oleh Indro Suprobo
Dalam tiga tradisi keyakinan, yakni
Kristen, Islam dan Ahmadiyah, Yesus atau Isa merupakan satu pribadi yang dibaca
dalam tiga narasi berbeda. Barangkali boleh dikatakan bahwa Yesus/Isa merupakan
satu penanda (signifier) yang sama, namun memiliki tinanda (signified) atau
gambaran konsep mental yang berbeda-beda. Narasi tentang Yesus/Isa dalam tiga
tradisi ini merupakan tinanda (signified) itu.
Tiga narasi dalam tiga tradisi itu
memiliki titik sambung (irisan) namun juga memiliki titik pembeda yang merupakan
keunikan atau kekhasan dalam masing-masing narasi. Titik sambung dan titik
pembeda itu dapat dilihat di dalam gambar.
Jika mengikuti teori-teori linguistik
tentang sistem tanda, tampaknya dapat dikatakan juga bahwa hubungan antara
Yesus/Isa sebagai penanda (signifier) dan gambaran konsep mentalnya sebagai
tinanda (signified) dalam ketiga tradisi itu bersifat arbitrer (sewenang-wenang
tanpa ketentuan yg mengikat) dan merupakan konvensi di dalam masing-masing
tradisi, sehingga hubungan itu hanya berlaku di dalam tradisi masing-masing,
serta tak dapat diperbandingkan, tak dapat dijadikan sebagai kriteria
otoritatif utk menilai tradisi yang lain. Itu artinya, kebenarannya bersifat
parsial dan relatif (hanya dalam sistem relasi milik tradisi itu sendiri).
Namun demikian, ketiga narasi itu
ternyata ditopang oleh satu nalar dasar yang serupa, yakni "Yesus/Isa
adalah orang yang dibenarkan oleh Allah dan diselamatkan" (gambar
lingkaran biru). Nalar dasar ini diekspresikan, dibaca (membaca = iqra), dan dinarasikan
secara berbeda-beda oleh tiga tradisi itu. Perbedaan cara membaca atau cara
mengekspresikan nalar ini barangkali dipengaruhi oleh mental model
masing-masing tradisi, yg awalnya merupakan personal mental model dan
terstrukturisasi menjadi communal mental model.
Narasi-narasi itu barangkali dapat juga
disebut sebagai cerita-cerita. Nah, sebagai cerita, ia memiliki beberapa
ceritem atau mithem di dalamnya. Ceritem-ceritem atau mithem-mithem itu hanya
dapat dipahami dalam keseluruhan cerita. Ini ada dalam gambar tabel.
Keseluruhan ceritem atau mithem itu membentuk satu kesatuan makna cerita yg
secara implisit mengungkapkan nalar dasarnya.
Membaca narasi dalam tiga tradisi dan
berupaya menemukan nalar dasar dari persamaan dan perbedaannya itu, membantu
kita untuk belajar mengambil jarak terhadap "struktur dasar" yang
seringkali secara tak sadar telah memengaruhi keseluruhan cara kita berpikir
dan bertindak. Persetujuan, pilihan dan kecocokan masing-masing orang terhadap
narasi dalam tradisi-tradisi itu pantas diakui sebagai buah dari habitus yang
berproses dalam kurun waktu panjang. Karena merupakan hasil dari habitus, maka
kecocokan dan pilihan thd narasi itu juga tidak mudah diubah.
Saya sendiri melihat narasi-narasi dalam
tradisi itu bukan soal benar dan salah, melainkan lebih soal bagaimana
narasi-narasi itu berfungsi bagi setiap orang yang memilihnya sehingga ia
sanggup membangun kerangka makna di dalam hidupnya, yang mengarahkan dan
mendorongnya untuk mendukung pertumbuhan kemanusiaan dan relasi antar sesama
sebagaimana tersirat di dalam nalar dasarnya, yakni menemukan prinsip dasar
dari satu orang yang dibenarkan dan diselamatkan oleh Allah. Nalar dasar ini
dapat dirumuskan juga sebagai gambaran tentang Allah yang adil. Mengapa lebih
melihat fungsinya? Karena sifatnya yang arbitrer, konvensional dan
relatif-parsial di dalam sistemnya sendiri. Dengan demikian, tak akan ada
faedahnya memperdebatkan perbedaan-perbedaan itu karena sifat dasarnya yg
arbitrer dan konvensional. Namun sangatlah penting memahami perbedaannya dan
menemukan nalar dasarnya.
Semoga berguna.
No comments:
Post a Comment