Friday, October 06, 2006

Belajar dari Kasus Kutipan Paus Benedictus XVI

Indro Suprobo 

Sebagai orang yang dibesarkan dan belajar dalam tradisi kristen katolik, saya secara personal merasa sangat prihatin oleh peristiwa kutipan Paus beberapa waktu lalu, bukan oleh kritik atas kutipan itu. Ketika membaca ceramah paus baik dalam versi inggris maupun dalam versi terjemahan bahasa Indonesia, saya menangkap ada bagian "lowong" yang mustinya diberi isi oleh paus sebagai orang terpelajar yang sudah sangat akrab dengan soal kutip-mengutip pendapat. Bagian lowong ini tampaknya memang tidak disadari oleh paus sendiri. Ini bukan soal kesadaran rasional ilmiah belaka, melainkan menyangkut kesadaran empatis atau simpatis, yakni kesadaran akan sebesar-besar nuansa dalam lingkup yang lain. Dalam hal ini, saya memahami bahwa paus belum memiliki kesadaran simpatis atau empatis semacam ini berkaitan dengan seluruh nuansa keislaman. 

Kesadaran simpatis atau empatis ini hanya akan terbentuk kalau seseorang telah merasuki pengalaman yang lain dengan segala kecermatan, keterbukaan, dan keikhlasan yang mendalam. Pergaulan harian dengan yang lain itu merupakan salah satu media yang membantu terbentuknya kesadaran semacam ini. Kesadaran simpatis dan empatis inilah yang barangkali boleh juga dirumuskan sebagai "sensitivitas". Kesadaran empatis atau simpatis itu bukanlah untuk menghindari "ketidaknyamanan" karena perasaan takut menyinggung, melainkan berangkat dari rasa hormat yang dalam dan ikhlas akan kekayaan nuansa dari yang lain. 

Barangkali saya adalah salah satu dari sekian banyak orang kristen katolik yang memandang tindakan paus ini sebagai kekeliruan, ketidakpantasan yang bisa terjadi dalam diri seseorang karena keterbatasan-keterbatasan real dan manusiawi. Infalibilitas paus itu hanya mencakup wilayah yang terbatas yakni dalam ajaran iman dan moral kristiani. Tetapi dalam hal mengutip pendapat, tentu saja ia sangat bisa keliru, dan itu tidak termasuk dalam infalibilitas paus. Karena kutipan itu tidak disertai dengan penjelasan sikap pribadi atas kutipan itu sendiri, maka sangatlah terbuka untuk diartikan sebagai persetujuan atas apa yang dikutip. Dalam hal ini saya sangat prihatin. 

Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap paus, saya mengira, paus memang memiliki keterbatasan pergaulan dengan nuansa keislaman. Orang muda menyebutnya "nggak gaul". Barangkali paus memang bergaul dengan banyak orang Islam, kaum terpelajar Islam, dsb, tetapi tidak bergaul dengan nuansa keislaman yang ada dalam diri orang-orang Islam dan para terpelajar Islam tersebut. Pergaulan dengan nuansa keislaman itu membutuhkan taraf pergaulan yang lebih mendalam daripada pergaulan diskursif, argumentatif, apalagi protokoler administratif. Seandainya, paus memiliki modal pergaulan dengan nuansa keislaman ini, saya sangat yakin bahwa ia tidak akan pernah menggunakan kutipan itu apalagi tanpa penegasan sikap pribadi. 

Mereka yang sudah terbiasa dengan pergaulan dan dialog agama-agama, dan dengan segala jerih lelah mengusahakan relasi harmonis, dan membongkar segala prasangka yang telah tertanam, terbiasa menyelidik perbedaan-perbedaan secara seksama dengan berbagai pendekatan keilmuan demi tumbuhnya pemahaman mendalam atas perbedaan, pasti tidak akan pernah menggunakan kutipan sebagaimana dikutip oleh paus, apalagi tanpa penegasan sikap yang jelas. Karena menurut saya, penggunaan kutipan itu justru mereproduksi relasi buram yang pernah terjadi antara kekristenan dan keislaman. 

Barangkali, akan lebih produktif, lebih bersifat reflektif dan kritis, dan barangkali pula akan mendatangkan rasa hormat yang dalam dari berbagai kalangan apabila Paus justru mengutip pengalaman gelap Gereja Katolik sendiri pada masa-masa inkuisisi di mana banyak orang harus menjadi korban. Kutipan yang membongkar pengalaman gelap diri sendiri sambil mengambil sikap kritis serta evaluatif atasnya, justru akan menunjukkan kerendahhatian dan kebesaran hati pemimpin Gereja atas kekeliruan sendiri yang telah diperbuat pada masa lalu, sambil penuh tunduk sujud berucap “mea culpa, mea culpa” (ampunilah kami, ampunilah kami) dan bertobat merintis sikap baru dalam pergaulan penuh damai. Dengan demikian justru akan tampak konsistensi dari apa yang dinyatakannya dalam kuliah terbuka itu (kaitan iman dan akal budi) dan tindakan nyata. 

Saya menghunjukkan rasa hormat kepada Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) yang dengan ikhlas hati menghaturkan permohonan maaf kepada seluruh umat muslim di Indonesia. Permohonan maaf ini mengandaikan pengakuan bahwa paus telah melakukan ketidakpantasan dalam komunikasi yang menimbulkan luka hati. Ini berarti pengakuan terhadap suatu bentuk kesalahan dalam berkomunikasi. 

Saya berharap peristiwa ini merupakan "teguran" bagi paus sendiri, dan menjadi peristiwa yang berharga untuk belajar bersimpati dan berempati terhadap nuansa yang lain, yang berbeda. Dengan lain kata, moga-moga peristiwa ini merupakan medan belajar bagi paus untuk bersensitivitas. 

Moga-moga, melalui peristiwa ini, paus juga akan belajar untuk membaca lebih luas nuansa keislaman itu, terutama dari berbagai dokumen yang menunjukkan betapa Muhammad Rasulullah, nabi junjungan saudara-saudari muslim, telah membagikan begitu banyak harta perdamaian dan perlindungan kepada kaum kristen dari segala bentuk penindasan, terutama kepada kaum kristen yang hidup dalam wilayah kekuasaan politik islam. Ada banyak contoh yang bisa ditemukan. Dan semuanya itu merupakan wujud luberan kedalaman keimanan dan budi pekerti seorang Rasul Allah yang diutus untuk menyemai nilai-nilai ketundukan dan hormat di hadapan sang Akhbar, sehingga setiap manusia, termasuk saya yang kristen ini bisa berucap dalam ketundukan yang sama penuh ikhlas hati: La ilaha illa-Allahu, Muhammadu-rasulullahi. 

Semoga semua makhluk berbahagia

1 comment:

Anonymous said...

pertama! ;)

wah, saya sendiri masih sering susah bersimpati, apalagi berempati... masih perlu banyak belajar. :)