatal. Lalu melanjutkan penjelasannya. “Coba anda cermati. Bisakah anda tidak merasa gelisah ketika anda menghadapi kenyataan betapa praksis korupsi seperti sudah menjadi kebiasaan sehari-hari yang diamini tanpa sangsi? Bisakah tidak merasa gelisah ketika menghadapi kebingungan banyak orang untuk menyekolahkan anaknya karena biaya pendidikan yang melambung tinggi? Bisakah merasa tidak gelisah ketika melihat sekian banyaknya anak hidup dalam ketidakberdayaan kemiskinan, serba kekurangan dan terhimpit banyak kesulitan? Bisakah tidak merasa gelisah ketika kemakmuran dan beragam kemudahan hanya menumpuk pada dan dinikmati oleh segelintir orang sementara lebih banyak orang berada dalam situasi sebaliknya? Bisakah tidak merasa gelisah ketika usaha-usaha ekonomi bersama yang dicita-citakan untuk menjamin kesejahteraan sebanyak-banyak orang sudah terpelintir menjadi usaha milik kumpulan para majikan? Bagaimana mungkin tidak merasa gelisah ketika melihat kenyataan bahwa uang sekian miliar dollar harus dibayarkan untuk cicilan hutang luar negeri? Sementara uang sebanyak itu kalau dimanfaatkan untuk memfasilitasi biaya pendidikan anak-anak yang tidak mampu bayar sekolah pastilah sangat berarti. Bisakah tidak merasa geram ketika orang ingin memasang instalasi listrik di rumahnya harus bayar sekian kali lipat supaya bisa lebih cepat menyala, sementara kalau bayar biasa harus menunggu-nunggu waktu yang lama dan seringkali dengan beragam alasan yang tidak jelas? Lebih menggelisahkan lagi ketika melihat nasib kemanusiaan terjungkir balik tak karuan. Bagaimana mungkin perempuan pekerja yang memperjuangkan nasib dirinya dan teman-teman pekerja lainnya harus menderita kematian penuh siksaan tanpa diketahui siapa pelakunya. Bagaimana menjelaskan nasib orang yang tiba-tiba hilang tak diketahui rimbanya dan tak pernah ada jejak yang dapat menunjukkan jalan kepada pengungkapan hilangnya. Bagaimana mungkin tidak gelisah ketika mendengar jeritan sedih dan teriakan amarah tanpa daya dari orang-orang yang tergusur hidupnya tanpa bisa melawan? Bagaimana mungkin tidak gelisah melihat semua itu? Dan semuanya ada di depan mata. Bung Hatta mengusap rambut kepalanya, sementara matanya menerawang jauh menembus pepohonan hijau di halaman rumahnya. Kami sama-sama diam mencecapi kata-kata yang baru saja masuk dalam telinga, menembus dalam lubuk hati, menggoncang ketenangan pikiran, dan mengusik seluruh komitmen diri atas kehidupan. Lengang…… Kelengangan yang hadir di antara kami ini menciptakan kesunyian dalam diri masing-masing. Dan kesunyian adalah peristiwa yang sangat berharga menurut para sufi penyelam samudera rohani. Ketika manusia telah merasuki kesunyian, keramaian dan hiruk pikuk kecemasan bukan lagi sesuatu yang menganggu maupun melawan. Keramaian menjadi satu titik kecil yang bisa dilihat dengan jarak yang teramat jelas, lalu perlahan-lahan titik itu memecah dan melebur dalam daya hidup yang dinamakan bening. Ada daun kering yang jatuh di lantai teras rumah, tepat di sebelah telapak kakiku. Angin senja telah memutusnya dari ranting dan menerbangkannya. Suaranya terasa jelas. Mungkin memang begitulah hukum alam berlaku. Dalam kesunyian, segala sesuatu menjadi lebih jelas, berjarak, dan dapat dieja secara lebih cermat. Tanganku meraih cangkir kopi. Menempelkannya di bibirku, lalu menyeruput kopi kental yang masih hangat. Kehangatan perlahan-lahan menjalar dalam tubuhku. Melihat itu, bung Hatta menyilakan aku minum. “Oh ya, mari silakan dinikmati”, seraya meraih cangkir di depannya. “Semua peristiwa yang menimbulkan kegelisahan itu bukanlah takdir yang tak bisa ditolak”, lanjutnya. “Peristiwa-peristiwa semacam itu adalah hasil dari sebuah pilihan dan tindakan manusia yang sadar. Jadi itu adalah akibat dari pilihan tindakan manusia” “Sepakat”, jawabku singkat “Semua pilihan tindakan manusia tidak bisa dilepaskan dari cara berpikir tentang segala aspek kehidupan. Ketika manusia bisa membongkar cara berpikir yang mempengaruhi seluruh pilihan tindakannya, mencermatinya dan mengambil jarak terhadapnya, maka dia termasuk ke dalam golongan manusia merdeka. Pada gilirannya, manusia merdeka akan mengambil pilihan-pilihan tindakan yang juga memerdekakan sebanyak mungkin orang”, lanjutnya penuh ketegasan. Mendengar hal itu, aku tiba-tiba teringat akan masa muda bung Hatta. Jalan pikiran sebagaimana baru saja aku dengar itu pernah tercetus secara gamblang dalam tulisan-tulisannya di Hindia Poetra, sebuah majalah dua bulanan yang diterbitkan oleh perkumpulan mahasiswa Indonesia di Belanda yang bernama Perhimpoenan Indonesia. Tulisannya dalam edisi perdana menjadi buah bibir banyak orang karena tentu saja mengguncang kemapanan cara berpikir pada umumnya. Melalui judul “De economische positie van den Indonesischen grondverhuurder” (Kedudukan ekonomi orang Indonesia yang menyewakan tanah) dan “ Eenige aantekeningen betreffende de grondhuur-ordonnantie in Indonesie” (Beberapa catatan tentang ordonansi penyewaan tanah di Indonesia), Hatta mendukung tuntutan petani Indonesia agar para majikan penguasa perkebunan tebu dan pabrik gula di jawa menaikkan sewa tanah petani yang mereka pakai. Sewa tanah yang berjalan selama itu sangatlah tidak adil bagi para petani, apalagi dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh oleh para majikan perkebunan tebu dan pabrik gula. Pada masa mudanya, Hatta telah mengemukakan pikiran tentang memerdekakan kaum tani dari proses marginalisasi. “Ketika orang harus berada dalam kedudukan yang daripadanya dituntut pertanggungjawaban penuh atas cara bekerjanya sistem-sistem yang melekat dengan kedudukan itu, sementara ia tidak memiliki kesanggupan untuk mempertanggungjawabkan pilihan atas cara bekerjanya sistem tertentu, karena menurut pertimbangannya cara bekerjanya sistem itu tidak membuat sebanyak mungkin orang mengalami kemerdekaan, kemakmuran yang selayaknya, dan harkat-martabat yang sepantasnya, maka sebaik-baiknyalah apabila orang itu melepaskan kedudukan tersebut demi pilihan yang lebih sanggup dipertanggungjawabkannya, dan menjalani pilihan baru dengan segala resikonya”, kata Hatta memecah lamunanku tentang masa mudanya. Aku tergagap oleh rangkaian prinsip-prinsip dasar berpikirnya yang beruntun menghujani kesadaranku tanpa memberi waktu jeda untuk memikirkannya ulang. Namun segera saja aku langsung teringat pada peristiwa pengunduran dirinya dari jabatan wakil presiden dengan segala jaminan yang melekat pada jabatan itu. Jantungku tak bisa lagi memendam sorak sorai gemuruh yang meluap karena rasa hormat dan kagum atas prinsip-prinsip yang baru saja kubaca wujudnya secara nyata. Dan di depan mataku, pada senja itu, kupandangi jiwa merdeka yang berkomitmen terhadap kemerdekaan sebanyak mungkin jiwa-jiwa yang lain. Aku meneguk tetes kopi terakhir yang diseduh sendiri oleh Hatta, berpamitan, dan mengucap terima kasih atas percakapan yang telah terjadi. Dia mengantar sampai di pagar halaman yang berupa tanaman perdu hijau. Sepanjang perjalanan pulang, aku mengurai semua percakapan senja itu dan memaklumi bahwa sebelum menjadi proklamator kemerdekaan, jauh-jauh hari sebelumnya, ia telah memerdekakan dirinya dari segala kebisingan dan hiruk pikuk kepentingan sesaat, dan senantiasa setia sampai di senja hidupnya. Moga-moga masih ada sedikit teman dalam kesunyiannya. *** (Resist-Info Agustus 2006)

No comments: