Tuesday, March 16, 2021

Yang ditemukan dari Perbedaan dan Persamaan

 oleh Indro Suprobo


Dalam tiga tradisi keyakinan, yakni Kristen, Islam dan Ahmadiyah, Yesus atau Isa merupakan satu pribadi yang dibaca dalam tiga narasi berbeda. Barangkali boleh dikatakan bahwa Yesus/Isa merupakan satu penanda (signifier) yang sama, namun memiliki tinanda (signified) atau gambaran konsep mental yang berbeda-beda. Narasi tentang Yesus/Isa dalam tiga tradisi ini merupakan tinanda (signified) itu.

Tiga narasi dalam tiga tradisi itu memiliki titik sambung (irisan) namun juga memiliki titik pembeda yang merupakan keunikan atau kekhasan dalam masing-masing narasi. Titik sambung dan titik pembeda itu dapat dilihat di dalam gambar.



Jika mengikuti teori-teori linguistik tentang sistem tanda, tampaknya dapat dikatakan juga bahwa hubungan antara Yesus/Isa sebagai penanda (signifier) dan gambaran konsep mentalnya sebagai tinanda (signified) dalam ketiga tradisi itu bersifat arbitrer (sewenang-wenang tanpa ketentuan yg mengikat) dan merupakan konvensi di dalam masing-masing tradisi, sehingga hubungan itu hanya berlaku di dalam tradisi masing-masing, serta tak dapat diperbandingkan, tak dapat dijadikan sebagai kriteria otoritatif utk menilai tradisi yang lain. Itu artinya, kebenarannya bersifat parsial dan relatif (hanya dalam sistem relasi milik tradisi itu sendiri).

Namun demikian, ketiga narasi itu ternyata ditopang oleh satu nalar dasar yang serupa, yakni "Yesus/Isa adalah orang yang dibenarkan oleh Allah dan diselamatkan" (gambar lingkaran biru). Nalar dasar ini diekspresikan, dibaca (membaca = iqra), dan dinarasikan secara berbeda-beda oleh tiga tradisi itu. Perbedaan cara membaca atau cara mengekspresikan nalar ini barangkali dipengaruhi oleh mental model masing-masing tradisi, yg awalnya merupakan personal mental model dan terstrukturisasi menjadi communal mental model. 

Narasi-narasi itu barangkali dapat juga disebut sebagai cerita-cerita. Nah, sebagai cerita, ia memiliki beberapa ceritem atau mithem di dalamnya. Ceritem-ceritem atau mithem-mithem itu hanya dapat dipahami dalam keseluruhan cerita. Ini ada dalam gambar tabel. Keseluruhan ceritem atau mithem itu membentuk satu kesatuan makna cerita yg secara implisit mengungkapkan nalar dasarnya.



Membaca narasi dalam tiga tradisi dan berupaya menemukan nalar dasar dari persamaan dan perbedaannya itu, membantu kita untuk belajar mengambil jarak terhadap "struktur dasar" yang seringkali secara tak sadar telah memengaruhi keseluruhan cara kita berpikir dan bertindak. Persetujuan, pilihan dan kecocokan masing-masing orang terhadap narasi dalam tradisi-tradisi itu pantas diakui sebagai buah dari habitus yang berproses dalam kurun waktu panjang. Karena merupakan hasil dari habitus, maka kecocokan dan pilihan thd narasi itu juga tidak mudah diubah.

Saya sendiri melihat narasi-narasi dalam tradisi itu bukan soal benar dan salah, melainkan lebih soal bagaimana narasi-narasi itu berfungsi bagi setiap orang yang memilihnya sehingga ia sanggup membangun kerangka makna di dalam hidupnya, yang mengarahkan dan mendorongnya untuk mendukung pertumbuhan kemanusiaan dan relasi antar sesama sebagaimana tersirat di dalam nalar dasarnya, yakni menemukan prinsip dasar dari satu orang yang dibenarkan dan diselamatkan oleh Allah. Nalar dasar ini dapat dirumuskan juga sebagai gambaran tentang Allah yang adil. Mengapa lebih melihat fungsinya? Karena sifatnya yang arbitrer, konvensional dan relatif-parsial di dalam sistemnya sendiri. Dengan demikian, tak akan ada faedahnya memperdebatkan perbedaan-perbedaan itu karena sifat dasarnya yg arbitrer dan konvensional. Namun sangatlah penting memahami perbedaannya dan menemukan nalar dasarnya.

Semoga berguna.


No comments: