Tuesday, October 10, 2006
Sinetron dan "Image Alternatf" bagi Perempuan
Indro Suprobo
Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, kehadiran televisi sudah seperti sebuah keharusan yang tak bisa ditolak lagi. Salah satu tayangan yang menarik minat begitu banyak permirsa adalah sinetron. Serial film televisi yang berdurasi pendek namun sambung-menyambung ini selalu saja dinantikan kehadirannya oleh pemirsa, terutama oleh kaum perempuan yang sehari-harinya sangat akrab dengan pekerjaan domestik kerumahtanggaan. Sinetron dapat ditonton sambil melakukan pekerjaan rumah tangga seperti seterika, memasak, mencuci, dsb. Menjadi lebih menarik lagi apabila sinetron ini ditonton secara beramai-ramai sambil sesekali berkomentar atas tokoh-tokoh yang dihadirkan. Begitu pentingnya kehadiran televisi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia itu sampai-sampai sebuah keluarga muda yang hendak mencari pekerja rumah tangga mengalami kesulitan luar biasa karena di rumahnya tak ada televisi. Tak seorangpun yang mau menjadi pekerja rumah tangga dalam keluarga itu karena keluarga itu tak memiliki televisi. Barangkali, pernyataan Karl Marx yang terkenal bahwa agama telah menjadi candu, sekarang ini bisa diperluas dengan pernyataan bahwa televisi telah menjadi candu. Namun benarkah televisi telah menjadi candu? Untuk sebagian orang barangkali benar, namun untuk sebagaian orang lagi barangkali juga tidak benar.
Untuk sebagaian orang yang telah menjadikan televisi sebagai candu, pantaslah diperhitungkan peringatan Sunardian Wirodono yang menulis buku “Matikan TV-Mu! Teror Media Televisi di Indonesia, yang diterbitkan oleh Resistbook pada tahun 2005. Buku yang sangat laris itu memaparkan dampak-dampak buruk dari media televisi yang tayangannya ditelan mentah-mentah sebagai barang konsumsi yang nikmat.
Memang, sebagai sebuah media, televisi bisa menjadi alat bagi kekuasaan untuk mengontrol masyarakat dari beragam aspek baik itu ekonomi, politik, kebudayaan, hukum, sampai pada selera terhadap jenis makanan tertentu. Televisi sebagai alat kekuasaan bisa menjadi media untuk mengatur cara berpikir tentang banyak hal yang tentu saja sesuai dengan keinginan cara berpikir kekuasaan. Pada masa orde baru ada tayangan yang dimaksudkan untuk menciptakan cara berpikir masyarakat mengenai bagaimana menjadi warga Negara yang ideal dan bagaimana sebuah keluarga merupakan unit paling kecil bagi pembentukan individu warga Negara yang ideal ini. Idealisme tentang warga Negara itu tentu saja sesuai dengan yang diinginkan oleh orde baru di mana suami dan ayah adalah seorang kepala keluarga dan isteri adalah pendamping suami dengan segala konstruksi relasi laki-laki dan perempuan yang patriarkhal.
Dalam sinetron-sinetron yang ditayangkan oleh televisi Indonesia, perempuan cenderung digambarkan sebagai seorang yang lemah, tidak mandiri atau tergantung kepada suami atau keluarga besar, rentan terhadap tindakan kekerasan dan pelecehan, emosional, dan pasif. Sementara figure perempuan yang sebaliknya, yakni yang mandiri, bisa mengambil pilihan atas hidupnya, memiliki aktualisasi diri di luar urusan domestik, cenderung ditempatkan sebagai perempuan yang tidak ideal. Itulah imaginasi yang diproduksi oleh sinetron berkaitan dengan perempuan Indonesia.
Namun demikian apakah semua perempuan Indonesia yang menikmati dan menggandrungi tayangan sinetron ini menangkap begitu saja pesan yang diproduksi oleh sinetron sebagai sebuah idealisasi bagi dirinya? Hasil penelitian Pam Nilam atas perempuan di Bali yang menonton sinetron, menunjukkan hal lain. Para perempuan Bali yang diteliti oleh Pam Nilam itu memang merupakan kaum perempuan yang sangat gandrung kepada sinetron dan selalu setia menantikan kehadiran sinetron itu dalam hidupnya setiap hari. Tak ada waktu yang dikorbankan untuk tidak menonton sinetron yang dinantikan. Namun ketertarikan mereka terhadap sinetron ini bukan karena mereka menyetujui pesan tentang figure perempuan sebagaimana diproduksi oleh sinetron, melaikan karena mereka melihat bahwa penggambaran tentang perempuan oleh sinetron itu sangat sesuai dengan situasi real hidup sehari-hari kaum perempuan di Bali dan menjadi media representasi keprihatinan mereka atas situasi itu. Konteks social dan budaya masyarakat Bali telah menempatkan perempuan dalam situasi yang tidak mengenakkan bagi perempuan sendiri. Dengan demikian, sinetron sangat digemari karena ia menjadi wadah bagi pengungkapan keprihatinan konkret kaum perempuan Bali atas situasi hidup mereka setiap hari.
Lebih jauh lagi, figure perempuan yang tidak berorientasi kepada segala macam urusan domestik dan ditempatkan oleh sinetron sebagai figure perempuan yang buruk, justru dipilih oleh kaum perempuan penonton sinetron di Bali sebagai figure alternative yang mungkin untuk diusahakan oleh mereka sebagai perlawanan terhadap situasi hidup sehari-hari. Dengan demikian, dalam kasus ini, pesan yang diproduksi oleh sinetron itu justru dimaknai secara berbeda oleh kaum perempuan Bali. Pesan itu dibengkokkan, bahkan dipatahkan dengan makna yang baru oleh kaum perempuan Bali. Meminjam istilah Stuart Hall, kaum perempuan Bali penonton sinetron televisi Indonesia itu telah melakukan suatu oppositional reading atas pesan yang diproduksi oleh sinetron. Kemampuan untuk melakukan oppositional reading yang dimiliki oleh kaum perempuan Bali ini telah melahirkan suatu “image alternative” bagi idealisasi perempuan di Bali. Image alternative itu merupakan imaginasi perlawanan terhadap imaginasi dominan yang berlaku dalam konteks sosial kultural setempat. Tak mengherankan apabila tayangan sinetron ini juga mendapatkan kritik keras dari kaum laki-laki karena di luar kontrol produser sinetron, tayangan itu justru menumbuhkan sikap kritis dan alternative kaum perempuan atas kehidupan mereka sehari-hari. Tentu saja ini merupakan kritik perempuan atas relasi patriarkhis yang berlaku dalam konteks setempat dan mengguncang wibawa patriarkhis kaum lelakinya.
Dalam kasus sebagaimana dipaparkan oleh Pam Nilam sebagai hasil penelitiannya ini, televisi tidak dapat disebut sebagai candu bagi kaum perempuan di Bali yang sehari-harinya sangat gandrung kepada tayangan sinetron. Tentu saja, latar belakang social, kebudayaan, pendidikan dan sebagainya merupakan faktor yang mempengaruhi bagaimana pemirsa televisi menyikapi pesan yang diproduksi oleh media. Kaum perempuan di Bali mampu melakukan perlawanan makna atas pesan yang diproduksi oleh media. Kalau demikian, peringatan Sunardian Wirodono yang berbunyi “Matikan TV-mu” juga telah dimaknai secara berbeda oleh sebagian kaum perempuan penonton sinetron di Bali. Mereka telah mematikan pesan yang diproduksi oleh sinetron, dan menghidupkan pesan yang lain yang mereka produksi sendiri.***
Sumber: Pam Nilam, Gendered Dreams: Women Watching Sinetron (Soap Operas) On Indonesian TV, Indonesia and the Malay World, Vol.29, No.84, 2001
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment