Thursday, March 27, 2014

Berperan di Tengah Masyarakat adalah Bagian dari Hidup yang Bermartabat

oleh Indro Suprobo




“Nama saya Zain. Saya bekerja sebagai kontraktor. Saya terpaksa pergi meninggalkan negeri saya karena hampir setiap hari saya menerima ancaman. Sekelompok orang selalu menelepon saya dengan mengatakan bahwa hari ini saya masih hidup, tetapi besok nasib saya belum tentu. Karena itu saya memutuskan untuk lari,” kata Zain dengan nada murung karena tak percaya bahwa nasibnya berakhir di balik jeruji Rumah Detensi Imigrasi. 

Di balik semua informasi, tabel, data dan angka-angka yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga dan instansi tentang Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia, terdapat pribadi-pribadi konkret yang memiliki sejarah, pengalaman, penderitaan, kegembiraan, pikiran, cita-cita, harapan, dan impian-impian tentang kehidupan. Mereka adalah ayah, suami, istri, anak atau saudara dan saudari dalam sebuah keluarga. Mereka adalah jurnalis, pengusaha, tukang sepatu, ahli komputer, guru sekolah, seniman, teknisi pesawat, penerjemah, atau penulis yang berperan penting di tengah kehidupan masyarakat. 

Tabel, informasi dan data yang bermaksud menggambarkan kilasan perkembangan terkini tentang fenomena pengungsian tentu saja tidak sanggup menampilkan dimensi kemanusiaan para Pengungsi yang unik dan personal. Lebih parah lagi adalah berita yang dilansir oleh berbagai media di Indonesia. Berita-berita itu justru menempatkan para Pengungsi sebagai kriminal dan pelanggar hukum, dengan menyebut mereka sebagai “imigran gelap”. Istilah yang sangat tidak adil itu secara semena-mena menghapus seluruh latar belakang pengalaman, cita-cita, harapan, dan bahkan arti penting mereka sebagai pribadi-pribadi di tengah masyarakatnya.

Machasin punya kebiasaan mengundang makan siang. “Di negara saya, saya membuka restoran dan hotel. Saya biasa memasak. Besok siang datanglah kemari. Saya akan membuat masakan untuk makan bersama.” Chapati buatannya memang nikmat. Anak petani dan penggembala domba yang menjadi manajer restoran dan hotel ini pernah menghabiskan dua tahun hidupnya di dalam Rumah Detensi Imigrasi Tanjungpinang. Di sana ia mengisi hari-harinya dengan memasak. Itulah cara dia membuat setiap hari sebagai waktu yang berarti bagi dirinya maupun bagi orang lain. Pribadi yang baik hati seperti ini tentu saja tak pantas dipenjara di dalam Rumah Detensi hanya karena terpaksa meninggalkan negeri demi menyelamatkan hidup. Secara jelas dan pasti, ia bukanlah pelanggar hukum dan pelaku tindak kriminal. Ia adalah orang baik hati yang terpaksa pergi mencari keselamatan dan kedamaian.

“Saya tidak terlalu sering bergaul dengan teman-teman yang lain. Saya lebih banyak tinggal di kamar dan asyik menulis blog di internet. Saya adalah seorang blogger sehingga menulis merupakan keasyikan tersendiri buat saya. Aktivitas menulis membuat saya merasa tenang dan dapat menuangkan pengalaman hidup saya. Saya bisa bercerita tentang Borobudur, Kraton Yogyakarta, Malioboro, pantai di Yogyakarta, dan tentang gunung Merapi. Saya juga ingin menjadi produser film supaya saya bisa menunjukkan sejarah orang-orang Hazara yang sebenarnya kepada orang lain,” kata Abdul Malik sambil membetulkan letak kacamatanya. Lelaki muda dari Afghanistan ini berusaha memelihara kemampuan menulisnya untuk mempertahankan semangat hidup dan harapannya selama menunggu proses penempatan ke negara ketiga. 

Para Pengungsi adalah orang-orang yang memiliki banyak kemampuan. Memberikan kesempatan kepada Pengungsi untuk mengaktualkan kemampuan dan ketrampilan yang dimilikinya selama proses menunggu, akan membantu mereka untuk tetap memiliki daya tahan dan martabat. Namun bagi sebagian yang lain, masa pengungsian tak memberi mereka kesempatan untuk mengaktualisasikan diri, karena mereka tidak boleh bekerja atau menjadi sukarelawan, atau melakukan sesuatu yang bermanfaat baik bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat sekitar. Hal ini membuat mereka merasa bahwa hidupnya terpenjara. Hasyim adalah salah satu contohnya. Ia adalah seorang sarjana komputer. Ia lebih sering menyendiri dan jarang bergaul dengan teman-teman lainnya. Istri dan anak perempuan yang ditinggalkannya di Iran, membuatnya sering merasa khawatir. Selama mengungsi, ia tak pernah dapat mengakses komputer sehingga ia merasa takut kemampuannya dalam bidang program komputer tak terasah lagi dan lama-lama hilang. 

Untuk memperoleh gambaran tentang keterampilan dan kemampuan para Pengungsi dan Pencari Suaka, JRS terlibat di dalam konsultasi nasional organisasi masyarakat sipil dan Pengungsi pada tanggal 25-26 Februari 2014 untuk menemukan cara bagaimana Para Pengungsi yang tinggal di tengah masyarakat dapat mengaktualisasikan kemampuan mereka di dalam batas-batas peraturan pemerintah. Dalam pertemuan tersebut, ditemukan bahwa mengorganisasi komunitas Pengungsi dan memetakan kemampuan mereka merupakan langkah awal untuk menemukan cara bagaimana para Pengungsi dan Pencari Suaka dapat meningkatkan peran mereka untuk membantu diri mereka sendiri dan terlibat di tengah masyarakat setempat.


Rangkuman Ajaran Sosial Gereja mengenai partisipasi mengingatkan kita: ”Semua orang memiliki hak untuk berperan di dalam kehidupan ekonomi, politik dan kebudayaan masyarakat. Ini merupakan tuntutan keadilan yang mendasar dan merupakan prasyarat bagi martabat manusia bahwa semua orang memiliki jaminan keterlibatan minimal di dalam masyarakat. Adalah sebuah kesalahan apabila seseorang atau sekelompok orang secara tidak adil disingkirkan atau tidak dapat terlibat di tengah masyarakat.” 

Indro Suprobo

Publikasi awal di JRS Indonesia

No comments: