Tuesday, July 31, 2007

17 Agustus, Hari Kemenangan Kaum Kiri Indonesia !!!

oleh Indro Suprobo Siapakah di antara generasi muda sekarang yang masih sangat berantusias untuk mengikuti upacara bendera 17 Agustus sebagai ritual tahunan perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia? Sebagian kecil barangkali masih merasa sangat bangga bila boleh menjadi petugas pengibar bendera berbaju putih, berpeci hitam dengan kain merah menutup leher. Beberapa mungkin juga masih sangat berantusias untuk bergegap gempita menabuh drum band dengan baju serba seragam dan serba berbaris rapi siap grak maju jalan belok kanan belok kiri, jalan di tempat sesuai aba-aba warisan tentara kolonial. Atau barangkali, masih terlalu banyak pula para puteri muda remaja berseri yang bangga penuh damba untuk menari-nari beratraksi saling gendong, lenggak lenggok lincah gemulai berpakaian serba mini menarik hati lelaki lintas generasi. Di kampung-kampung barangkali akan ada banyak keramaian penuh sorak gembira melupakan untuk sementara segala beban hutang, pungutan dan biaya sekolah, tagihan pembelian benih, tunggakan bon pupuk yang telah menumpuk, iuran arisan, biaya kontrakan dan seabrek kesulitan yang sehari-hari sering membuat kepala terasa nyeri. Jathilan atau kuda lumping, tarian kubro, pentas dangdut dengan lagu favorit yang hampir sama di mana-mana seperti es-em-es atau kucing garong, wayang kulit, sampai pengajian penuh humor barangkali akan menjadi acara-acara terpilih. Eit, jangan sampai dilupakan! Beragam perlombaan seperti makan kerupuk, gebug bantal, panjat pinang, memasukkan paku ke dalam botol, kelereng, sepeda indah, gerak jalan, kebersihan, bikin roti terbesar atau gapura paling unik pantaslah disebutkan dalam deretan ritual tahunan mahahebat ini! Seluruh keriangan yang meletus bagaikan balon udara itu pastilah terjamin direkam, dipotret, ditulis dan diberitakan ulang serta disiarkan oleh hampir semua media yang tersedia di sekujur deretan pulau-pulau Republik Indonesia Raya. “Peringatan Hari Merdeka dalam Aneka Rupa”, begitulah kira-kira tema utama. Tetapi tunggu dulu para pembaca setia….. Masih ada satu hal lagi yang tak boleh dilupa. Yang satu ini adalah persoalan mahapenting tetapi selalu saja memiliki kepastian teramat tepat untuk dilupakan. Di mana-mana, di seluruh pelosok negeri ini, gegap gempita dan meriah megah peringatan kemerdekaan Republik Indonesia Raya Jaya Sentausa, selalu saja dan terjamin pasti melupakan sunyi sepi studi dan pergulatan budi pekerti para tokoh pendahulu penggagas ide merdeka dan pendiri negeri yang secara hormat dan terpuji haruslah digolongkan sebagai kaum kiri!! Idealisme merdeka Indonesia Raya tidaklah mungkin begitu saja turun sebagai wahyu dari surga atau dari Tuhan agama-agama. Ide merdeka Indonesia Raya dipungut, ditenun, dianyam dan diolah dari sunyi sepi studi dan pergulatan budi kaum intelektual kiri yang cerdas bernas maju kreatif progresif penuh empati dan harga diri. Mereka ini menggagas dan menyusun ide merdeka dalam pergulatan sunyi sepi studi atas wacana-wacana kiri yang secara jelas tegas disebut sebagai sosialisme. Beberapa dari antara mereka yang berangkat dari sunyi sepi studi wacana kiri bolehlah diingat di sini. Yang paling awal, Soewardi Soerjaningrat, Douwes Dekker dan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo yang mendirikan “Indische Partij”, sejak tahun 1912 telah secara gamblang menyatakan cita-cita “Hindia Merdeka, Sekarang!”. Mohammad Hatta yang muslim dan saleh, yang menyerukan cita-cita Indonesia Merdeka di depan Meja Hijau di Nederland tahun 1928, telah menulis analisis kritis dan kiri dalam majalah Hindia Poetra untuk mendukung kaum petani miskin melawan penguasa perkebunan dan pabrik gula di Jawa dengan judul “De economische positie van den Indonesischen grondverhuurder” (Kedudukan ekonomi orang Indonesia yang menyewakan tanah) dan “ Eenige aantekeningen betreffende de grondhuur-ordonnantie in Indonesie” (Beberapa catatan tentang ordonansi penyewaan tanah di Indonesia)[i]. Ir. Soekarno, yang pada tahun 1930 secara berapi-api memaparkan “Indonesia Menggugat” di hadapan pengadilan Hindia Belanda, sangatlah jelas dengan bacaan sosialisme yang dilahapnya. Sjafruddin Prawiranegara yang pernah ditunjuk oleh perdana menteri Hatta untuk menjalankan Pemerintahan Darurat, adalah seorang Muslimin juga yang bahkan dengan tegas berujar bahwa manusia yang beragama dan beriman, tidak bisa lain, ia pasti kiri.[ii] Yang lain lagi adalah seorang negarawan yang juga pernah menjadi Perdana Menteri, yakni Soetan Sjahrir. Bersama Hatta, ia berjuang agar prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, keadilan sosial bagi seluruh rakyat dan penghormatan kepada harkat martabat manusia menjadi kehidupan nyata negara dan masyarakat Indonesia. Pergulatan budi dan empati dalam menggumuli wacana berhaluan kiri itu tak pernah lagi dibuka, disinggung, diangkat, dijunjung apalagi disanjung dalam pidato-pidato resmi ritual peringatan hari merdeka Indonesia Raya sekarang ini. Padahal, itulah faktor utama dan penentu munculnya pemikiran dan gereget gerakan merdeka para pendiri negara. Wacana kiri atau sosialisme pada umumnya, sejak Orde Baru, dan oleh Orde-orde yang terbaru lagi (tak tahulah apakah itu sungguh sebuah transformasi atau hanyalah mutasi) telah ditempatkan dalam sudut sepi, dilarang keras untuk dipelajari, diberi stigma “berbahaya”, tak boleh lagi dicerna secara dewasa, dan kalau ada yang berkumpul serta menjadikannya sebagai tema diskusi, akan segera saja berhadapan dengan gerudugan segerombolan polisi. Oleh karena itu, sudah sepantasnya dan sehormatnya, sosialisme atau wacana kiri itu ditempatkan penuh martabat dan harga diri sebagai bahan studi untuk dipelajari. Soetan Sjahrir, sebagaimana dikutip oleh amarhum YB. Mangunwijaya mengatakan: “Sosialisme adalah ajaran dan gerakan mencari keadilan di dalam kehidupan kemanusiaan. Sosialisme adalah ajaran politik yang memihak golongan miskin dan tidak berpunya yaitu kaum proletar. Ia menentang golongan yang menggunakan kekayaannya untuk kepentingan dirinya dengan memperoleh untung dari kemiskinan orang yang dipekerjakannya pada perusahaan-perusahaannya. Mereka yang mampu dan berpunya itu biasanya adalah golongan yang berkuasa dalam negara. Sehingga negara pun selalu berpihak pada mereka, sedikitnya selalu membela kepentingan mereka dengan perundangan yang menjamin kedudukan dan kekayaan mereka. Sosialisme selalu mengikhtiarkan supaya lebih banyak kaum miskin di dunia menolak nasibnya sebagai kaum miskin, hina, dan tertindas dan menuntut perubahan sehingga tidak ada lagi kaum tertindas dan kaum yang menindas, dan tidak ada lagi kaum yang menghisap dan kaum yang dihisap” [iii] Jurang yang lebar antara kemelaratan penuh sengsara mayoritas orang miskin dan kesejahteraan penuh nikmat segelintir orang kaya dan kuasa, sejak semula menjadi kegelisahan, penolakan dan geliat perlawanan kaum kiri. Bahkan sejak semula embrio agama-agama berangkat dari penolakan atas hal ini. Jangan salah sangka bahwa Isa binti Miryam dari Nazareth yang hidup dan ajarannya menjadi pondasi kekristenan dari beragam sekte dan aliran, adalah termasuk dalam golongan kaum kiri-sosialis purba. Ia membela kaum tani dan buruh kota yang melarat-sengsara dalam tirani penjajahan kaum kuasa baik negara manca maupun para komprador sebangsa. Memang sudah semestinya orang yang benar-benar beragama pastilah menjadi golongan kiri pula karena paradigma kiri adalah haribaan agama-agama. Apabila praksis dan paradigma agama-agama masa kini tidak bertaut dengan haribaannya, maka pantaslah diserukan kembali pertobatan ideologis kepada agama-agama, yakni sebuah pertobatan Copernican dari kapitalisme dan neoliberalisme menuju kemanusiaan dan sosialisme, dari perang dan ketidakadilan menuju keadilan dan perdamaian. Heibatnya, seorang professor agama-agama bernama Kang Nam Oh, berujar dalam kritik yang mendalam,”Sebuah bangunan gereja yang kosong adalah lebih baik daripada bangunan gereja yang berisi penuh dengan orang-orang kristiani yang belero dan tanpa otak”.[iv] Yang dimaksudkannya dengan kritik ini adalah ritualisme dalam agama apapun tak ada artinya jika tidak memiliki pertautan dengan komitmen dan praksis yang berpihak kepada yang tertindas, yang terkalahkan, yang dipinggirkan. Agama musti kembali kepada haribaannya, yakni kemanusiaan dan sosialisme. Jurang yang menganga antara mayoritas melarat miskin susah dan segelintir kaya sejahtera selalu menjadi dasar perlawanan orang yang berpikir. Situasi itulah yang melahirkan pikiran dan gerakan merdeka di Indonesia. Situasi serupa dalam lingkup wilayah yang lebih terbatas memunculkan gerakan perlawanan sosial di tiga daerah (Tegal, Brebes, dan Pemalang).[v] Meskipun pembangunan telah berjalan puluhan tahun dan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia Raya telah digegap-gempitakan 62 kali, jurang antara kaum kaya raya dan kaum miskin serba kekurangan semakin menganga pula. Fenomena yang aneh tapi nyata ini tak pernah bisa dipahami kalau generasi Indonesia Raya sekarang ini tetap dilarang mempelajari sosialisme dan wacana kiri. Oleh karenanya, daripada bergegap-gempita dengan banyak biaya yang seringkali harus dengan berhutang juga, barangkali lebih arif bijaksana dan hemat tiada tara kalau 17 Agustus, sebagai hari merdeka Indonesia Raya diperingati dalam sunyi sepi studi wacana kiri alias sosialisme, sambil menyadari bahwa UUD 1945 dan terutama Pancasila adalah sebenar-benarnya kiri jiwanya, serta meresapi dalam kecerlangan budi bahwa pada hakekatnya Republik Indonesia Raya dirancang dan direncana seturut mazhab sosialisme pula. Nah kalau begitu, selanjutnya, ketika sosialisme menjadi bahan diskusi, tak perlulah repot-repot digerudug gerombolan pak polisi, karena mereka juga sangat butuh belajar apa sesungguhnya kiri. Supaya kiri yang ini pun boleh punya nasib yang sama dengan yang biasa terpampang dalam rambu-rambu “Kiri jalan terus”. ----------------- [i] Parakitri T Simbolon, Turun Gunung! Mohammad Hatta 11 Tahun di Belanda, dalam Seratus Tahun Bung Hatta, Penerbit Buku Kompas 2002, hlm.46 [ii] YB. Mangunwijaya, Kiri dan Kanan Dalam Sprachspiele, dalam Menuju Republik Indonesia Serikat, Gramedia 1999, hlm.209 [iii] ______ , Mengapa Sosialisme Indonesia Perlu Kita Pelajari?, dalam Menuju Republik Indonesia Serikat, Gramedia 1999, hlm.218 [iv] Keun Soo Hong, Reconciliation For Peaceful Common Living – Disarmament and Security, dalam Asia, The Reconciler, Report of The Sixth Assembly of The Asian Conference on Religion and Peace, Asian Conference on Religion and Peace (ACRP) and Interfidei 2005, hlm 111-124 [v] Anton E. Lucas, One Soul One Struggle, Perlawanan Tiga Daerah, Resistbook 2004

No comments: