Sunday, September 18, 2022

Kesetiaan yang Kemilau


 

Sederhana, murah senyum, baik hati, rileks, dan menikmati hidup secara ringan serta apa adanya. Itulah yang dirasakan ketika orang bertemu dengannya. Dalam semua sifat itu, ia menjalani kerja keras, ketekunan, disiplin, dan loyalitas dalam bekerja. Tanggung jawab hidup dijalaninya secara sungguh-sungguh namun tetap rileks. Saya memanggilnya Lik Tomo.

Sejak saya masih kanak-kanak, Lik Tomo memiliki kebiasaan mengisi waktu senggang dengan mendengarkan musik-musik lokal berupa langgam yang sekarang ini lebih dikenal dengan campursarinan. Salah satu penggalan lirik lagu lama tahun 80an yang dulu sering diputarnya berbunyi demikian,".....dithuthuk nganggo pipa ledheng...." (dipukul dengan pipa air ledeng). Lalu biasanya diteruskan dengan lirik yang sifatnya seperti pantun Melayu lama. Itulah beberapa ciri yang masih saya ingat, yang mencerminkan semangat dan gaya Lik Tomo dalam menghayati kehidupan. Bergembira dalam kesederhanaan.

Yang paling mengesankan, yang dijalaninya sampai akhir hidupnya adalah pilihan untuk tetap tidak menikah lagi setelah istri tercinta, Ermina Sutini, meninggal dunia pada sekitar tahun 90-an. Tampaknya ia memilih untuk tetap menjagai hatinya dengan api cinta dan kasih sayang kepada kekasih yang telah menemaninya dalam perjuangan hidup. Barangkali, setiap saat  ia menghidupkan kehadiran kekasih jiwanya di kedalaman batin, memenuhinya dengan kebahagiaan yang lembut dan mendalam, serta menghangatkan detik-detik nafasnya meski tanpa kehadiran fisik. Ia telah memilih untuk setia secara radikal.

Saya menduga dan hampir-hampir meyakini bahwa pilihannya untuk tetap setia ini merupakan luapan dari rasa hormatnya yang dalam terhadap istri dan kekasih hati yang telah secara ikhlas menemaninya untuk berjuang pada masa-masa paling sulit dalam hidupnya. Sungguh, ini sebuah sikap hormat yang hening, mendalam, menggetarkan, mengesankan, dan memancarkan cahaya kehangatan lembut bagi setiap orang yang sanggup membacanya. Sikap hormat terhadap kekasih hati ini memancar bagaikan fajar pagi. 

Sikap hormat inilah yang tampaknya melandasi kesetiaan yang dijalaninya dalam kesederhanaan dan kebahagiaan. Mau tidak mau, dalam spiritualitas agama apapun, sikap hormat selalu dan senantiasa merupakan luberan dari rasa syukur kepada Tuhan atas anugerah besar yang diterima di dalam hidup. Saya membaca bahwa Lik Tomo telah memandang dan menempatkan istri dan kekasih hatinya, Ermina Sutini, sebagai anugerah besar dalam hidupnya, yang ia terima dari Tuhan. Kehadiran istri dan kekasih jiwanya ini, yang telah mengisi perjalanan hidup dengan makna yang luar biasa itu, tak tergantikan dan melahirkan rasa syukur yang mendalam. Oleh sebab itu ia sangat menghormatinya, dan menghormatinya selama-lamanya, sampai hidupnya sendiri menjemput titik akhirnya. Barangkali itulah jaring-jaring batin yang ada dalam dirinya. Rasa syukur meluberkan sikap hormat, sikap hormat melahirkan kesetiaan. 

Bagi saya, kesetiaan yang dipilih dan dijalaninya ini adalah kesetiaan yang kemilau. Ia memancarkan cahaya yang berpendar mendalam namun lembut, tak menyilaukan namun menghangatkan. Barangkali, pilihan Lik Tomo untuk tetap menjagai kemilau kesetiaannya kepada kekasih jiwanya ini sangat cocok dengan apa yang dikatakan oleh Yesus kepada Marta, tentang Maria,".....tetapi hanya satu saja yang perlu, Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya." (Luk 10:42).

Saya membaca bahwa Lik Tomo adalah cerminan dari figur Maria yang telah memahami apa yang perlu dalam hidupya sehigga ia telah memilih bagian yang terbaik yang tidak akan diambil daripadanya, yakni setia kepada kekasih jiwanya sampai Tuhan memanggilnya. 

Selamat jalan Lik Tomo. Terima kasih atas teladan dan kesaksian tentang kesetiaan yang kemilau. Bahagialah di surga, memeluk kekasih jiwa yang menghangatkan batinmu sepanjang masa. 


Jogjakarta, 17 September 2022


Indro Suprobo

No comments: